• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III MEKANISME DAN KEKUATAN MENGIKAT

C. Kekuatan Mengikat Dari Kesepakatan/Keputusan yang

Para pihak yang berselisih percaya keputusan Pengadilan Hubungan Industrial mempunyai kekuatan hukum dan dapat dijalankan putusannya terhadap pihak yang tidak menjalankannya secara sukarela namun banyak yang belum tahu kekuatan

113

Budi W Soetjipto, Penyelesian Perkara Perburuhan, (Usahawan No.2 Tahun XXVIII, Februari), hlm.5-6.

hukum dari kesepakatan atau keputusan yang dikeluarkan oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan (bipartit, mediasi, konsiliasi, dan arbitrase). Sebagaimana diketahui perundingan antara pekerja dengan pengusaha melalui bipartit, mediasi dan konsiliasi dapat saja menghasilkan kesepakatan, sedangkan proses arbitrase akan menghasilkan keputusan dari lembaga arbitrase tersebut. Kesepakatan antara pekerja dan pengusaha merupakan bentuk penyelesaian (perdamaian) yang berisi hak dan kewajiban kedua belah pihak yang harus dilaksanakan.

Konsep penyelesaian perselisihan di luar pengadilan pada dasarnya bersumber pada upaya mengaktualisasikan ketentuan tentang kebebasan berkontrak, sehingga putusan akhirnya berupa perdamaian (apabila ini tercapai) tidak lain merupakan hasil upaya yang dilakukan oleh pihak-pihak itu sendiri maupun pihak ketiga (jika mempergunakan bantuan pihak ketiga).

Di dalam penyelesaian perselisihan antara pekerja dengan pengusaha melalui mekanisme di luar pengadilan hubungan industrial (di luar lembaga arbitrase) diperolehnya suatu kesepakatan atas sengketa yang terjadi bukan merupakan suatu keharusan, dengan kata lain dipilihnya lembaga di luar pengadilan tidak selalu melahirkan suatu kesepakatan. Apabila tidak terjadi kesepakatan maka pihak penengah dapat memberikan anjuran yang berisi hal-hal yang dapat disepakati oleh para pihak. Akan tetapi anjuran ini tidak mengikat bagi para pihak, artinya pekerja atau pengusaha dapat saja menolak anjuran tersebut apabila dirasa tidak meguntungkannya.

Pemikiran dasar dipilihnya mekanisme penyelesaian di luar pengadilan untuk menyelesaikan sengketa yang mungkin timbul dikemudian hari adalah para pihak bersepakat untuk menyelesaikan sengketa melalui suatu lembaga di luar pengadilan (out of court), yang mana berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial terdiri dari penyelesaian bipartit, mediasi, konsiliasi dan arbitrase.

Jadi, yang menjadi pokok kesepakatan dari para pihak adalah dipilihnya suatu lembaga yang akan membantu menyelesaikan sengketa di antara para pihak, dalam hal ini lembaga penyelesaian di luar pengadilan.

Kenyataan di atas dipertegas dengan ketentuan Pasal 2 dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang mana dalam pasal tersebut penekanannya hanya pada dipilihnya lembaga yang akan menyelesaikan sengketa, bukan pada diperolehnya suatu kesepakatan/putusan atas sengketa yang timbul. Sebagaimana diketahui, apabila sengketa diselesaikan melalui lembaga di luar pengadilan berarti sengketa yang dimaksud bisa diselesaikan melalui bantuan pihak ketiga yang netral.

Melihat pada peran pihak ketiga yang hanya bertindak sebagai penengah atau fasilitator, khususnya dalam proses mediasi, dan konsiliasi, maka kesepakatan akhir yang diharapkan tercapai, tetap diserahkan kepada para pihak yang bersengketa, sehingga tidak jarang hasil akhir dari penyelesaian tersebut menjadi buntu (deadlock) tanpa menghasilkan keputusan apa-apa.

Kemungkinan tidak diperolehnya hasil akhir berupa kesepakatan penyelesaian (settlement) di antara para pihak yang bersengketa, sekalipun telah mempergunakan lembaga di luar pengadilan, juga terlihat dalam ketentuan Pasal 6 ayat (4) Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menyatakan: Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dengan bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator tidak berhasil mencapai kata sepakat, atau mediator tadi tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak dapat menghubungi sebuah lembaga atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator.

Di setiap bentuk penyelesaian sengketa, baik yang dilakukan melalui lembaga pengadilan (court) maupun di luar pengadilan (out of court), masalah yang paling utama dipertanyakan adalah apakah kesepakatan/putusan yang akan dihasilkan itu mengikat atau tidak (binding or non-binding), dengan perkataan lain apakah kesepakatan/putusan tersebut dapat langsung dilaksanakan (enforceable) atau tidak.

Bila dibandingkan dengan penyelesaian sengketa perdata melalui proses beracara di pengadilan (litigasi), permasalahan kekuatan mengikat dari suatu putusan pengadilan sangat jelas kedudukannya. Undang-undang memberikan hak kepada seseorang atau badan hukum dalam keadaan-keadaan tertentu untuk melawan putusan hakim (dengan mengajukan upaya hukum lain). Apabila terhadap putusan hakim tersebut tidak ada upaya hukum yang diajukan, maka putusan tersebut telah mengikat para pihak dan eksekusi dapat segera dilaksanakan.

