STRATEGI EKONOMI PETANI LAPISAN ATAS
DALAM MENGAKUMULASI MODAL
(Studi Kasus di Desa Ciasmara, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)
FAHROZI HARDI
DEPARTEMEN SAINS
KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
ABSTRACT
The group of rich peasant, who has surplus income from agriculture, could invest the surplus in the business capital intensive, business that provides a relatively large income. Rich peasant have a large range of non-agricultural sources, which in turn gave establish the process of capital accumulation and investment of mutual support both agriculture and non agriculture among the rural elite. The process of capital accumulation rich peasant households in socio-economic field in daily life can be seen from the mechanism of surplus and investment of surplus farm households. The mechanism of surplus in this research saw the traditional land owners, modern land owners and entrepreneur land owners. This mechanism can be used as guidelines to explain the investment of surplus rice farming activities which the community predominantly livelihood is peasant. Furthermore the role of rich peasant in rural development are through resources and employment, technology transfer and institutional. From the rich peasant economic strategy in the accumulation of capital can be seen the type of rich peasant in the village.
Key words: rich peasant, the process of capital accumulation, the role of rich peasant in
RINGKASAN
FAHROZI HARDI. Strategi Ekonomi Petani Lapisan Atas Dalam Mengakumulasi Modal (Di bawah bimbingan SATYAWAN SUNITO).
Kritisi Tjondronegoro dan Wiradi (1984: 271) dari penjelasan mengenai keberhasilan suatu pembangunan (di daerah pedesaan) akan banyak bertumpu pada petani-petani maju yang bertindak sebagai pelaku pembangunan (agent of development), oleh karena merekalah yang menunjukkan daya tanggap (responsiveness) yang lebih besar terhadap semua inovasi dan perbaikan teknik serta merekalah yang lebih mudah didekati oleh dinas-dinas pemerintah. Tersirat di dalam anggapan itu suatu aci-acian bahwa petani maju akan menjadi teladan bagi petani-petani miskin yang diharapkan segera mengikuti teladan tersebut karena mereka bisa mengamati secara dekat. Inovasi diharapkan akan tersebar di segala penjuru dan ke segenap lapisan masyarakat desa. Pendekatan ini oleh Wertheim yang juga pengkritisi pembangunan tersebut disebut betting on the strong (Wertheim, 1964 dalam Tjondronegoro dan Wiradi, 1984: 271).
Sinaga dan White (1979) dalam Wiradi (1985: 47-48) menyatakan bahwa golongan petani luas yang mempunyai surplus pendapatan dari pertanian, mampu menginvestasikan surplusnya itu pada usaha-usaha padat modal tetapi yang memberikan pendapatan yang relatif besar (misalnya, alat-alat pengolahan hasil pertanian, berdagang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya). Karenanya mereka mencari pekerjaan di luar pertanian yang padat tenaga kerja dan/atau modal kecil, tapi memberikan pendapatan yang relatif rendah, misalnya kerajinan tangan, bakul es, warung kecil dan sebagainya). Semua ini berarti bahwa petani luaslah yang lebih mempunyai jangkauan terhadap sumber besar non-pertanian, yang pada gilirannya melahirkan proses akumulasi modal dan investasi yang saling menunjang baik bidang pertanian maupun non-pertanian diantara golongan elite pedesaan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami proses akumulasi modal petani lapisan atas melalui mekanisme surplus dan investasi surplus pada kegiatan pertanian. Selain itu juga memahami peran petani lapisan atas di dalam pembangunan pedesaan. Pada akhirnya akan memahami proses akumulasi modal dan peran petani lapisan atas menyebabkan strategi ekonomi petani lapisan atas dalam mengakumulasi modal. Pendekatan penelitian kualitatif menggunakan studi riwayat hidup. Studi riwayat hidup atau tepatnya riwayat hidup individu adalah bahan keterangan tertulis mengenai pengalaman kehidupan individu-individu tertentu, sebagai warga dari suatu masyarakat yang sedang diteliti.
investasi surplus kegiatan pertanian sawah di Desa Ciasmara yang mayoritas penduduknya memiliki mata pencaharian sebagai petani.
Hasil penelitian menunjukan bahwa H. Aw (90 Tahun) merupakan salah satu petani lapisan atas di desa yang memiliki akses yang sangat kuat dalam sektor pertanian terutama dalam hal kepemilikkan lahan pertanian yang dikuasainya. Sistem kontrak atau sewa lahan yang disewakan H. Aw dibayarkan setelah panen dan dicatat dalam buku catatan miliknya. Lahan yang dimiliki H. Aw seluas 100 Gedeng atau sekitar 17 hektar. Petani Penggarap lahan milik H. Aw biasanya merupakan orang yang berada disekitar lahan yang dimilikinya dan juga merupakan orang kepercayaan yang sudah bekerja relatif lama. Keseharian hidup yang sederhana dan tidak berpola konsumtif, alat-alat pekerjaan yang terpenuhi dengan baik dan bahan baku yang besar yang didapat rumah tangga petani Haji Aw maka dari hasil perdagangan atau pertukaran produk menghasilkan surplus yang besar. Surplus pada proses reproduksi semuanya digunakan kembali untuk membangun sektor pertanian dengan membeli lahan pertanian dan ternak kerbau. Proses diferensiasi yakni menyisihkan sebagian keuntungan untuk memberangkatkan pergi Haji ke Tanah Suci Mekkah kepada keluarganya.
H. At (58 Tahun) merupakan salah satu petani lapisan atas dalam bidang pendidikan di desa dan juga memiliki akses yang sangat kuat dalam sektor pertanian terutama dalam hal peran yang besar pada kelompok tani di desa selain kepemilikan lahan pertanian yang dikuasainya. Keseharian hidup yang sejahtera, alat-alat pekerjaan yang dapat terpenuhi dan bahan baku yang mencukupi di dapat rumah tangga petani H. At maka dari hasil perdagangan atau pertukaran produk menghasilkan surplus. Surplus pada reproduksi proses semuanya digunakan kembali untuk membangun sektor pertanian dengan menyiapkan alat-alat produksi. Proses diferensiasi yakni menyisihkan sebagian keuntungan untuk penyediaan sarana dan prasarana membangun kelompok tani. Pada akhirnya dapat menjadi akumulasi modal rumah tangga petani tersebut.
Haji Ong (47 Tahun) merupakan salah satu petani lapisan atas dalam di desa dan juga memiliki akses yang sangat kuat dalam sektor pertanian terutama dalam hal kepemilikan lahan pertanian di desa yang semuanya telah disewakan kepada penggarap dan sekarang beliau bekerja pada sektor non pertanian yakni berdagang bahan bangunan dengan mendirikan toko yang besar di desa. Keseharian hidup yang sangat modern dan melalui pembayaran sewa lahan dari petani penggarapnya yang didapat rumah tangga petani H. Ong maka dari hasil perdagangan atau pertukaran produk menghasilkan surplus. Surplus pada proses reproduksi sebagian dijadikan proses diferensiasi yakni rumah tangga petani menginvestasikan surplus dari sektor pertanian ke sektor non pertanian yakni berdagang toko bangunan yang akhirnya dapat menjadi akumulasi modal rumah tangga petani tersebut.
hasil panen sebesar 50 gedeng sama dengan 500 liter wajib diberikan kepada H. Aw sebagai biaya sewa lahan.
STRATEGI EKONOMI PETANI LAPISAN ATAS
DALAM MENGAKUMULASI MODAL
(Studi Kasus di Desa Ciasmara, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)
Oleh
Fahrozi Hardi I34052671
SKRIPSI
Sebagai Syarat untuk Mendapatkan Gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS
KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN
MASYARAKAT
Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh:
Nama : Fahrozi Hardi
NRP : I34052671
Judul : Strategi Ekonomi Petani lapisan Atas Dalam
Mengakumulasi Modal
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Satyawan Sunito NIP. 19630904 199002 2 001
Mengetahui,
Departemen Sains Komunikasi Dan Komunikasi Pengembangan Masyarakat Ketua
Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS NIP.19580827 198303 1 001
LEMBAR PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “STRATEGI EKONOMI PETANI LAPISAN ATAS DALAM MENGAKUMULASI MODAL” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, 31 Agustus 2009
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 26 Juni 1986 dari ayah
Muhammad Azwar Nasution dan ibu Intan Nurilam. Penulis merupakan anak
ketiga dari tiga bersaudara.
