• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III MEKANISME DAN KEKUATAN MENGIKAT

A. Model Penyelesaian Perselisihan Antara Pekerja Dengan

1. Bipartit

Upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit ini harus dilakukan terlebih dahulu oleh pekerja/buruh dan pemberi kerja (pengusaha) terhadap semua jenis perselisihan hubungan industrial.88 Dari perundingan bipartit ini diharapkan akan tercapai kesepakatan penyelesaian tanpa campur tangan pihak ketiga. Hal ini dapat dimengerti karena sebetulnya yang paling mengetahui duduk permasalahan dan berperan dalam perselisihan yang terjadi adalah pekerja/buruh dan pengusaha.

88

Peranan lembaga kerja sama bipartit tingkat perusahaan harus lebih diperkuat dalam menangani persoalan internal. Penyelesaian di tingkat perusahaan dinilai lebih baik ketimbang melibatkan pihak ketiga yang belum tentu memahami keinginan kedua belah pihak. Hubungan

Industrial, Bipartit Internal Harus Lebih Diperkuat, dalam http://kompas.co.id/read/xml/2009/02/03/21332352/hubungan.industrial.bipartit.internal.harus.lebih.di

Campur tangan pihak ketiga ini bisa saja membantu mendinginkan suasana tapi bisa juga membuat suasana menjadi lebih panas.

Selama ini penyelesaian bipartit dikenal sebagai penyelesaian dengan cara negosiasi yaitu komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun yang berbeda. 89 Negoisasi adalah sarana bagi pihak yang bersengketa untuk mendiskusikan penyelesaiannya tanpa keterlibatan pihak ketiga sebagai penengah.

Perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.90 Penyelesaian secara musyawarah ini juga diamanatkan oleh Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yaitu dalam Pasal 136 ayat (1) yang menyebutkan bahwa penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah atau mufakat. Selanjutnya dalam ayat (2) disebutkan bahwa dalam hal penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat tidak tercapai maka pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh menyelesaikan perselisihan hubungan industrial yang diatur dengan undang-undang.

Penyelesaian secara bipartit ini wajib dilaksanakan dan dibuat risalah yang ditandatangani oleh kedua belah pihak. Proses bipartit ini harus selesai dalam waktu 30 hari, dan jika melewati 30 hari salah satu pihak menolak untuk berunding atau

89

Suyud Margono, ADR dan Arbitrase : Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2000), hlm.49.

90

perundingan tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap batal. Jika perundingan mencapai kesepakatan, maka dibuat perjanjian bersama tersebut harus didaftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah para pihak mengadakan Perjanjian Bersama dan jika tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi.

Di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa disebutkan bahwa penyelesaian sengketa atau beda pendapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengenyampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.91 Penyelesaian sengketa atau beda pendapat tersebut diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu 14 hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis.

Dilihat dari ketentuan di atas, jelas bahwa dari kedua undang-undang tersebut terdapat kesamaan dalam hal penuangan hasil perdamaian itu secara tertulis, hanya saja dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 mensyaratkan waktu 14 hari sebagai tenggang waktu membuat perdamaian, sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 paling lama 30 hari sejak dimulainya perundingan. Adapun terhadap perdamaian yang dihasilkan oleh para pihak berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tidak dapat dilaksanakan secara paksa (eksekusi) melalui

91

pengadilan, sebagaimana halnya dengan penyelesaian sengketa berdasarkan Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2004.

Di dalam perundingan bipartit, maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.92 UU PPHI ini menambah meja pencatat perselisihan hubungan industrial. Jika para pihak gagal dalam meyelesaikan secara bipartit, maka sebelum para pihak ingin menyelesaikan melalui mediasi atau konsiliasi atau arbitrase, terlebih dahulu harus mencatatkan perselisihan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

Uwiyono mengkritik adanya tambahan meja ini, karena dalam era globalisasi seharusnya kebijakan pemerintah diarahkan pada tindakan debirokratisasi atau deregulasi, bukan sebaliknya menambah meja baru, namun Lalu Husni93 mengemukakan alasan mengenai adanya penambahan meja ini, yaitu bahwa ketentuan pencatatan tersebut wajar karena pemerintah harus mengetahui mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan bidang tugasnya, apalagi menyangkut masalah perselisihan.

Selanjutnya dalam Pasal 4 ayat (3) dan (4) disebutkan bahwa setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak, instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan kepada para pihak untuk

92

Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004

93

menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau melalui arbitrase dan dalam hal para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase, maka instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator.

