• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keragaman Majelis Di Kalangan Umat Buddha Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Keragaman Majelis Di Kalangan Umat Buddha Indonesia"

Copied!
490
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

Keragaman Majelis

Di Kalangan Umat Buddha

Indonesia

Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat

Puslitbang Kehidupan Keagamaan Jakarta, 2016

(4)

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha Indonesia Ed. 1, Cet. 1.—

Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan 2016 xxiv + 461hlm; 15 x 21 cm.

ISBN : 978-602-8739-65-8

Hak cipta pada penulis

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotocopy tanpa izin sah dari penerbit Cetakan pertama, September 2016

Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha Indonesia

Editor: Drs. H. Nuhrison M. Nuh, MA

Hak penerbit pada Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Jakarta Desain cover dan Layout oleh : Suka, SE

Penerbit:

Puslitbang Kehidupan Keagamaan

Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Jl. M. H. Thamrin No. 6 Jakarta 10340

(5)

KATA PENGANTAR

KEPALA PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN

Assalamu’alaikum wr. wb.

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, karena hanya atas inayahNya buku ”Keragaman Majelis di

Kalangan Umat Buddha Indonesia” dapat diselesaikan

dengan baik. Penelitian ini sangat penting artinya bagi Puslitbang Kehidupan Keagamaan, sebagai upaya untuk menggali informasi dari lapangan tentang keragaman majelis di kalangan umat Buddha Indonesia.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan tujuan untuk mengetahui sejarah sekte dan majelisnya; manajemen organisasi (struktur, keanggotaan, pembinaan, dana dan sarananya; kitab suci dan pokok-pokok ajarannya (teologi), ritual (sistem peribadatan), etika dan tradisi keagamaannya; konflik intern yang pernah terjadi dan cara penyelesaiannya; dan relasi sosial dengan pemerintah, umat Buddha lainnya dan masyarakat setempat.

Laporan ini dapat tersaji karena kerjasama dari berbagai pihak, terutama Kepada Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, untuk itu kami mengucapkan terima kasih atas segala arahannya sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik sesuai jadwalnya. Kemudian terima kasih pula kami ucapkan kepada Direktorat Jenderal Bimas Buddha yang telah melakukan kerjasama dengan baik dalam melakukan penelitian ini, dan juga para peneliti yang telah melaksanakan tugasnya dengan baik hingga terselesaikannya laporan ini.

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha Indonesia Ed. 1, Cet. 1.—

Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan 2016 xxiv + 461hlm; 15 x 21 cm.

ISBN : 978-602-8739-65-8

Hak cipta pada penulis

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotocopy tanpa izin sah dari penerbit Cetakan pertama, September 2016

Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha Indonesia

Editor: Drs. H. Nuhrison M. Nuh, MA

Hak penerbit pada Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Jakarta Desain cover dan Layout oleh : Suka, SE

Penerbit:

Puslitbang Kehidupan Keagamaan

Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Jl. M. H. Thamrin No. 6 Jakarta 10340

Telp./Fax. (021) 3920425 - 3920421 http://www.puslitbang1.kemenag.go.id

(6)

Selain itu, mudah-mudahan hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan, terutama Dirjen Bimas Buddha sebagai bahan kebijakan dan para peneliti sebagai bahan literatur.

Kami menyadari sepenuhnya, bahwa dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan buku ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kami membuka kritik dan saran konstruktif dari pembaca, agar buku ini menjadi sebuah bacaan yang dapat bermanfaat dimasa yang akan datang.

Wassalam,

Jakarta, September 2016 Kepala

Puslitbang Kehidupan Keagamaan

H. Muharam Marzuki, Ph.D

(7)

SAMBUTAN

KEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT

KEMENTERIAN AGAMA RI

Salah satu fungsi Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI adalah melakukan penelitian dan pengembangan. Kegiatan ini bertujuan untuk menyediakan data dan informasi bagi pejabat Kementerian Agama RI dalam menyusun kebijakan pembangunan dalam bidang agama, dan menyediakan data bagi masyarakat akademik dan umum dalam rangka turut mendukung tercapainya program-program pembangunan di bidang agama.

Oleh sebab itu kami menyambut baik diterbitkannya buku: Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha Indonesia ini, karena beberapa alasan, Pertama, penerbitan buku ini merupakan salah satu media untuk mensosialisasikan hasil-hasil penelitian dan pengembangan yang dilakukan oleh Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, dalam hal ini Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Kedua, dapat memberikan informasi aktual dari lapangan tentang keberadaan berbagai majelis agama Buddha di berbagai wilayah Indonesia.

Buku ini memuat 11 judul hasil penelitian yang diadakan pada tahun 2015. Sebelas hasil penelitian tersebut berusaha menggali informasi di sekitar sejarah perkembangan majelis, ajaran dan respon pemuka agama dan masyarakat terhadap majelis tersebut.

Selain itu, mudah-mudahan hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan, terutama Dirjen Bimas Buddha sebagai bahan kebijakan dan para peneliti sebagai bahan literatur.

