• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN

B. Sejarah Perselisihan Hubungan Industrial

Mengenai sejarah perselisihan hubungan industrial ini sudah dikenal sejak zaman Pemerintahan Hindia Belanda yakni bermula sebagai akibat dari buruh kereta api yang pertama kali melakukan pemogokan. Untuk itu, yang pertama kali diatur oleh Pemerintah Hindia Belanda adalah cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial di lapangan perusahaan kereta api dengan diadakannya verzoenings raad (dewan pendamai). Peraturan tentang dewan pendamai bagi kereta api dan trem untuk Jawa dan Madura, regerings besluit tanggal 26 Februari 1923 Stb.1923 Nomor 80 yang kemudian di ganti dengan S.1926 Nomor 224.

48

Aloysius Uwiyono, Pelaksanaan Undang-Undang PPHI dan Tantangannya, dalam

Pada tahun 1937 peraturan ini di cabut dan di ganti dengan peraturan tentang dewan perdamaian bagi kereta api dan trem di Indonesia yang berlaku untuk seluruh Indonesia (regerings besluit) tanggal 24 November 1937 s. 1937, Nomor 624).

Adapun susunan kepengurusan dewan perdamaian ini adalah terdiri atas :49 ”Seorang ketua dan seorang atau beberapa orang wakil ketua yang diangkat oleh Gubernur Jendral dari kalangan di luar perusahaan kereta api dan trem serta enam orang anggota yang di tunjuk oleh Kepala Jawatan Kereta Api, enam orang anggota yang ditunjuk oleh Dewan Pengurus dari persatuan perusahaan kereta apai dan trem di Indonesia, dua orang anggota di tunjuk oleh persatuan pegawai sarjana pada jawatan kereta api di Indonesia, enam orang anggota di tunjuk oleh Spoorbond, dua orang anggota di tunjuk oleh roomsch kathalands. Indie Raphael, seorang anggota yang di tunjuk oleh vereniging van het Eiropeesch personeel der pelis poorweg, dua orang yang di tunjuk oleh persatuan pegawai spoor dan trem dan seorang yang ditunjuk oleh bumi putra staatsspoor Tramwegen Ombilinmijnen en Landsantomobild iensten of Sumatera”.

Tugas dewan pendamai ini ialah memberi perantaraan jika di perusahaan kereta api dan trem timbul atau akan terjadi perselisihan hubungan industrial yang akan atau telah mengakibatkan pemogokan atau dengan jalan lain merugikan kepentingan umum.50 Pada tahun 1939 dikeluarkan peraturan cara menyelesaikan perselisihan hubungan industrial pada perusahaan lain di luar kereta api (S.1939 Nomor 407) regerings besluit tanggal 20 Juli 1939 peraturan ini kemudian di ubah dengan S. 1948 Nomor 238.51 Di dalam Pasal 1 S. 1939 Nomor 407 dikatakan kalau perusahaan swasta yang tidak termasuk perusahaan menurut regereings besluit tanggal 24 November 1937 Nomor 1 (S.1937 Nomor 624) terjadi atau akan terjadi

49

F.X.Djumialdji dan Wiwoho Soejono, Perjanjian Perburuhan dan Hubungan Perburuhan

Pancasila, (Jakarta : Bina Aksara, 1987), hlm. 32. 50

Zaeni Ashadie, Hukum Kerja : Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, (Jakarta : Rajawali Pers, 2007), hlm. 129.

51

perselisihan hubungan Industrial yang akan sangat mempengaruhi kepentingan umum maka Direktur Justitie wajib dengan cepat menyampaikan kepada Gubernur Jenderal, keterangan dan pertimbangan apakah perlu diadakan perantaraan oleh pemerintah atau tidak, jika perlu sebelumnya diadakan penyelidikan, namun meskipun demikian nantinya yang sangat menentukan apakah pemerintah perlu ikut campur tangan memberikan perantaraan atau tidak ialah Gubernur Jenderal, sedang Direktur Justitie hanya memberikan pertimbangan saja.52