Tahun 2005 penulis lulus dari SMAN 47 Jakarta dan pada tahun yang
sama lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan
Seleksi Mahasiswa IPB (USMI). Penulis memilih Departemen Sains Komunikasi
dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi anggota Divisi
Broadcasting pada Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (Himasiera) pada tahun 2007. Selain itu penulis
menjadi asisten dosen matakuliah Sosiologi Umum selama dua semester: semester
genap pada tahun 2007, semester gasal pada tahun 2008 dan juga menjadi asisten
dosen matakuliah Perubahan Sosial semester gasal pada tahun 2008. Penulis
mendapatkan bantuan beasiswa untuk mendanai biaya perkuliahan dari tiga
sumber: Beasiswa Bank Rakyat Indonesia (BRI) pada tahun 2007, Beasiswa
Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) pada tahun 2008, dan Beasiswa Bantuan
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini
ditujukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Judul yang dipilih dalam skripsi ini adalah Strategi Ekonomi Petani Lapisan Atas
Dalam Mengakumulasi Modal.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) memahami proses akumulasi modal
rumah tangga petani lapisan atas; (2) memahami peran petani lapisan atas di
dalam pembangunan pedesaan; dan (3) memahami strategi ekonomi petani lapisan
atas dalam mengakumulasi modal. Penelitian ini dapat menjadi proses
pembelajaran bagi peneliti dalam memahami fenomena sosial yang terjadi di
lapangan. Demikian skripsi ini penulis sampaikan semoga bermanfaat.
Bogor, 31 Agustus 2009
Fahrozi Hardi
STRATEGI EKONOMI PETANI LAPISAN ATAS
DALAM MENGAKUMULASI MODAL
(Studi Kasus di Desa Ciasmara, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)
FAHROZI HARDI
DEPARTEMEN SAINS
KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
ABSTRACT
The group of rich peasant, who has surplus income from agriculture, could invest the surplus in the business capital intensive, business that provides a relatively large income. Rich peasant have a large range of non-agricultural sources, which in turn gave establish the process of capital accumulation and investment of mutual support both agriculture and non agriculture among the rural elite. The process of capital accumulation rich peasant households in socio-economic field in daily life can be seen from the mechanism of surplus and investment of surplus farm households. The mechanism of surplus in this research saw the traditional land owners, modern land owners and entrepreneur land owners. This mechanism can be used as guidelines to explain the investment of surplus rice farming activities which the community predominantly livelihood is peasant. Furthermore the role of rich peasant in rural development are through resources and employment, technology transfer and institutional. From the rich peasant economic strategy in the accumulation of capital can be seen the type of rich peasant in the village.
Key words: rich peasant, the process of capital accumulation, the role of rich peasant in
RINGKASAN
FAHROZI HARDI. Strategi Ekonomi Petani Lapisan Atas Dalam Mengakumulasi Modal (Di bawah bimbingan SATYAWAN SUNITO).
Kritisi Tjondronegoro dan Wiradi (1984: 271) dari penjelasan mengenai keberhasilan suatu pembangunan (di daerah pedesaan) akan banyak bertumpu pada petani-petani maju yang bertindak sebagai pelaku pembangunan (agent of development), oleh karena merekalah yang menunjukkan daya tanggap (responsiveness) yang lebih besar terhadap semua inovasi dan perbaikan teknik serta merekalah yang lebih mudah didekati oleh dinas-dinas pemerintah. Tersirat di dalam anggapan itu suatu aci-acian bahwa petani maju akan menjadi teladan bagi petani-petani miskin yang diharapkan segera mengikuti teladan tersebut karena mereka bisa mengamati secara dekat. Inovasi diharapkan akan tersebar di segala penjuru dan ke segenap lapisan masyarakat desa. Pendekatan ini oleh Wertheim yang juga pengkritisi pembangunan tersebut disebut betting on the strong (Wertheim, 1964 dalam Tjondronegoro dan Wiradi, 1984: 271).
Sinaga dan White (1979) dalam Wiradi (1985: 47-48) menyatakan bahwa golongan petani luas yang mempunyai surplus pendapatan dari pertanian, mampu menginvestasikan surplusnya itu pada usaha-usaha padat modal tetapi yang memberikan pendapatan yang relatif besar (misalnya, alat-alat pengolahan hasil pertanian, berdagang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya). Karenanya mereka mencari pekerjaan di luar pertanian yang padat tenaga kerja dan/atau modal kecil, tapi memberikan pendapatan yang relatif rendah, misalnya kerajinan tangan, bakul es, warung kecil dan sebagainya). Semua ini berarti bahwa petani luaslah yang lebih mempunyai jangkauan terhadap sumber besar non-pertanian, yang pada gilirannya melahirkan proses akumulasi modal dan investasi yang saling menunjang baik bidang pertanian maupun non-pertanian diantara golongan elite pedesaan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami proses akumulasi modal petani lapisan atas melalui mekanisme surplus dan investasi surplus pada kegiatan pertanian. Selain itu juga memahami peran petani lapisan atas di dalam pembangunan pedesaan. Pada akhirnya akan memahami proses akumulasi modal dan peran petani lapisan atas menyebabkan strategi ekonomi petani lapisan atas dalam mengakumulasi modal. Pendekatan penelitian kualitatif menggunakan studi riwayat hidup. Studi riwayat hidup atau tepatnya riwayat hidup individu adalah bahan keterangan tertulis mengenai pengalaman kehidupan individu-individu tertentu, sebagai warga dari suatu masyarakat yang sedang diteliti.
investasi surplus kegiatan pertanian sawah di Desa Ciasmara yang mayoritas penduduknya memiliki mata pencaharian sebagai petani.
Hasil penelitian menunjukan bahwa H. Aw (90 Tahun) merupakan salah satu petani lapisan atas di desa yang memiliki akses yang sangat kuat dalam sektor pertanian terutama dalam hal kepemilikkan lahan pertanian yang dikuasainya. Sistem kontrak atau sewa lahan yang disewakan H. Aw dibayarkan setelah panen dan dicatat dalam buku catatan miliknya. Lahan yang dimiliki H. Aw seluas 100 Gedeng atau sekitar 17 hektar. Petani Penggarap lahan milik H. Aw biasanya merupakan orang yang berada disekitar lahan yang dimilikinya dan juga merupakan orang kepercayaan yang sudah bekerja relatif lama. Keseharian hidup yang sederhana dan tidak berpola konsumtif, alat-alat pekerjaan yang terpenuhi dengan baik dan bahan baku yang besar yang didapat rumah tangga petani Haji Aw maka dari hasil perdagangan atau pertukaran produk menghasilkan surplus yang besar. Surplus pada proses reproduksi semuanya digunakan kembali untuk membangun sektor pertanian dengan membeli lahan pertanian dan ternak kerbau. Proses diferensiasi yakni menyisihkan sebagian keuntungan untuk memberangkatkan pergi Haji ke Tanah Suci Mekkah kepada keluarganya.
H. At (58 Tahun) merupakan salah satu petani lapisan atas dalam bidang pendidikan di desa dan juga memiliki akses yang sangat kuat dalam sektor pertanian terutama dalam hal peran yang besar pada kelompok tani di desa selain kepemilikan lahan pertanian yang dikuasainya. Keseharian hidup yang sejahtera, alat-alat pekerjaan yang dapat terpenuhi dan bahan baku yang mencukupi di dapat rumah tangga petani H. At maka dari hasil perdagangan atau pertukaran produk menghasilkan surplus. Surplus pada reproduksi proses semuanya digunakan kembali untuk membangun sektor pertanian dengan menyiapkan alat-alat produksi. Proses diferensiasi yakni menyisihkan sebagian keuntungan untuk penyediaan sarana dan prasarana membangun kelompok tani. Pada akhirnya dapat menjadi akumulasi modal rumah tangga petani tersebut.
Haji Ong (47 Tahun) merupakan salah satu petani lapisan atas dalam di desa dan juga memiliki akses yang sangat kuat dalam sektor pertanian terutama dalam hal kepemilikan lahan pertanian di desa yang semuanya telah disewakan kepada penggarap dan sekarang beliau bekerja pada sektor non pertanian yakni berdagang bahan bangunan dengan mendirikan toko yang besar di desa. Keseharian hidup yang sangat modern dan melalui pembayaran sewa lahan dari petani penggarapnya yang didapat rumah tangga petani H. Ong maka dari hasil perdagangan atau pertukaran produk menghasilkan surplus. Surplus pada proses reproduksi sebagian dijadikan proses diferensiasi yakni rumah tangga petani menginvestasikan surplus dari sektor pertanian ke sektor non pertanian yakni berdagang toko bangunan yang akhirnya dapat menjadi akumulasi modal rumah tangga petani tersebut.
hasil panen sebesar 50 gedeng sama dengan 500 liter wajib diberikan kepada H. Aw sebagai biaya sewa lahan.
