• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAJELIS AGAMA BUDDHA THERAVADA (MAGABUDHI)

Buddda Theravada di Kabupaten Blitar

Blitar merupakan salah satu daerah basis umat Buddha dengan mazhab Theravada di Provinsi Jawa Timur, di mana terdapat 95% umat Buddha. Umat Buddha di Kabupaten Blitar, pada awalnya adalah masyarakat Jawa yang selain beragama Buddha Shiwa, juga penganut kepercayaan yang biasa disebut sebagai penganut kejawen. Dengan kedatangan Banthe Ashin Jinarakkhitta ke Blitar, merubah pandangan dalam pemahaman keyakinan masyarakat Jawa yang semula penganut Buddha Shiwa dan kejawen, pilihan menjadi penganut Buddha. Seiring berjalannya waktu, maka terjadi perubahan dalam pilihan kehidupan keagamaan menjadi penganut Buddha yang berafiliasi kepada sekte/aliran Theravada, setelah kedatangan Banthe Girirakito yang membawa bibit Theravada.

Kedatangan pemuka agama Buddha Banthe Girirakito ke Blitar, menambah semangat keberagamaan umat Buddha dalam menjalankan aktifitas keagamaannya, terlebih lagi setelah Bhante Uttamo sering memberikan pembabaran Dhamma di Klenteng dan di Cetiya yang ada di Kota Blitar, karena memang rumah ibadat bagi umat Buddha yang ada hanya baru itu saja yang di miliki. Menurut salah seorang pengurus Wandani yaitu Wanita Theravada Indonesia mengatakan bahwa Bante Bhikkhu Uttamo turut berperan juga dalam membabarkan ajaran Buddha Theravada untuk

Kota dan Kabupaten Blitar. (Wawancara dengan pengurus Wandani, 20 April 2015).

Umumnya umat Buddha di desa, memiliki rasa keagamaan lebih besar daripada di kota. Misalkan meskipun yang memberikan khutbah bukan dari golongan pandita, sebagai umat beragama tetap mau mendengarkan, bahkan kalau yang khutbah itu dari golongan pandita, mereka lebih mau mendengar dan lebih mau mendengar lagi, apalagi bila yang memberikan khutbah adalah dari golongan bhikkhu. Tetapi tidak demikian halnya bagi umat Buddha di kota, dimana sebagian besar, cenderung melihat nama yang akan memberikan khutbah di atas dhamma. Sehingga kurang memberikan respon bila yang memberikan khutbah, bukan dari golongan Bhikkhu, mungkin karena tingkat pemikiran orang-orang di kota lebih canggih, tingkat intelektualnya lebih tinggi, sehingga kurang begitu merespon bila yang ceramah hanya dari tingkat pandita.

Vihara Theravada tampak sederhana, jauh dari keramaian dekorasi, yang ada hanya patung Buddha Gautama, lilin, air dalam gelas, bunga dan makanan-makanan ringan atau buah-buahan yang diletakkan di altar di bawah patung Buddha Gautama. Tetapi bila dibandingkan dengan vihara Maitreya, jauh lebih ramai dengan meletakkan lebih dari satu patung selain patung Buddha Gautama. Arti dari patung Buddha, melambangkan penghormatan kepada Sang Buddha. Sebagai simbol bahwa dalam menjalankan sembahyang ada guru untuk mengarahkan pikiran kita dan bukannya untuk meminta kepada patung. Arti Bunga, melambangkan anicca atau ketidak kekalan, bahwa dalam kehidupan ini tidak hakiki. Dimana bunga tidak kekal, tumbuh dan berkembang dan lalu mati. Sementara arti

dupa/hio yang melambangkan keharuman Dhamma Sang Buddha. Keharuman hidup yang harus dijalani. Yang penting dalam kehidupan ini tidak seperti dupa yang akan terbawa oleh arah angin, tetapi harumnya nama baik seseorang bisa melawan arah angin, artinya kita harus membuat sesuatu yang harum. Arti lilin, melambangkan penerangan Dhamma Sang Buddha, sebagai lambang bahwa dalam kehidupan ini dapat menjadi penerang bagi semua makhluk, dan arti air, yang dianggap memiliki sifat-sifat seperti dapat membersihkan noda-noda, dapat memberikan tenaga, dapat menyesuaikan diri dengan semua keadaan dan selalu mencari tempat yang rendah (tidak sombong), yang melambangkan kondisi hidup agar selalu rendah hati. Dan buah, melambangkan buah dari kayma-kayma kita, selain itu sebagai lambang dari rasa terima kasih

