• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN

D. Perselisihan Dalam Hubungan Industrial Pancasila

Hubungan Industrial Pancasila (HIP) adalah sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan jasa (pekerja, pengusaha dan pemerintah) yang didasarkan atas nilai-nilai yang merupakan manifestasi dari keseluruhan sila-sila dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang tumbuh dan berkembang di atas kepribadian bangsa dan kebudayaan nasional Indonesia.68

Ini artinya prinsip hubungan industrial pancasila yang dianut di Indonesia harus dipergunakan sebagai acuan dalam mengatasi atau memecahkan berbagai persoalan yang timbul (perselisihan) dalam bidang ketenagakerjaan. Hal ini berarti bahwa kegiatan-kegiatan hubungan industrial harus mengamalkan sila-sila dari pancasila sebagai berikut :69

1. Hubungan industrial berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, menyatakan bahwa pengusaha dan pekerja harus menerima dan percaya bahwa perusahaan adalah berkat dan rahmat Allah SWT serta kesempatan yang diberikan Tuhan bagi kita, supaya kita dapat melayani sesama manusia, serta kesempatan untuk berbakti pada nusa dan bangsa. Sebab itu perlu adanya kebebasan beragama dan beribadah, dan ada rasa saling menghormati antara sesama kelompok-kelompok agama.

2. Hubungan industrial berdasarkan keadilan dan peradapan manusia menganjurkan bahwa setiap pekerja tidak boleh diperlakukan hanya sebagai faktor produksi tetapi juga sebagai mahluk individu yang memiliki kepribdaian, berdasarkan kenyataan ini, hubungan pengusaha dengan karyawan harusberdasarkan nilai-nilai kemanusiaan dan rasa cinta dengan sesama.

3. Hubungan industrial berdasarkan persatuan Indonesia, menunjukan bahwa tidak ada diskriminasi golongan, agama, dan antara pria dan wanita. Antara pengusaha dan pekerja, harus mengingkatkan rasa cinta air dan

68

Pedoman Pelaksanaan Hubungan Industrial Pancasila (HIP), (Jakarta : Depatemen Tenaga Kerja, 1985), hlm. 9

69

masyarakat, serta menempatkan kepentingan negara dan rakyat di atas kepentingan pribadi dan kelompok.

4. Hubungan industrial berdasarkan perwakilan dan permusyawaratan mengutamakan bahwa pemilik perusahaan dan pekrja harus berlaku sebagai patner dalam produksi. Ini berarti mereka harus tolong menolong dan berusaha mencari persesuaian di antara mereka. Keduanya pengusaha dan pekerja harus mengutamakan pemusyawaratan dalam membuat keputusan bagi kepentingan bersama.

5. Hubungan industrial berdasarkan keadilan sosial, mempunyai arti baik pengusaha maupun pekerja harus berusaha untuk memperbaiki kesejahteraan semua pihak yang berkepentingan dalam perusahaan. Setiap orang harus menerima balas jasa sesuai dengan fungsi dan kemampuanya. Hubungan industrial pancasila berbeda dengan hubungan industrial di negara lain karena memiliki ciri khas yaitu :70

1. Hubungan Industrial Pancasila mengakui dan meyakini bahwa bekerja bukan hanya bertujuan untuk sekedar mencari nafkah, akan tetapi sebagai pengabdian manusia kepada Tuhannya, kepada sesama manusia, masyarakat, bangsa dan negara.

2. Hubungan Industrial Pancasila menganggap pekerja/buruh bukan hanya sekedar faktor produksi belaka, tetapi sebagai manusia pribadi dengan segala harkat dan martabatnya, oleh karena itu perlakuan pengusaha/majikan kepada pekerja/buruh bukan hanya dilihat dari segi kepentingan produksi belaka, tetapi harus dilihat dalam rangka meningkatkan harkat dan martabat sebagai manusia.

3. Dalam Hubungan Industrial Pancasila, setiap ada perbedaan pendapat antara pekerja/buruh dengan pengusaha/majikan harus dapat diselesaikan dengan jalan musyawarah untuk mencapai mufakat yang dilakukan secara kekeluargaan, karena dalam tindakan mogok, penekanan dan penutupan perusahaan (Lock Out) adalah tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Hubungan Industrial Pancasila.