Itulah peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda sehubungan dengan permasalahan perselisihan hubungan industrial pada waktu itu, perkembangan keadaan berjalan terus hingga bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada awal-awal kemerdekaan ini perselisihan perburuhan tidak begitu tajam atau belum sampai pada taraf yang penting-penting, hal ini dapat dimaklumi karena segala perhatian bangsa dan seluruh rakyat Indonesia pada waktu itu ditujukan pada bagaimana cara mempertahankan negara yang ingin di rebut kembali oleh Pemerintah Belanda, selain itu juga karena perusahaan-perusahaan yang penting pada waktu itu dikuasai oleh negara sehingga pertentangan antara buruh dengan majikan dapat diperkecil dan keadaan ini juga disebabkan karena Kementerian Sosial yang diwajibkan mengurus perburuhan belum mengadakan peraturan-peraturan baru mengenai cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial tetapi hanya berupa instruksi-instruksi kepada kepala-kepala

52

jawatan sosial di daerah yang menentukan bagaimana seharusnya sikapnya terhadap perselisihan perburuhan.53

Setelah pengakuan atas kedaulatan atas negara Republik Indonesia tanggal 27 Desember 1949 mulai timbul pertentangan-pertentangan antara buruh dengan majikan sampai menimbulkan perselisihan yang menyebabkan terjadinya pemogokan maupun penutupan perusahaan, maka dikeluarkanlah Instruksi Menteri Perburuhan Nomor PBU.1022-45/U.4191 Tanggal 20 Oktober 1950 tentang Penyelesaian Perburuhan.54

Instruksi ini antara lain memuat bahwa :55

a. Perselisihan antara buruh dengan majikan yang bersifat individual tentang hal-hal yang ditetapkan dalam undang-undang dan peraturan-peraturan perburuhan, dan yang tidak berakibat pemogokan. Penyelesaian ini ditangani oleh Kantor Daerah Jawatan Pengawasan Perburuhan.

b. Perselisihan perburuhan yang tidak termasuk perselisihan tersebut diatas, penyelesaian-penyelesaian ini ditangani oleh kantor-kantor daerah, jika dianggap perlu diselesaikan oleh kantor pusat urusan perselisihan di Jakarta.

Kantor-kantor tersebut di atas mengadakan penyelesaian perselisihan perburuhan secara aktif, yang bersifat perantaraan (mediation) atau perdamaian

53

Y.W Sunindhia dan Ninik Widiyanti, Masalalah PHK dan Pemogokan, (Jakarta : Bina Aksara, 1988), hlm.90.

54

F.X.Djumialdji dan Wiwoho Soejono, Op.Ciit, hlm.38.

55

(conciliation) dan jika oleh pihak yang berselisih menghendakinya dapat mengadakan pemisahan/arbitrase (arbitration).

Cara penyelesaian perburuhan seperti di atas tidak dapat mengatasi perselisihan-perselisihan perburuhan pada waktu itu karena perselisihannya lebih bersifat politis dari pada ekonomis. Untuk mengatasi masalah-masalah sebagai akibat pemogokan-pemogokan yang sangat banyak terjadi pada waktu itu, maka pada permulaan tahun 1951 berdasarkan atas undang-undang keadaan perang dan darurat perang oleh beberapa panglima tentara dan teritorium dengan persetujuan pemerintah dikeluarkan aturan larangan mogok untuk perusahaan-perusahaan vital, tetapi karena terus menerus terjadi pemogokan yang menyebabkan keamanan dan ketertiban, sangat terganggu maka oleh kekuatan militer pusat dengan persetujuan Dewan Menteri ditetapkan Peraturan Penyelesaian Pertikaian Perburuhan (Peraturan Kekuasaan Militer tanggal 13 Februari 1951 Nomor 1).56

Peraturan ini melarang adanya pemogokan di perusahaan yang vital yakni dengan mengancam barang siapa yang melakukan pemogokan dan atau penutupan perusahaan di hukum dengan hukuman kurungan setinggi-tingginya satu tahun dan atau denda setinggi-tinginya Rp 10.000,00.

Peraturan ini juga mengatur cara penyelesaian pertikaian perburuhan yakni perselisihan di perusahaan yang vital diputuskan secara mengikat oleh panitia penyelesaian pertikaian perburuhan yang terdiri atas Menteri Perburuhan sebagai

56

Imam Soepomo, Hukum Perburuhan Bidang Pelaksanaan Hubungan Kerja, (Jakarta : Djambatan, 1983), hlm. 144.