Adapun yang menjadi ciri Theravada, diantaranya Buddha dianggap sebagai manusia normal yang mempunyai kekuatan lebih. Buddha dipuja layaknya seorang guru yang membimbing ke kesucian tidak dilebih-lebihkan. Nibbana hanya dapat dicapai oleh usaha sendiri. Termasuk dalam hal penafsiran, Theravada lebih bersifat konservatif yaitu menjaga yang sudah ada, mengacu pada apa yang sudah ditetapkan pada konsili-konsili yang sudah ada. Hal ini dipertahankan guna mengantisipasi adanya kesalahan penafsiran.

Theravada menggunakan bahasa Pali, yang terdiri dari dua kata yaitu thera dan vada. “Thera” berarti sesepuh khususnya sesepuh terdahulu, dan “vada” berarti perkataan atau ajaran. Jadi Theravada berarti “Ajaran Para Sesepuh”. Theravada secara harfiah merupakan ajaran yang konservatif, yang berpedoman pada Kitab Suci “Tipitaka” Pali, terdiri dari

Vinaya Pitaka, Sutta Pitaka dan Abhi Dhamma Pitaka. Para penganutnya hanya memuja Buddha yang disebutkan dalam Tipitaka, khususnya Buddha Sakyamuni, yang dikenal juga sebagai Buddha Gautama. Theravada tidak memuja para Bodhisatva walaupun mereka memberikan rasa hormat karena kebijaksanaan dan kasih sayangnya yang besar.

Untuk mengetahui lebih jelas tentang sejarah berdirinya vihara-vihara sebagai basisnya umat Buddha Theravada di Kabupaten Blitar, diantaranya adalah satu (1) di Kota dan 2 di Kabupaten Blitar, yang dapat dipaparkan sebagai berikut:

Vihara Samaggi Jaya Kota Blitar

Vihara Samaggi Jaya di bawah pembinaan MAGABHUDI (Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia) yang beralamat di Jln. Ir. Soekarno 67 yang semula bernama Jln. Slamet Riyadi No. 21 Kota Blitar, yang berada sekitar 400 meter sebelah selatan makam Proklamator Ir. Soekarno. Vihara Samaggi Jaya di bawah pengelolaan Yayasan/Lembaga: Dhammadipa Arama. Untuk wilayah Kabupaten Blitar merupakan daerah basis umat Buddha Theravada (95%), yang tersebar dibeberapa kecamatan dan desa.

Umat Buddha Theravada di Kota Blitar, tidak sebanyak umat Theravada yang berada di Kabupaten Blitar. Terkait dengan sekte umat Buddha yang ada di kota Blitar, selain Theravada, juga dari Maitreya dan Buddhayana (=vihara

Buddhayana ada di Kabupaten). Rumah ibadat bagi umat

Maitreya yaitu Vihara Abdi Dharma dan Vihara Sacca Gupala sebagai rumah ibadat umat Buddhayana. Namun Vihara Sacca

umatnya tidak berkembang, karena Bhiksunya keluar dari majelis dan memutuskan untuk berumah tangga. (Wawancara dengan Penyuluh Agama, 15 April 2015).