Selain Hubungan Industrial Pancasila, juga dikenal beberapa hubungan industrial di dunia, yaitu :

70

Hartono Widodo dan Juliantoro, Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, (Jakarta : Rajawali Pers, 1992), hlm.15.

a. Hubungan Industrial berdasarkan Demokrasi Liberal

Hubungan industrial ini berdasarkan pada falsafah individualisme dan liberalisme yang dianut oleh negara-negara barat seperti Amerika Serikat dan Eropa Barat. Ciri hubungan industrial berdasarkan Demokrasi Liberal antara lain :71

1. Pekerja dan pengusaha mempunyai kepentingan sendiri-sendiri, kepentingan pekerja adalah mendapatkan upah yang sebesar-besarnya, sedangkan pengusaha ingin memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.

2. Pihak majikan dan pekerja masing-masing membentuk kekuatan sosial untuk memelihara dan melindungi kepentingan masing-masing dalam setiap perselisihan.

3. Setiap individu baik majikan ataupun pekerja akan dijamin haknya untuk berusaha atau berpartisipasi aktif dalam menentukan jalannya perusahaan. 4. Mufakat diselesaikan melalui konflik bargainning dan voting.

5. Lock Out (majikan) dan mogok kerja (Pekerja) merupakan senjata masing- masing pihak untuk mendikte lawan.

b. Hubungan Industrial Berdasarkan Perjuangan Kelas

Hubungan indutrial ini berlandaskan Marxisme/Komunisme, yang memiliki ciri- ciri sebagai berikut :72

71

Ali Mashar, Rasional dan Sejarah Singkat Hubungan Industrial Pancasila, dalam

http://www. pksm.mercubuana.ac.id/new/elearning/files_modul/31022-12-928244234882.doc, Diakses tanggal 4 Mei 2009

72

1. Berdasarkan pada teori ”nilai lebih” dari Karl Marx dan Lenin, yakni pengusaha selalu berupaya agar dapat menilai lebih meskipun dengan mengambil sebagian upah pekerja.

2. Perjuangan kelas diperlukan untuk mencapai diktator proletariat yang merupakan masa transisi ke tahap penghapusan semua kelas menuju masyarakat tanpa kelas.

3. Untuk mencapai masyarakat tanpa kelas, kelas tertindas harus dipertentangkan dengan kelas penindas.

4. Pekerja dan pengusaha adalah dua pihak yang bertentangan kepentingan karena itu perbedaan pendapat diselesaikan dengan saling menjatuhkan. c. Hubungan industrial yang didasarkan pada ajaran sosial Rerum Novarum,

berpandangan bahwa pertentangan kelas dalam masyarakat tidak bersifat abadi, karena itu perlu diupayakan kerja sama.

d. Hubungan industrial atas dasar komitmen seumur hidup.

Sistem ini diterapkan di Jepang yang mencerminkan hubungan industrial yang bersifat desentralistik dan paternalistik yang menekankan kewajiban kesejahteraan pekerja menjadi tanggungjawab pihak perusahaan.

Untuk mewujudkan falsafah hubungan industrial Pancasila di dalam kehidupan sehari-hari perlu dirintis sarana perwujudannya, yaitu :

1. Lembaga Kerjasama Bipartit

Lembaga kerjasama bipartit73 adalah lembaga yang berada pada tingkat unit produksi yang dibentuk bersama-sama dengan pengusaha dan pekerja. Badan ini merupakan forum konsultasi, komunikasi dan musyawarah dalam pelaksanaan kehidupan sehari-hari yang berkaitan dalam meningkatkan produktivitas kerja, ketenangan kerja dan usaha serta penelitian praktek-praktek kesepakatan kerja dan penetapan tata cara kerja.

2. Lembaga Kerja Sama Triparit

Lembaga kerjasama tripartit adalah lembaga kerja sama yang anggotanya terdiri dari unsur pemerintah, organisasi pekerja dan organisasi pengusaha. Fungsi lembaga ini74 adalah sebagai forum konsultasi dan komunikasi dengan tugas utamanya menyatukan konsepsi, sikap, dan rencana dalam menghadapi berbagai masalah ketenagakerjaan, baik timbul sekarang maupun yang timbul di masa datang.