STRATEGI EKONOMI PETANI LAPISAN ATAS
DALAM MENGAKUMULASI MODAL
(Studi Kasus di Desa Ciasmara, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)
Oleh
Fahrozi Hardi I34052671
SKRIPSI
Sebagai Syarat untuk Mendapatkan Gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS
KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN
MASYARAKAT
Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh:
Nama : Fahrozi Hardi
NRP : I34052671
Judul : Strategi Ekonomi Petani lapisan Atas Dalam
Mengakumulasi Modal
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Satyawan Sunito NIP. 19630904 199002 2 001
Mengetahui,
Departemen Sains Komunikasi Dan Komunikasi Pengembangan Masyarakat Ketua
Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS NIP.19580827 198303 1 001
LEMBAR PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “STRATEGI EKONOMI PETANI LAPISAN ATAS DALAM MENGAKUMULASI MODAL” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, 31 Agustus 2009
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 26 Juni 1986 dari ayah
Muhammad Azwar Nasution dan ibu Intan Nurilam. Penulis merupakan anak
ketiga dari tiga bersaudara.
Tahun 2005 penulis lulus dari SMAN 47 Jakarta dan pada tahun yang
sama lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan
Seleksi Mahasiswa IPB (USMI). Penulis memilih Departemen Sains Komunikasi
dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi anggota Divisi
Broadcasting pada Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (Himasiera) pada tahun 2007. Selain itu penulis
menjadi asisten dosen matakuliah Sosiologi Umum selama dua semester: semester
genap pada tahun 2007, semester gasal pada tahun 2008 dan juga menjadi asisten
dosen matakuliah Perubahan Sosial semester gasal pada tahun 2008. Penulis
mendapatkan bantuan beasiswa untuk mendanai biaya perkuliahan dari tiga
sumber: Beasiswa Bank Rakyat Indonesia (BRI) pada tahun 2007, Beasiswa
Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) pada tahun 2008, dan Beasiswa Bantuan
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini
ditujukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Judul yang dipilih dalam skripsi ini adalah Strategi Ekonomi Petani Lapisan Atas
Dalam Mengakumulasi Modal.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) memahami proses akumulasi modal
rumah tangga petani lapisan atas; (2) memahami peran petani lapisan atas di
dalam pembangunan pedesaan; dan (3) memahami strategi ekonomi petani lapisan
atas dalam mengakumulasi modal. Penelitian ini dapat menjadi proses
pembelajaran bagi peneliti dalam memahami fenomena sosial yang terjadi di
lapangan. Demikian skripsi ini penulis sampaikan semoga bermanfaat.
Bogor, 31 Agustus 2009
Fahrozi Hardi
UCAPAN TERIMA KASIH
Selama penelitian dan penulisan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak
dukungan moril maupun materiil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Dr. Satyawan Sunito sebagai dosen pembimbing skripsi, yang telah memberi
ilmu, bimbingan dan kebaikan kepada penulis selama proses penulisan skripsi
hingga diselesaikannya penulisan skripsi ini.
2. Martua Sihaloho, SP., MSi. atas kesediaannya menjadi dosen penguji utama
pada ujian skripsi penulis.
3. Ir. Siti Sugiah Mugniesyah, MS atas kesediaannya menjadi dosen penguji
wakil departemen.
4. Keluarga penulis, Ayah, Ibu, dan kakak-kakakku, nenek, bunda, paci, sepupu
tercinta yang telah memberi curahan kasih sayang, inspirasi hidup dan doa
yang tulus selama penulis menimba ilmu sejak bangku sekolah hingga kuliah. “Ayah dan Ibu, saya lulus tepat pada waktunya”.
5. Kepala Desa Ciasmara Bapak Firmansyah dan jajaran khususnya Bapak Maji,
Bapak Suhanda, Keluarga Besar Ibu Lilis dan Bapak Agah, Aa Asep. Terima
kasih atas kesediannya berbagi informasi dan pengalaman dalam rangka
penyelesaian penelitian skripsi ini.
6. Rekan satu bimbingan, Cici Wardini yang telah memberi semangat, saran,
perhatian, dukungan dan kebersamaan sejak penulisan Studi Pustaka sampai
dengan Skripsi.
7. Untuk sahabat-sahabatku di kampus khususnya Rio, Arya, Gilang, Fahri,
Yudha, Reni, Avira, Wulan, Ewen, Anggi, Vidya, Anvina, Yayan, Furqon,
Andi, dan Tamimi, yang telah memberi semangat dan bantuan yang diberikan
8. Teman-teman serumah di Wisma Taman Surga khususnya Harri, Mahe, Iqbal,
Budi, Jesa, Bakuh, Anjar, Eko dan Rizky, atas kebersamaannya dalam suka
dan duka selama di rumah dan dalam pembuatan penulisan skripsi ini.
9. Teman-teman serumah di Batosai Tengah khususnya Fahri, Yudha, Prama dan
Fitrah. Terima kasih atas kesediaannya memberi tumpangan tempat tinggal
selama penulis menyelesaikan pembuatan penulisan skripsi ini.
10.Praktikan matakuliah Sosiologi Umum Ex A19 tahun 2007 dan Ex B25 tahun 2008, yang telah memberi semangat, saran, perhatian, dukungan dan
kebersamaan selama ini kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
11.Teman-teman di Departemen Sains KPM angkatan 42 yang selalu
bersama-sama membuat kenangan indah selama kuliah dan memberikan spirit dalam mengerjakan skripsi ini.
