BAB IV Data dan Informas
PERKEBUNAN DAN KEHUTANAN
2. Perencanaan dan Monitoring DAK
4.1.1.3 Bidang Ekonom
A. Subbidang Tenaga Kerja dan Pariwisata
1. Indeks Gini Kab. Sleman 2015
Indeks Gini (IG) dapat digunakan untuk mengetahui distribusi dan ketimpangan pendapatan di Kabupaten Sleman dan memberikan gambaran ringkas kondisi kemiskinan penduduk Kabupaten Sleman pada tahun 2014.
IG dapat digunakan sebagai bahan untuk menelaah berbagai kemungkinan yang dapat ditawarkan dalam analisis ekonomi untuk memecahkan persoalan ketimpangan dan kemiskinan.
IG dapat digunakan untuk menggali kebijakan alternatif yang akan diterapkan oleh Pemerintah Kabupaten Sleman dalam mengurangi ketimpangan distribusi pendapatan dan kemiskinan di wilayahnya. Pola konsumsi penduduk Kabupaten Sleman menunjukkan bahwa
pada tahun 2014 konsumsi non makanan lebih tinggi dibandingkan dengan konsumsi makanan yaitu 56,92 persen berbanding 43,08 persen.
Dari kurva Lorens, terlihat bahwa ketimpangan pendapatan di Kabupaten Sleman pada tahun 2014 lebih kebar dibandingkan pada tahun 2013.
Indeks Gini Kabupaten Sleman tahun 2014 sebesar 0,4082 dan termasuk kategori ketimpangan moderat, namun perlu mendapatkan perhatian. Dibandingkan tahun 2013 yang sebesar 0,3841, Indeks Gini Kabupaten Sleman mengalami peningkatan.
Berdasarkan kriteria Bank Dunia, pada tahun 2014 kelompok penduduk yang termasuk dalam kategori 40% pendapatan rendah memperoleh 16,44 persen dari total pendapatan penduduk se- Kabupaten Sleman, lebih rendah dibandingkan dengan yang diterima pada tahun 2013 (18,03 persen). Sedangkan kelompok penduduk yang termasuk dalam kategori 20% pendapatan tinggi menerima
48,20 persen total pendapatan penduduk se-Kabupaten Sleman, lebih tinggi dibandingkan dengan yang diterima pada tahun 2013 (46,93 persen).
Dari ketiga indikator di atas (kurva Lorenz, Indeks Gini, dan kriteria Bank Dunia) dapat disimpulkan tingkat kesenjangan pendapatan di Kabupaten Sleman semakin melebar.
2. Kegiatan Penghitungan Inflasi 2015
Tujuan Penghitungan Inflasi
Tujuan penghitungan inflasi dan IHK adalah untuk memantau gejolak perubahan harga di sektor riil yang terjadi di masyarakat, sehingga dapat dipakai sebagai informasi dasar untuk pengambilan keputusan dan penentuan kebijakan baik tingkat ekonomi mikro maupun makro.
Kegunaan angka inflasi
Secara spesifik kegunaan angka inflasi antara lain sebagai berikut :
a. Rumah Tangga/masyarakat, dapat memanfaatkan angka inflasi sebagai dasar penyesuaian kebutuhan sehari-hari dengan pendapatan mereka yang relatif tetap.
b. Indeksasi upah dan tunjangan gaji pegawai (Wage-Indexation). c. Penyesuaian Nilai Kontrak (Contractual Payment).
d. Eskalasi Nilai Proyek (Project Escalation). e. Penentuan Target Inflasi (Inflation Targeting).
f. Indeksasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Budget Indexation). g. Sebagai deflator penghitungan PDB, PDRB (GDP Deflator).
h. Sebagai proxy perubahan biaya hidup (Proxy of Cost of Living).
Metodologi :
a. Pemilihan Sampel
b. Penyusunan Paket Komoditas dan Diagram Timbang c. Penghitungan IHK
Penghitungan Angka Inflasi
Laju Inflasi/Deflasi Kumulatif
Laju Inflasi/DeflasiYear on Year Sumbangan Inflasi/Deflasi
Perkembangan Indeks Harga Konsumen
Indeks Harga Konsumen (IHK) merupakan salah satu indikator ekonomi yang sering digunakan untuk mengukur tingkat perubahan harga (inflasi/deflasi) di tingkat konsumen. Perubahan IHK dari waktu ke waktu menunjukkan pergerakan harga dari paket komoditas yang dikonsumsi oleh rumah tangga. Di Indonesia, tingkat inflasi diukur dari persentase perubahan IHK.
