• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI EKONOMI PETANI LAPISAN ATAS DALAM MENGAKUMULASI MODAL: TIPE ELITE DI DESA

Bab VII menganalisis strategi ekonomi petani lapisan atas dalam mengakumulasi modal dan memperjelasnya melalui tipe petani lapisan atas di desa. Setelah dua bab sebelumnya yang merupakan rangkaian dari proses akumulasi modal pada rumah tangga petani lapisan atas dan peran petani lapisan atas di dalam pembangunan pedesaan, selanjutnya bab ini mencoba menggabungkan keduanya dalam satu bab utuh.

Peran petani lapisan atas di dalam pembangunan pedesaan dengan sumberdaya dan lapangan kerja melalui lahan dan kerbau yang dimiliki H. Aw dengan jumlah yang semakin bertambah sampai saat penelitian berlangsung. Dari kegiatan pertanian ini maka H. Aw memberikan lapangan kerja kepada pentani desa di sektor pertanian yakni menjadi petani penggarap, buruh tani dan pemelihara hewan ternak.

Lahan yang dimiliki H. Aw jumlah sangat luas dan semakin bertambah sampai saat ini. Selain ada beberapa bagian yang sudah dibagikan kepada 6 orang anaknya sisa lahan yang dimilikinya kini sebagian besar disewakan kepada petani penggarap. Petani penggarap yang menyewa lahan H. Aw menjalankan perjanjian sewa, yakni setiap satu gedeng atau sama dengan 1.500 meter persegi lahan yang disewa maka setiap satu musim panen yakni sekitar lima bulan lamanya maupun lebih cepat sekitar empat bulan, hasil panen sebesar 50 gedeng sama dengan 500 liter wajib diberikan kepada H. Aw sebagai biaya sewa lahan.

Penyataan tersebut sesuai dengan catatan bahwa timbulnya golongan pemilik tanah luas sebagai akibat komersialisasi tidak disertai oleh timbulnya suatu golongan petani luas. Menurut Ploegsma,

“Pemilikan tanah luas tentu tidak mengakibatkan usaha-usaha tani luas. Tanah-tanah yang dikuasai oleh golongan pemilik luas disewakan atau dibagi hasilkan kepada penggarap-penggarap lain; dengan demikian, dari segi ekonomi pertanian, pola usahatani kecil-kecilan tetap bertahan” (Ploegsma 1936: 61 dalam White dan Wiradi 1979: 18).

Nampaknya konsentrasi pemilikan bukanlah disertai oleh konsentrasi luas usahatani melainkan oleh suatu tingkat penyakapan yang tinggi: sejumlah besar petani bukan pemilik, yang masing-masing diberikan usahatani kecil atas dasar sewa atau bagi hasil. Dari hasil penemuan penelitian di desa bahwa H. Aw yang memiliki lahan sawah yang sangat luas tidak dikelolanya secara mandiri melalui usahatani luas atau agribisnis tetapi melalui usahatani kecil yang digarap petani lain dari sistem sewa yang dapat memberikan kesempatan kerja kepada petani di desa.

H. Ong yakni petani yang merubah halungan mata pencaharian yang utama yakni berdagang. Sesuai dengan pernyataan Sinaga dan White (1979) dalam Wiradi (1985: 47-48) menyatakan bahwa golongan pertani luas yang mempunyai surplus pendapatan dari pertanian, mampu menginvestasikan surplusnya itu pada usaha-usaha padat modal tetapi yang memberikan pendapatan yang relatif besar (misalnya, alat-alat pengolahan hasil pertanian, berdagang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya). Karenanya mereka mencari pekerjaan di luar pertanian yang padat tenaga kerja dan/atau modal kecil, tapi memberikan pendapatan yang relatif rendah, misalnya kerajinan tangan, bakul es, warung kecil dan sebagainya). Semua ini berarti bahwa petani luaslah yang lebih mempunyai

jangkauan terhadap sumber besar non-pertanian, yang pada gilirannya melahirkan proses akumulasi modal dan investasi yang saling menunjang baik bidang pertanian maupun non-pertanian diantara golongan elite pedesaan.

Dari hasil usaha berdagang yakni usaha toko bangunan kini usahanya semakin berkembang. H. Ong kini memiliki dua toko bangunan yang sangat besar. Pertama di Desa Ciasmara yang bernama

digunakan untuk kebutuhan sehari-hari atau konsumtif tetapi sedikit-sedikit dibelanjakan untuk tanah sawah ke depan. Sukses diartikan dengan kehidupan pribadi yang cukup tidak macam-macam dan hanya untuk tani. Mulai beliau muda sampai tua tetap giat dalam bertani. Karena tiga perilaku tersebut maka H. Aw saat ini dapat menjadi sejahtera.

H. At merupakan petani yang respon terhadap teknologi pertanian yang mampu mensejahterakan petani dan beliau memiliki tujuan memajukan petani dengan mendidik petani agar mencoba teknologi pertanian yang baru melalui kelompok tani. Sesuai dengan penjelasan kritisi dari Tjondronegoro dan Wiradi (1984: 271) bahwa keberhasilan suatu pembangunan (di daerah pedesaan) akan banyak bertumpu pada petani-petani maju yang bertindak sebagai pelaku pembangunan (agent of development), oleh karena merekalah yang menunjukkan daya tanggap (responsiveness) yang lebih besar terhadap semua inovasi dan perbaikan teknik serta merekalah yang lebih mudah didekati oleh dinas-dinas pemerintah. Tersirat di dalam anggapan itu suatu aci-acian bahwa petani maju akan menjadi teladan bagi petani-petani miskin yang diharapkan segera mengikuti teladan tersebut karena mereka bisa mengamati secara dekat.