12.Teman-teman di Departemen Sains KPM angkatan 43 dan 44 sebagai adik
kelas, yang telah memberi semangat, dukungan dan kebersamaan kepada
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
13.Seluruh dosen pengajar dan staf di Departemen Sains KPM, yang telah
memberi segala pengetahuan, bakti dan kemudahan yang diberikan selama
penyelesaian skripsi ini.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI ... iv DAFTAR TABEL ... vi DAFTAR GAMBAR ... vii
BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Perumusan Masalah ... 2 1.3 Tujuan Penelitian ... 3 1.4 Kegunaan Penelitian ... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 4 2.1 Konsep Struktur Agraria: Dinamika Struktur Agraria
Dulu dan Sekarang ... 4 2.2 Bidang Kegiatan Pertanian Sawah: Strategi Pemilik Lahan ... 10 2.3 Kaitan Faktor Penguasaan Tanah Terhadap Perubahan Struktur
Masyarakat Pedesaan ... 12 2.4 Usahatani ... 15 2.5 Kerangka Pemikiran ... 16 2.6 Hipotesis Pengarah ... 18 2.7 Definisi Konseptual ... 18
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 21 3.1 Pendekatan Penelitian ... 21 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 22 3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 23 3.4 Teknik Analisis Data ... 24
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI ... 29 4.1 Keadaan Fisik dan Infrastruktur di Desa Ciasmara ... 29 4.2 Sumber-Sumber Agraria dan Sistem Pertanian Setempat ... 31 4.2.1 Ekologi dan Tata Guna Tanah di Desa Ciasmara ... 32 4.2.2 Struktur Agraria ... 37 4.2.3 Sistem Pertanian ... 38 4.3 Struktur Sosial Ekonomi dan Mata Pencaharian Penduduk
4.3.2 Mata Pencaharian Non Petanian ... 51 4.3.3 Struktur Pendidikan ... 52 4.3.4 Kesehatan ... 55 4.4 Ikhtisar ... 57
BAB V PROSES AKUMULASI MODAL:
RUMAH TANGGA PETANI LAPISAN ATAS... 62 5.1 Pemilik Lahan Tradisional... 63 5.2 Pemilik Lahan Modern ... 66 5.3 Pemilik Lahan Entrepreneur ... 68 5.4 Ikhtisar ... 70
BAB VI PERAN PETANI LAPISAN ATAS
DI DALAM PEMBANGUNAN PEDESAAN ... 73 6.1 Sumberdaya dan Lapangan Kerja ... 73 6.2 Tranfer Teknologi ... 78 6.3 Ikhtisar ... 85
BAB VII STRATEGI EKONOMI PETANI LAPISAN ATAS DALAM MENGAKUMULASI MODAL:
TIPE PETANI LAPISAN ATAS DI DESA ... 88
BAB VIII PENUTUP ... 93 8.1 Kesimpulan ... 93 8.2 Saran ... 94
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Kebutuhan Data dan Metode Pengumpulannya... 26 Tabel 2. Jenis Lahan di Desa Ciasmara Tahun 2008 ... 34 Tabel 3. Tata Guna Lahan Pertanian di Desa Ciasmara Tahun 2008 ... 37 Tabel 4. Petani di Desa Ciasmara Tahun 2008 Menurut Status ... 38 Tabel 5. Musim Tanam dan Panen Padi
di Desa Ciasmara dalam Satu Tahun ... 43 Tabel 6. Jumlah Penduduk Menurut Golongan Umur
dan Jenis Kelamin di Desa Ciasmara Tahun 2007... 46 Tabel 7. Jumlah Penduduk di Desa Ciasmara Tahun 2008
Menurut Struktur Mata Pencaharian ... 50 Tabel 8. Jumlah Penduduk di Desa Ciasmara Tahun 2008
Menurut Tingkat Pendidikan ... 53 Tabel 9. Penghasilan Petani Lapisan Atas dari Tanah Sawah
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Lingkup hubungan-hubungan agraria ... 4 Gambar 2. Kerangka Pemikiran ... 17 Gambar 3. Desa tempat penelitian berada di Barat Daya Kota Bogor ... 28 Gambar 4. Peta Desa Ciasmara ... 28 Gambar 5. Kantor Kepala Desa Ciasmara ... 29 Gambar 6. Ekologi Desa Ciasmara: Aliran Sungai Parabakti ... 35 Gambar 7. Ekologi sawah di Desa Ciasmara yang subur ... 35 Gambar 8. Karena ekologi Desa Ciasmara yang memiliki aliran
sungai yang melimpah airnya maka banyak
kolam-kolam perikanan air deras ... 36 Gambar 9. Bentangan areal persawahan di Desa Ciasmara
yang sangat potensial ... 36 Gambar 10. Sebuah petak sawah di Desa Ciasmara
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Kritisi Tjondronegoro dan Wiradi (1984: 271) dari penjelasan mengenai
keberhasilan suatu pembangunan (di daerah pedesaan) akan banyak bertumpu
pada petani-petani maju yang bertindak sebagai pelaku pembangunan (agent of development), oleh karena merekalah yang menunjukkan daya tanggap (responsiveness) yang lebih besar terhadap semua inovasi dan perbaikan teknik serta merekalah yang lebih mudah didekati oleh dinas-dinas pemerintah. Tersirat
di dalam anggapan itu suatu aci-acian bahwa petani maju akan menjadi teladan
bagi petani-petani miskin yang diharapkan segera mengikuti teladan tersebut
karena mereka bisa mengamati secara dekat.
Inovasi diharapkan akan tersebar di segala penjuru dan ke segenap lapisan
masyarakat desa. Pendekatan ini oleh Wertheim yang juga pengkritisi
pembangunan tersebut disebut betting on the strong (Wertheim, 1964 dalam Tjondronegoro dan Wiradi, 1984: 271). Pedekatan ini mengandaikan bahwa
proses pertebaran pengetahuan dan kemajuan teknik berjalan secara bertahap, dan
bahwa pelaku terbaik (the best agent) dari proses evolusioner ini adalah orang yang paling maju di masyarakat desa, biasanya berasal dari petani-petani kaya
(well-to-do farmer) yang telah memperoleh cukup pendidikan dan mempunyai tanggapan baik berupa saran-saran perbaikan teknik produksi.
menginvestasikan surplusnya itu pada usaha-usaha padat modal tetapi yang
memberikan pendapatan yang relatif besar (misalnya, alat-alat pengolahan hasil
pertanian, berdagang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya). Karenanya mereka
mencari pekerjaan di luar pertanian yang padat tenaga kerja dan/atau modal kecil,
tapi memberikan pendapatan yang relatif rendah, misalnya kerajinan tangan, bakul
es, warung kecil dan sebagainya). Semua ini berarti bahwa petani luaslah yang
lebih mempunyai jangkauan terhadap sumber besar non-pertanian, yang pada
gilirannya melahirkan proses akumulasi modal dan investasi yang saling
menunjang baik bidang pertanian maupun non-pertanian diantara golongan elite
pedesaan.
Berangkat dari latar belakang di atas, peneliti akan meneliti secara
mendalam mengenai strategi ekonomi petani lapisan atas dalam mengakumulasi
modal kegiatan pertanian sawah.
1.2Perumusan Masalah
Berdasarkan penjabaran di atas, maka perumusan masalah yang penting
untuk diangkat dari penelitian ini ialah:
1. Bagaimana proses akumulasi modal petani lapisan atas melalui mekanisme
dan investasi surplus pada kegiatan pertanian dan kegiatan non pertanian?
2. Bagaimana peran petani lapisan atas di dalam pembangunan pedesaan?
3. Bagaimana strategi ekonomi petani lapisan atas dalam mengakumulasi
1.3Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Memahami proses akumulasi modal petani lapisan atas melalui
mekanisme dan investasi surplus pada kegiatan pertanian dan non
pertanian.
2. Bagaimana peran petani lapisan atas di dalam pembangunan pedesaan.
3. Bagaimana strategi ekonomi petani lapisan atas dalam mengakumulasi
modal.
1.4Kegunaan Penelitian
1. Bagi mahasiswa, penelitian ini diharapkan dapat menjadi proses
pembelajaran dalam memahami fenomena sosial mengenai strategi
ekonomi petani lapisan atas dalam mengakumulasi modal yang terjadi di
lapangan dan berguna sebagai rujukan serta wawasan dalam menyusun
penelitian di masa yang akan datang.
2. Bagi masyarakat, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi
wacana bagi masyarakat luas dalam memahami strategi ekonomi petani
lapisan atas dalam mengakumulasi modal.
3. Bagi pemerintah, sebagai masukan dalam upaya bermitra dengan petani
lapisan atas pada kegiatan pertanian sawah yang mampu menciptakan
Komunitas
Swasta
Sumber-sumber agraria
Pemerintah Keterangan:
hubungan teknis agraria (kerja)
hubungan sosial agraria
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1Konsep Struktur Agraria: Dinamika Struktur Agraria Dulu dan Sekarang
Secara kategoris, subyek agraria dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu
komunitas (sebagai kesatuan dari unit-unit rumah tangga), pemerintah (sebagai
representasi negara) dan swasta (private sector). Ketiga kategori sosial tersebut adalah pemanfaat sumber agraria, yang memiliki ikatan dengan
sumber-sumber agraria melalui institusi penguasaan/pemilikan (tenure institution). Hubungan penguasaan/pemilikan/pemanfaatan seperti sumber-sumber agraria
menunjuk pada dimensi sosial dalam hubungan-hubungan agraria. Hubungan
penguasaan/pemilikan/pemanfaatan membawa implikasi terbentuknya ragam
hubungan sosial, sekaligus interaksi sosial, antara ketiga kategori subyek agraria.1
[image:30.612.155.506.450.621.2]Untuk keterangan lebih lanjut dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.
Gambar 1. Lingkup hubungan-hubungan agraria.
1
Struktur agraria yang dapat dilihat ialah hubungan antara subyek dengan
sumber-sumber agraria berkenaan dengan penguasaan lahan, pemilikan lahan dan
pemanfaatan lahan. Menurut Sitorus (2002: 34-35) sumber-sumber agraria
mencakup tanah, perairan, hutan, bahan tambang dan udara dalam bentangan
wilayah. Sistem tenurial yang umum diterapkan petani jika dilihat dari segi
penguasaan lahan ialah sistem bagi hasil (maro), sistem gadai, dan sistem sewa. Setiap sistem yang diterapkan memiliki latar belakang dan faktor yang
disewakan untuk jangka waktu yang lama (Arsip Nasional 1974: 21 dalam White dan Wiradi 1979: 17).
