• Tidak ada hasil yang ditemukan

BUDDHA MAITREYA Sejarah Agama Buddha

Agama Buddha adalah sebuah agama dan filsafat yang berasal dari anak benua India dan meliputi beragam tradisi kepercayaan, dan praktik keagamaan yang sebagian besar berdasarkan pada ajaran yang dikaitkan dengan Siddhartha Gautama, yang secara umum dikenal sebagai Sang Buddha (berarti “yang telah sadar” dalam bahasa Sanskerta dan Pali). Sang Buddha hidup dan mengajar di bagian timur anak benua India dalam beberapa waktu di abad ke-6 SM. Beliau dikenal umat Buddha sebagai guru spiritual yang telah sadar atau tercerahkan dan membagikan wawasanya untuk membantu makhluk hidup lainya mengakhiri ketidaktahuan/kebodohan (avidya), kehausan/napsu rendah (tanha), dan penderitaan (dukkha), dengan menyadari sebab musabab saling bergantungan dan sunyatan dalam mencapai Nirvana (Pali:

Nibbana).

Menurut para ahli Barat, Budha Gautama, pendiri agama Budha lahir pada 563 S.M dan wafat pada tahun 483 S.M. Ia adalah anak dari raja Suddhodana, yang memerintah atas suku Sakya, maka dari itu Budha Gautama juga dikenal dengan sebutan Sang Budha Sakyamuni, karena berasal dari suku Sakya. Ibunya bernama Maya, ia dibesarkan di ibukota kerajaan, yaitu Kapilawastu. Ia dibesarkan oleh orang tuanya yang beragama Hindu, pada masa kelahiran Sang Budha masyarakat yang ada di India yang beragama Hindu terbagi kedalam empat Vanna (kasta), yaitu Khattiya (raja dan

keluarganya yang memegang pemerintahan), Brahmana (bertugas dalam upacara dan pendidikan), Vessa atau pedagang (termasuk petani dan tukang ahli), serta Sudra (para pekerja).

Sedangkan Budha termasuk kedalam golongan Khattiya, kerana ayahnya berasal dari keturunan bangsa Arya dan berasal dari keturunan kerajaan Magadha. Dalam sejarah bangsa Arya boleh dikatakan sejarah dari dua golongan saja, masing-masing golongan Khattiya dan Brahmana. Antara dua golongan ini sering terjadi perkawinan sebab perkawinan dari selain dua golongan ini tidak dimungkinkan. Beberapa sarjana berpendapat bahwa masyarakat India (Jambudipa Purba) adalah menganut sistem matriarkhat, yang memberikan wanita hak-hak khusus seperti mengizinkan seorang wanita mempunyai lebih dari satu suami.

Terdapat 2 pandangan yang lazim di India sebelum masa Buddha Gautama, yaitu Brahmanisme dan Sramanaisme. Pandangan Brahmanisme merupakan paham yang diturunkan bangsa Arya, yang menurutnya, roh dan jasmani itu satu. Dengan demikian apabila roh dan jasmani merupakan satu kesatuan, maka setelah kehidupan saat ini tidak ada lagi kehidupan selanjutnya (karena matinya badan jasmani akan berarti matinya roh atau jiwa). Inilah yang disebut paham nihilisme. Karena beranggapan bahwa hidup hanya sekali dan tidak ada lagi kehidupan selanjutnya, maka seseorang akan terus-menerus memuaskan nafsu keserakahan pada kehidupan ini. Sementara pandangan Sramanaisme yang diturunkan oleh bangsa Dravida menganggap bahwa roh dan jasmani bukanlah satu kesatuan. Dan karena roh tidak sama dengan jasmani, maka matinya badan jasmani tidak berarti matinya roh atau jiwa. Roh dianggap sebagai sesuatu yang

kekal dan abadi dan apabila pada saatnya seseorang meninggal, rohnya akan tetap ada dan harus berupaya menyatu dengan keabadian itu sendiri. Pandangan ini memunculkan paham eternalisme (kekekalan). karena beranggapan bahwa roh akan terus ada, roh ini pada akhirnya harus berhenti dalam penyatuan dengan sesuatu yang disebut Maha Kekal. Dan untuk bisa menyatu dengan sesuatu Yang Maha Kekal, roh tersebut haruslah menjadi roh yang suci dahulu. Akibatnya seseorang akan terus melakukan penyiksaan diri (bahkan sampai berlebihan) dengan tujuan menyucikan rohnya sendiri.

