• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bidang Kegiatan Pertanian Sawah: Strategi Pemilik Lahan

TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Bidang Kegiatan Pertanian Sawah: Strategi Pemilik Lahan

Sistem gadai hanya akan dilakukan pemilik sawah dalam keadaan yang sangat terpaksa. Tentang kontrak maro jika pemilik lahan adalah seorang ayah, maka kontrak maro dilakukan oleh seorang anak atas alasan-alasan hubungan kekerabatan, pertama untuk membantu rumah tangga ekonomi rumah tangga anak tersebut. Kedua adalah untuk mendidik anak dalam mengelola pekerjaan di sawah. Pada suatu hari dipertimbangkan sawah yang dipatronkan itu akan jatuh kepada anak tersebut sebagai warisan orang tua.

Penggunaan buruh tani dari sudut pandang pemilik sawah adalah akibat pasokan buruh yang melimpah, maka tingkat upah buruh sangat bersaing. Situasi seperti ini beserta tekanan moral pedesaan untuk membantu tetangga dan hidup rukun dengan tetangga mendorong pemilik lahan untuk tidak mencari tenaga buruh dari luar kampung sendiri. Kalau kita lama hidup dalam sebuah kampung akan terasa aneh jika terjadi seorang pemilik sawah menyewa buruh tani dari kampung lain. Hal yang serupa juga terjadi dengan persewaan kerbau untuk pekerjaan membajak dan menggaru, bahkan untuk sawah-sawah yang terletak di luar kampung sendiri, para pemilik lahan tetap akan mempekerjakan para buruh yang dibawa dari kampung sendiri.

Pada situasi melimpahnya buruh tani tunakisma yang mencari kerja di sawah dan meluasnya kemiskinan, pekerjaan berupah adalah semacam sesuatu yang diidam-idamkan dan memberi pekerjaan semacam itu kepada seseorang dapat dipandang sebagai sebuah kemurahan hati. Memberikan pekerjaan kepada tetangga adalah semacam pembayaran premi asuransi bagi keamanan hidup sang

pemilik lahan. Dengan berbuat demikian, mereka berharap buruh tani yang mereka tolong itu akan menolong mereka pula nanti jika bila diperlukan.

Masyarakat desa berpendapat bahwa hanya tetanggalah yang akan segera datang menolong mereka ketika mendapat kesusahan. Kerabat yang tinggal di kampung lain secara teknis susah untuk menolong, karena jarak tempat tinggal yang jauh. Di kampung-kampung sisi dimana lembaga formal tidak ada dalam sebagian besar orang bergantung kepada tetangga. Inilah alasan utama mengapa muncul situasi umum di pedesaan Cikalong, dan di Jawa umumnya, bahwa “The villagers place importance upon lending immediate assistance to people living nearby” (Jay 1969: 237 dalam Marzali 2003: 108).

Memberikan pekerjaan dengan upah kepada seorang buruh lepas sebagai satu kemurahan hati diberikan secara terbatas. Apabila tenaga kerja keluarga di rumah tidak cukup, maka bantuan tenaga dari luar dicari pertama dari kalangan kerabat dekat, yaitu anak menantu dan saudara yang tinggal di kampung yang sama. Selain itu dari kalangan tetangga dekat. Biasanya untuk pekerjaan- pekerjaan yang kecil seperti memacul waktu mempersiapkan lahan, caplak, dan menyiang, tenaga kerja dari kedua golongan ini sudah mencukupi. Hal ini juga nampaknya berlaku di tempat-tempat lain di Jawa (Marzali 2003: 108). Di luar kedua golongan di atas barulah tenaga buruh bebas diambil dari kalangan

di Kendal Jawa Tengah untuk memahami kondisi pada zaman Orde Lama bahwa “perubahan sistem penguasaa tanah juga telah menyebabkan perubahan sistem produksi pertanian”. Sebelum tahun 1960, ada tiga jenis hak penguasaan tanah komunal, yaitu hak bengkok, hak banda desa, hak narawita, serta satu yang bersifat individual yaitu hak yasan. Saat itu, tanah yasan mencakup 76,7 persen dari total tanah di desa tersebut. Penerapan UUPA tahun 1960 menyebabkan konversi tanah yang semula berdasarkan hukum adat (komunal) menjadi hak milik.