Di daerah Sumedang, Garut, Cirebon dan Majalengka, golongan tuan
tanah kebanyakan terdiri dari haji-haji, kepala-kepala desa dan tokoh-tokoh
pribumi lainnya, sedangkan di Indramayu terdapat pula cukup banyak tuan-tuan
tanah Tionghoa. Semua daerah tersebut di atas, penguasaan tanah-tanah luas
dinyatakan meningkat selama periode 1880-1905 (MWO, Economie van de Desa, Preanger Regentschappen 1907: 13-18; Residentie Cirebon 1907: 13-14 dalam White dan Wiradi 1979: 17). Penyebab proses konsentrasi penguasaan tanah
adalah semua sumber menghubungkannya dengan proses komersialisasi ekonomi
pedesaan dan terutama dengan meningkatnya pinjaman uang, yang oleh Meyer
Ranneft dilukiskan sebagai “suatu gejala khas dari masuknya lalu lintas uang ke
dalam rumah tangga ekonomi petani, dan dari kekuasaan uang yang bagaikan setan” (Arsip Nasional 1974: 21 dalam White dan Wiradi 1979: 18).
Perlu dicatat bahwa timbulnya golongan pemilik tanah luas sebagai akibat
komersialisasi tidak disertai oleh timbulnya suatu golongan petani luas. Menurut
Ploegsma,
“Pemilikan tanah luas tentu tidak mengakibatkan usaha-usaha tani luas. Tanah-tanah yang dikuasai oleh golongan pemilik luas disewakan atau dibagi hasilkan kepada penggarap-penggarap lain; dengan demikian, dari segi ekonomi pertanian, pola usahatani kecil-kecilan tetap bertahan” (Ploegsma 1936: 61 dalam White dan Wiradi 1979: 18).
Nampaknya konsentrasi pemilikan bukanlah disertai oleh konsentrasi luas
usahatani melainkan oleh suatu tingkat penyakapan yang tinggi dimana sejumlah
besar petani bukan pemilik, yang masing-masing diberikan usahatani kecil atas
daerah Priangan termasuk diantara yang tertinggi di Jawa, sedangkan di Cirebon
sedikit dibawah rata-rata (Scheltema 1931: 271 dalam White dan Wiradi 1979: 18).
White dan Wiradi (1979: 19-20) menyatakan bahwa “bukanlah pola-pola
penguasaan tanah merupakan hal yang statis yang tidak pernah berubah selama satu abad terakhir. Justru sebaliknya, perbandingan masa kini dan masa lalu menunjukan adanya suatu proses perubahan yang sangat dinamis, dan lagi bahwa masing-masing daerah mempunyai dinamika sendiri”. Namun demikian, agaknya penting untuk mengartikan bahwa pola-pola yang kelihatan sekarang,
seperti variasi lokal dalam luas tanah bengkok, ketunakismaan, ketidakmerataan diantara pemilik tanah, timbulnya suatu golongan pemilik tanah luas, bertahannya
pola usahtani kecil-kecilan berkat lembaga penyakapan, dan sebagainya. Semuanya merupakan akibat dari suatu proses dinamika yang telah dimulai pada
zaman nenek moyang kita, sehingga benar-benar disebut sebagai warisan sejarah.
Kegiatan sewa dan sakap ini berkembang dengan baik melalui instrumen kesepakatan antara pemilik tanah dan penggarap, umumnya penyewaan dan atau
penyakapan didasarkan pada alasan ekonomi untuk meningkatkan usahanya.
Menurut Shanin (1971) dalam Subali (2005), terdapat empat karakteristik utama petani. Pertama, petani adalah pelaku ekonomi yang berpusat pada usaha
milik keluarga. Kedua, menggantungkan kehidupan mereka kepada lahan. Bagi
petani, lahan pertanian adalah segalanya. Lahan dijadikan sebagai sumber yang
diandalkan untuk menghasilkan bahan pangan keluarga, harta benda yang lebih
tinggi, dan ukuran terpenting bagi status sosial. Ketiga, petani memiliki budaya
solidaritas sosial. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya keterbukaan petani
berlahan luas untuk mempekerjakan petani yang tidak memiliki lahan atau
berlahan sempit. Semua itu didorong oleh rasa solidaritas diantara sesama petani.
Keempat, petani cenderung sebagai pihak yang tersubordinasi namun tidak
dengan mudah ditaklukkan oleh kekuatan ekonomi, budaya dan politik eksternal
yang mendominasi mereka.
Penelitian yang dilakukan oleh Husken (1998) di Desa Gondosari, Pati,
Jawa Tengah dapat dijadikan sebagai salah satu bahan acuan mengenai ciri-ciri
petani di Indonesia pada saat ini. Menurut dia, ciri yang pertama adalah bahwa
petani bermata pencaharian ganda, selain bertani mereka juga memiliki pekerjaan
sampingan, seperti pedagang, buruh, supir. Melihat kenyataan dilapangan,
pekerjaan sampingan tersebut ternyata merupakan pekerjaan pokoknya Ciri kedua,
tanaman yang diproduksi petani ialah tanaman yang tidak berisiko tinggi, artinya
teknologinya dapat dengan mudah dikuasai, misalnya tanaman talas, pisang, dan
umbi-umbian. Pertimbangan lainnya ialah petani paham ke mana pasar bagi
tanaman yang diusahakan serta menguntungkan secara ekonomi. Ciri ketiga, motif
berusaha petani ialah mencari keuntungan yang dilakukan dengan
mengintensifkan penggunaan lahan yang hasilnya akan dijual untuk mendapatkan
uang tunai. Ciri keempat petani ialah bagian dari sistem politik yang lebih besar
yang ditunjukkan oleh adanya partai-partai politik yang berpengaruh pada mereka
juga terhadap kepemimpinan di desa. Adapun ciri yang terakhir adalah bahwa
petani subsisten secara mutlak tidak ada, karena petani mempunyai hubungan
yang kuat terhadap pasar tempat menjual hasil pertaniannya atau bahkan membeli
Menurut Elizabeth (2007: 30) penerapan paradigma modernisasi yang
mengutamakan prinsip efisiensi dalam pelaksanaan pembangunan pertanian
menyebabkan terjadinya perubahan struktur sosial masyarakat petani di pedesaan.
Berbagai proses pelaksanaan pembangunan, terutama industrialisasi, dalam jangka
menengah dan panjang menyebabkan terjadinya perubahan struktur pemilikan
lahan pertanian, pola hubungan kerja dan struktur kesempatan kerja, serta struktur
pendapatan petani di pedesaan. Terkait dengan struktur pemilikan lahan,
perubahan tersebut mengakibatkan terjadinya: (1) petani lapisan atas; merupakan
petani yang akses pada sumberdaya lahan, kapital, mampu merespon teknologi
dan pasar dengan baik, serta memiliki peluang berproduksi yang berorientasi
keuntungan; dan (2) petani lapisan bawah; sebagai golongan mayoritas di
pedesaan yang merupakan petani yang relatif miskin (dari segi lahan dan kapital),
hanya memiliki faktor produksi tenaga kerja. Untuk memenuhi kebutuhan
berproduksi, kedua lapisan masyarakat petani tersebut terlibat dalam hubungan
kerja yang kurang seimbang.
2.2Bidang Kegiatan Pertanian Sawah: Strategi Pemilik Lahan
Sistem gadai hanya akan dilakukan pemilik sawah dalam keadaan yang
sangat terpaksa. Tentang kontrak maro jika pemilik lahan adalah seorang ayah, maka kontrak maro dilakukan oleh seorang anak atas alasan-alasan hubungan kekerabatan, pertama untuk membantu rumah tangga ekonomi rumah tangga anak
tersebut. Kedua adalah untuk mendidik anak dalam mengelola pekerjaan di
sawah. Pada suatu hari dipertimbangkan sawah yang dipatronkan itu akan jatuh
kepada anak tersebut sebagai warisan orang tua.
Penggunaan buruh tani dari sudut pandang pemilik sawah adalah akibat
pasokan buruh yang melimpah, maka tingkat upah buruh sangat bersaing. Situasi
seperti ini beserta tekanan moral pedesaan untuk membantu tetangga dan hidup
rukun dengan tetangga mendorong pemilik lahan untuk tidak mencari tenaga
buruh dari luar kampung sendiri. Kalau kita lama hidup dalam sebuah kampung
akan terasa aneh jika terjadi seorang pemilik sawah menyewa buruh tani dari
kampung lain. Hal yang serupa juga terjadi dengan persewaan kerbau untuk
pekerjaan membajak dan menggaru, bahkan untuk sawah-sawah yang terletak di
luar kampung sendiri, para pemilik lahan tetap akan mempekerjakan para buruh
yang dibawa dari kampung sendiri.