ketua dan sebagai anggota adalah Menteri Perhubungan, Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian, Menteri Keuangan dan Menteri Pekerjaan Umum sedangkan perselisihan di perusahaan yang tidak vital diselesaikan dengan cara mendamaikan oleh Instansi Penyelesaian Pertikaian Perburuhan di daerah yang terdiri atas Wakil Menteri Perhubungan, sebagai ketua dan sebagai anggotanya Wakil Kementerian Dalam Negeri, Wakil Kementerian Keuangan, Wakil Kementerian Perdagangan dan Perindustrian, Wakil Kementerian Umum dan Wakil Kementerian Perhubungan. Jika usaha instansi ini tidak berhasil, maka persoalannya diajukan kepada Panitia Penyelesaian Pertikaian Perburuhan, dengan demikian ada dua macam penyelesaian yaitu di perusahaan vital penyelesaiannya secara arbitrase wajib sedangkan di perusahaan lain dengan perantaraan saja, namun karena dalam kenyataannya peraturan ini tidak membawa hasil seperti yang diinginkan maka pada tahun 1951 pemerintah juga mengeluarkan undang-undang yakni Undang-Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan.

Keistimewaan dari Undang-Undang Darurat ini adalah jika majikan dan serikat buruh tidak mengadakan pemisahan sukarela yakni menyerahkan perkaranya kepada seorang juru pemisah atau sebuah dewan pemisah untuk diselesaikan (voluntary arbitration), maka perselisihannya akan diselesaikan oleh instansi tersebut dalam undang-undang darurat itu (compulsory arbitration). Keadaan seperti ini terjadi bila pihak-pihak yang berselisih atau salah satu pihak dari pihak yang memberitakannya kepada pegawai perantara. Keistimewaan lain dari undang-undang darurat ini adalah bila para pihak tidak tunduk pada putusan Panitia Penyelesaian

Perselisihan Perburuhan Pusat yang sifatnya mengikat di ancam dengan pidana kurungan selama-lamanya tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 10.000,00.

Undang-Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 ini sering mendapat kecaman dari para pihak khususnya serikat buruh karena dipandangnya sebagai peraturan pengekangan terhadap hak mogok karena pihak yang hendak melakukan tindakan terhadap hak mogok, harus memberitahukan maksudnya dengan surat kepada Panitia Daerah. Tindakan ini baru boleh dilakukan secepat-cepatnya tiga minggu sesudah pemberitahuan itu diterima oleh Panitia Daerah. Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam dengan pidana.

Adanya kecaman-kecaman inilah yang mendorong dicabutnya Undang- Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 dan sebagai penggantinya pada tanggal 8 April 1957 diundangkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan yang menetapkan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) sebagai organ yang berwenang menyelesaikan perselisihan perburuhan.

Kondisi pada waktu itu banyak terjadi perselisihan antara buruh dengan majikan maka saat itu pemerintah juga mengeluarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan (sekarang di sebut Perjanjian Kerja Bersama). Selain itu di buat Undang-Undang Nomor 7 PnPs Tahun 1963 tentang Pencegahan Pemogokan dan Penutupan

Perusahaan di Perusahaan, Jawatan dan Badan yang Vital serta Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta yang melarang pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja tanpa seijin dari P4P dan P4D.

Setelah itu kondisi ketenagakerjaan mulai membaik sehingga jarang terjadi konflik antara pekerja dengan pengusaha. Perhatian masyarakat juga tertuju pada politik dengan pergantian kekuasaan dari orde lama ke orde baru.57

Peraturan perundang-undangan tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang ada dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 yang digunakan sebagai landasan dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial selama ini ternyata belum dapat mewujudkan penyelesaian secara sederhana, cepat, adil dan murah, bahkan sebaliknya prosedurnya panjang dan tidak adanya jeminan kepastian hukum.

Upaya untuk mengganti peraturan perundang-undangan yang dirasakan tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum masyarakat di bidang ketenagakerjaan sudah dilakukan sejak tahun 1998 yang melibatkan berbagai komponen termasuk organisasi pekerja, pengusaha, LSM dan para pakar yang melahirkan rancangan undang-undang tentang Penyelesaian Perselisihan Industrial (PPI) dan tepatnya pada akhir tahun 2003 pemerintah mengeluarkan UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI).

57

Maimun, Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar, (Jakarta : Pradnya Paramita, 2003), hlm.7.

Disahkannya UU PPHI ini pada tanggal 16 Desember 2003 menyebabkan segala bentuk penyelesaian perselisihan perburuhan akan mengikuti ketentuan yang berlaku menurut undang-undang ini. Pada ketentuan penutup UU PPHI ini dijelaskan undang-undang ini baru akan berlaku setahun setelah setelah diundangkan dan dengan berlakunya undang-undang tersebut maka Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta dinyatakan tidak berlaku lagi serta semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 dan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1964 dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam UU PPHI.