Kedua pandangan ini ditolak oleh Buddha Gautama dan pada akhirnya Sang Buddha menawarkan sebuah jalan alternatif yang kemudian disebut sebagai Jalan Mulia Berunsur Delapan (the eightfold path) atau Jalan Tengah (the middle way). Bagi umat Buddha ajaran yang dibabarkan oleh Buddha Gautama lebih dilihat sebagai sebuah pedoman hidup (the way of life) daripada agama. Karena apa yang ditawarkan oleh Buddha Gautama bukanlah sebuah sistem kepercayaan, melainkan sebuah pedoman yang sifatnya universal (dapat diterima oleh semua orang) agar manusia dapat menjalani hidupnya dengan lebih berarti.

Buddha Gautama bukanlah Buddha yang pertama di dalam masa dunia ini (masa dunia atau kalpa: satu kalpa lamanya kurang lebih 320.000.000 tahun). Ada buddha- buddha sebelumnya seperti Buddha Kakusandha, Buddha Konagamana, Buddha Kassapa dan Buddha yang akan lahir (mesianism) yaitu Buddha Mettaya (Maitreya). Dalam Cakkavatti Sihanada sutta, sutta ke-26 dari Digha Nikaya dikatakan bahwa:“Pada saat itu kota yang sekarang merupakan Varanasi akan menjadi sebuah ibu kota yang

bernama Ketumati, kuat dan makmur, didapati oleh masyarakat dan berkecukupan. Di jambudvipa akan terdapat 84.000 kota yang dipimpin oleh Ketumati sebagai ibu kota. Dan pada saat itu orang akan memiliki usia kehidupan sepanjang 84.000 tahun, di kota Ketumati akan bangkit seorang raja bernama Sankha, seorang cakkavati (Raja Dunia), seorang raja yang baik, penakluk keempat penjuru. Pada saat orang memiliki harapan hidup hingga 84.000 itulah muncul di dunia seseorang yang terberhkahi, arahat, sammasambuddha bernama Meitteya”, di dalam Buddhavacana disebut Maitreya Bodhisattva.9

Menurut Peter Lim, dalam Sutra disebut:

“O, Arya Sariputra! Pada saat Buddha baru tersebut dilahirkan di dunia Jambudvipa. Situasi dan kondisi dunia Jambudvipa ini jauh lebih baik daripada sekarang! Air laut agak susut dan daratan bertambah. Diameter permukaan laut dari keempat lautan masing-masing akan menyusut kira-kira 3000 yojana, Bumi Jambudvipa dalam 10.000 yojana persegi, persis kaca dibuat dari permata lazuardi dan permukaan buminya demikian rata dan bersih"

Pada saat Buddha baru tersebut dilahirkan di dunia Jambudvipa. Situasi dan kondisi di dunia Jambudvipa ini jauh lebih baik dari pada sekarang. Air laut agak susut dan daratan bertambah. Diameter permukaan laut dari keempat penjuru tidak setinggi sekarang10. Setiap aliran Buddha berpegang kepada Tripitaka sebagai rujukan utama karena dalamnya

9 http://hindubudhadiindonesia.blogspot.com/2014/06/resume-ke-1-hindu-dan-budha-di-indonesia.html, Diunduh 4 Mei 2015; Seperti diejalskan pula oleh Peter Liem dan Ling-Ling, April 2015

tercatat sabda dan ajaran Buddha Gautama. Pengikut-pengikutnya kemudian mencatat dan mengklasifikasikan ajarannya dalam 3 buku yaitu Sutta Pitaka (kotbah-kotbah

Sang Buddha), Vinaya Pitaka (peraturan atau tata tertib para bhikkhu) dan Abidhamma Pitaka (ajaran hukum metafisika dan psikologi)11. Dalam tataran konseptual, maka Tripitaka ini bukanlah kitb suci, karena bukan merupakan firman Tuhan, tetapi sabda Buddha Gautama atau ajaran sang Buddha Gautama yang disampakan ke berbagai kelompok lapisan dalam masyarakat waktu itu. Itulah sebabnya banyak ilmuwan mengatakan bahwa Buddha Gautama atau Buddha Sakyamuni setara dengan nabi dan Rasul, malah ada yang mengatakan sebagai Nabi Zulkifli, tetapi di kalangan umat Buddha sebagian menganggapnya sebagai Tuhan. Oleh karena itu setiap tulisan yang menunjukkan darinya selalu ditulis nya (bentuk kata ketiga) dengan NYA (hurup besar semua) yang umumnya menjelaskan sebagai milik Tuhan. Dalam Islam, pernyataan Nabi disebut sabda, sabda tersebut disebut hadits, sementara pernyataan Tuhan (Allah) disebut firman. Oleh karena itu ketika menunjuk ajaran Rasul Muhammad SAW, maka tidak pernah dengan ditulis Nya. Hanya ketika menulis firman Tuhan dalam Al Qur’an, umat Islam menulis dengan Nya. Itulah sebabnya pernyataan Buddha karena banyaknya disebut Tripitaka artinya tiga keranjang, yaitu Sutta pitaka, Vinaya Pitaka dan Abidhamma