Kami menyadari sepenuhnya, bahwa dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan buku ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kami membuka kritik dan saran konstruktif dari pembaca, agar buku ini menjadi sebuah bacaan yang dapat bermanfaat dimasa yang akan datang.

Wassalam,

Jakarta, September 2016 Kepala

Puslitbang Kehidupan Keagamaan

H. Muharam Marzuki, Ph.D

(8)

Adapun majelis dan penulis laporan yang dimuat dalam buku ini adalah: H. Nuhrison M. Nuh meneliti “Lembaga Keagamaan Buddha Indoensia (LKBI) di Provinsi Kalimantan Barat”. Asnawati meneliti “Majelis Agama Buddha Theravada (Magabudhi) di Blitar, Jawa Timur. Suhana, meneliti “Majelis Rohaniawan Tridharma Seluruh Indonesia (Martrisia) Komisariat Daerah Provinsi Riau”. Wakhid Sugiyarto, meneliti “Majelis Pandhita Buddha Maitreya Indonesia (MAPANBUMI) di Kota Medan”. Muhammad Adlin Sila, meneliti “Buddhisme Niciren di Indonesia” Studi Kasus Niciren Syosyu Indonesia”. Achmad Rosidi, meneliti “Majelis Ummat Buddha Mahayana Indonesia (Majubumi) di Jepara Provinsi Jawa Tengah”. M. Taufik Hidayatullah, meneliti Majelis Kasogatan di Provinsi Kalimantan Barat”. Achmad Ubaidillah, meneliti “Majelis Umat Buddha Theravada Indonesia (Majubuthi) di Kota Tangerang”. Syaiful Arif, meneliti “Majelis Buddha Soka Gakkai di Indonesia”. Zaenal Abidin Eko Putro, meneliti Paham Buddhayana dan Tantangannya di Provinsi Lampung.

Hasil penelitian menunjukkan di antara majelis-majelis tersebut terdapat perbedaan ajaran karena adanya perbedaan dalam menafsirkan kitabsuci oleh pendiri aliran tersebut. Tetapi yang menarik walau terdapat perbedaan ajaran di antara majelelis tersebut, mereka dapat hidup rukun dan saling menghargai, dengan pertimbangan memang murid sang Buddha itu sangat banyak. Relasi sosial mereka sangat baik dengan internal umat Buddha maupun dengan eksternal umat beragama.

(9)

Melalui informasi yang dimuat dalam buku ini, diharapkan berbagai pihak dapat memetik pelajaran dalam menyikapi tumbuhnya berbagai aliran dan majelis dalam agama Buddha. Dengan demikian diharapkan dapat mengurangi, kalau tidak mungkin menghilangkan sama sekali gesekan-gesekan yang tidak perlu terjadi di kalangan intern umat Buddha.

Kami berharap, buku ini dapat bermanfaat dan menambah kelengkapan referensi tentang aliran dan majelis agama Buddha yang berkembang di Indonesia.

Jakarta, September 2016 Kepala

Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI

Prof. H. Abd. Rahman Mas’ud, Ph.D

Adapun majelis dan penulis laporan yang dimuat dalam buku ini adalah: H. Nuhrison M. Nuh meneliti “Lembaga Keagamaan Buddha Indoensia (LKBI) di Provinsi Kalimantan Barat”. Asnawati meneliti “Majelis Agama Buddha Theravada (Magabudhi) di Blitar, Jawa Timur. Suhana, meneliti “Majelis Rohaniawan Tridharma Seluruh Indonesia (Martrisia) Komisariat Daerah Provinsi Riau”. Wakhid Sugiyarto, meneliti “Majelis Pandhita Buddha Maitreya Indonesia (MAPANBUMI) di Kota Medan”. Muhammad Adlin Sila, meneliti “Buddhisme Niciren di Indonesia” Studi Kasus Niciren Syosyu Indonesia”. Achmad Rosidi, meneliti “Majelis Ummat Buddha Mahayana Indonesia (Majubumi) di Jepara Provinsi Jawa Tengah”. M. Taufik Hidayatullah, meneliti Majelis Kasogatan di Provinsi Kalimantan Barat”. Achmad Ubaidillah, meneliti “Majelis Umat Buddha Theravada Indonesia (Majubuthi) di Kota Tangerang”. Syaiful Arif, meneliti “Majelis Buddha Soka Gakkai di Indonesia”. Zaenal Abidin Eko Putro, meneliti Paham Buddhayana dan Tantangannya di Provinsi Lampung.

Hasil penelitian menunjukkan di antara majelis-majelis tersebut terdapat perbedaan ajaran karena adanya perbedaan dalam menafsirkan kitabsuci oleh pendiri aliran tersebut. Tetapi yang menarik walau terdapat perbedaan ajaran di antara majelelis tersebut, mereka dapat hidup rukun dan saling menghargai, dengan pertimbangan memang murid sang Buddha itu sangat banyak. Relasi sosial mereka sangat baik dengan internal umat Buddha maupun dengan eksternal umat beragama.