Mulai Januari 2014, pengukuran inflasi di Indonesia menggunakan IHK tahun dasar 2012=100. Ada beberapa perubahan yang mendasar dalam penghitungan IHK baru (2012=100) dibandingkan IHK lama (2007=100), khususnya mengenai cakupan kota, paket komoditas, dan diagram timbang. Perubahan tersebut didasarkan pada Survei Biaya Hidup (SBH) 2012 yang dilaksanakan oleh BPS, yang merupakan salah satu bahan dasar utama dalam penghitungan IHK. Hasil SBH 2012 sekaligus mencerminkan adanya perubahan pola konsumsi masyarakat dibandingkan dengan hasil SBH sebelumnya.
Pergerakan harga beberapa komoditas di Kabupaten Sleman pada triwulan kedua Tahun 2014 ini sangat mungkin terjadi karena pada bulan April – Mei merupakan musim panen padi sehingga persediaan komoditas bahan makanan pokok tersebut sudah mulai mencukupi yang mengakibatkan harga beras mulai turun. Sementara pada Bulan Juni 2014 justru terjadi kenaikan beberapa komoditas yang disebabkan naiknya permintaan karena dimulainya musim liburan anak sekolah dan memasuki awal Ramadhan.
Perubahan harga beberapa komoditas selama triwulan kedua pada tahun 2015 secara umum menunjukkan adanya kenaikan sehingga menyebabkan inflasi. Indeks Harga Konsumen (IHK) pada akhir triwulan kedua tercatat sebesar 115,97 lebih tinggi dibandingkan angka indek pada akhir triwulan pertama pada tahun 2015 yang mencapai 114,62 sehingga sampai dengan triwulan kedua Tahun 2015 Sleman mengalami inflasi 2,24 persen (laju inflasi pada tahun kalender 2015). Sedangkan inflasi year on year (perubahan Juni 2015 terhadap Juni 2014) sebesar 6,85 persen.
Inflasi Bulanan Bulan April 2015
Indeks Harga Konsumen Kabupaten Sleman pada bulan April 2015 mencapai 115,18 atau naik dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 114,52. Artinya, pada bulan April 2015 terjadi inflasi sebesar 0,57 persen.
Inflasi pada bulan April 2015 terjadi karena adanya kenaikan Indeks Harga Konsumen (IHK). Dari tujuh kelompok pengeluaran konsumsi yang dihitung IHK- nya, semua kelompok pengeluaran mengalami kenaikan, yaitu: kelompok transpor, komunikasi, dan jasa keuangan naik 1,51 persen; kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau naik 0,73 persen; kelompok bahan makanan 0,42 persen; kelompok kesehatan 0,35 persen; kelompok sandang 0,06 persen; kelompok pendidikan,rekreasi dan olahraga yang cenderung tidak ada perubahan.
Bulan Mei 2015
Selama bulan Mei 2015 angka indeks Sleman terhitung 115,42 atau lebih tinggi dibandingkan angka indek bulan sebelumnya yang mencapai 115,18. Dengan demikian terjadi inflasi pada bulan Mei 2015 sebesar 0,21 persen dengan laju inflasi pada tahun kalender 2015 (Mei 2015 terhadap Desember 2014) 1,76 persen.
Pada bulan ini, dari tujuh kelompok pengeluaran yang dihitung angka indeknya, 6 kelompok pengeluaran mengalami kenaikan angka indeks, yaitu: kelompok kesehatan naik 0,95 persen; kelompok transpor,komunikasi dan jasa keuangan naik 0,19 persen; kelompok bahan makanan naik 0,18 persen; kelompok pendidikan, rekreasi, dan olah raga naik 0,17 persen; kelompok perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar naik 0,11 persen. Sedangkan kelompok mengalami penurunan angka indek, adalah kelompok sandang turun 2,39 persen.
Bulan Juni 2015
Pada bulan Juni 2015 angka indeks mencapai 115,97 lebih tinggi dibandingkan angka indeks di bulan Mei yang sudah mencapai 115,42. Dengan demikian pada bulan ini terjadi inflasi sebesar 0,47 persen. Sedangkan laju inflasi tahun kalender sebesar 2,24 persen.