Menurut Pandita Sugianto pada tahun 1966 para umat Buddha di kota Blitar, melakukan Puja Bhakti biasanya di rumah sendiri secara perseorangan, dan terkadang berpindah tempat dengan cara bergantian dari satu rumah ke rumah yang lain, setiap hari Kamis malam. Dengan kondisi berpindah-pindah tempat untuk melakukan Puja Bhakti, maka tergerak hati seorang tokoh agama Buddha Theravada bernama Suroto (kini sudah Alm). Dengan ketulusan dan kedermawanannya berkenan menyediakan sebagian halaman depan rumahnya, yang berukuran 5 x 8 meter, seolah sebagai tempat ibadat bagi para umat Buddha untuk berkumpul membaca Paritta dan membahas Dhamma ajaran Sang Buddha.

Di tahun 1970-an berdatangan para Bhikkhu masuk Kota Blitar, dan ketika itu yang membina adalah Bhante Khemmasarano (alm) dan Banthe Girirakhito (pendiri Walubi). Di tahun 1972 para umat Buddha, para tokoh umat dan juga para dermawan, dengan semangat memberikan bantuan berupa tenaga dan materi, untuk bisa mendirikan Cetiya, yang semula berupa rumah biasa milik Pak Suroto. Dan dengan kedatangan Bhikkhu Uttamo di tahun 1980-an untuk pertama kalinya di Kota Blitar yang melakukan pembabaran dan ternyata membawa bibit Theravada, dengan awalnya sering memberikan khutbah di Klenteng dan Cetiya.

Terkait dengan peraturan pemerintah, maka Departemen Agama (ketika itu) melayani proses pendaftaran hanya pada tingkat vihara saja, sementara yang ada hanya berupa Cetiya. Oleh karena itu, bangunan berupa rumah biasa

yang di gunakan sebagai Cetiya harus naik jenjang tingkatannya menjadi vihara. Kemudian oleh Suroto, Cetiya dihibahkan kepada Yayasan Sangha Theravada Indonesia, dan dibangun menjadi vihara dengan nama Vihara Metta Kirana, yang bermakna sebagai Sinar Cinta Kasih. Pendaftaran ke Departemen Agama tersebut terjadi dalam tahun 1987.

Pada tahun 1990, Cetiya yang sudah menjadi vihara dan diberi nama Vihara Metta Kirana, kemudian berganti nama menjadi Samaggi Jaya yang artinya “Persatuan Membuahkan Kemenangan”. Luas tanah Vihara Samaggi Jaya 3.075 M², dengan jumlah umat mencapai 81 KK/ 165 jiwa. Sementara itu nama Metta Kirana sampai sekarang masih dipakai untuk nama Sekolah Minggu. (Wawancara dengan Pandita Sugianto, 15 April 2015).

Bambang Pratignyo Bhikkhu Uttamo, yang baru saja kembali belajar dari Thayland, oleh Yayasan Sangha Theravada ditunjuk untuk menjadi ketua Vihara Samaggi Jaya, sekaligus juga ketua Yayasan Dhammadipa Arama cabang Blitar. Terjadinya jabatan rangkap ini karena jumlah Bhikkhu Sangha Theravada, masih kurang.

Untuk memenuhi kebutuhan umat Buddha dalam pembinaan agama, di Vihara Samaggi Jaya terdapat 8 orang Pembina/Rohaniwan/Pandita dan 4 orang guru, untuk Sekolah Minggu. Di Vihara Samaggi Jaya hanya terdapat 2 orang Bhikkhu yaitu Bhikkhu Mulia Uttamo Mahathera dan Bhikkhu Sukhito Thera. Adapun lembaga/yayasan yang mengelola vihara ini adalah lembaga Dhammadipa Arama. Yang menjadi kepala Vihara Samaggi Jaya dan Vihara Bodhi Giri/Panti Semedi, dirangkap oleh Banthe Bhikkhu Uttamo. (Banthe adalah sapaan untuk para Bhikkhu).