Pitaka yang pada kenyataanya, seperti dikatakan oleh Peter

Lim, Ling ling dan Burhanuddin bahwa kitab suci Tripitaka ini jika dalam keadaan utuh, banyaknya lebih dari 1 truk kontainer12. Jadi bagaimana manusia dapat belajar dengan

11http://id.wikipedia.org/wiki/Sutta_Pi%E1%B9%ADaka

12 Peneliti ditunjukan oleh Peter Lim dan Ling Ling 1 bufeet besar setiinggi 2.5 meter yang berisi kitab suci Tripitaka di sebuah vihara

kitab sebanyak 1 truk konteiner itu. Jadi jangan dibayangkan kitab suci tripitaka itu seperti kitab suci al Qur’an atau Beybel yang ringkas, ringan, dapat dibawa kemana-mana dan jika ada masalah tinggal membuka mencari rujukanya. Jejeran Tripitaka seperti toko buku Gramedia, sehingga orang harus datang untuk mempelajarinya. Jika kita tidak bersedia datang, dan ingin mengambil beberapa pitaka, maka bersiaplah anda akan menjadi salah satu penghulu lahirnya sekte dan aliran baru dalam Buddha. Sebab kita pasti tidak lengkap dalam mempelajari keseluruhan yang dimaksud dalam Pitaka sebagai kitab suci.13

Dengan semakin berkembangnya agama Buddha kepada berbagai bangsa yang berbeda dalam filosofi, tradisi, kosmologi, bahasa dan sebagainya, apalagi dinyatakan bahwa banyaknya kitab Triptaka bisa lebih dari 1 truk kontainer, maka peluang perbedaan tafsir di kalangan umat Buddha menjadi sangat-sangat mungkin terjadi. Kitab suci al Qur’an yang banyaknya hanya sekitar 540 halaman saja perbedan tafsir sudah demikan besar, apalagi 1 truk kontainer. Itulah sebabnya, akhirnya agama Buddha pecah menjadi banyak aliran utama dan mungkin ribuan aliran sempalan atau sekte di seluruh dunia. Perpecahan besar yang dipandang menjadi hulu dari seluruh perpecahan adalah munculnya aliran Mahayana (kereta besar), Hinayana (kereta kecil) dan Tantrayana. Khusus di Indonesia, perpecahan menjadi aliran, mazhab dan sekte itu diikuti dengan pendirian majelis umat Buddha sesuai dengan aliran yang ada. Dari aliran Mahayana

Theravada, yang didatangkan dari Thailand. Katanya Tripitaka itu baru sebagian kecil saja dari Tripitaka secara keseluruhan, karena secara keseluruhan Tripitaka itu lebih dari 3 konteiner dalam bahasa Pali.

terdapat ribuan sekte di seluruh dunia, termasuk di dalamnya adalah Maitreya, demikian pula Hinayana atau Theravada dan Tantrayana. Syukurnya, banyaknya aliran itu tidaklah menimbulkan pertengkaran atau konflik yang mengabadi dan terus dipertahankan dari generasi kegenerasi dan diperkuat argumenya dengan segala cara, sebagaimana dalam agama lainya agar hanya satu yang eksis14.