Selama bulan Juni 2015, dari tujuh kelompok pengeluaran yang dihitung angka indeknya, semua kelompok pengeluran mengalami kenaikan, yaitu: kelompok bahan makanan naik 1,53 persen; kelompok sandang naik 0,60 persen; kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau naik 0,51 persen; kelompok transpor, komunikasi dan jasa keuangan naik 0,32 persen; kelompok pendidikan, rekreasi dan olahraga naik 0,06 persen; kelompok kesehatan dan kelompok perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar masing-masing naik 0,01 persen.
Inflasi menurut Kelompok Pengeluaran
Kelompok bahan namakan:
Dari sebelas sub kelompok yang ada, enam sub kelompok mengalami kenaikan, yaitu:
sub kelompok padi-padian, umbi-umbian, dan hasilnya naik 18,00 persen; sub kelompok ikan segar naik 6,51 persen;
sub kelompok telur, susu dan hasil-hasilnya naik 7,19 persen; sub kelompok kacang-kacangan naik 13,27 persen;
sub kelompok lemak dan minyak naik 2,22 persen;
sub kelompok bahan makanan lainnya naik 12,37 persen. Sub kelompok yang mengalami penurunan :
sub kelompok daging dan hasil-hasilnya turun 7,65 persen; sub kelompok ikan diawetkan turun 4,11 persen;
sub kelompok sayur-sayuran turun 4,56 persen; sub kelompok buah-buahan turun 3,75 persen;
serta sub kelompok bumbu-bumbuan turun 23,05 persen.
Andil Komoditas yang Dominan Terhadap Laju Inflasi April 2015
Kelompok yang mengalami kenaikan harga sehingga memberikan andil inflasi pada bulan April 2015 adalah
kelompok transpor, komunikasi dan jasa keuangan sebesar 0,27 persen, kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau sebesar 0,14
kelompok bahan makanan dengan andil sebesar 0,08 persen,
kelompok bahan perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar memberikan andil sebesar 0,06 persen,
kelompok kesehatan dengan andil sebesar 0,02 persen. Komoditas yang memberikan andil terjadinya inflasi adalah : beras memberikan andil sebesar 0,3309 persen;
bensin (termasuk Pertamax) memberikan andil 0,2691 persen; air kemasan memberikan andil 0,0536 persen;
bahan bakar rumah tangga memberikan andil 0,0435 persen; roti tawar memberikan andil 0,0243 persen;
telur asin memberikan andil 0,0225 persen; telur ayam ras memberikan andil 0,0218; semen memberikan andil 0,0160 persen;
kenaikan tarif dokter spesialis memberikan andil 0,0150 persen; cabe merah memberikan andil 0,0147 persen.
Mei 2015
Kelompok pengeluaran yang memberikan andil paling besar dalam pembentukan angka inflasi adalah :
kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau dengan memberikan andil sebesar 0,16 persen,
kelompok kesehatan dengan andil 0,06 persen,
kelompok transpor, komunikasi dan jasa keuangan yang memberikan andil 0,04 persen, kelompok bahan makanan dan kelompok perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar dengan memberikan andil masing-masing sebesar 0,03 persen,
kelompok pendidikan, rekreasi dan olah raga memberikan andil 0,01 persen.
Kelompok pengeluaran yang dapat menahan laju inflasi adalah Kelompok sandang turun 0,12 persen.
Komoditas bahan makanan yang mengalami kenaikan harga sehingga memberikan andil terjadinya inflasi :
telur ayam ras memberikan andil sebesar 0,0827 persen; cabe merah memberikan andil sebesar 0,0426 persen; minuman ringan memberikan andil sebesar 0,0332 persen; bayam naik memberikan andil sebesar 0,0322 persen; nasi memberikan andil 0,0242 persen;
susu untuk balita memberikan andil 0,0219 persen; salak memberikan andil 0,0196 persen;
seragam sekolah anak memberikan andil 0,0188 persen; obat dengan resep memberikan andil 0,0186 persen.
Komoditas yang mengalami penurunan harga sehingga menjadi penahan laju inflasi adalah
beras memberikan andil sebesar -0,2070 persen;
cabe merah memberikan andil sebesar -0,1547 persen; memberikan andil sebesar -0,0666 persen;
minyak goreng memberikan andil -0,0219 persen; bawang merah memberikan andil -0,0144 persen; cabe rawit memberikan andil -0,0065;
jeruk memberikan andil -0,0057; kentang memberikan andil -0,0048; wortel memberikan andil -0,0038 persen
daun singkong memberikan andil -0,0029 persen.