Sapaan sebagai Banthe pernah dialami pula oleh Sugianto Gandhika (PM.d) selama 10 tahun ( selama 6 tahun menjadi bhikkhu dan selama 4 tahun sebelum menjadi bhikkhu harus menempuh pendidikan di Sammanera). Sugianto asli kabupaten Blitar terlahir dari keluarga beragama Buddha. Dalam perjalanan hidupnya menjadi bhikkhu berakhir dengan melepaskan status sebagai Bhikkhu tahun 2004, kemudian memutuskan untuk berumah tangga (menikah tahun 2005), sekarang sudah memiliki 2 orang putra (masih duduk di TK dan SD). Untuk sekarang ini, Sugianto menjabat ketua di Magabudhi sejak tahun 2010 sampai dengan sekarang (2015) dan wakilnya bernama Padma Sujata. (Wawancara dengan Ketua Magabudhi, 16 April 2015).

Kegiatan keagamaan rutin di Vihara Samaggi Jaya, dilaksanakan setiap hari kamis malam, dimulai pada Pkl. 19.00 - 21.00 WIB. Kegiatan rutin Puja Bhakti di Vihara Samaggi Jaya dihadiri oleh 15 – 30 umat. Berdasarkan hasil pengamatan, ini yang menarik, dimana umat yang datang ke vihara, ada beberapa orang (laki dan perempuan tua) yang di jemput dan kemudian di antar kembali ke rumahnya masing-masing oleh mobil milik yayasan. Mereka umumnya sudah lansia, diantaranya ada yang sudah berumur 86 tahun, datang tanpa di dampingi oleh keluarganya, namun aktif untuk bersama yang lain ke vihara untuk membaca Kitab Paritta (kumpulan syair Buddha yang dilafalkan). Sebelum kegiatan dimulai, maka salah seorang, memukul gong sebanyak tiga (3) kali sebagai tanda untuk di mulai dan berakhirnya pembacaan Parita. Namun sebelumnya didahului dengan meditasi bersama selama kurang lebih antara 15-30 menit.

Lain halnya bila kegiatan hari besar keagamaan seperti Waisak, Kathina, maka jumlah umat yang hadir, selain umat

yang rutin, bisa mencapai antara 1000-1500 umat, karena terkadang ada tamu datang dari luar kota. Di hari itu, yang memberikan khutbah keagamaan atau dalam agama Buddha disebut Dhammadesana adalah para Bhikkhu. Dalam ceramah/khutbah di kota, para Bhikkhu menggunakan bahasa Indonesia terutama pada hari-hari besar keagamaan, tetapi bila Bhikkhu ke daerah-daerah dengan menggunakan bahasa daerah/Jawa, karena umatnya sudah tua-tua dan di dominasi etnis Jawa.

Vihara Samaggi Jaya di dominasi oleh etnis Jawa, namun tampak imbang jumlahnya saat merayakan hari-hari besar keagamaan, seperti hari Dharmasanti Waisak, Kathina, dan Patidhana dan dalam peringatan hari raya lainnya. Hal ini terjadi karena etnis Cina yang berusia produktif banyak mencari pengalaman hidup baik untuk sekolah atau bekerja/usaha di luar Kota Blitar dan kembali saat menjelang Jompo. (wawancara dengan Pandita Vihara Samaggi Jaya, 15 April 2015).

Vihara Bodhi Giri/Panti Semedi Balerejo

Vihara Bodhi Giri desa Balerejo, Kecamatan Wlingi Kabupaten Blitar, berada di puncak sebuah bukit dengan hawa yang sejuk. Vihara ini selain digunakan untuk pembinaan keagamaan bagi umat Buddha Theravada di sekitarnya, juga sebagai tempat untuk bermeditasi. Aktifitas meditasi bisa diikuti masyarakat umum, tanpa mengikuti ritual keagamaan Buddha. Pelaksanaan meditasi merupakan kegiatan rutin pada masa Vassa bagi para Bhikkhu. Kegiatan Vasa ini merupakan latihan meditasi yang dilaksanakan setiap tahun selama tiga (3) bulan, sejak bulan Juli sampai Oktober.

