• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN

C. Jenis-Jenis Perselisihan Hubungan Industrial

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial membagi perselisihan hubungan industrial menjadi beberapa jenis yaitu :

a. Perselisihan hak

b. Perselisihan kepentingan

c. Perselisihan pemutusan hubungan kerja

a. Perselisihan Hak

Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 menjelaskan perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan perundang- undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.58

Perselisihan hak dapat juga disebut perselisihan hukum yang diakibatkan tidak ditaatinya kesepakatan yang telah diperjanjikan termasuk didalamnya ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, pihak yang satu menafsirkan lain terhadap kesepakatan tersebut.59

b. Perselisihan Kepentingan

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Pasal 1 Angka 3 menyebutkan pengertian perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan,

58

Abdul Khakim berpendapat perselisihan hak (rechtsgeschillen) ialah perselisihan yang timbul karena salah satu pihak tidak memenuhi isi perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian perburuhan atau ketentuan perundangan ketenagakerjaan, contoh pengusaha tidak membayar gaji sesuai perjanjian (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 90.

59

Iman Soepomo mengatakan perselisihan hak ini terjadi karena tidak adanya persesuaian paham mengenai pelaksanaan hubungan kerja (Jakarta : Djambatan, 1983), hlm 97. Sedangkan H.P.Rajagukguk berpendapat jika perselisihan hak adalah perselisihan hukum, yakni perselisihan kolektif atau perselisihan perorangan antara majikan atau serikat majikan dengan serikat buruh atau buruh perorangan mengenai pelaksanaan atau penafsiran perjanjian perburuhan atau perjanjian kerja.

atau perjanjian kerja bersama.60 Jadi perselisihan jenis ini timbul karena perbedaan paham dari para pihak dalam pembuatan atau perubahan syarat-syarat kerja.

Perselisihan kepentingan berbeda dengan perselisihan hak, dalam perselisihan hak, objek sengketanya adalah tidak dipenuhinya hak yang telah ditetapkan karena adanya perbedaan dalam implementsi atau penafsiran ketentuan peraturan perundang- undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang melandasi hak yang disengketakan. Jadi hendaknya harus berhati-hati dalam membuat perjanjian kerja, peraturan perusahaan serta kesepakatan kerja bersama agar tidak menimbulkan penafsiran lain sedangkan perselisihan kepentingan objek sengketanya karena tidak adanya kesesuaian paham/pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

c. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja

Perselisihan pemutusan hubungan kerja menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Pasal 1 Angka 4 adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.61

60

Abdul Khakim menyatakan perselisihan kepentingan (belangengeschillen) adalah perselisihan yang terjadi akibat dari adanya perubahan syarat-syarat perburuhan atau yang timbul karena tidak ada persesuaian paham mengenai syarat-syarat kerja dan atau keadaan perburuhan, contoh pekerja menuntut kenaikan tunjangan makan (Bandung : Citra Aditya Bakti , 2003), hlm.91.

61

PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha (Pasal 1 Angka 25 Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003).

Selama ini dibandingkan jenis perselisihan lain, perselisihan jenis inilah yang paling banyak terjadi, walaupun dalam perundang-undangan sudah cukup jelas diterangkan tentang pemutusan hubungan kerja ini tetapi masih saja masing-masing pihak berbeda pendapat tentang pemutusan hubungan kerja.

Di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sudah dijelaskan mengenai tata cara PHK. Menurut undang-undang ini PHK tidak boleh dilakukan terhadap pekerja dengan alasan :62

a. Pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus menerus.

b. Pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

c. Pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya. d. Pekerja/buruh menikah

e. Pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan atau menyusui bayinya.

f. Pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah di atur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

g. Pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat

62

buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang di atur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

h. Pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan.

i. Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik atau status perkawinan.

j. Pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.

Akibatnya jika terjadi pemutusan hubungan kerja dengan alasan di atas maka PHK tersebut menjadi batal demi hukum dan pengusaha harus mempekerjakan kembali pekerjanya.

