• Tidak ada hasil yang ditemukan

RELASI GENDER DALAM RUMAHTANGGA PENGRAJIN GERABAH

7.4 Budaya Lokal pada Masyarakat Pengrajin

Budaya10 diartikan sebagai seperangkat nilai dan norma yang menjadi pedoman atau acuan perilaku bagi warga pendukungnya. Hal ini terbentuk melalui pola interaksi sosial, baik sosialisasi primer maupun sekunder. Pada rumahtangga pengrajin, nilai dan norma terbentuk melalui sosialisasi pada lingkup keluarga, tempat bekerja maupun sarana sosialisasi lainnya.

10

 Endriatmo Soetarto dan Ivanovich Agusta. 2003. Sosiologi Umum. Bogor: Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor dan Pustaka Wirausaha Bogor, halaman 23.  Pengambilan Keputusan SS IS BS SD ID Selamatan 59,38 18,75 18,75 3,12 0 Gotong royong 100 0 0 0 0 Pengajian 0 0 100 0 0 Arisan 31,25 46,88 15,63 3,12 3,12 Rapat desa 93,75 6,25 0 0 0 Ronda malam 100 0 0 0 0

Tabel 37. Persentase Responden menurut Penerapan Budaya Lokal di Desa Anjun, 2009

Tabel 37 menjelaskan penerapan budaya lokal yang dilihat dari tiga aspek yaitu nilai anak, norma bekerja, dan etos kerja. Pada seluruh aspek nilai anak dapat dilihat bahwa persentase responden yang setuju lebih besar dibandingkan persentase responden yang tidak setuju. Kesadaran masyarakat pengrajin akan pentingnya anak sebagai investasi keluarga di masa depan dan kesetaraan

No Uraian Setuju

Tidak Setuju n % n %

1 Nilai Anak

a. anak adalah investasi masa depan 32 100 0 0

b. jumlah anak tidak ada kaitannya dengan rezeki dari Tuhan

23 71,88

9 28,12

c. tingkat pendidikan anak laki-laki dan perempuan setara

26 81,25

6 18,75

d. tanggung jawab anak laki-laki dan perempuan sama saja

27 84,38

5 15,62

e. mempunyai anak berjenis kelamin laki- laki maupun perempuan sama saja

32 100 0 0 2 Norma Bekerja

a. pekerjaan domestik dapat dikerjakan laki- laki maupun perempuan

3 9,37 29 90,63

b. pembagian kerja tidak didasarkan kemampuan fisik

1 3,12 31 96,88 c. pembagian kerja didasarkan keterampilan 29 90,63 3 9,37

d. laki-laki maupun perempuan dapat bekerja malam hari

14 43,75 18 56,25

e. laki-laki dan perempuan mempunyai kewajiban mencari nafkah

4 12,5 28 87,5

3 Etos Kerja

a. laki-laki dan perempuan memiliki keuletan yang sama dalam bekerja

26 81,25 6 18,75

b. laki-laki dan perempuan giat dalam bekerja

24 75 8 25

c. laki-laki maupun perempuan bekerja untuk mengembangkan potensi diri

30 93,75 2 6,25

d. laki-laki dan perempuan bekerja untuk mendapatkan status/pengakuan

32 100 0 0

e. laki-laki dan perempuan memilki ketelitian yang sama dalam bekerja

perlakuan terhadap jenis kelamin anak memiliki persentase pernyataan setuju 100 persen. Hal ini didukung oleh tingginya jumlah responden yang setuju terhadap kesetaraan akses antara anak laki-laki dan perempuanterhadap pendidikan, yaitu sebanyak 26 responden (81,25 persen). Baik anak laki-laki maupun perempuan diharapkan mendapatkan pendidikan formal yang lebih baik dibandingkan orangtuanya (responden). Sementara itu, persentase responden yang setuju terhadap kesetaraan tanggung jawab anak laki-laki dan perempuan terhadap rumahtangga tergolong tinggi, yaitu 84,38 persen. Akan tetapi, masih terdapat persepsi responden yang menganggap bahwa memiliki jumlah anak yang banyak akan mendatangkan banyak rezeki atas dasar hukum agama yaitu sebesar 28,12 persen. Hal ini dipertegas oleh salah satu responden yang memberikan pernyataan sebagai berikut:

“Ceuk hukum agama oge, loba anak mah bakal ngadatangkeun rezeki gede ti Gusti….makana putra abdi mah seueur Jang.”(Bapak Msg, 63 tahun)