Pada situasi melimpahnya buruh tani tunakisma yang mencari kerja di
sawah dan meluasnya kemiskinan, pekerjaan berupah adalah semacam sesuatu
yang diidam-idamkan dan memberi pekerjaan semacam itu kepada seseorang
dapat dipandang sebagai sebuah kemurahan hati. Memberikan pekerjaan kepada
pemilik lahan. Dengan berbuat demikian, mereka berharap buruh tani yang
mereka tolong itu akan menolong mereka pula nanti jika bila diperlukan.
Masyarakat desa berpendapat bahwa hanya tetanggalah yang akan segera
datang menolong mereka ketika mendapat kesusahan. Kerabat yang tinggal di
kampung lain secara teknis susah untuk menolong, karena jarak tempat tinggal
yang jauh. Di kampung-kampung sisi dimana lembaga formal tidak ada dalam
sebagian besar orang bergantung kepada tetangga. Inilah alasan utama mengapa
muncul situasi umum di pedesaan Cikalong, dan di Jawa umumnya, bahwa “The villagers place importance upon lending immediate assistance to people living nearby” (Jay 1969: 237 dalam Marzali 2003: 108).
Memberikan pekerjaan dengan upah kepada seorang buruh lepas sebagai
satu kemurahan hati diberikan secara terbatas. Apabila tenaga kerja keluarga di
rumah tidak cukup, maka bantuan tenaga dari luar dicari pertama dari kalangan
kerabat dekat, yaitu anak menantu dan saudara yang tinggal di kampung yang
sama. Selain itu dari kalangan tetangga dekat. Biasanya untuk
pekerjaan-pekerjaan yang kecil seperti memacul waktu mempersiapkan lahan, caplak, dan
menyiang, tenaga kerja dari kedua golongan ini sudah mencukupi. Hal ini juga
nampaknya berlaku di tempat-tempat lain di Jawa (Marzali 2003: 108). Di luar
di Kendal Jawa Tengah untuk memahami kondisi pada zaman Orde Lama bahwa
“perubahan sistem penguasaa tanah juga telah menyebabkan perubahan sistem
produksi pertanian”. Sebelum tahun 1960, ada tiga jenis hak penguasaan tanah komunal, yaitu hak bengkok, hak banda desa, hak narawita, serta satu yang bersifat individual yaitu hak yasan. Saat itu, tanah yasan mencakup 76,7 persen dari total tanah di desa tersebut. Penerapan UUPA tahun 1960 menyebabkan
konversi tanah yang semula berdasarkan hukum adat (komunal) menjadi hak
milik.
Hak narawita, secara de facto sudah menjadi milik individual, sehingga penjualan tanah berkembang, peluang tunakisma untuk menggarap mengecil, dan mobilitas penguasaan cenderung sentrifugal atau terpolarisasi. Bersamaan dengan
itu, sistem produksi yang semula dilandasi nilai-nilai tradisional digantikan oleh
sistem produksi komersial. Organisasi produksi dari sebelumnya berupa pola-pola
penyakapan seperti maro, merapat, merlimo, lebotan, bawon, dan mutu digantikan dengan pola dengan penyewaan, buruh lepas, panen tebasan, dan penggilingan padi mekanis. Temuan ini didukung oleh Hayami dan Kikuchi
(1987) dalam Syahyuti (2001), yang menemukan bahwa “Kesamaan dampak revolusi hijau di Indonesia dan Filipina”. Tranformasi sistem sosial pedesaan ini
juga didukung oleh Temple (1976) dalam Syahyuti (2001) melihat bahwa “Adanya evolusi desa Jawa dari desa komunal (1830-1870), dilanjutkan desa
tradisional (1870-1959), dan terakhir desa komersial bersamaan dengan era revolusi hijau”.
antar lapisan petani”. Kondisi sebelum tahun 1960 dimana masyarakat terbagi
atas tiga lapisan sosial, yaitu sarekat (pemegang hak bengkok), sikep ngajeng (pemegang hak narawita) dan sikep wingking (tunakisma) dilandasi hubungan “patron–klien”; berubah menjadi hubungan berdasarkan nilai-nilai komersial pola
tertentu dari permukaan tanah. Hal tersebut menyebabkan pemilikan atas tanah
tidak hanya mengenai hak milik saja melainkan juga termasuk hak guna atas tanah
yaitu suatu hak untuk memperoleh hasil dari tanah bukan miliknya dengan cara
menyewa, menggarap dan lain sebagainya. Kemudian bagaimanakah keadaan
diferensiasi luas pemilikan tanah? Ini harus diteliti dengan wawancara langsung
kebutuhan konsumen (Soeharjo dan Patong, 1973). Strategi berasal dari kata
Yunani Strategos dan Strategia, istilah strategi yang dipakai berarti pengetahuan dan seni menangani sumber-sumber yang tersedia dari suatu perusahaan (petani
lapisan atas) untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang diinginkan. Strategi
adalah alat untuk mencapai tujuan jangka panjang. Strategi adalah tindakan
potensial yang membutuhkan keputusan manajemen tingkat atas dan sumberdaya
perusahaan (petani lapisan atas) dalam jumlah yang besar. Petani lapisan atas
merupakan petani yang akses pada sumberdaya lahan, kapital, mampu merespon
teknologi dan pasar dengan baik, serta memiliki peluang berproduksi yang
berorientasi keuntungan (Elizabeth, 2007: 30).
Pengelolaan atau manajemen usahatani adalah kemampuan petani dalam
menentukan, mengorganisir dan mengkordinasikan faktor-faktor produksi yang
dikuasai dengan sebaik mungkin sehingga mampu memberikan produksi
pertanian yang diharapkan. Faktor-faktor produksi yang dikelola oleh petani
adalah: lahan atau tanah garapan, alokasi penggunaan tenaga kerja, modal, dan
kegiatan usahatani padi sawah.
Tenaga kerja dalam usahatani sangat diperlukan dan berpengaruh terhadap
penyelesaian berbagai macam kegiatan produksi usahatani. Jenis tenaga kerja
dibagi menjadi tiga yaitu: tenaga kerja manusia, hewan, dan mesin. Tenaga kerja
yang menjadi faktor produksi dalam penelitian ini adalah tenaga kerja manusia.
Modal adalah barang atau uang yang secara bersama-sama dengan faktor produksi
lain digunakan untuk menghasilkan barang dan jasa, yaitu produk pertanian.
Sumber modal diperoleh dari; milik sendiri, pinjaman, kredit, hadiah, warisan,
2.5Kerangka Pemikiran
Kajian utama diarahkan pada proses akumulasi modal petani lapisan atas.
Proses akumulasi modal melalui mekanisme dan investasi surplus dari pemilik
lahan tradisional, pemilik lahan modern dan pemilik lahan entrepreneur. Adapun fokus kajian peran petani lapisan atas di dalam pembangunan pedesaan pada
sumberdaya dan lapangan kerja, transfer teknologi dan kelembagaan. Kerangka
pemikiran pada tujuan yang ingin dicapai secara sederhana diwujudkan pada
Keterangan:
Mempengaruhi
[image:43.612.104.509.91.597.2]Berhubungan
Gambar 2. Kerangka Pemikiran.
2.6Hipotesis Pengarah
Peran Petani Lapisan Atas di
Pedesaan:
1. Sumberdaya dan Lapangan
Kerja
2. Tranfer Teknologi
3. Kelembagaan
Strategi Ekonomi Petani Lapisan Atas dalam Mengakumulasi Modal: Tipe Petani Lapisan Atas di Desa Ciasmara
Proses Akumulasi Modal:
1. Pemilik Lahan Tradisional
2. Pemilik Lahan Modern
Berdasarkan rangkaian konsep yang diutarakan serta wawasan peneliti
terhadap subjek tineliti, beberapa pernyataan hipotesis yang mengarahkan peneliti
menjawab pertanyaan penelitian disusun di bawah ini. Beberapa hipotesis
pengarah itu adalah:
1. Proses akumulasi modal melalui mekanisme surplus dan investasi surplus
berupa persediaan alat-alat produksi, reproduksi dan produksi, dan bidang
sirkulasi atau pertukaran uang dari rumah tangga petani lapisan atas
dimana surplus di sektor pertanian diinvestasikan ke sektor non pertanian.