Juni 2015
Kelompok yang memberikan andil positif terbesar adalah :
kelompok bahan makanan memberikan andil sebesar 0,28 persen,
kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau dengan memberikan andil sebesar 0,09 persen;
kelompok transpor, komunikasi dan jasa keuangan sebesar 0,06 persen; kelompok sandang memberikan andil sebesar 0,03 persen;
Komoditas yang mengalami kenaikan harga sehingga mempertinggi angka inflasi diantaranya adalah
bensin memberikan andil sebesar 0,0581 persen;
telur ayam ras memberikan andil sebesar 0,0534 persen; beras naik memberikan andil 0,0316 persen;
cabe merah memberikan andil sebesar 0,0304 persen; kelapa memberikan andil sebesar 0,0300 persen; petai memberikan andil sebesar 0,0,0289 persen; bawang merah memberikan andil 0,0270 persen; gudeg memberikan andil 0,0239 persen;
terong panjang memberikan andil 0,0212 persen; bayam memberikan andil 0,0206 persen.
Inflasi Tahun Kalender (Januari-Juni 2015)
Tingkat inflasi nasional periode Januari-Juni 2015 tercatat sebesar 0,96 persen atau lebih rendah 1,28 poin daripada inflasi Kabupaten Sleman pada periode yang sama.
Kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau mengalami inflasi tertinggi yaitu sebesar 3,30 persen;
kelompok kesehatan mengalami inflasi sebesar 2,76 persen;
kelompok perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar dengan inflasi sebesar 2,18 persen;
kelompok sandang sebesar 2,05 persen;
kelompok pendidikan, rekreasi dan olah raga sebesar 0,69 persen; kelompok bahan makanan sebesar 0,57 persen;
kelompok yang menghambat inflasi adalah kelompok transpor, komunikasi dan jasa keuangan sebesar -2,77 persen.
Inflasi Bulanan
Pada bulan April 2015, tingkat inflasi nasional mencapai -0,36 persen, lebih rendah 0,21 poin dibandingkan tingkat inflasi Kabupaten Sleman yang mencapai 0,57 persen.
Bulan Mei 2015 inflasi nasional sebesar 0,50 persen, lebih tinggi 0,29 poin dibandingkan dengan inflasi Kabupaten Sleman yang mencapai 0,21
persen. Pada bulan Juni 2015, tingkat inflasi nasional sebesar 0,54 persen, lebih tinggi 0,19 poin dibandingkan dengan inflasi Kabupaten Sleman yang sebesar 0,35 persen.
3. Kajian Ekonomi Pasca Erupsi Merapi
Penyusunan kajian ini bertujuan untuk desiminasi hasil penelitian/kajian yang dilakukan berbagai pihak terkait pasca erupsi Merapi kepada instansi terkait di lingkungan pemerintah Kabupaten Sleman sebagai bahan referensi ataupun untuk ditindaklanjuti dalam upaya percepatan pemulihan pasca erupsi Merapi.
Kajian ini berisi hasil penelitian yang dilakukan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi (BPTP) Yogyakarta untuk sektor pertanian dan PUM
Netherlands senior expert untuk sektor pariwisata dan ketersediaan air PDAM.
Disamping itu, atas ijin Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (DPPM) Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, dalam laporan ini juga dimasukkan sebagian hasil penelitian yang terdapat dalam prosiding seminar nasional yang diselenggarakan oleh DPPM UII Yogyakarta.