Pada masa tiga bulan itu, para bhikkhu tinggal disatu tempat untuk lebih giat bermeditasi. Vihara Bodhi Giri terletak di atas bukit kecil yang sekarang sudah mencapai luas 60.000 m, yang telah dibeli oleh Bhikkhu Uttamo. Kemudian tahun 1987 di bangun vihara yang diperuntukkan bagi umat Buddha Theravada. Sebagai pengurus/Ketua Vihara Bodhi Giri saat ini Bhikkhu Uttamo Mahathera.

Menurut Om Ping, kegiatan peribadatan umat Buddha hanya sedikit yang dilakukan di Vihara Bodhi Giri ini. Kegiatan peribadatan yang rutin hanya dilaksanakan pada hari Selasa malam dengan peserta yang biasanya hanya berasal dari lingkungan vihara. Sedangkan untuk kegiatan keagamaan umat Buddha, terutama untuk perayaan hari-hari besar agama dan lain-lainnya, seluruh umat Buddha di Blitar Raya lebih banyak melakukannya/pelaksanaannya dipusatkan di Vihara Samaggi Jaya yang berada di jantung Kota Blitar atau kira-kira lima ratus meter ke arah selatan dari makam Bung Karno. Dan sesuai namanya pula, aktifitas di Vihara Bodhigiri/Panti Semedi Balerejo ini, menurut Om Ping, adalah merupakan tempat yang ideal untuk melatih meditasi. Dimana latihan meditasi sendiri merupakan latihan untuk mengendalikan pikiran, ucapan serta perbuatan yang merupakan perilaku utama dalam menghayati Ajaran Sang Buddha.

Untuk menuju lokasi vihara yang berada di lereng Gunung Butak, di tempuh selama ± 1,5 jam dari kantor Kankemenag Kabupaten Blitar. Dari pengamatan, vihara Bodhi Giri sangat luas dan terdiri dari beberapa bagian bangunan. Bangunan tersebut antara lain untuk Puja Bhakti, ruang makan, tempat bermalam dan bangunan untuk mengevaluasi hasil meditasi, yang diperuntukkan bagi yang

telah mengikuti meditasi selama waktu yang telah disepakati bersama sebelumnya. Sementara tempat untuk melakukan meditasi dimana saja, tergantung keinginan yang bersangkutan, bisa di dalam ruangan atau di luar ruangan, bahkan di taman. Menurut Om Ping, tujuan meditasi adalah untuk mengembangkan kesadaran dan menghilangkan emosi. Dimana latihan meditasi sendiri merupakan latihan untuk mengendalikan pikiran, ucapan serta perbuatan yang merupakan perilaku utama dalam menghayati Ajaran Sang Buddha.

Meditasi dilakukan minimum selama 15 hari, dan di lakukan dengan menggunakan timer. Gunanya timer untuk menentukan batas waktu yang kita inginkan. Selama meditasi harus konsentrasi, dan meditasi baru bisa dihentikan sesuai dengan timer yang sudah di tentukan sendiri. Ketika bermeditasi, tidak diperkenankan untuk makan, minum atau menggerak-gerakkan anggota badan (misal karena gatal), harus ditahan, tidak boleh di garuk-garuk. Bila itu yang terjadi, maka meditasinya gagal, dan diakhir meditasi akan mendapat penilaian dari Bhikkhu bahwa meditasinya kurang sempurna dan tidak perlu dilanjutkan meditasi.

Setiap tahun banyak yang datang berkunjung ke vihara Bodhi Giri untuk bermeditasi, yang dikenal dengan masa Vasa, yaitu masa selama tiga bulan sejak bulan Juli sampai bulan Oktober, dimana para Bhikkhu tinggal dan menetap di vihara, untuk memahami, mendalami meditasi. Vihara Bodhi Giri, selain tempat untuk ibadat dan pembinaan bagi umat Buddha di sekitar vihara, juga digunakan oleh masyarakat umum, tanpa memandang pada agama apapun dan kepercayaan, bahkan datang dari luar negeri untuk mendalami dan melatih diri dengan melalui bermeditasi.