Proses akumulasi dan investasi yang saling menunjang dari sektor
pertanian ke sektor non pertanian diantara petani lapisan atas di pedesaan
maka terjadi akumulasi modal.
2. Petani lapisan atas memiliki peran di dalam pembangunan pedesaan.
3. Proses akumulasi modal dan peran petani lapisan atas dapat menjelaskan
strategi ekonomi petani lapisan atas dalam mengakumulasi modal.
2.7Definisi Konseptual
1. Strategi adalah tindakan potensial yang membutuhkan keputusan
manajemen tingkat atas dan sumberdaya perusahaan (petani lapisan atas)
dalam jumlah yang besar. Selain itu, strategi mempengaruhi kemakmuran
perusahaan (petani lapisan atas) dalam jangka panjang.
2. Usahatani adalah proses pengorganisasian faktor-faktor produksi yaitu,
alam, tenaga kerja, modal dan pengelola yang diusahakan oleh
perseorangan ataupun sekumpulan orang (petani lapisan atas) untuk
3. Petani lapisan atas adalah petani yang akses pada sumberdaya lahan,
kapital, mampu merespon teknologi dan pasar dengan baik, serta memiliki
peluang berproduksi yang berorientasi keuntungan.
4. Rumah tangga adalah seseorang atau sekelompok orang yang mendiami
sebagian atau seluruh bangunan fisik, dan biasanya tinggal bersama serta
makan dari satu dapur.
5. Tanah adalah asal dan sumber makan manusia serta tempat tumbuh
komoditi-komoditi yang akan diusahakan.
6. Modal adalah barang atau uang yang secara bersama-sama dengan faktor
produksi lain digunakan untuk menghasilkan barang dan jasa, yaitu produk
pertanian.
7. Pemilik lahan tradisional adalah petani yang mempunyai lahan sawah yang
luas menggunakan sistem pertanian yang masih sederhana.
8. Pemilik lahan modern adalah petani yang mempunyai lahan sawah yang
luas menggunakan sistem pertanian yang maju.
9. Pemilik lahan entrepreneur adalah petani yang mempunyai lahan sawah yang luas dan juga memiliki profesi sebagai pedagang.
10.lapangan kerja adalah kegiatan seorang petani untuk dapat bekerja agar
terpenuhinya kebutuhan hidup keluarga melalui pekerjaan di sektor
pertanian maupun sektor non pertanian.
11.Tranfer teknologi adalah memberi penerapan ilmu pengetahuan sebagai
12.Kelembagaan adalah kompleks peraturan-peraturan dan peran sosial yang
mempengaruhi perilaku orang-orang di sekitar pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan penting.
13.Akumulasi modal adalah penjumlahan dari seluruh aset atau kekayaan
yang dimiliki rumah tangga petani dari sektor pertanian maupun sektor
non pertanian.
14.Wirausahawan (Entrepreneur) didefinisikan sebagai seseorang yang membawa sumber daya berupa tenaga kerja, material, dan aset lainnya
pada suatu kombinasi yang menambahkan nilai yang lebih besar daripada
sebelumnya, dan juga dilekatkan pada orang yang membawa perubahan,
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif.
Pendekatan kualitatif dipilih karena mampu memberikan pemahaman yang
mendalam dan rinci tentang suatu gejala sosial. Di mana peneliti hendak mengkaji
realitas sosial yang menggambarkan bagaimana strategi ekonomi petani lapisan
atas dalam mengakumulasi modal. Kemudian menggambarkan strategi ekonomi
petani lapisan atas dalam hal proses akumulasi modal dan peran petani lapisan atas
di dalam pembangunan pedesaan.
Pendekatan kualitatif menggunakan studi riwayat hidup. Studi riwayat
hidup atau tepatnya riwayat hidup individu adalah bahan keterangan tertulis
mengenai pengalaman kehidupan individu-individu tertentu, sebagai warga dari
suatu masyarakat yang sedang diteliti (Koentjaraningrat, 1985: 158: Denzin, 1989:
31) menyatakan ada dua jenis data riwayat hidup menurut sumbernya, yaitu: data
terdokumentasi dan data tangan pertama. Dengan data terdokumentasi
dimaksudkan adalah keseluruhan bahan tulisan atau bahan rekaman yang
bersangkut-paut secara langsung maupun tidak langsung dengan riwayat
kehidupan subyek. Sedangkan data tangan pertama adalah informasi langsung dari
individu subyek tentang kisah kehidupannya, yang diperoleh melalui suatu
wawancara mendalam.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Ciasmara, Kecamatan Pamijahan,
Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat dengan memfokuskan pada daerah
pertanian sawah yang memiliki petani lapisan atas dalam hubungannya dengan
strategi ekonomi dalam mengakumulasi modal. Pemilihan lokasi penelitian
tersebut dilakukan secara purposive (sengaja) karena untuk mengkaji penelitian maka penelitian ini harus menemukan lokasi yang sesuai agar mendapatkan
fakta-fakta sosial yang terdapat di lapangan dan fakta-fakta-fakta-fakta sosial tersebut diharapkan
mampu menjawab realitas sosial yang ada. Kondisi kegiatan pertanian sawah di
desa tersebut mempunyai petani lapisan atas yang cukup relevan dengan penelitian
ini sehingga peneliti dapat melihat strategi ekonomi dalam mengakumulasi modal
yang dilakukan petani lapisan atas di lokasi tersebut. Petani lapisan atas yang
terdapat di desa ini adalah para pengusaha usahatani padi sawah yang padat modal
dan kebanyakan mereka adalah para haji tuan tanah setempat.
Penelitian (dari proses penjajagan lapangan, menentukan tineliti,
mulai Bulan Juni-Juli 2009. Di mana, dalam hal pengambilan data peneliti tinggal
bersama tineliti subjek penelitian di lapangan dalam jangka waktu satu bulan.
Proses ini dilakukan peneliti untuk dapat mengetahui kondisi demografis lokasi
penelitian secara rinci, menggali strategi ekonomi yang mereka lakukan dengan
studi riwayat hidup dan dalam rangka membangun hubungan sosial yang dekat
antara peneliti dengan tineliti.
3.3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam pendekatan kualitatif dilakukan dengan
menggunakan teknik triangulasi metodologi (kombinasi beberapa metode
pengumpulan data), yaitu antara lain : wawancara mendalam (indepth interview), observasi lapang dan penelusuran dokumen atau literatur. Hal ini dilakukan
peneliti agar dapat memperoleh kombinasi data yang akurat, sehingga dapat
menjelaskan gejala sosial yang berkaitan dengan strategi ekonomi lapisan atas
dalam mengakumulasi modal.
Wawancara mendalam dilakukan dengan tineliti yang dipilih secara
sengaja, yaitu tineliti yang sesuai dan dianggap mampu menjelaskan berbagai realitas sosial yang berkaitan dengan penelitian ini. Peneliti melakukan wawancara
mendalam dengan tiga tokoh petani lapisan atas yang ada di desa tersebut yakni H.
Aw, H. At dan H. Ong yang kemudian diteruskan dengan cek-silang. Cek-silang
Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder.
Data primer penelitian diperoleh dari tineliti, meliputi data mengenai (1)
penjelasan proses akumulasi modal petani lapisan atas; (2) penjelasan peran petani
lapisan atas di dalam pembangunan pedesaan; (3) gambaran strategi ekonomi
petani lapisan atas dalam mengakumulasi modal. Adapun data sekunder
merupakan data yang didapatkan dari dokumen-dokumen tertulis yang berupa
tulisan ilmiah dan dokumen laporan yang diterbitkan oleh instansi yakni data
monografi desa dan potensi desa.
3.4. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dari pendekatan kualitatif dilakukan sejak awal
pengumpulan data, di mana dalam melakukan pengumpulan data peneliti juga
melakukan analisis data secara bersamaan. Cara menganalisis data kualitatif
menurut Miles dan Huberman (1992) dalam Sitorus (1998: 59) meliputi reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Adapun penjelasan mengenai
tahapan tersebut dapat dilihat di bawah ini.