(10)
(11)

PROLOG

Agama Buddha adalah salah satu agama yang dianut oleh penduduk Indonesia. Secara kebudayaan, agama Buddha di Indonesia mempunyai corak yang berbeda dengan agama Buddha yang ada di Negara lain, seperti India, Thailand dan Tiongkok. Di Indonesia, agama Islam adalah agama mayoritas atau dianut oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Sedangkan agama Buddha adalah agama yang dianut oleh sebagian kecil penduduk Indonesia. Meskipun agama Buddha di Indonesia adalah agama minoritas, namun hak dan kewajibannya sama dengan agama mayoritas, tidak mendapat diskriminasi dari agama mayoritas dan tidak pula ada konflik keagamaan yang cukup berarti atau besar sepanjang sejarah Indonesia. Meskipun agama Islam di Indonesia adalah agama mayoritas, namun hubungannya dengan agama minoritas, khususnya Buddha tetap terjaga dengan baik dan keduanya dapat saling bekerjasama dalam bidang kerukunan umat beragama, pendidikan dan bidang-bidang sosial yang lain. Baiknya hubungan kedua agama ini dapat dilihat dari kontek sejarah masa lampau dan masa kini, hubungan sosial antara penganutnya dewasa ini dan kerjasama dalam berbagai segi kehidupan. Namun sebaliknya, negara lain seperti Thailand, di mana jumlah umat Buddha di sana mayoritas, terdapat hubungan yang kurang baik antara umat Buddha dan Islam. Kasus Indonesia ini, dapat dijadikan contoh bagi negara-negara lain dalam hubungan antar agama.

Agama Buddha masuk ke Indonesia jauh sebelum masuknya agama Islam di Indonesia. Agama Buddha ini berasal dari India dan dibawa oleh para pedagang ke

(12)

Indonesia. Tidak dapat diketahui siapa tokoh pertama kali membawa agama Buddha ke Indonesia. Pada umumnya orang-orang yang datang dari India bukanlah tokoh agama, tapi para pedagang yang senang berkunjung ke berbagai Negara dengan tujuan mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Karena para pedagang ini banyak yang beragama Buddha, maka penyebaran agama Buddha itu sendiri pada masyarakat Indonesia tidak dapat dihindarkan. Beberapa candi bercorak Buddha sampai sekarang masih dapat kita saksikan di beberapa pulau di Indonesia. Candi Borobudur adalah candi bercorak Buddha yang mulai dibangun pada tahun 760 dan selesai pada tahun 830 M. Candi ini diabangun atas perintah raja-raja Mataram Dinasti Syailendra. Candi ini mempunyai tinggi 42 M dan terletak di Magelang atau dibagian utara Yogyakarta. Candi lain yang masih juga bercorak Buddha adalah candi Mendut di Jogyakarta. Candi ini adalah terletak sekitar 2 km dari candi Borobudur. Raja-raja keRaja-rajaan Majapahit dan Sriwijaya umumnya dikenal sebagai penganut agama Buddha dan Hindu. Berdasarkan sejarah Indonesia, kerajaan Majapahit dan Sriwijaya adalah kerajaan di mana pemimpin dan anak buahnya adalah beragama Buddha. Dua kerajaan ini cukup terkenal pada masa itu dan wilayah kekuasaannya membentang sampai ke daratan Asia.Oleh karena itu, sebelum agama Islam masuk ke Indonesia atau dahulu dikenal dengan Nusantara, rakyat Indonesia umumnya penganut kedua agama tersebut. Tidaklah heran jika pengaruh agama Buddha di Indonesia masih cukup kuat dalam tradisi Islam.

Masuknya agama Buddha di Indonesia juga terkait dengan kedatangan orang Cina ke Indonesia yang beragama Buddha di masa sebelum Indonesia merdeka, sebab sebagian

(13)

hingga sekarang adalah mereka yang beragama Buddha (J.U. Lontaan, 1975) dan sebagian lainnya adalah mereka yang beragama Tao, Khonghucu atau percampuran tiga agama (Taoisme, Confusianisme dan Buddhisme) atau di Indonesia dikenal dengan sebutan Tri Dharma atau tiga ajaran. Tri Dharma ini adalah salah salah satu Majelis dalam agama Buddha Mahayana. Hingga sekarang, sebagian besar orang China di Indonesia adalah mereka yang menganut agama Buddha Mahayana. Buddha Mahayana amat cocok bagi orang China, karena dalam perkembangan di Tiongkok dan di Indonesia didominasi oleh kebudayaan China. Mereka yang beragama Buddha Mahayana sebagian besar bekerja sebagai pedagang kecil maupaun besar.

Pada masa kerajaan Airlangga di Tuban, Gersik, Jepara, Lasem dan Banten berkuasa, memberikan bukti yang kuat tentang keberadaan orang China yang beragama Buddha di Indonesia,1 karenan cukup banyak bukti-bukti sejarah yang

mengacu tentang keberadaan orang-orang China tersebut di negeri yang dikenal seribu pulau ini. Berdasarkan catatan sejarah yang lain, orang China yang beragama Buddha mulai berdatangan ke Indonesia pada abad ke-9, yaitu pada masa dinasti Tang memerintah. Mereka datang ke Indoneia adalah untuk berdagang dan mencari kehidupan baru di luar Tiongkok.