Hasil penelitian BPTP Yogyakarta adalah 1) Rehabilitasi Lahan Pasca Erupsi Gunung Merapi melalui Penanaman Sayuran dan 2) Penanaman Jagung Rapat untuk Penyediaan Pakan Ternak Pasca Erupsi Merapi. Untuk penelitian yang dilakukan PUM adalah 1) Gunung Merapi:the active volcano dan 2)Drinking
water Combined With Energy. Adapun hasil penelitian DPPM UII Yogyakarta
berupa: 1) Bangkit Cangkringan: Rancangan Strategi Recovery Industri Kecil Menengah Korban Erupsi Merapi, 2) Analisis Dampak Bencana Merapai terhadap Aktivitas Industri di Kawasan Cangkringan, 3) Kebijakan Pembiayaan pada UMKM untuk Pemulihan Ekonomi Pasca Erupsi Merapi, 4) Recovery Pengembangan Wisata Pasca Bencana Erupsi Merapi di Kawasan Kabupaten Sleman, 5) Pemulihan masyarakat Korban Erupsi Merapi melalui Pengadaan Tanaman Obat Keluarga (TOGA) sebagai bagian dari program Disaster Recovery
Planning(DRP) Tahun 2010, dan 6) Potensi Pemanfaatan Lahan Kawasan Merapi
sebagai Sentra Industri Minyak Atsiri. Beberapa hasil penelitian:
a) Sektor pertanian: rehabilitasi lahan pasca erupsi gunung Merapi yang dilakukan di Dusun Kopeng, Kepuharjo, Cangkringan dapat dilakukan dengan penanaman tanaman bayam, sawi, kangkung, dan daun bawang.
Pupuk yang digunakan berupa pupuk kandang dengan dosis 5 ton/ha, 10 ton/ha, 15 ton/ha dan tanpa pupuk kandang, selain itu juga menggunakan pupuk kimia dengan dosis yang sama pada semua perlakuan. Pengolahan tanah dengan mencampur abu dan pasir yang berada dibawahnya, serta diberi pupuk sesuai perlakuan. Hasil tertinggi diperoleh pada dosis pemupukan pupuk kandang 15 ton/ha yang dapat menghasilkan produksi bayam 10,27 kg (35 hari, 1 kali panen), sawi 15,98 kg (35 hari, 1 kali panen), kangkung 17,80 kg (60 hari, 2 kali panen) dan daun bawang 4,46 kg (80 hari, 1 kali panen). Adapun hasil analisis usahatani dengan luasan 250 m2 diperoleh keuntungan untuk satu kali panen pada tanaman bayam sebesar Rp745.500,00; pada tanaman sawi Rp1.039.500,00; pada tanaman daun bawang Rp 566.500,00; dan pada tanaman kangkung dengan dua kali panen sebesar Rp 1.471.000,00.
b) Sektor pariwisata: untuk pengembangan pariwisata di lereng Merapi pasca erupsi tahun 2010 dapat dilakukan dengan cara:
1) Keberadaan organisasi tunggal untuk pemasaran pariwisata bersama dengan lingkup wilayah 5 (lima) kabupaten/kota di DIY. 2) Menciptakan Merapi sebagai “branded icon”
3) Memperluas travel dialog
4) Memperbaiki “Guidebook Tourism Sleman”
5) Mengembangkan “airport welcome” dengan menggunakan alat visual (banner), informasi faktual (selebaran), dan pemberi informasi
6) Penyederhanaan struktur desa wisata
7) Mendirikan monumen memorial di pusat Desa Kinahrejo
8) Adanya “calendar event” untuk kegiatan seremonial dan kegiatan desa wisata
9) Menyebarkan informasi obyek wisata ke level nasional 10) Mengembangkan ‘’newsletter” yang informatif.
c) Sektor industri: untuk pemulihan ekonomi masyarakat di sektor industri, diperlukan permodalan dan pendampingan pada pelaku industri untuk memperbaiki sarana produksi atau membuka jenis usaha baru. Tingkat kerusakan pada sektor industri di wilayah Cangkringan mencapai hampir 50% dengan kelompok industri yang terkena dampak terbesar pada jenis
industri makanan dan industri batu/pasir. Ada dua potensi industri yang bisa dikembangkan pasca erupsi yaitu industri yang diolah dari bahan dasar batu dan pasir (seperti batako dan cobek) serta industri gula kelapa.
4. Penyusunan ICOR 2011
Salah satu indikator yang bisa digunakan untuk evaluasi dan perencanaan yang berkaitan dengan investasi adalah Incremental Capital Output Ratio (ICOR). Kegiatan penyusunan Indikator Ekonomi Daerah di Kabupaten Sleman Tahun Anggaran 2011 ini dimaksudkan untuk menghitung besaran ICOR di Kabupaten Sleman sebagai bahan pertimbangan dalam penentuan pencapaian target pertumbuhan ekonomi maupun capaian pembangunan pada umumnya.