Tahap pertama, reduksi data dimaksudkan adalah proses pemilihan,
pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan data transformasi
kasar yang muncul dari catatan-catatan yang tertulis dilapangan. Kemudian reduksi
data tujuan untuk menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, mengeliminasi
data-data yang tidak diperlukan dan mengorganisir data sedemikian sehingga
didapatkan kesimpulan akhir (Sitorus, 1998: 60). Peneliti kemudian membagi data
ke dalam beberapa fokus penelitian yang disesuaikan untuk menjawab perumusan
lapisan atas di dalam pembangunan pedesaan, strategi ekonomi petani lapisan atas
dalam mengakumulasi modal dan gambaran umum desa dikelompokkan tersendiri.
Tahap kedua penyajian, dimaksudkan sekumpulan informasi tersusun yang
memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan
tindakan (Sitorus, 1998: 60). Data yang telah direduksi akan disajikan dalam
bentuk teks naratif maupun matriks yang menggambarkan proses akumulasi modal
petani lapisan atas, kemudian peran petani lapisan atas di dalam pembangunan
pedesaan dan strategi ekonomi petani lapisan atas dalam mengakumulasi modal.
Hasilnya diharapkan dapat menjawab perumusan masalah yang telah ditetapkan.
Tahap ketiga, penarikan kesimpulan, yang dalam hal ini mencakup juga
verifikasi atas kesimpulan itu. Kesimpulan-kesimpulan itu diverifikasi selama
penelitian berlangsung dengan cara: (1) memikir ulang selama penelitian, (2)
tinjauan ulang pada catatan-catatan lapangan, (3) peninjauan kembali dan tukar
Tabel 1. Kebutuhan Data dan Metode Pengumpulannya
No. Informasi Sub-topik Metode
Pengumpulan Data
Sumber data
1. Ekologi desa 1. Jenis tanah, tata
tanah, luas lahan, tata guna lahan
2. Vegetasi flora-fauna
3. Sistem petanian
4. Sistem teknologi
Analisa dokumen Observasi Wawancara
Data pemerintah desa Data dinas pertanian Dinas yang terkait
2. Sejarah desa Cerita sejarah desa Analisa dokumen
Wawancara mendalam Dokumen sejarah desa Aparat desa Tokoh desa
3. Struktur demografi 1. Jumlah penduduk
dan tingkat
kepadatan penduduk
2. Jumlah keluarga tani
3. Struktur penduduk
berdasarkan umur dan perkerjaan
4. Struktur penguasaan
lahan
5. Migrasi
6. Kematian dan
kelahiran Analisa dokumen Wawancara Data demografi pemerintah desa Aparat desa
4. Infrastruktur Desa 1. Perumahan dan
infrastruktur
2. Transportasi dan
komunikasi
3. Pasar
4. Fasilitas listrik
5. Sistem pengairan
Analisa dokumen Observasi
Wawancara
Data pemerintah desa Aparat desa
Dinas pertanian PLN
Telkom
5. Struktur sosial
masyarakat desa
1. Stratifikasi sosial: penguasaan lahan, kedudukan sosial.
2. Hubungan sosial:
interaksi petani lapisan atas dengan petani bawah/buruh tani.
Analisa dokumen Observasi Wawancara
Data pemerintah desa Aparat desa
Tokoh desa
6. Kondisi rumah
tangga petani lapisan atas
1. Perumahan petani
lapisan atas: model bangunan, bahan bangunan, luas bangunan
2. Harta benda petani
lapisan atas
3. Pendidikan anak
petani lapisan atas
Analisa dokumen Observasi Wawancara mendalam
7. Pola nafkah rumah tangga petani lapisan atas
1. Ragam mata
pencaharian
2. Pembagian kerja:
pembagian kerja antara orang tua dengan anak-anak; pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan
3. Pendapatan
4. Kebutuhan keluarga
5. Pola produksi
6. Pola konsumsi
7. Pola reproduksi
8. Kegiatan petani
lapisan atas di pertanian dan di luar pertanian
9. Kegiatan rumah
tangga petani lapisan atas 10. Penguasaan teknologi Wawancara mendalam Observasi Berperanserta
Petani lapisan atas dan keluarganya
8. Religi dan
Kebudayaan
Keberadaan agama, adat-istiadat, norma-norma dan nilai-nilai di lingkungan petani lapisan atas
Wawancara mendalam Observasi
Gambar 3. Desa tempat penelitian berada di Barat Daya Kota Bogor.
[image:54.612.133.505.340.691.2]BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI
4.1 Keadaan Fisik dan Infrastuktur di Desa Ciasmara
Desa Ciasmara adalah sebuah daerah yang terletak di Kecamatan
Pamijahan, Kabupaten Bogor, Jawa Barat dengan luas wilayah 473,501 kilometer
persegi. Desa Ciasmara merupakan desa induk sebelum dilakukannya pemecahan
menjadi tiga desa yaitu: Desa Ciasihan, Desa Ciasmara, dan Desa Purwabakti.
Menurut cerita masyarakat setempat dahulu, nama Ciasmara berasal dari kata cai dan asmara yang berarti air yang membawa kedamaian dan penuh cinta antar
sesama. Desa Ciasmara memiliki tiga dusun, 11 rukun warga dan 29 rukun
tetangga. Letak desa ini berada di antara 400 sampai dengan 600 meter di atas
permukaan laut dengan suhu udara antara 28 derajat Celcius sampai dengan 34
[image:55.612.140.498.442.669.2]derajatCelcius.
Wilayah Desa Ciasmara di sebelah Utara berbatasan dengan Desa Ciasihan,
sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi, sebelah Timur
berbatasan dengan Desa Purwabakti, sebelah Barat berbatasan dengan Desa
Cibunian.
Jarak pemerintahan desa dari Kecamatan Pamijahan sejauh 7 kilometer,
jarak dari Ibukota Kabupaten Bogor sejauh 35 kilometer, dari Ibukota Propinsi
Jawa Barat sejauh 350 kilometer, sedangkan jarak dari Ibukota Negara RI Jakarta
sejauh 200 kilometer. Topografi wilayah Desa Ciasmara 60 persen berombak, 20
persen berombak sampai berbukit sedangkan 20 persen berbukit sampai
bergunung.
Desa ini memiliki prasarana umum yang meliputi: prasarana pemerintahan
desa, prasarana pengairan, alat transportasi, angkutan dan komunikasi, jalan dan
jembatan, sarana perekonomian dan sosial budaya. Sarana fasilitas pemerintahan
desa terdiri dari: satu buah balai desa, satu buah kantor desa, tanah kas desa
berupa kantor desa seluas 791 meter persegi, kuburan 800 meter persegi, dan jalan
desa 19.500 meter. Prasarana pengairan yang terdapat di desa ini berupa dua buah
air terjun dan dua sungai. Adapun alat transportasi meliputi angkot 20 unit, ojeg
30 unit, dan sepeda 125 buah. Sedangkan prasarana angkutan dan komunikasi
yang tersedia adalah empat kilometer jalan aspal, enam kilometer jalan diperkeras,
masing-masing 10 kilometer jalan tanah, jalan umum yang dapat dilalui kendaraan
roda empat dan jalan utama yang tidak dapat dilalui kendaraan roda empat. Selain
itu, di desa ini juga terdapat jalan kabupaten sepanjang satu kilometer dan jalan
desa sepanjang sembilan kilometer. Pada prasarana perekonomian, desa ini
Desa Ciasmara pada saat ini sudah memiliki gedung pendidikan sekolah
dari mulai sekolah dasar, sekolah menengah pertama dan sekolah menengah
umum dan ditunjang dengan pendidikan kejar paket A, B, dan C, Pusat Pelatihan
Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S), Pos Penyuluhan Pertanian (Posluhtan),
serta sebuah gedung Puskesmas dan Posyandu dan adanya pasar desa, terminal
angkutan Trans Parabakti Leuwiliang dalam rangka menunjang perekonomian di
tingkat pedesaan, untuk jalan desa lebih kurang 12 kilometer dengan kondisi
sebagian masih jalan tanah berbatu.
Untuk kegiatan keagamaan tersedia bangunan Masjid dan Musholla di tiap
wilayah rukun tetangga atau rukun warga yang juga ditunjang dengan bangunan
produk pesantren dengan kondisi yang masih sangat sederhana, selain itu tersedia
juga potensi wisata alam yang berada di Kampung Cibeureum, walaupun sampai
saat ini belum secara maksimal digali dan dikembangkan, dikarenakan
keterbatasan pengetahuan dan sumberdaya modal.
4.2 Sumber-Sumber Agraria dan Sistem Pertanian Setempat
Menurut Sitorus (2002: 34-35) sumber-sumber agraria m