14Dalam agama Kristen, konflik teologis dan keagamaan akibat perbedaan aliran, atau sekte telah berakhir sejak lama, sehingga di kalangan Nasrani munculnya beribu-ribu sekte dan paham keagamaan (denominasi di seluruh dunia), tetapi tidak lagi menimbulkan konflik. Keberadaan denomnasi yang begitu banyak telah mendorongnya untuk dewasa, dan yang terjadi adalah saling mengakui dan bila perlu saling membantu dalam missi dengan semangat Reconscuista. Sementara itu, dalam Islam, perbedaan antara mazhab Suni dan Syi’ah adalah abadi, karena terus sengaja dipertajam perebedaanya pada beberapa dekade ini, sehingga konflik sektarian antara keduanya diperkirakan juga akan semakin menguat di masa-masa mendatang di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, sekaligus memperlihatkan bahwa beragamanya umat Islam masih seperti anak kecil yang baru belajar, sehingga beda sedikit saja tidak boleh. Di Indonesia secara inskontitusional telah terjadi usaha keras peniadaan komunitas Syi’ah oleh komunitas yang menyebut dirinya sebagai Suni dengan berbagai cara. Mulai dari pengusiran komunitas, pembakaran properti, penjarahan ternak, intimidasi, pengadilan in absenteia dalam road show anti Syi’ah, agitasi, tablik akbar yang berisi penghujatan dan pengkafiran atau menyatakan Syi’ah bukan bagian Islam dan sebagainya, yang secara keseluruhan merupakan langkah besar untuk mengusir mazhab Ahlulbait itu. Jadi aneh luar biasa, ketika tablig akbar atau dakwah bukan mengajak kebaikan, tetapi berisi penghujatan dan caci maki terhadap yang lain (kompor perpecahan umat Islam), sehingga yang tadinya ingin paham Islam malah lari ke agama lain. Hal ini dapat dilihat dalam perjalanan umat Islam Indonesia sejak Indonesia merdeka, dimana waktu itu Islam mencapai 95%, tetapi di tahun 2010 tinggal 85% (menurun 10% dalam 55 tahun). Mungkin ditahun 2045 (1 abad) nanti tinggal 75%. Dalam sistem konstitusi dan perundang-undangan Indonesia tidak ada satu kalimatpun menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan Islam Suni. Justru

Bagi kalangan umat Buddha, aliran atau sekte apapun asal masih memegang pitaka, maka jalan menuju kebuddhaan dapat dilakukan oleh siapapun tidak memandang strata sosial ekonomi, pendidikan seseorang. Apalagi secara teologis, agama Buddha tidak menempatkan dirinya sebagai agama yang paling benar, sehingga tidak mengikat umatnya untuk menggunakan jalur kepercyaan apapun untuk menuju kebuddhaan. Bagi agama Buddha semua agama sama baiknya dan sama benarnya, karena yang terpenting ada usaha berbuat damma atau karma baik sebanyak-banyaknya. Benar dan baik secara konseptual tidaklah bermakna, jika tidak dapat diperaktekan atau tidak dilaksanakan oleh umat manusia, setidaknya oleh umat Buddha. Bagi Buddha apapun keyakinan atau agama yang dianut seorang dapat menjadi jalan menuju kebuddhaan (pencerahan) yang dipandang sebagai maqam spriritual tertinggi di kalangan umat Buddha15.

Sang Buddha dahulu mengajarkan kepada banyak kelompok orang, ada masyarakat biasa, terpelajar, pertapa,

menurut filsafat Pancasila, konsitusi dan berbagai peraturan-perundangan yang ada adalah menjamin kebebasan beragama dan menjalankan ajaran agama yang dianutnya itu. Jadi jangan dibayangkan seperti negara Malaysia, Brunai Darrussalam, Iran, dan lainya yang menempatkan Islam dengan mazhab tertentu sebagai mazhab negara. Di kalangan kaum Nasrani, semua sekte atau denominasi saling mengakui keberadaanya ketika memang sudah tidak dapat dipertemukan lagi. Dalam agama Hindu-pun demikian, tidak ada yang mempertajam perbedaan dan mengabadi seperti umat Islam kalangan Suni dan Syi’ah.

15Wawancara dengan Peter Lim, Burhan dan Ling Ling, April 2015 dan ceramah mingguan Pdt. Peter Lim di Vihara Borobudur, Medan, Sumatra Utara, 19 April 2015; Dijelaskan pula oleh beberapa saudara pejabat di Bimas Buddha Kemneterian Agama dan Komentar narasumber seminar,