Migrasi orang-orang China ke keberbagai Negara pada masa itu mempunyai sebab-sebab tertentu, di antaranya karena di daratan China telah terjadi peperangan yang tidak kunjung selesai. Akibat dari perperangan tersebut, tidak

1Pramoedya Ananta Toer, Hoakiau di Indonesia, Garba Budaya, 1998, hal.

206-211. Lihat juga dalam Benny G. Sugiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, Jakarta, tt, hal. 18.

Indonesia. Tidak dapat diketahui siapa tokoh pertama kali membawa agama Buddha ke Indonesia. Pada umumnya orang-orang yang datang dari India bukanlah tokoh agama, tapi para pedagang yang senang berkunjung ke berbagai Negara dengan tujuan mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Karena para pedagang ini banyak yang beragama Buddha, maka penyebaran agama Buddha itu sendiri pada masyarakat Indonesia tidak dapat dihindarkan. Beberapa candi bercorak Buddha sampai sekarang masih dapat kita saksikan di beberapa pulau di Indonesia. Candi Borobudur adalah candi bercorak Buddha yang mulai dibangun pada tahun 760 dan selesai pada tahun 830 M. Candi ini diabangun atas perintah raja-raja Mataram Dinasti Syailendra. Candi ini mempunyai tinggi 42 M dan terletak di Magelang atau dibagian utara Yogyakarta. Candi lain yang masih juga bercorak Buddha adalah candi Mendut di Jogyakarta. Candi ini adalah terletak sekitar 2 km dari candi Borobudur. Raja-raja keRaja-rajaan Majapahit dan Sriwijaya umumnya dikenal sebagai penganut agama Buddha dan Hindu. Berdasarkan sejarah Indonesia, kerajaan Majapahit dan Sriwijaya adalah kerajaan di mana pemimpin dan anak buahnya adalah beragama Buddha. Dua kerajaan ini cukup terkenal pada masa itu dan wilayah kekuasaannya membentang sampai ke daratan Asia.Oleh karena itu, sebelum agama Islam masuk ke Indonesia atau dahulu dikenal dengan Nusantara, rakyat Indonesia umumnya penganut kedua agama tersebut. Tidaklah heran jika pengaruh agama Buddha di Indonesia masih cukup kuat dalam tradisi Islam.

Masuknya agama Buddha di Indonesia juga terkait dengan kedatangan orang Cina ke Indonesia yang beragama Buddha di masa sebelum Indonesia merdeka, sebab sebagian besar mereka yang datang ke Indonesia sejak abab ke IV

(14)

sedikit penduduk China meninggalkan negerinya dengan berbagai alasan untuk mencari penghidupan baru di luar China, salah satunya adalah Indonesia.2 Salah satu pulau di

Indonesia yang juga banyak mereka kunjungi adalah pulau Jawa. Pulau ini banyak memiliki peninggalan-peninggalan masa lalu yang mengacu pada etnis China tersebut.3 Tidak

hanya itu, pulau ini juga banyak dihuni oleh sukubangsa Hokkian yang sekarang tidak lagi bisa berbahasa Hokkian. Sebelum abad ke-9 atau pada tahun 399-414 seorang pendeta bernama Fa Hian dari Tiongkok berkunjung ke Indian dan sempat mampir di pulau Jawa. Perjalanan pedeta Buddha ini diuraikan dalam buku Fahueki, yang diikuti oleh Sun Yun dan Hwui Niang yang juga melakukan Ziarah dari Tiongkok ke India.4 Bukan saja pendeta Fa Hian, pada tahun 629-645

pendeta Hiuen Thsang juga mengembara di India dan pengalamannya diuraikan secara panjang lebar dalam bukunya Nan Hai Chi Kuei Fa Ch’uan dan Ta T’ang Si Yu Ku Fa

Kao Seng Ch’uan. Di samping Fa Hian, Sun Yun, Hwui Niang

dan pendeta Hiuen Thsang, pendeta I Tsing juga melakukan pengembaraan di luar Tiongkok selama 25 tahun. Dia kembali ke Guandong (Kwangtung) pada pertengahan musim panas ditahun pertama pemerintahan Cheng Heng (695 M) dan

2Jongkie Tio, Kota Semarang Dalam Kenangan, Pemerintah Daerah Semarang,

Tanpa Tahun.