Kegiatan Puja Bakti rutin di Vihara Bodhi Giri dilakukan setiap Selasa malam, yang diikuti oleh umat Buddha yang berada disekitar vihara bisa mencapai ± 30 KK. Kegiatan rutin selain di vihara, melakukan anjangsana (keliling) satu bulan sekali dengan bergiliran. Dan rumah yang ketempatan cukup menyiapkan tempat untuk ibadah saja. Tetapi biasanya yang punya rumah menyiapkan makanan. Sedangkan untuk kegiatan keagamaan terutama untuk perayaan hari-hari besar agama, seluruh umat Buddha di Blitar Raya lebih banyak melakukannya/pelaksanaannya dipusatkan di Vihara Samaggi Jaya Kota Blitar. Selain itu kegiatan lain di Vihara Bodhi Giri ada Sekolah Minggu untuk anak-anak usia TK sampai SD dan jumlah muridnya sekitar 20 orang di bawah binaan guru-guru agama Buddha. (Wawancara dengan Kuncen Vihara Bodhi Giri, 16 April 2015).

Vihara Dhamma Tirta Mulia

Lokasi Vihara Dhamma Tirta Mulia berada di desa Karang Rejo, Kecamatan Garum, Kabupaten Blitar. Saat ini yang menjadi pengurus vihara adalah Edi Subandrio. Vihara Dhamma Tirta Mulia, di bangun atas inisiatif seluruh umat dengan diprakarsai beberapa tokoh yang salah satunya adalah Kartoriman (ayah dari Edi Subandrio). Menurutnya, agama Buddha di desa Karang Rejo sudah ada sejak tahun 1966.

Kronologis di bangunnya vihara, berawal dari beberapa tokoh, termasuk Kartoriman yang ingin mempelajari lebih dalam mengenai ajaran agama Buddha. Untuk mewujudkan keinginannya belajar agama Buddha, kemudian mencari tahu ke Kota Blitar dan bertemu dengan Pandita Suroto. Hasil dari bertukar pikiran dengan Pandita Suroto, kemudian

dibawanya pulang ke desa Karang Rejo. Setelah tahun 1965, masyarakat di Karang Rejo dan sekitarnya, banyak yang mengikuti pemahaman ajaran agama Buddha yang dianut oleh beberapa tokoh, yang sebelumnya sebagai penganut kejawen. Seiring berjalannya waktu, jumlah umat semakin banyak, namun belum memiliki tempat untuk ibadah Puja Bhakti secara bersama-sama.

Para tokoh agama Buddha Desa Karang Rejo waktu itu berfikir keras untuk mewujudkan cita-citanya agar umat Buddha di desanya memiliki tempat untuk melakukan Puja Bhakti bersama di tempat ibadat. Kemudian Kartoriman, menyediakan tempat untuk ibadat umat Buddha di rumahnya yang terletak di RT 2/RW 1. Akhirnya untuk mewujudkan cita-citanya itu, terlebih lagi sebagai salah seorang tokoh agama Buddha, dan jiwa nasionalnya cukup tinggi, kemudian Kartoriman menghibahkan sebahagian tanah dan rumahnya (separuh) yang berada di RT 1/RW 3 pada tahun 1982 untuk di jadikan vihara, kemudian langsung dibangun di tahun yang sama dan selesai di tahun 1983, lalu diberi nama Vihara Dhamma Tirta Mulia. Luas tanah yang 660 meter itu sebagian untuk rumah ibadat, sertifikatnyapun sudah di bagi dua.

Perkembangan umat Buddha Theravada semakin pesat hampir mencapai ± 300 KK di Desa Karang Rejo dan sekitarnya. Sementara umat Buddha yang berada di Desa Karang Rejo saat ini hanya 31 KK atau 106 jiwa (dikarenakan ada yang pindah). Kegiatan pembinaan keagamaan di Vihara Dhamma Tirta Mulia dilaksanakan setiap Rabu malam disamping ada sekolah minggu Buddha Dharma Tirta. Aktifitas keagamaan selain setiap Rabu malam yang berjumlah sekitar 35-50 orang itu, diadakan pula setiap malam

jadwal yang telah disepakati), dan terkadang di luar permintaan umat yang berkepentingan. Jumlah tenaga Pembina yang memberikan bimbingan keagamaan terdapat 1 orang Pandita dan 3 orang Upacarika. Namun bila saat hari besar keagamaan, jumlah umat yang hadir bisa mencapai 100-125 orang, sampai ke teras. (Wawancara dengan pengurus Vihara, 15 April 2015).