para Brahmana, asura, dan sebagainya. Sang Buddha menyesuaikan materi yang diajarkan sesuai dengan pola pikir masing-masing kelompok yang berbeda itu. Secara kebetulan, tiap manusia memiliki kecenderungan yang berbeda, baik minat maupun kebiasaannya. Hal inilah yang menyebabkan cara setiap orang melihat ajaran Sang Buddha bisa dari berbagai sudut pandang, disesuaikan dengan kesukaanya. Masalah sekte/aliran, seperti halnya masalah cara atau jalan atau tariqah, sehingga masalah kesesuaian/kecocokan untuk mencapai pencerahan tentu saja berbeda pada setiap pribadi. Ajaran Sang Buddha sangat luas, sehingga ada kelompok tertentu yang memiliki kecenderungan untuk memilih bagian atau tradisi tertentu dari ajaran Sang Buddha untuk dipraktekkan. Itulah sebabnya muncul banyak sekte dalam agama Buddha di seluruh dunia. Di Indonesia sekte/aliran Buddha yang lazim ada tiga, yaitu; Pertama, Theravada atau Hinayana (kereta kecil), adalah sekte yang dianggap paling dekat dengan tradisi awal perkembangan Buddhisme, yang serig disebut sebagai Buddha fundamentalis dan skripturalis. Beberapa majelis umat Buddha di Kota Medan bersekte Theravada. Kedua, Mahayana (kereta besar), adalah salah satu sekte yang amat dekat dengan tradisi Tionghoa, karena sekte ini tidak diterima di anak benua India tetapi berkembang pesat di Tiongkok. Pembacaan nama-nama Buddha sangat lekat dengan sekte ini dan memiliki banyak sub sekte yang khas Tionghoa. Tetapi fenomena sekte ini tidak menonjol di Indonesia. Di Indonesia, sekte ini pernah berkembang pesat pada masa Sriwijaya dan kerajaan-kerajaan setelahnya berkolaborasi dengan Hindu Syiwa. Tentu pada saat itu, sekte ini lekat dengan tradisi Jawa Kuno. Sedangkan Mahayana yang berkembang sekarang di Indonesia diadopsi dari Mahayana Tiongkok. Ciri khasnya adalah sangat terbuka

terhadap tradisi setempat dan kebebasan mencari jalan sendiri menuju kebuddhaan, karena setiap orang berpotensi mencapai kebuddhaan. Majelis umat Buddha di Kota Medan berasal dari sekte Mahayana ini dan jumlah umatnya setengah dari keseluruhan jumlah umat Buddha berbagai sekte di Kota Medan. Ketiga, Tantrayana, adalah sekte yang berkembang di Tibet yang sekarang dipimpin Dalai Lama. Hal-hal yang tampak gaib di mata awam adalah ciri khas sekte ini. Sekte ini terbagi dalam sub-sub sekte.16

Konsep Teologi Agama Buddha

Adi‐Buddha adalah salah satu sebutan untuk Tuhan Yang Maha Esa dalam agama Buddha. Sebutan ini berasal dari tradisi Aisvarika dalam aliran Mahayana di Nepal, yang menyebar lewat Benggala, hingga dikenal pula di Jawa. Sedangkan Aisvarika adalah sebutan bagi para penganut paham ketuhanan dalam agama Budha. Kata ini berasal dari ‘Isvara’ yang berarti ‘Tuhan’ atau ‘Maha Buddha’ atau ’Yang Mahakuasa’, dan ‘ika’ yang berarti ‘penganut’ atau ‘pengikut’. Istilah ini hidup di kalangan agama Buddha aliran Svabhavavak yang ada di Nepal. Aliran ini merupakan salah satu percabangan dari aliran Tantrayana yang tergolong Mahayana. Sebutan bagi Tuhan Yang Maha Esa dalam aliran ini adalah Adi‐Buddha. Paham ini kemudian juga menyebar ke Jawa, sehingga pengertian Adi‐Buddha dikenal pula dalam agama Buddha yang berkembang di Jawa pada zaman Sriwijaya dan Majapahit. Para ahli sekarang mengenal pengertian ini melalui karya tulis B.H. Hodgson. Ia adalah

seorang peneliti yang banyak mengkaji hal keagamaan di Nepal. Menurut paham ini seseorang dapat menyatu (moksa) dengan Adi‐Buddha atau Isvara 2 melalui upaya yang dilakukannya dengan jalan bertapa (tapa) dan bersamadhi (dhyana). Adi‐Buddha mungkin dianggap sebagai personifikasi dari Ketuhanan, tetapi pada dasarnya Tuhan Yang Maha Esa dalam agama Buddha tidak dinyatakan sebagai suatu pribadi. Di Indonesia sebutan lengkapnya adalah Sanghyang Adi Buddha, sedangkan bentuk pujiannya adalah Namo Sanghyang Adi Buddhaya.17

