• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Struktur Agraria: Dinamika Struktur Agraria Dulu dan Sekarang

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Struktur Agraria: Dinamika Struktur Agraria Dulu dan Sekarang

Secara kategoris, subyek agraria dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu komunitas (sebagai kesatuan dari unit-unit rumah tangga), pemerintah (sebagai representasi negara) dan swasta (private sector). Ketiga kategori sosial tersebut adalah pemanfaat sumber-sumber agraria, yang memiliki ikatan dengan sumber- sumber agraria melalui institusi penguasaan/pemilikan (tenure institution). Hubungan penguasaan/pemilikan/pemanfaatan seperti sumber-sumber agraria menunjuk pada dimensi sosial dalam hubungan-hubungan agraria. Hubungan penguasaan/pemilikan/pemanfaatan membawa implikasi terbentuknya ragam hubungan sosial, sekaligus interaksi sosial, antara ketiga kategori subyek agraria.1 Untuk keterangan lebih lanjut dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.

Gambar 1. Lingkup hubungan-hubungan agraria.

1

MT. Felix Sitorus. Lingkup Agraria dalam Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi. 2002. Bandung: Yayasan Akatiga.

Struktur agraria yang dapat dilihat ialah hubungan antara subyek dengan sumber-sumber agraria berkenaan dengan penguasaan lahan, pemilikan lahan dan pemanfaatan lahan. Menurut Sitorus (2002: 34-35) sumber-sumber agraria mencakup tanah, perairan, hutan, bahan tambang dan udara dalam bentangan wilayah. Sistem tenurial yang umum diterapkan petani jika dilihat dari segi penguasaan lahan ialah sistem bagi hasil (maro), sistem gadai, dan sistem sewa. Setiap sistem yang diterapkan memiliki latar belakang dan faktor yang berbeda- beda, tergantung kepada

disewakan untuk jangka waktu yang lama (Arsip Nasional 1974: 21 dalam White dan Wiradi 1979: 17).

Di daerah Sumedang, Garut, Cirebon dan Majalengka, golongan tuan tanah kebanyakan terdiri dari haji-haji, kepala-kepala desa dan tokoh-tokoh pribumi lainnya, sedangkan di Indramayu terdapat pula cukup banyak tuan-tuan tanah Tionghoa. Semua daerah tersebut di atas, penguasaan tanah-tanah luas dinyatakan meningkat selama periode 1880-1905 (MWO, Economie van de Desa, Preanger Regentschappen 1907: 13-18; Residentie Cirebon 1907: 13-14 dalam White dan Wiradi 1979: 17). Penyebab proses konsentrasi penguasaan tanah adalah semua sumber menghubungkannya dengan proses komersialisasi ekonomi pedesaan dan terutama dengan meningkatnya pinjaman uang, yang oleh Meyer Ranneft dilukiskan sebagai “suatu gejala khas dari masuknya lalu lintas uang ke dalam rumah tangga ekonomi petani, dan dari kekuasaan uang yang bagaikan setan” (Arsip Nasional 1974: 21 dalam White dan Wiradi 1979: 18).

Perlu dicatat bahwa timbulnya golongan pemilik tanah luas sebagai akibat komersialisasi tidak disertai oleh timbulnya suatu golongan petani luas. Menurut Ploegsma,

“Pemilikan tanah luas tentu tidak mengakibatkan usaha-usaha tani luas. Tanah-tanah yang dikuasai oleh golongan pemilik luas disewakan atau dibagi hasilkan kepada penggarap-penggarap lain; dengan demikian, dari segi ekonomi pertanian, pola usahatani kecil-kecilan tetap bertahan” (Ploegsma 1936: 61 dalam White dan Wiradi 1979: 18).

Nampaknya konsentrasi pemilikan bukanlah disertai oleh konsentrasi luas usahatani melainkan oleh suatu tingkat penyakapan yang tinggi dimana sejumlah besar petani bukan pemilik, yang masing-masing diberikan usahatani kecil atas dasar sewa atau bagi hasil. Pada permulaan abad ke-20, tingkat penyakapan di

daerah Priangan termasuk diantara yang tertinggi di Jawa, sedangkan di Cirebon sedikit dibawah rata-rata (Scheltema 1931: 271 dalam White dan Wiradi 1979: 18).