3Peninggalan masa lalu tersebut adalah Klenteng Sam Po Kong, terletak

sekitar 7 Km dari kota Semarang. Klenteng ini diyakini sebagai peninggalan dari Cheng Ho, muslim Cina yang diduga datang ke Semarang pada abad ke 15. Ada sebagian pendapat bahwa Klenteng Sam Po Kong ini dahulunya adalah tempat Cheng Ho dan anak buahnya melakukan sembahyang, dan dahulunya diyakini berfungsi sebagai Masjid. Dugaan tersebut diperkuat karena di dalam komplek Klenteng tersebut terdapat sebuah kuburan seorang muslim. Sampai sekarang kuburan ini diyakini sebagai kuburang Wang Jing Hong, salah seorang juru mudi Cheng Ho yang

(15)

diduga telah membawa pulang tidak kurang dari 4000 naskah yang terdiri dari 500.000 sloka. Selama 12 tahun (700-712) dia berhasil menerjemahkan 56 buku yang terdiri dari 230 jilid. Dari abad ke-3 sampai dengan abad ke-7 tidak sedikit pendeta Buddha yang berasal dari Tiongkok melakukan perjalanan ke India dan mampir di kerajaan Sriwijaya.5 Orang-orang Cina

yang mengembara ke India inilah yang mempunyai peranan penting dalam menyebarkan agama Buddha ke Tiongkok. Akibatnya, orang-orang Cina tidak hanya memahami agama leluhurnya (Taoisme dan Confusianisme), tapi juga memahami agama luar (Buddha) yang dibawa dari India. Sejak itu pula agama Buddha telah menjadi ajaran penting dalam kehidupan orang Cina di samping agama Tao dan Confusianisme dan ketiganya saling melengkapi satu dengan yang lainnya sampai dengan dewasa ini.

Pendeta I Tsing yang beragama Buddha, bukan saja dikenal sebagai pengembara di laut dan menghabiskan masa hidupnya di India, tapi juga cukup lama tinggal di Sriwijaya (sekarang Indonesia). Selama 25 tahun pengembaraannya di laut, 14 tahun di antaranya telah dihabiskan untuk tinggal di Sriwijaya. Oleh karena itu, tidak heran jika dia juga banyak mengenali kebudayaan Sriwijaya dan menuliskan kebudayaan itu dalam bentuk buku. Dia juga menggambarkan bahasa yang digunakan oleh penduduk setempat, yaitu bahasa Kunlun.6 Atas dasar itu, maka tidak heran jika dia juga ikut

menyebarkan agama Buddha di Indonesia.

5Slamet Mulyana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, Djakarta, Bhratara, 1968. Lihat juga Benny G. Sugiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, Jakarta, tt, hal. 19.

6Benny G. Sugiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, Jakarta, tt, hal. 19.

sedikit penduduk China meninggalkan negerinya dengan berbagai alasan untuk mencari penghidupan baru di luar China, salah satunya adalah Indonesia.2 Salah satu pulau di

Indonesia yang juga banyak mereka kunjungi adalah pulau Jawa. Pulau ini banyak memiliki peninggalan-peninggalan masa lalu yang mengacu pada etnis China tersebut.3 Tidak

hanya itu, pulau ini juga banyak dihuni oleh sukubangsa Hokkian yang sekarang tidak lagi bisa berbahasa Hokkian. Sebelum abad ke-9 atau pada tahun 399-414 seorang pendeta bernama Fa Hian dari Tiongkok berkunjung ke Indian dan sempat mampir di pulau Jawa. Perjalanan pedeta Buddha ini diuraikan dalam buku Fahueki, yang diikuti oleh Sun Yun dan Hwui Niang yang juga melakukan Ziarah dari Tiongkok ke India.4 Bukan saja pendeta Fa Hian, pada tahun 629-645

pendeta Hiuen Thsang juga mengembara di India dan pengalamannya diuraikan secara panjang lebar dalam bukunya Nan Hai Chi Kuei Fa Ch’uan dan Ta T’ang Si Yu Ku Fa

Kao Seng Ch’uan. Di samping Fa Hian, Sun Yun, Hwui Niang

dan pendeta Hiuen Thsang, pendeta I Tsing juga melakukan pengembaraan di luar Tiongkok selama 25 tahun. Dia kembali ke Guandong (Kwangtung) pada pertengahan musim panas ditahun pertama pemerintahan Cheng Heng (695 M) dan

2Jongkie Tio, Kota Semarang Dalam Kenangan, Pemerintah Daerah Semarang,

Tanpa Tahun.

3Peninggalan masa lalu tersebut adalah Klenteng Sam Po Kong, terletak

sekitar 7 Km dari kota Semarang. Klenteng ini diyakini sebagai peninggalan dari Cheng Ho, muslim Cina yang diduga datang ke Semarang pada abad ke 15. Ada sebagian pendapat bahwa Klenteng Sam Po Kong ini dahulunya adalah tempat Cheng Ho dan anak buahnya melakukan sembahyang, dan dahulunya diyakini berfungsi sebagai Masjid. Dugaan tersebut diperkuat karena di dalam komplek Klenteng tersebut terdapat sebuah kuburan seorang muslim. Sampai sekarang kuburan ini diyakini sebagai kuburang Wang Jing Hong, salah seorang juru mudi Cheng Ho yang dikuburkan di situ.