Hak narawita, secara de facto sudah menjadi milik individual, sehingga penjualan tanah berkembang, peluang tunakisma untuk menggarap mengecil, dan mobilitas penguasaan cenderung sentrifugal atau terpolarisasi. Bersamaan dengan itu, sistem produksi yang semula dilandasi nilai-nilai tradisional digantikan oleh sistem produksi komersial. Organisasi produksi dari sebelumnya berupa pola-pola penyakapan seperti maro, merapat, merlimo, lebotan, bawon, dan mutu digantikan dengan pola dengan penyewaan, buruh lepas, panen tebasan, dan penggilingan padi mekanis. Temuan ini didukung oleh Hayami dan Kikuchi (1987) dalam Syahyuti (2001), yang menemukan bahwa “Kesamaan dampak revolusi hijau di Indonesia dan Filipina”. Tranformasi sistem sosial pedesaan ini juga didukung oleh Temple (1976) dalam Syahyuti (2001) melihat bahwa “Adanya evolusi desa Jawa dari desa komunal (1830-1870), dilanjutkan desa tradisional (1870-1959), dan terakhir desa komersial bersamaan dengan era revolusi hijau”.

antar lapisan petani”. Kondisi sebelum tahun 1960 dimana masyarakat terbagi atas tiga lapisan sosial, yaitu sarekat (pemegang hak bengkok), sikep ngajeng (pemegang hak narawita) dan sikep wingking (tunakisma) dilandasi hubungan “patron–klien”; berubah menjadi hubungan berdasarkan nilai-nilai komersial pola tuan tanah

tertentu dari permukaan tanah. Hal tersebut menyebabkan pemilikan atas tanah tidak hanya mengenai hak milik saja melainkan juga termasuk hak guna atas tanah yaitu suatu hak untuk memperoleh hasil dari tanah bukan miliknya dengan cara menyewa, menggarap dan lain sebagainya. Kemudian bagaimanakah keadaan diferensiasi luas pemilikan tanah? Ini harus diteliti dengan wawancara langsung dengan penduduk desa. Yang harus diperjelas ialah bukan

kebutuhan konsumen (Soeharjo dan Patong, 1973). Strategi berasal dari kata Yunani Strategos dan Strategia, istilah strategi yang dipakai berarti pengetahuan dan seni menangani sumber-sumber yang tersedia dari suatu perusahaan (petani lapisan atas) untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang diinginkan. Strategi adalah alat untuk mencapai tujuan jangka panjang. Strategi adalah tindakan potensial yang membutuhkan keputusan manajemen tingkat atas dan sumberdaya perusahaan (petani lapisan atas) dalam jumlah yang besar. Petani lapisan atas merupakan petani yang akses pada sumberdaya lahan, kapital, mampu merespon teknologi dan pasar dengan baik, serta memiliki peluang berproduksi yang berorientasi keuntungan (Elizabeth, 2007: 30).

Pengelolaan atau manajemen usahatani adalah kemampuan petani dalam menentukan, mengorganisir dan mengkordinasikan faktor-faktor produksi yang dikuasai dengan sebaik mungkin sehingga mampu memberikan produksi pertanian yang diharapkan. Faktor-faktor produksi yang dikelola oleh petani adalah: lahan atau tanah garapan, alokasi penggunaan tenaga kerja, modal, dan kegiatan usahatani padi sawah.

Tenaga kerja dalam usahatani sangat diperlukan dan berpengaruh terhadap penyelesaian berbagai macam kegiatan produksi usahatani. Jenis tenaga kerja dibagi menjadi tiga yaitu: tenaga kerja manusia, hewan, dan mesin. Tenaga kerja yang menjadi faktor produksi dalam penelitian ini adalah tenaga kerja manusia. Modal adalah barang atau uang yang secara bersama-sama dengan faktor produksi lain digunakan untuk menghasilkan barang dan jasa, yaitu produk pertanian. Sumber modal diperoleh dari; milik sendiri, pinjaman, kredit, hadiah, warisan, usaha lain atau kontrak sewa.