White dan Wiradi (1979: 19-20) menyatakan bahwa “bukanlah pola-pola penguasaan tanah merupakan hal yang statis yang tidak pernah berubah selama satu abad terakhir. Justru sebaliknya, perbandingan masa kini dan masa lalu menunjukan adanya suatu proses perubahan yang sangat dinamis, dan lagi bahwa masing-masing daerah mempunyai dinamika sendiri”. Namun demikian, agaknya penting untuk mengartikan bahwa pola-pola yang kelihatan sekarang, seperti variasi lokal dalam luas tanah bengkok, ketunakismaan, ketidakmerataan diantara pemilik tanah, timbulnya suatu golongan pemilik tanah luas, bertahannya pola usahtani kecil-kecilan berkat lembaga penyakapan, dan sebagainya. Semuanya merupakan akibat dari suatu proses dinamika yang telah dimulai pada zaman nenek moyang kita, sehingga benar-benar disebut sebagai warisan sejarah. Kegiatan sewa dan sakap ini berkembang dengan baik melalui instrumen kesepakatan antara pemilik tanah dan penggarap, umumnya penyewaan dan atau penyakapan didasarkan pada alasan ekonomi untuk meningkatkan usahanya.

Menurut Shanin (1971) dalam Subali (2005), terdapat empat karakteristik utama petani. Pertama, petani adalah pelaku ekonomi yang berpusat pada usaha milik keluarga. Kedua, menggantungkan kehidupan mereka kepada lahan. Bagi petani, lahan pertanian adalah segalanya. Lahan dijadikan sebagai sumber yang diandalkan untuk menghasilkan bahan pangan keluarga, harta benda yang lebih tinggi, dan ukuran terpenting bagi status sosial. Ketiga, petani memiliki budaya yang spesifik yang menekankan pemeliharaan tradisi dan konformitas serta

solidaritas sosial. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya keterbukaan petani berlahan luas untuk mempekerjakan petani yang tidak memiliki lahan atau berlahan sempit. Semua itu didorong oleh rasa solidaritas diantara sesama petani. Keempat, petani cenderung sebagai pihak yang tersubordinasi namun tidak dengan mudah ditaklukkan oleh kekuatan ekonomi, budaya dan politik eksternal yang mendominasi mereka.

Penelitian yang dilakukan oleh Husken (1998) di Desa Gondosari, Pati, Jawa Tengah dapat dijadikan sebagai salah satu bahan acuan mengenai ciri-ciri petani di Indonesia pada saat ini. Menurut dia, ciri yang pertama adalah bahwa petani bermata pencaharian ganda, selain bertani mereka juga memiliki pekerjaan sampingan, seperti pedagang, buruh, supir. Melihat kenyataan dilapangan, pekerjaan sampingan tersebut ternyata merupakan pekerjaan pokoknya Ciri kedua, tanaman yang diproduksi petani ialah tanaman yang tidak berisiko tinggi, artinya teknologinya dapat dengan mudah dikuasai, misalnya tanaman talas, pisang, dan umbi-umbian. Pertimbangan lainnya ialah petani paham ke mana pasar bagi tanaman yang diusahakan serta menguntungkan secara ekonomi. Ciri ketiga, motif berusaha petani ialah mencari keuntungan yang dilakukan dengan mengintensifkan penggunaan lahan yang hasilnya akan dijual untuk mendapatkan uang tunai. Ciri keempat petani ialah bagian dari sistem politik yang lebih besar yang ditunjukkan oleh adanya partai-partai politik yang berpengaruh pada mereka juga terhadap kepemimpinan di desa. Adapun ciri yang terakhir adalah bahwa petani subsisten secara mutlak tidak ada, karena petani mempunyai hubungan yang kuat terhadap pasar tempat menjual hasil pertaniannya atau bahkan membeli barang di pasar untuk dijual di desanya dengan harapan memperoleh keuntungan.

Menurut Elizabeth (2007: 30) penerapan paradigma modernisasi yang mengutamakan prinsip efisiensi dalam pelaksanaan pembangunan pertanian menyebabkan terjadinya perubahan struktur sosial masyarakat petani di pedesaan. Berbagai proses pelaksanaan pembangunan, terutama industrialisasi, dalam jangka menengah dan panjang menyebabkan terjadinya perubahan struktur pemilikan lahan pertanian, pola hubungan kerja dan struktur kesempatan kerja, serta struktur pendapatan petani di pedesaan. Terkait dengan struktur pemilikan lahan, perubahan tersebut mengakibatkan terjadinya: (1) petani lapisan atas; merupakan petani yang akses pada sumberdaya lahan, kapital, mampu merespon teknologi dan pasar dengan baik, serta memiliki peluang berproduksi yang berorientasi keuntungan; dan (2) petani lapisan bawah; sebagai golongan mayoritas di pedesaan yang merupakan petani yang relatif miskin (dari segi lahan dan kapital), hanya memiliki faktor produksi tenaga kerja. Untuk memenuhi kebutuhan berproduksi, kedua lapisan masyarakat petani tersebut terlibat dalam hubungan kerja yang kurang seimbang.