(16)

Sama dengan agama Islam, agama Buddha adalah agama yang universal, yaitu agama yang terdapat dalam kitab-kitab suci. Agama yang berasal dari India tersebut tidak dapat diterima begitu saja oleh rakyat Indonesia tanpa diterjemahkan dengan kebudayaan lokal. Atas dasar itu, baik agama Buddha maupun agama Islam di Indonesia juga bercorak lokal, karena dipengaruhi oleh kebudayaan setempat atau kebudayaan sukubangsa. Atas dasar itu, orang Cina yang masuk agama Buddha di Indonesia, mereka masih tetap mempraktekkan kebudayaannya dalam kehidupan sehari-hari. Dan bahkan dalam praktek keagamaannya, mereka mencampurkan kebudayaan China dengan tradisi Buddhis. Dalam upacara perkawinan dan kematian misalnya, masih banyak orang China yang beragama Buddha menggunakan tradisi leluhur mereka dan untuk memimpin upacara mereka menggunakan jasa pendeta Buddhis (Tanggok, 1995). Ini menunjukkan bahwa perpaduan antara kebudayaan tradisional orang China dengan agma Buddha dapat dilihat dalam ritual keagamaan mereka.

Beberapa hasil penelitian sarjana Barat di Indonesia yang sudah ditulis dalam sebuah buku, yaitu: The Religion of

Java, yang ditulis oleh Cliford Geertz (1966) dan Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Jogyakarta

(1989) oleh Mark R. Woodward, telah memberikan penjelasan tentang Islam lokal di Jawa yang dipengaruhi kebudayaan lokal, tradisi agama Buddha dan Hindu yang sudah cukup lama mengakar di bumi nusantara ini.

Berdasarkan data statistik tahun 2000 bahwa penduduk Indonesia berjumlah 280 juta dan 90% penduduknya menganut agama Islam. Sedangkan 10% lagi menganut agama-agama lain, seperti: Kristen, Hindu, Buddha

(17)

dan Khonghucu. Khususnya agama Buddha, sebagian besar penganutnya berasal dari sukubangsa China. Agama Buddha di Indonesia terdiri dari beberapa aliran atau majelis di antaranya: Theravada, Mahayana, Tentrayana dan lain-lain. Pada masa sebelum reformasi majelis-majelis agama Buddha tidak kurang dari tujuh majelis sebagai berikut: Majelis Buddhayana Indonesia (MBI);Majelis Pandita Buddha Dhamma Indonesia (Mapanbudhi);Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia (Majabumi); dan Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (Mapanbhumi). Sedangkan pada masa reformasi majelis-majelis itu semakin bertambah menjadi dua puluh majelis, di antaranya sebagai berikut: Majelis Buddhayana Indonesia (MBI); Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia (Magabudhi); Majelis Umat Buddha Theravada Indonesia (Mahabuthi); Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia (Majabumi);Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia (Mahabhumi); Majelis Umat Buddha Mahayana Indonesia (Majubumi); Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (Mapanbhumi); Majelis Agama Buddha Maitreya Indonesia; Majelis EkaDhamma Indonesia; Majelis Ikwan Tao Indonesia; Majelis Rohaniawan TriDhamma Seluruh Indonesia (Martrisia); dan Majelis Agama Buddha TriDhamma Indonesia. Munculnya berbagai majelis dalam agama Buddha di Indonesia ini menunjukkan bahwa ajaran-ajaran Buddha itu sangat terbuka untuk ditafsirkan oleh para murid-murid Budda dan para pengikut-pengikutnya di masa sekarang.

Buku yang berjudul Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha Indonesia ini, merupakan hasil penelitian dari para peneliti Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama Republik Indonesia. Buku ini bukan saja memperkenalkan berbagai majelis agama Buddha Sama dengan agama Islam, agama Buddha adalah

agama yang universal, yaitu agama yang terdapat dalam kitab-kitab suci. Agama yang berasal dari India tersebut tidak dapat diterima begitu saja oleh rakyat Indonesia tanpa diterjemahkan dengan kebudayaan lokal. Atas dasar itu, baik agama Buddha maupun agama Islam di Indonesia juga bercorak lokal, karena dipengaruhi oleh kebudayaan setempat atau kebudayaan sukubangsa. Atas dasar itu, orang Cina yang masuk agama Buddha di Indonesia, mereka masih tetap mempraktekkan kebudayaannya dalam kehidupan sehari-hari. Dan bahkan dalam praktek keagamaannya, mereka mencampurkan kebudayaan China dengan tradisi Buddhis. Dalam upacara perkawinan dan kematian misalnya, masih banyak orang China yang beragama Buddha menggunakan tradisi leluhur mereka dan untuk memimpin upacara mereka menggunakan jasa pendeta Buddhis (Tanggok, 1995). Ini menunjukkan bahwa perpaduan antara kebudayaan tradisional orang China dengan agma Buddha dapat dilihat dalam ritual keagamaan mereka.

Beberapa hasil penelitian sarjana Barat di Indonesia yang sudah ditulis dalam sebuah buku, yaitu: The Religion of

Java, yang ditulis oleh Cliford Geertz (1966) dan Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Jogyakarta

(1989) oleh Mark R. Woodward, telah memberikan penjelasan tentang Islam lokal di Jawa yang dipengaruhi kebudayaan lokal, tradisi agama Buddha dan Hindu yang sudah cukup lama mengakar di bumi nusantara ini.