Norma bekerja masyarakat pengrajin di Desa Anjun dipengaruhi oleh ideologi patriarkhi yang mengakar dalam kehidupan masyarakat. Laki-laki memiliki akses dan kontrol yang lebih besar dibandingkan perempuan pada berbagai bidang kehidupan, baik penguasaan sumberdaya prduktif usaha maupun sektor lainnya. Perempuan identik pada pekerjaan reproduktif (90,63 persen) dan hal itu dianggap sebagai kodrat pekerjaan perempuan. Bahkan hal ini dipertegas oleh responden perempuan dan laki-laki yang memberikan pernyataan sebagai berikut:

“Upami jadi istri mah kitu-kitu wae lah A, engkin oge lebet ka dapur dapur deui.”(Ibu Cc, 34 tahun)

Pada proses produksi gerabah, pekerjaan didasarkan pada kemampuan fisik (96,88 persen) tetapi disesuaikan dengan keterampilan (90,63 persen). Laki- laki bekerja pada aktivitas yang memerlukan kemampuan fisik sedangkan keterampilan individu dalam bekerja dipelajari sesuai adat istiadat masyarakat pengrajin. Laki-laki bekerja hampir pada semua tahapan proses produksi gerabah. Hal ini ditunjukkan dengan tugas laki-laki untuk mengolah bahan baku maupun pembakaran. Berbeda dengan perempuan yang terlibat pada pekerjaan yang tergolong ringan dan memerlukan ketelitian yang tinggi. Perempuan umumnya melakukan pengecatan gerabah karena perempuan dianggap memilki kesabaran dan ketelitian yang lebih tinggi dibanding laki-laki. Hal ini pun dipertegas oleh salah satu responden yang menyatakan bahwa:

“Padamel di abdi mah seueurna oge istri, biasana istri mah tara seueur protes jeung sok taliti.”(Bapak Ish, 32 tahun)

Jenis komoditi gerabah yang diproduksi oleh pengrajin laki-laki maupun perempuan berbeda. Laki-laki membuat produk gerabah yang berukuran besar sedangkan perempuan perempuan membuat produk gerabah yang berukuran kecil. Laki-laki umumnya membuat pot bunga besar, guci dan vas payung (tergantung produk yang dihasilkan masing-masing pengrajin) sedangkan perempuan membuat pendil, coet/cobek, cinderamata serta pot bunga kecil.

Persentase waktu bekerja pada malam hari lebih besar pada jawaban tidak setuju, yaitu sebesar 56,25 persen. Perempuan umumnya dilarang bekerja pada malam hari karena dianggap sebagai sesuatu yang tabu dalam masyarakat, terutama perempuan yang berstatus sebagai ibu rumahtangga. Adapun pernyataan responden mengenai hal ini adalah sebagai berikut:

“Saya melarang istri saya bekerja malam hari, nanti dikiranya kerja yang tidak benar di mata masyarakat, kerja di siang hari saja sudah cukup lah.” (Bapak Yhr, 42 tahun)

Disamping itu, terdapat pula 14 responden yang menyatakan perempuan memiliki akses untuk bekerja pada malam hari. Mayoritas pekerjaan yang dikerjakan malam hari di sekitar Desa Anjun adalah karyawan/buruh pabrik karena terdapat shift malam. Hal ini dianggap tidak masalah selama pekerjaan itu jelas dan tidak membahayakan perempuan tersebut. Selain itu, responden beranggapan bahwa laki-laki yang memiliki kewajiban mencari nafkah (87,5 persen), partisipasi pendapatan perempuan dalam rumahtangga dianggap sebagai pendapatan tambahan. Hal ini dipertegas oleh salah satu anggota rumahtangga pengrajin seperti yang tertera di bawah ini:

Upami pameget mah wajib ngusahakeun kanggo keluarga. Upami istri mah engke oge diusahakeun ku suami.(Bapak Ads, 46 tahun)

Pada aspek etos kerja, sebagian besar sudah berprinsip pada kesetaraan gender dimana setiap individu memiliki tujuan dan karakteristik yang berbeda, tidak dilihat berdasarkan jenis kelaminnya. Akan tetapi, terdapat jumlah responden yang menyatakan bahwa tingkat ketelitian laki-laki dan perempuan berbeda (84,38 persen) dimana perempuan dianggap memiliki tingkat ketelitian yang lebih baik dibandingkan laki-laki.

BAB VIII