73

LKS Bipartit tidak dapat diartikan sebagai kerjasama dalam arti fisik, melainkan dalam konsep pemikiran dan penyamaan persepsi. LKS Bipartit tidak dapat menggantikan fungsi SP didalam perundingan atau musyawarah, apalagi mencapai suatu kesepakatan. LKS Bipartit hanya sebatas sebagai forum komunikasi dan konsultasi yang tidak mengikat semua pihak. Pada perusahaan dengan jumlah pekerja kurang dari 50 orang, komunikasi dan konsultasi masih dapat dilakukan secara individual dengan baik dan efektif, namun pada perusahaan dengan jumlah pekerja 50 orang atau lebih, komunikasi dan konsultasi perlu dilakukan melalui sistem perwakilan. Agus Setya Permana,

Hubungan Industrial, dalam http://www.sp-bni.or.id/content/hubungan-industrial, Diakses tanggal 20 Mei 2009.

74

Sedangkan tugas lembaga ini adalah (a).menggalang komunikasi dan kerjasama yang baik antara pemerintah, pekerja dan pengusaha. (b).menampung, merumuskan dan memecahkan masalah yang menyangkut dalam bidang ketenagakerjaan (c).membina komunikasi, informasi, konsultasi secara timbal balik dalam hubungan kerja dari ketiga unsur tripartit (d).dalam hubungan dengan badan- badan lain yang bersifat tripartit, memberikan informasi dan konsultasi secara timbal balik juga dengan LKS Tripartit daerah dan sektoral. Soedarjadi, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia : Panduan Pengusaha, Pekerja dan calon Pekerja, (Jakarta : Pustaka Yistisia, 2008), hlm. 39.

3. Kelembagaan Penyelesaian Perselisihan Industrial

Kelembagaan ini merupakan mekanisme penyelesaian keluh kesah yang seharusnya diadakan di setiap perusahaan.75 Apabila penyelesaian keluh kesah di perusahaan tidak dapat diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat, maka penyelesaiannya didasarkan pada ketentuan pelaksanaan peraturan perundang- undangan yang berlaku yaitu menyerahkan pada pegawai perantara yang pada dasarnya merupakan tahap penyelesaian dengan bantuan pihak ketiga. Untuk itu pihak yang berselisih menyadari bahwa sikap keterbukaan merupakan salah satu kunci penyelesaian, yang berarti dihadapan pegawai perantara harus merupakan tempat tukar menukar informasi lebih mendalam terhadap kedua belah pihak, sehingga proses penyelesaian dapat berjalan lancar, cepat dan baik.

4. Organisasi Ketenagakerjaan

Organisasi ketenagakerjaan yang terdiri dari Serikat Pekerja/Serikat Buruh76 dan

75

Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk mufakat, Ali Sodikin,

Sarana Menciptakan Hubungan Industrial Yang Harmonis, dalam http://apindo.or.id/index/berita/aW5mbywyNDk, Diakses tanggal 3 Mei 2009.

76

Serikat Pekerja/ Serikat Buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya. Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud di atas, serikat pekerja/serikat buruh berhak menghimpun dan mengelola keuangan serta mempertanggungjawabkan keuangan organisasi termasuk dana mogok. Besarnya dan tata cara pemungutan dana mogok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dalam anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan. Ibid

Organisasi Pengusaha77 haruslah sesuai dengan tuntutan hubungan industrial Pancasila, yaitu antara lain :

a. harus dibentuk secara demokratis b. harus berasaskan Pancasila

c. dibentuk bukan karena tujuan menghimpun kekuatan demi tercapainya tujuan kelompoknya, tetapi harus dibentuk sebagai salah satu rekanan pengusaha untuk meningkatkan produksi dalam menunjang pembangunan.