Hasil kajian penyusunan indikator ekonomi (ICOR) Kabupaten Sleman Tahun 2011 adalah sebagai berikut :
a) Pada tahun 2010 perekonomian Kabupaten Sleman tumbuh sebesar 4,49 persen dengan sektor-sektor yang menjadi andalan adalah Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran yang memberikan konstribusi sebesar 22,76 persen, Sektor Jasa-jasa sebesar 18,80 persen, Sektor Industri Pengolahan sebesar 14,16 persen, dan Sektor Pertanian sebesar 13,02 persen.
b) Berdasarkan harga konstan 2000, perkembangan nilai investasi di Kabupaten Sleman selama lima terakhir terus mengalami peningkatan meski dengan laju pertumbuhan yang kurang menggembirakan, bahkan pada tahun 2010 hanya mampu tumbuh 2,10 persen. Perkembangan investasi PMA dan PMDN selama tiga tahun terakhir juga mengalami penurunan akibat faktor ekonomi global dan nasional.
c) Dari hasil perhitungan diperoleh dugaan koefisien ICOR Kabupaten Sleman tahun 2010 sebesar 8,69 lebih tinggi dari rata-rata ICOR Provinsi DIY sebesar 7,93 persen dan ICOR nasional pada tahun yang sama sebesar 4,43 persen. Secara sektoral nilai ICOR dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori. Pertama, ICOR negatif, yakni Sektor Pertanian dan Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran khususnya Subsektor Hotel yang memiliki nilai ICOR masing-masing -46,28 dan -4,49. Kedua, yakni sektor dan subsektor yang tercatat memiliki nilai ICOR tinggi (dua digit), meliputi
Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih (seluruh subsektor), Pengangkutan dan Komunikasi (Subsektor Pengangkutan) dan Sektor Jasa-jasa (Subsektor Pemerintahan Umum). Ketiga, sektor dan subsektor dengan nilai ICOR rendah (efisien), yang meliputi: Sektor Pertanian (Subsektor Perikanan), Sektor Pertambangan dan Penggalian, Sektor Industri Pengolahan, Sektor Perdagangan Hotel dan Restoran (Subsektor Perdagangan Besar dan Eceran dan Restoran), Sektor Pengangkutan dan Komunikasi (Subsektor Komunikasi), Sektor Keuangan, dan Sektor Jasa-jasa (Subsektor Swasta). d) Dengan skenario proyeksi pertumbuhan ekonomi, bahwa PDRB akan
tumbuh moderat berada pada kisaran 5 persen maka nilai ICOR lima tahun ke depan diprediksi masih berada pada kisaran 7 – 9 persen dengan kebutuhan investasi 2,49 – 2,82 trilyun rupiah per tahun.
e) Secara umum pelaku usaha (kegiatan perdagangan dan non perdagangan) optimis akan adanya peningkatan omzet dan jumlah produksi, yang disertai oleh peningkatan permintaan relatif jika dibandingkan tahun sebelumnya. Namun demikian, persepsi pelaku usaha untuk menambah investasi (pembentukan modal) relatif tetap jika dibanding tahun sebelumnya. Pelaku usaha juga memandang masih terdapat kendala dalam melakukan investasi, diantaranya adalah kesulitan modal dan masalah pemasaran.
Rekomendasi
1. Nilai ICOR Kabupaten Sleman secara total yang tinggi mencerminkan inefisiensi kinerja investasi yang kurang baik dan sekaligus kebutuhan akan investasi yang tinggi. Untuk itu, kebutuhan investasi bisa ditopang oleh dunia usaha mengingat keterbatasan anggaran pemerintah. Merespon hal tersebut maka, iklim usaha yang kondusif dan serangkaian kebijakan dan aturan maupun prosedur yang terkait dengan investasi untuk disederhanakan.
2. Mengendalikan perencanaan dan pengembangan investasi secara konsisten dan sistematis dalam rangka memperbaiki kinerja unit-unit kerja terkait di lingkungan Pemerintah Kabupaten Sleman yang menangani pengembangan investasi. Jika dipandang perlu, untuk merealisasikan target pencapaian investasi pada sektor tertentu yang dilandasi oleh implementasi
Rencana Aksi Pengembangan Investasi dapat dibuat business map
peluang investasi beserta bentuk-bentuk dukungan dari Pemerintah Kabupaten termasuk aspek perizininan dan insentif.
3. Pilihan terhadap sektor dan subsektor investasi dengan terlebih dahulu mempertimbangkan indikator seperti ICOR, serapan tenaga kerja, keterkaitan ke hulu dan hilir serta kepemilikan sumberdaya (resource endowment) penting untuk dilakukan. Namun demikian, bukan berarti meninggalkan atau menegasikan sektor dan subsektor yang tidak memenuhi kriteria dalam indikator-indikator yang digunakan.