Selanjutnya yang selalu menjadi pertanyaan adalah apakah kekuatan mengikat dari kesepakatan/putusan yang dihasilkan oleh lembaga di luar pengadilan dalam bidang ketenagakerjaan, juga memiliki kesamaan dalam hal kekuatan mengikatnya, dengan putusan yang diambil oleh lembaga peradilan?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan: Pertama, hendaknya diperhatikan pemikiran dasar yang melatarbelakangi munculnya lembaga lembaga di luar pengadilan. Sebagaimana telah diketahui bahwa salah satu alasan dipilihnya lembaga penyelesaian di luar pengadilan adalah karena proses litigasi memakan waktu yang lama dan memakan biaya yang mahal karena pemeriksaan harus melewati beberapa tahapan pemeriksaan yang sangat prosedural serta dimungkinkannya para pihak untuk mengajukan upaya hukum lain terhadap suatu putusan yang telah diputuskan oleh majelis hakim, yaitu banding, kasasi, atau peninjauan kembali.

Putusan arbitrase bersifat final dan tetap sebagaimana termaktub dalam Pasal 51 ayat (1) UU PPHI. Apabila putusan tersebut tidak dilaksanakan oleh pihak yang memiliki kewajiban, maka pihak lain yang memiliki hak dapat mengajukan permohonan fiat eksekusi di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) pada Pengadilan Negeri meliputi tempat kedudukan pihak terhadap siapa putusan itu harus dijalankan tanpa mengajukan gugatan kembali. Fiat eksekusi adalah permohonan pelaksanaan eksekusi, yakni dengan mengajukan permohonan kepada Pengadilan agar supaya membantu untuk terlaksananya putusan, sehingga eksekusi dapat berjalan sesuai prosedur hukum.

Selain itu juga dalam Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), meskipun putusan arbitrase bersifat final dan tetap, pembatalan Putusan arbitrase dimungkinkan untuk dimohonkan pembatalan yakni dengan mengajukan permohonan ke MA selambatnya 30 hari sejak ditetapkan, dengan syarat-syarat sebagai berikut:114

1. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan diakui atau dinyatakan palsu;

2. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang disembunyikan oleh pihak lawan;

3. Putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan perselisihan;

4. Putusan melampaui kekuasaan arbiter atau,

5. Putusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Kedua, dipilihnya lembaga di luar pengadilan untuk menyelesaikan setiap sengketa yang timbul di antara para pihak pada dasarnya merupakan hasil kesepakatan dari para pihak yang dituangkan dalam suatu perjanjian tertulis. Oleh karena itu, pelaksanaan dari keputusan/kesepakatan yang dihasilkan, tentunya sangat tergantung dari kesediaan para pihak untuk menaatinya (khususnya untuk keputusan yang dihasilkan oleh lembaga penyelesaian sengketa alternatif di luar arbitrase).

Apabila putusan/kesepakatan yang dihasilkan telah memuaskan para pihak, dan dianggap telah sesuai dengan apa yang diharapkan tentunya putusan/kesepakatan mudah untuk dilaksanakan, namun apabila putusan/kesepakatan yang dihasilkan tidak

114

memuaskan salah satu pihak atau kedua belah pihak, tentunya para pihak akan mencari penyelesaian lain seperti melalui lembaga arbitrase atau pengadilan.

Apabila terhadap kesepakatan yang diperoleh melalui lembaga penyelesaian seperti bipartit, mediasi, dan konsiliasi, para pihak telah sepakat dengan penyelesaian (settlement) yang dihasilkan, biasanya kesepakatan tersebut akan dituangkan dalam suatu agreement dan ditandatangani oleh kedua belah pihak yang bersengketa serta pihak ketiga yang membantu penyelesaian, guna menjamin kepastian pelaksanaan dari kesepakatan tersebut. Di dalam agreement tersebut akan dimuat pula ketentuan yang menyatakan “apabila salah satu pihak tidak melaksanakan kesepakatan yang telah dicapai, maka pihak lainnya dapat meminta pengadilan untuk memaksa (enforce) dilaksanakannya kesepakatan tersebut (judicial proceeding).

Setelah tercapai kesepakatan antara pekerja dengan pengusaha, maka biasanya Persetujuan Bersama tersebut didaftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial. Pendaftaran ini bertujuan agar apabila salah satu pihak tidak melaksanakan kesepakatan tersebut, maka pihak yang dirugikan dapat meminta eksekusi ke PHI. Di PHI Medan sendiri, pihak yang mendaftarkan Persetujuan Bersama tidak begitu banyak (kurang dari 10 kasus) dan belum ada yang meminta eksekusi. Pada umumnya pendaftaran Persetujuan Bersama didasari kewajiban dari undang-undang dan bukan didasarkan ketakutan tidak dilaksanakan persetujuan tersebut karena biasanya perdamaian antara pekerja dan pengusaha sudah dilakukan. Khusus Persetujuan Bersama/Keputusan yang dihasilkan oleh lembaga Konsiliasi dan

Arbitrase sampai saat ini tidak ada yang mendaftar karena memang mekanisme ini tidak berjalan di masyarakat.115

D. Keuntungan Penyelesaian Perselisihan Melalui Lembaga di Luar Pengadilan