Pelaksanaan Hubungan Industial Pancasila akan memberikan kepada pekerja dan pengusaha suatu filsafat untuk dapat memahami lebih lanjut kedudukan, peranan dan partisipasinya dalam pembangunan. Secara lebih jauh Hubungan Industrial Pancasila dapat digunakan sebagai sarana dalam mengurangi timbulnya masalah ketenagakerjaan, sehingga segala macam rintangan yang dapat menghambat kelancaran jalannya pembangunan sedikit banyaknya dapat diatasi.

Di dalam hubungan industrial yang berdasarkan Pancasila, maka pengusaha sebagai pemberi kerja dan upah serta pekerja sebagai penerima kerja dan upah, merupakan patner dalam pembangunan, oleh karena itu hubungan antara pekerja dan pengusaha harus selalu bekerjasama secara kekeluargaan dan bergotong royong yang berdasarkan atas nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila, khususnya sila

77

Setiap pengusaha berhak membentuk dan menjadi anggota organisasi pengusaha. Keberadaan organisasi pengusaha dimaksudkan untuk memperjuangkan kepentingan pengusaha dalam rangka melindungi iklim investasi dan terselenggaranya proses produksi yang aman dan lancar. Untuk saat ini, organisasi pengusaha yang mewakili pengusaha di bidang ketenagakerjaan dan Lembaga Kerjasama Tripartit adalah Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO). Ketentuan mengenai organisasi pengusaha diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ibid

kerakyatan yang di pimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Adanya kerja sama antara pengusaha dengan pekerja yang bersifat kekeluargaan dan segala sesuatu diselesaikan dengan permusyawaratan dan kesepakatan, maka di dalam Hubungan Industrial Pancasila akan tercipta suatu hubungan yang selaras, serasi dan seimbang. Pekerja di samping partner di dalam menciptakan produksi, juga sebagai teman seperjuangan dalam pemerataan menikmati hasil keuntungan perusahaan menurut bagian yang layak sesuai dengan prestasi kerja para pekerja sebagai partner dalam bertanggung jawab.

Seiring adanya reformasi negara, istilah hubungan industrial Pancasila seakan menghilang dan tidak pernah disebut-sebut lagi. Saat ini istilah hubungan industrial Pancasila sering disebut hubungan industrial saja. Sejak reformasi tahun 1998, telah terjadi beberapa perubahan mendasar di bidang ketenagakerjaan di Indonesia yang berdampak pada sistem dan pelaksanaan hubungan industrial, diantara perubahan tersebut adalah:78

Pertama, reformasi politik dan pemerintahan tahun 1998, dari pengekangan kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat selama pemerintahan Orde Baru menjadi eufora reformasi dan demokrasi. Eoforia reformasi tersebut bukan saja berdampak pada pembentukan lebih dari 100 partai politik baru, akan tetapi juga pada pembentukan lebih dari 100 serikat pekerja.

78

Sarana Hubungan Industrial, dalam http//www.ab-fisip-upnyk.com/files/Bab-02-Sarana- HI.pdf, Diakses tanggal 15 Mei 2009.

Kedua, pelaksanaan otonomi daerah di tingkat kabupaten dan kota, menuntut peningkatan peranan serikat pekerja dan asosiasi pengusaha di tingkat kabupten atau cabang. Demikian juga dengan otonomi daerah, terjadi pergeseran kewenangan perumusan dan pelaksanakan kebijakan ketenagakerjaan dan hubungan indistrial serta pengawasan dari aparat Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah tingkat kabupaten atau kota.

Ketiga, Organisasi Ketenagakerjaan Internasional atau Internasional Labour Organization (ILO) pada tahun 1998 mengeluarkan Deklarasi yang pada intinya mewajibkan semua negara di dunia meratifikasi dan menerapkan prinsip 8 Konvensi Dasar ILO. Dua diantaranya, yaitu Konvensi Nomor 87 dan Nomor 98 menyangkut kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk bernegosiasi. Ratifikasi kedua Konvensi tersebut juga berarti membuka peluang dan perlindungan bagi para pekerja untuk membentuk serikat pekerja.