4. Peran Investasi pemerintah melalui pengeluaran pembangunan dapat lebih difokuskan kepada pembenahan infrastruktur dan kelembagaan guna menunjang iklim investasi yang baik serta mereduksi munculnya potensi ekonomi biaya tinggi. Di samping itu, perlu diakomodir berbagai skema kerjasama pemerintah swasta (public private partnership) dalam investasi penyediaan barang-barang publik sebagai upaya mengatasi keterbatasan anggaran pemerintah.
5. Terhadap sektor-sektor yang memenuhi kriteria, (Nilai ICOR, kontribusi terhadap PDRB, serapan tenaga kerja, ketersediaan sumberdaya), sebagai beikut:
a. Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran
Mengembangkan Obyek dan Daya Tarik Wisata (ODTW), termasuk recovery kawasan Kaliurang.
Mengembangkan pemasaran pariwisata
Meningkatkan kapasitas pedagang pasar tradisional
Meningkatkan penataan pasar umum b. Sektor Pertanian
Mengembangkan sektor pertanian ke arah usaha agribisnis dengan memperkuat sistem pertanian tanaman pangan, peternakan, perikanan, kehutanan, dan perkebunan dalam artian luas
Meningkatkan ketahanan pangan daerah melalui penganekaragaman sumber daya pangan lokal, peningkatan
produksi hasil tanaman pangan dengan penerapan teknologi tepat guna
Meningkatkan penerapan teknologi tepat guna dibidang pertanian, perkebunan. peternakan, dan perikanan
Meningkatkan sarana dan prasarana tanaman pangan, kehutanan, perkebunan, peternakan, dan perikanan
Meningkatkan pemasaran hasil produksi pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan
Mengembangkan budidaya perikanan air tawar melalui pengembangan dan pengelolaan kawasan minapolitan
c. Sektor Industri Pengolahan
Meningkatkan kapasitas manajemen (produksi, pemasaran, keuangan, SDM) UMKM dan di sentra IKM
Mengembangkan sentra-sentra industri potensial
Mengembangkan industri yang menghasilkan input bagi sektor pertanian,dan pengolahan pasca panen (pembibitan, pembenihan, rekayasa, pengembangan makanan olahan).
Mengembangkan Industri Kecil dan Menengah (IKM) yang berorientasi ekspor dan banyak menyerap tenaga kerja
Meningkatkan sarana dan prasarana bidang perindustrian dan perdagangan
5. Kajian Perencanaan Ketenagakerjaan Daerah Kabupaten Sleman
Dokumen Perencanaan Ketenagakerjaan Daerah merupakan hasil analisis dan potret situasi ketenagakerjaan, permasalahan dan karakteristik ketenagakerjaan pada saat ini serta prediksinya di masa mendatang. Dokumen ini diharapakan menjadi acuan dalam perencanaan pembangunan ketenagakerjaan. Selanjutnya dalam pelaksanaannya, pembangunan ketenagakerjaan dapat berkesinambungan dan sejalan dengan perencanaan tenaga kerja provinsi maupun nasional. Perencanaan Ketenagakerjaan Daerah dijabarkan dalam perencanaan program dan kegiatan pembangunan ketenagakerjaan sebagai bentuk dari peta pembangunan ketenagakerjaan daerah, serta sebagai acuan
dalam penentuan indek pembangunan ketenagakerjaan sebagai ukuran keberhasilan pembangunan ketenagakerjaan.
Pembangunan bidang ketenagakerjaan bukan hanya menjadi tanggung jawab Dinas Tenaga Kerja, Sosial dan Transmigrasi semata, tetapi hal ini menjadi tanggung jawab bersama semua pihak baik pemerintah dalam hal ini pemerintah daerah, dunia usaha, masyarakat dan lembaga ketenagakerjaan. Secara makro permasalahan ketenagakerjaan yang muncul adalah rendahnya tingkat partisipasi angkatan kerja, tingginya angka pengangguran, pertumbuhan kesempatan kerja yang lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan tenaga kerja. Secara mikro permasalahan yang muncul adalah unskill labor ( tenaga kerja tidak terampil) termasuk mismatch antara output dunia pendidikan dengan pasar tenaga kerja),