Dari hasil temuan di lokasi pada saat penelitian berlangsung maka dapat melihat tipe petani lapisan atas di desa (Lihat Tabel 10).

Tabel 10. Tipe Petani Lapisan Atas di Desa Ciasmara

H. Aw H. At H. Ong

Pemilik lahan tradisional yakni petani konservatif dengan pola pertanian yang tradisional (Petani Adat) melalui kepemilikan lahan yang luas dan mempunyai banyak penyewa atau penggarap lahannya.

Pemilik lahan modern yakni petani yang progresif dengan pola pertanian yang maju melalui kelompok tani (Ketua Kelompok Tani).

Pemilik lahan Entrepreneur

yakni wirausahawan di desa yang merubah sumber mata pencaharian utamanya yakni dari bertani menjadi pedagang toko bangunan di desa.

Tidak sekolah tetapi memiliki kemampuan membaca dan menulis yang diperolehnya dari belajar dipengajian dan

pengalaman selama berdagang.

Tinggi dan sekarang menjabat sebagai

guru/kepala sekolah SMP di desa.

Tinggi sehingga memiliki kemampuan mengelola toko dengan baik dan

berkembang. Pemberi lapangan kerja di desa

melalui lahan yang disewakan kepada petani penggarap Dimana surplus dari pertanian diinvestasikan dalam bentuk lahan sawah secara terus- menerus sehingga lahan sebagai dasar akumulasi modal dan surplus tidak digunakan untuk kebutuhan konsumtif.

Penggerak dan pendidik petani di desa melalui kelompok tani atau pendidikan sebagai dasar akumulasi modal.

Pemberi kesempatan kerja di desa melalui lahan yang disewakan kepada petani penggarap dan membuka lapangan kerja di sektor non pertanian yakni pekerja toko bangunan.

Surplus dari pertanian diinvestasikan ke sektor non pertanian yakni toko bangunan dan tanah dimana toko bangunan sebagai dasar akumulasi modal. Menekankan kejujuran dalam

hubungannya dengan sistem sewa lahannya yakni masalah pembayarannya dan selalu memberikan keringan kepada penggarapnya ketika hasil panen tidak bagus.

Berperilaku sangat baik dan menjadi tokoh yang dijadikan acuan oleh orang lain terutama dalam hal pendidikan dan juga membina hubungan harmonis dengan kelompok taninya.

Dalam hal perdagangan toko bangunan memberikan pelayanan yang baik terhadap konsumen hal ini terlihat dari penjelasan beliau tetap memberikan pelayanan meskipun pada hari raya.

BAB VIII

PENUTUP

8.1Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Desa Ciasmara, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat, ditemukan beberapa hal penting yang berkaitan dengan strategi ekonomi petani lapisan atas dalam mengakumulasi modal yaitu:

Pertama, proses akumulasi modal melalui mekanisme surplus dan investasi surplus petani lapisan atas, dimana surplus dari mekanisme ini menyebabkan petani lapisan atas menginvestasikan modal dari sektor pertanian ke sektor non pertanian sehingga terjadi akumulasi modal.

Kedua, dengan menginvestasikan modal dari sektor pertanian ke sektor non pertanian menyebabkan terjadinya lapangan kerja di pedesaan pada sektor pertanian dan sektor non pertanian.

Ketiga, proses akumulasi modal dengan melihat mekanisme surplus rumah tangga petani yakni H. Aw sebagai pemilik lahan tradisional, H. At sebagai pemilik lahan modern dan H. Ong sebagai pemilik lahan entrepreneur.

Keempat, peran petani lapisan atas di dalam pembangunan pedesaan melalui sumberdaya dan lapangan kerja, transfer teknologi dan kelembagaan karena merupakan petani yang respon terhadap teknologi pertanian yang mampu mensejahterakan petani dan juga memiliki tujuan memajukan petani dengan mendidik petani agar mencoba teknologi pertanian yang baru melalui kelompok tani.

Kelima, tipe petani lapisan atas di Desa Ciasmara dapat disimpulkan dengan melihat tiga sumber tineliti yakni H. Aw sebagai pemilik lahan tradisional atau petani konservatif dengan pola pertanian yang tradisional, H. At sebagai pemilik lahan modern atau petani progresif dengan pola pertanian yang maju dan H. Ong sebagai pemilik lahan entrepreneur.

8.2Saran

1. Memanfaatkan proses akumulasi modal melalui mekanisme surplus dari rumah tangga petani yang telah diketahui aliran surplusnya yang diinvestasikan ke sektor pertanian dan sektor non pertanian sehingga dapat diketahui sosial ekonomi rumah tangga petani lapisan atas.

2. Perlu penelitian yang mendalam mengenai pemberian kesempatan kerja yang diciptakan petani lapisan atas baik di sektor pertanian maupun sektor non pertanian.

3. Petani yang dianggap tokoh tani yang memiliki pendidikkan tinggi dapat dijadikan sasaran penyuluhan karena mereka mampu menyebarkan luaskan pengetahuan teknologi baru yang didapatnya kepada petani lain yang kurang respon dan berpendidikkan rendah.

4. Program-program dari pemerintah dapat bekerjasama dengan petani lapisan atas desa karena mereka bisa menjadi teladan bagi petani lain.