Keempat, Indonesia bersama negara-negara lain merupakan bagian dari dunia menghadapi globalisasi. Ciri utama globalissi adalah persaingan yang tajam antar perusahaan dan antar negara. Persaingan tersebut bukan saja menuntut reorientasi hubungan antara serikat pekerja dan pengusaha dari yang selama ini cenderung konfrontatif menjadi kooperatif. Perubahan-perubahan tersebut menuntut perubahan dalam pendekatan, kelembagaan dan penerapan hubungan industrial antara lain :79

79

1. Euforia Reformasi

Setelah adanya reformasi, banyak pekerja merasa telah memiliki kembali haknya untuk berserikat. Serikat pekerja langsung tumbuh seperti jamur. Hingga akhir tahun 2002 sudah terbentuk dan terdaftar di Departemen Tenaga Kerja dan transmigrasi 71 Federasi Serikat Pekerja dan lebih dari 100 serikat pekerja tingkat nasional yang non-afiliasi. Konvensi ILO Nomor 87 dan Nomor 98 yang telah diratifikasi Infonesia memungkinkan pembentukan lebih dari satu serikat pekerja di satu perusahaan. Keberadaan serikat pekerja yang demikian menuntut perubahan berbagai kelembagaan dan proses pelaksanaan hubungan industrial, antara lain komposisi dan mekanisme kerja Lembaga Bipartit dan Tim Perunding di tingkat perusahaan, Panitia Penyelesaian Perselisihan, Lembaga Tripartit dan lain-lain. 2. Otonomi Daerah

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, otonomi pemerintahan dilaksanakan di tingkat kebupaten dan kota. Pada tingkat kabupaten/kota tersebut, masing-masing federasi serikat pekerja dan serikat pekerja non afiliasi pada umumnya mempunyai perangkat organisasi dalam bentuk Pengurus Cabang, demikian juga asosiasi pengusaha juga mempunyai perangkat organisasi di tingkat kabupaten dan kota.

Patut diantisipasi bahwa akan banyak peraturan ketenagakerjaan terutama yang bersifat pelaksanaan yang akan ditetapkan di tingkat kabupaten dan kota dalam bentuk Peraturan Daerah atau Keputusan Bupati. Oleh karenanya, asosiasi pengusaha, setiap federasi serikat pekerja unitaris atau yang berdiri sendiri, perlu memperkuat

dan memberdayakan perangkat organisasi dan Pengurus Cabang supaya berperan aktif sebagai mitra sosial bersama Pemerintah Daerah setempat terutama di berbagai lembaga tripartit di masing-masing kabupaten dan kota.

3. Deklarasi ILO

Sebagaimana dikemukakan di atas, Konferensi ILO ke-86 bulan Juni1998 telah mengeluarkan satu Deklarasi yang intinya adalah bahwa semua negara anggota ILO menyatakan komitmen mereka untuk meratifiksi dan atau menerapkan prinsip- prinsip konvensi Dasar ILO. Konvensi dasar tersebut kemudian berkembang yang dikelompokkan menjadi 4 bidang yaitu bidang :

a. Kebebasan dan perlindungan hak berserikat dan berunding bersama, terdiri dari Konvensi Nomor 87 dan Nomor 98;

b. Larangan kerja paksa, terdiri dari Konvensi Nomor 29 dan Nomor105;

c. Larangan memperkerjakan anak, terdiri dari Konvensi Nomor 138 dan Nomor 182;

d. Larangan diskriminasi dalam penerimaan dan perlakukan terhadap pekerja, terdiri dari Konvensi Nomor 100 dan Nomor 111.

Konvensi dasar tersebut merupakan ketentuan minimal yang harus dipatuhi oleh pengusaha dan Pemerintah di semua negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Dengan demikian, perusahaan multinasional tidak mungkin menghindari kewajiban melaksanakan Konvensi dasar tersebut misalnya dengan pindah ke negara tertentu.

Juga merupakan kewajiban pengusaha dan serikat pekerja untuk bersama- sama melaksanakan ketentuan Konvensi dasar dimaksud. Serikat pekerja di tingkat perusahaan bukan saja ikut terlibat langsung dan aktif dalam menerapkan Konvensi dasar dimaksud, akan tetapi juga perlu aktif melaporkan pelaksanaannya.

E. Faktor Penyebab Terjadinya Perselisihan Antara Pekerja Dengan