Permenakertrans No. Per.31/MEN/XII/2008 tentang Pedoman Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Perundingan Bipartit menyebutkan tahap perundingan bipartit adalah sebagai berikut :

a. Tahap sebelum perundingan dilakukan persiapan :

1. pihak yang merasa dirugikan berinisiatif mengkomunikasikan masalahnya secara tertulis kepada pihak lainnya;

2. apabila pihak yang merasa dirugikan adalah pekerja/buruh perseorangan yang bukan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh, dapat memberikan kuasa kepada pengurus serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan tersebut untuk mendampingi pekerja/buruh dalam perundingan;

3. pihak pengusaha atau manajemen perusahaan dan/atau yang diberi mandat harus menangani penyelesaian perselisihan secara langsung;

4. dalam perundingan bipartit, serikat pekerja/serikat buruh atau pengusaha dapat meminta pendampingan kepada perangkat organisasinya masing- masing;

5. dalam hal pihak pekerja/buruh yang merasa dirugikan bukan anggota serikat pekerja/serikat buruh dan jumlahnya lebih dari 10 (sepuluh) orang

pekerja/buruh, maka harus menunjuk wakilnya secara tertulis yang disepakati paling banyak 5 (lima) orang dari pekerja/buruh yang merasa dirugikan;

6. dalam hal perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan, maka masing-masing serikat pekerja/serikat buruh menunjuk wakilnya paling banyak 10 (sepuluh) orang.

b. Tahap perundingan :

1. kedua belah pihak menginventarisasi dan mengidentifikasi permasalahan; 2. kedua belah pihak dapat menyusun dan menyetujui tata tertib secara tertulis

dan jadwal perundingan yang disepakati;

3. dalam tata tertib para pihak dapat menyepakati bahwa selama perundingan dilakukan, kedua belah pihak tetap melakukan kewajibannya sebagaimana mestinya;

4. para pihak melakukan perundingan sesuai tata tertib dan jadwal yang disepakati;

5. dalam hal salah satu pihak tidak bersedia melanjutkan perundingan, maka para pihak atau salah satu pihak dapat mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerja/buruh bekerja walaupun belum mencapai 30 (tiga puluh) hari kerja; 6. setelah mencapai 30 (tiga puluh) hari kerja, perundingan bipartit tetap dapat

7. setiap tahapan perundingan harus dibuat risalah yang ditandatangani oleh para pihak, dan apabila salah satu pihak tidak bersedia menandatangani, maka hal ketidaksediaan itu dicatat dalam risalah dimaksud;

8. hasil akhir perundingan dibuat dalam bentuk risalah akhir yang sekurang- kurangnya memuat :

a. nama lengkap dan alamat para pihak; b. tanggal dan tempat perundingan;

c. pokok masalah atau objek yang diperselisihkan; d. pendapat para pihak;

e. kesimpulan atau hasil perundingan;

f. tanggal serta tanda tangan para pihak yang melakukan perundingan. 9. rancangan risalah akhir dibuat oleh pengusaha dan ditandatangani oleh kedua

belah pihak atau salah satu pihak bilamana pihak lainnya tidak bersedia menandatanganinya;

c. Tahap setelah selesai perundingan :

1. dalam hal para pihak mencapai kesepakatan, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para perunding dan didaftarkan pada Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri wilayah para pihak mengadakan Perjanjian Bersama;

2. apabila perundingan mengalami kegagalan maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerja/buruh bekerja

dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.

Setelah melihat tahapan perundingan tersebut, pertanyaannya adalah apakah penyelesaian bipartit akan cukup efektif dalam menyelesaikan perselisihan antara pekerja dengan pengusaha. Jika di kalangan pengusaha, bipartit dilihat sebagai upaya yang relatif ideal dalam kondisi seperti ini, bagi kaum pekerja hal ini merupakan satu solusi pragmatis dan jalan pintas yang tidak akan banyak mengubah inti persoalan. Hal ini disebabkan antara lain, Pertama, karena bipartit itu sendiri merupakan konsekuensi dari praktik globalisasi di level praktis, di mana fungsi negara sebagai pelindung orang miskin semakin tiada. Penegasan terhadap penggunaannya adalah sekadar memformalisasi hal-hal yang telah menjadi mekanisme global di tingkat nasional. Kedua, jika pemerintah ada di luar proses penyelesaian, kekuasaan akan kian imun dari berbagai bentuk tekanan publik sehingga jika terjadi kemacetan atau dampak sosial akibat konflik tak terselesaikan, negara tak bisa dituntut tanggung jawabnya lagi. Ketiga, penyelesaian dengan bipartit membutuhkan jaminan penegakan hukum kuat, situasi ekonomi yang stabil, dan serikat buruh yang kokoh.94