Berdasarkan data statistik tahun 2000 bahwa penduduk Indonesia berjumlah 280 juta dan 90% penduduknya menganut agama Islam. Sedangkan 10% lagi menganut agama-agama lain, seperti: Kristen, Hindu, Buddha

(18)

di Indonesia, namun juga menjelaskan aspek sejarah, ajaran-ajaran dan kegiatan-kegiatan sosial keagamaan dari berbagai majelis tersebut. Meskipun keberadaan dari berbagai majelis ini memberikan corak baru dari perkembangan agama Buddha di Indonesia dan berbeda dari negara-negara lain, namun konflik-konflik kecil di antara majelis-majelis ini juga tidak bisa dihindarkan. Sebagai Negara yang multi etnis, multi agama dan multi kebudayaan, sepatutnya kemunculan berbagai macam majelis dalam agama Buddha di Indonsia patut dihargai, karena Negara Indonesia adalah Negara yang menjunjung tingga keberbedaan dan menghormati adanya keberbedaan di antara keyakinan. Diharapkan di anatara berbagai majelis Buddha ini dapat saling menjaga keharmonisan satu dengan yang lainnya.

Jakarta, September 2016 Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok

(19)

PRAKATA EDITOR

Adanya sekte dan majelis dalam agama Buddha merupakan realitas yang tak dapat dihindari dalam kehidupan sosial keagamaan. Dalam sekte dan majelis dalam agama Buddha masih terdapat kelompok keagamaan tertentu yang berusaha memaksakan kehendaknya, hingga mengabaikan kelompok lainnya. Mereka mudah menyalahkan dan menyesatkan aliran, paham dan gerakan keagamaan yang berbeda, meskipun secara teologis perbedaan itu masih absah.

Agama Buddha memiliki banyak aliran atau sekte yang beberapa di antaranya eksis di Indonesia, seperti Theravada, Mahayana dan Tantrayana. Di samping itu banyak majelis yang dikelola oleh komunitas Buddha di seluruh Indonesia, baik yang bernaung di bawah sekte Theravada, Mahayana, dan Tantrayana. Secara keseluruhan jumlah majelis yang resmi tercatat ada 20 buah, 12 buah bernaung di bawah Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI) yaitu: Majabuthi, Mapanbumi, Madhatantri, PSBI, PBD, NSI, Majabumi, Kasogatan, Tantrayana, Majabuti, T. Suci, Matrisia, Amitaba, Sinar Buddha dan LKBI. 4 Majelis bergabung di Konferensi Sangha Indonesia (KASI), yaitu Sagin, STI, SMI (Sangha), MBI, Magabudhi, Majabumi dan Martrisia (Tridharma). Sementara majelis yang berada di luar WALUBI dan KASI yaitu: Ekadharma, Soka Gakkai, Mikti dan Mahabudhi (Dirjen Bimas Buddha, 2015)

di Indonesia, namun juga menjelaskan aspek sejarah, ajaran-ajaran dan kegiatan-kegiatan sosial keagamaan dari berbagai majelis tersebut. Meskipun keberadaan dari berbagai majelis ini memberikan corak baru dari perkembangan agama Buddha di Indonesia dan berbeda dari negara-negara lain, namun konflik-konflik kecil di antara majelis-majelis ini juga tidak bisa dihindarkan. Sebagai Negara yang multi etnis, multi agama dan multi kebudayaan, sepatutnya kemunculan berbagai macam majelis dalam agama Buddha di Indonsia patut dihargai, karena Negara Indonesia adalah Negara yang menjunjung tingga keberbedaan dan menghormati adanya keberbedaan di antara keyakinan. Diharapkan di anatara berbagai majelis Buddha ini dapat saling menjaga keharmonisan satu dengan yang lainnya.

Jakarta, September 2016 Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok

(20)

Di Indonesia sekarang ini berkembang berbagai paham dan aliran keagamaan Buddha. Dari berbagai aliran dan paham keagamaan Buddha yang berkembang tersebut Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, belum mempunyai informasi yang mendalam tentang keberadaan beberapa paham dan aliran keagamaan yang terdapat dalam agama Buddha. Selama ini baru beberapa aliran agama Buddha yang pernah dilakukan penelitian seperti Niciren Syosyu Indonesia (NSI) di Batam, Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (MAPANBUMI) di Jakarta, Majelis Budhayana Indonesia (MBI) di Lampung, Madhatantri (Majelis Agama Buddha Tantrayana Indonesia) di Kalimantan Barat. Oleh karena itu, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama memandang penting dan perlu untuk melakukan penelitian terhadap beberapa aliran yang belum diteliti. Maka pada tahun ini dilakukan penelitian terhadap 11 majelis dalam agama Buddha.