Adapun alasan yang diperbolehkan menjadi dasar pemutusan hubungan kerja adalah :63

a. karena pekerja melakukan kesalahan berat64 b. karena pekerja di tahan pihak yang berwajib c. karena telah diberikan surat peringatan ketiga d. karena perubahan status perusahaan

63

Hardijan Rusli, Hukum Ketenagakerjaan 2003, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2003), hlm. 183.

64

Pasal ini telah dibatalkan oleh putusan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 012/PUU-1/2003.

e. karena perusahaan tutup f. karena perusahaan pailit

g. karena pekerja meninggal dunia h. karena pekerja pensiun

i. karena pekerja mangkir

j. karena pengusaha melakukan perbuatan yang tidak patut. k. karena kemauan diri sendiri

l. karena sakit berkepanjangan atau sakit akibat kecelakaan kerja

Salah satu hal yang perlu mendapatkan perhatian dalam kaitannya dengan kasus PHK yang diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan tidak berfungsi sebagai lembaga pemberi izin PHK sebagaimana halnya dengan P4D/P4P, tetapi menilai apakah PHK yang dilakukan oleh para pihak telah sesuai dengan hukum atau tidak, termasuk hal-hak yang diperoleh sebagai akibat dari PHK tersebut.65

Selain kewenangan PHK yang datang dari pengusaha, pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut :66

65

Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan dan Di

Luar Pengadilan, (Jakarta : Rajawali Pers, 2004), hlm. 50. 66

i. Menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh.

ii. Menbujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

iii. Tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama tiga (tiga) bulan berturut-turut atau lebih.

iv. Tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh.

v. Memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan.

vi. Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan dalam perjanjian kerja.

e. Perselisihan Antar-Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam Satu Perusahaan

Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 menyebutkan Perselisihan Antar-Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya kesesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikat-pekerjaan.

Saat ini sudah diterbitkan undang-undang khusus serikat pekerja/serikat buruh yakni Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Di dalam undang-undang ini memberikan kemudahan kepada buruh untuk membentuk serikat pekerja/serikat buruh di tingkat perusahaan. Hanya dengan

minimum 10 orang pekerja dalam suatu perusahaan sudah dapat di bentuk serikat pekerja/serikat buruh. Di dalam undang-undang ini juga dijelaskan siapapun tidak dapat memaksakan kehendak dalam pembentukan atau tidak melakukan pembentukan serikat pekerja/serikat buruh.

Pengelompokan jenis-jenis perselisihan tersebut kembali di kritik oleh Uwiyono, menurutnya pengelompokan jenis perselisihan dalam UU PPHI ini tidak benar. Hal ini disebabkan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja tidak dalam satu tataran dengan perselisihan hak atau hukum dan perselisihan kepentingan. Pengkatagorian jenis perselisihan hak/hukum dan perselisihan kepentingan didasarkan faktor penyebabnya yaitu adanya ketidaksepahaman tentang pelaksanaan aturan hukum, perbedaan perlakuan, dan perbedaan penafsiran suatu ketentuan hukum untuk perselisihan hak, dan ketidaksepahaman tentang perubahan syarat-syarat/kondisi kerja untuk perselisihan kepentingan. Perselisihan PHK, perselisihan upah lembur, perselisihan jaminan sosial, perselisihan kesehatan dan keselamatan kerja adalah contoh-contoh dari perselisihan hak/hukum, sedangkan perselisihan antar serikat pekerja/buruh dilihat dari subjek yang berselisih selanjutnya perselisihan yang terjadi antar serikat buruh/pekerja jika dilihat dari faktor pekerjanya adalah ketidaksepahaman tentang perbedaan pelaksanaan suatu aturan hukum atau perbedaan penafsiran suatu aturan hukum yang masuk dalam katagori perselisihan hak atau perselisihan hukum.67

67