Dalam wawancara dengan informan, ternyata agama Buddha didasarkan pada konsep teologi yang memahami bahwa ada suatu kekuatan ghaib maha dasyat yang mengatur segala isi di alam semesta ini. Siapa yang berbuat sesuai dengan kehendak Sang Kekuatan Ghaib ini akan selamat, dan siapa yang berbuat bertentangan dengan Sang Kekuatan Ghaib ini akan celaka. Sang Buddha sendiri tidak pernah menyebut atau memberi nama kepada kekuatan ghaib tersebut18. Tuhan dalam agama Buddha tidak bernama seperti dalam agama lain, misalnya; Islam (Allah), Kristen (Yesus Kristus), Yahudi (Yahweh), Hindu (Sang Hyang Widiwasa), Sikh menyebut tuhanya dengan sebutan Waheguru dan sebagainya. Seperti dijelaskan Wang Chi Biu, bila dikaitkan dengan konsep monoteisme agama tersebut, maka ajaran Buddha tidak mengenal teologi. Buddha tidak mengajarkan teisme fatalis dan determinis yang menempatkan pribadi dengan kekuasaan adikodrati merencanakan dan menakdirkan hidup semua

17 http://hindubudhadiindonesia.blogspot.com/2014/06/resume-ke-1-hindu-dan-budha-di-indonesia.html, Diunduh 4 Mei 2015

18 http://www.samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/agama-buddha-dan-perkembangannya-di-indonesia/ Diunduh 23 maret 2015

mahluk. Teisme dalam agama Buddha melihat Tuhan Yang Maha Esa atau Yang Maha Mutlak Sebagai Yang Maha Tinggi, Maha Luhur, Mahasuci, Maha Sempurn, Kekal Atau Tanpa Awal Dan Tanpa Akhir, tetapi bukan suatu pribadi. Di samping itu menurutnya, sudah cukup lama monoteisme dan politeisme dalam sistem teologi menjadi sasaran kritik para ilmuwan tanpa bisa membela diri, hingga akhirnya fakta menunjukan bahwa agama Buddha semakin mudah dipahami dan semakin berkembang di seluruh dunia.19 Karena itu agama Buddha dapat disebut agama tetapi bukan agama sistem, karena sistem teologisnya tidak seperti lazimnya agama-agama lainya. Ketuhanan dalam agama Buddha didasarkan sabda Sang Buddha, yaitu;

“Ketahuilah para bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang telah lalu.20

Pernyataan Sang Buddha di atas termuat dalam Sutta Pitaka, Udana VIII : 3, dan merupakan konsep monoteisme

19 Wang Chi Biu, The Scientific Outlook of Buddhism, Terj. Oleh Hendy Hanusia, Pandangan Ilmiah dalam Agama Buddha, Yayasan Penerbit Karaniya, Jakarta, 2002, hal.vii -viii

Buddha yang aslinya masih dalam bahasa Pali (bahasa kaumnya Buddha Gautama) yaitu Atthi Ajatang Abhutang

Akatang Asamkhatang, artinya "Suatu Yang Tidak Dilahirkan,

Tidak Dijelmakan, Tidak Diciptakan dan Yang Mutlak". Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan suatu tanpa aku (anatta), tidak dapat dipersonifikasikan, tidak dapat digambarkan dalam bentuk apapun, Yang Mutlak tidak berkondisi (asamkhata), manusia yang berkondisi (samkhata) dapat mencapai kebebasan dari samsara dengan cara bermeditasi (berkhalwat dan bertapa).

Tidak adanya nama tuhan dalam agama Buddha telah mempersult umatnya di tengah umat agama-agama lain yang memiliki nama Tuhan. Menyadari hal itu, maka para agamawan Buddha memutuskan bahwa nama tuhan dalam agama Buddha adalah “Tuhan Yang Maha Esa” atau “Yang Maha Esa”. Keputusan para sangha yang mirip konsili Necea yang memutuskan bahwa tuhan bagi umat Kristen disebut dengan Yesus Kristus (Trinitas), diputuskan dalam Pasamuan I Majelis Buddha Dharma Indonesia di Lawang (12 s/d14 Maret 1976). Namun sebenarnya, beberapa tahun sebelumnya (1960-an) pendiri Perbuddhi (Persatuan Buddha Indonesia), yaitu Bhikku Ashin Jinarakkhita, telah mengusulkan agar Tuhan dalam agama Buddha disebut dengan Sang Hyang Adi

Buddha. Hal ini menurutnya didukung sejarah versi Buddha

Indonesia dalam teks Jawa kuno dan relief-relief pada situs Borobudur yang menggambarkan "Suatu Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Dijelmakan, Tidak Diciptakan dan Yang Maha Mutlak"21. Tetapi sayang nama Sang Hyang Adi Buddha