Untuk menjaga kebersihan vihara dibuat jadwal untuk kebersihan bulanan dan kebersihan 2 (dua) mingguan, yang dikerjakan secara bergotong royong. Sementara untuk kebersihan mingguan dikerjakan oleh umat yang ingin membersihkan vihara sebelum dilaksanakannya Puja Bhakti.

Saat ini yang menjadi pengurus/ketua Vihara Dhamma Tirta Mulia adalah putra Kartoriman yang bernama Edi Subandriyo. Walaupun sebagai putra Kartoriman, namun dalam pemilihan sebagai ketua/pengurus bukan karena penerus sebagai pewaris tetapi secara pemilihan. Awalnya diangkat sebagai pengurus vihara tahun 2010 sampai dengan sekarang sudah yang ketiga kalinya. Dalam sistem pemilihan bila habis masa kepengurusannya dilakukan pemilihan dalam dua tahun sekali.

Perkembangan Umat Theravada di Kabupaten Blitar

Setelah kedatangan Banthe Bhikkhu Uttamo perkembangan agama Buddha Theravada di Kota Blitar, mengalami perkembangan pesat terutama di Kabupaten Blitar. Umumnya umat Buddha disini masyarakat Jawa, dan mereka punya semangat untuk mempertahankan Dhammanya. Karena itu, untuk memenuhi kebutuhan umat

Buddha dalam beribadah, dengan bergotong royong membangun vihara sehingga jumlah rumah ibadat umat Buddha Theravada di Kabupaten Blitar mencapai 21 vihara dengan jumlah pemeluknya mencapai 4.366 jiwa. Sementara umat Buddha Theravada di Kota Blitar hanya berkisar 100 jiwa dengan tersedia sebuah vihara.

Dalam perkembangan umat Buddha Theravada di Kabupaten Blitar, menurut paparan beberapa Pandita bahwa tidak ada penambahan dan pengurangan secara signifikan, dalam agama Buddha tidak ada cara merekrut umat, karena dalam penambahan dan pengurangan umat, yang ada disebabkan secara alami yaitu karena kelahiran, kematian dan pernikahan. Untuk pernikahan umat Buddha Theravada, ada yang terambil keluar dan sebaliknya ada yang masuk menjadi Buddhis.

Memang awalnya keyakinan masyarakat Jawa di kabupaten Blitar, sebagai penganut Buddha Syiwa dan kepercayaan kejawen. Tetapi di tahun 1966 setelah datangnya Bhante Ashin ke Blitar, maka berpindah menjadi pemeluk agama Buddha Theravada, karena Bhante Ashin sebagai pembawa bibit Theravada, disamping bhikkhu-bhikkhu lainnya yang membabarkan dhamma seperti Banthe Uttamo.

Ajaran dan Peribadataannya

Kitab Suci (Tipitaka) menggunakan bahasa Pali yang

isinya antara lain: Vinaya Pitaka, isinya tentang moral, peraturan; Sutta Pitaka, berisi tentang khutbah dhamma yang panjang dan pendek dari Sang Buddha dan Abidhamma Pitaka, uraian-uraian ilmiah tentang dogmatika.

Yang menjadi ajaran pokok dalam agama Buddha Theravada, pada dasarnya adalah sama dengan agama Buddha lainnya, yang didalamnya berisi tentang: Empat kasunyatan hidup; 3 Kondisi Tilakhana; Konsep Ketuhanan YME atau yang ada Nibbana; Hukum Karma; 10 Paramita dan Hukum Sebab akibat yang saling berhubungan Paticca