Majelis-majelis tersebut adalah: LKBI di Kalimantan Barat; Majelis Agama Buddha Theravada (Magabudhi) di Blitar; Majelis Rohaniwan Tridharma Seluruh Indonesia (Martrisia) di Provinsi Riau; Majelis Pandita Buddha Maitrena Indonesia (MAPANBUMI) di Kota Medan; Budhisme Niciren di Indonesia: Studi Kasus Niciren Syosyu Indonesia, di Jakarta; Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia (MAGABUDHI) di Provinsi Riau; Majelis Umat Buddha Mahayana Indonesia (Majubumi) di Jepara; Majelis Kasogatan di Kalimantan Barat; Majelis Umat Buddha Theravada Indonesia di Kota Tangerang; Majelis Buddha Soka Gakkai

(21)

Indonesia; Paham Buddhayana dan Tantangannya di Provinsi Lampung.

Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah: sejarah perkembangan dari masing-masing majelis (11 majelis); bagaimana manajemen organisasinya; apa kitab sucinya, pokok-pokok ajarannya, ritual dan tradisi keagamaannya; dinamika atau konflik-konflik yang pernah terjadi dan penyelesaiannya; relasi sosial dengan penganut agama Buddha lainnya dan non Buddha dan pandangan pemuka agama dari sekte lainnya dan pembimas Buddha.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, data yang digali bersifat naturalistik dari para pimpinan majelis, Pembimas Buddha, dan masyarakat. Narasumber yang diutamakan berasal dari pimpinan majelis-majelis dan pimpinan majelis lainnya. Penelitin ini dilakukan di Pontianak Kalimantan Barat (2 majelis); Kota Medan; Provinsi Riau (2 majelis), Blitar; Jakarta (2 majelis), Jepara, Tangerang, dan Provinsi Lampung.

Kehadiran majelis-majelis tersebut tidak bersamaan, ada yang sudah lama berdirinya ada yang baru. Begitu pula perkembangan majelisnya ada yang berkembang dengan pesat ditandai banyaknya umat dan bersanya bangunan viharanya. Ada majelis yang jumlah viharanya masih sangat sedikit.

Kitab sucinya umumnya adalah Tri Pitaka, tetapi masing-masing majelis (aliran) mempunyai kitab dengan tekanan sendiri. Sebagai contoh dalam aliran Buddha Maitreya selain Kitab Suci Tri Pitaka juga mengutamakan Di Indonesia sekarang ini berkembang berbagai paham

dan aliran keagamaan Buddha. Dari berbagai aliran dan paham keagamaan Buddha yang berkembang tersebut Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, belum mempunyai informasi yang mendalam tentang keberadaan beberapa paham dan aliran keagamaan yang terdapat dalam agama Buddha. Selama ini baru beberapa aliran agama Buddha yang pernah dilakukan penelitian seperti Niciren Syosyu Indonesia (NSI) di Batam, Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (MAPANBUMI) di Jakarta, Majelis Budhayana Indonesia (MBI) di Lampung, Madhatantri (Majelis Agama Buddha Tantrayana Indonesia) di Kalimantan Barat. Oleh karena itu, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama memandang penting dan perlu untuk melakukan penelitian terhadap beberapa aliran yang belum diteliti. Maka pada tahun ini dilakukan penelitian terhadap 11 majelis dalam agama Buddha.

Majelis-majelis tersebut adalah: LKBI di Kalimantan Barat; Majelis Agama Buddha Theravada (Magabudhi) di Blitar; Majelis Rohaniwan Tridharma Seluruh Indonesia (Martrisia) di Provinsi Riau; Majelis Pandita Buddha Maitrena Indonesia (MAPANBUMI) di Kota Medan; Budhisme Niciren di Indonesia: Studi Kasus Niciren Syosyu Indonesia, di Jakarta; Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia (MAGABUDHI) di Provinsi Riau; Majelis Umat Buddha Mahayana Indonesia (Majubumi) di Jepara; Majelis Kasogatan di Kalimantan Barat; Majelis Umat Buddha Theravada Indonesia di Kota Tangerang; Majelis Buddha Soka Gakkai

(22)

beberapa sutra yang dianggap lebih praktis yaitu: Sutra Intan; Sutra Hati; Sutra Altar Mustika Dharma; Sutra tentang Bodhisatwa Maitreya Mencapai Sorga Tusita; Sutra tentang Bodhisatwa Maitreya mencapai Kebudhaan; Sutra tentang Bodhisatwa Maitreya tentang Panggilan Jiwa Buddha, dan sastra-sastra Mahayana lainnya.

Relasi sosial dengan sesama penganut Buddha, berjalan dengan baik, tidak ada persoalan di antara mereka walau berbeda aliran dan majelis. Mereka dapat memahami karena adanya perbedaan sesepuh dan leluhur. Dalam perayaan hari-hari besar keagamaan yang diadakan oleh WALUBI umumnya pimpinan majelis diundang untuk menghadiri acara tersebut. WALUBI merupakan wahana untuk mempersatukan umat Buddha yang tergabung dalam WALUBI. Dengan umat non Buddha juga kerukunannya terjalin dengan baik, hal ini mungkin karena agama Buddha bukan agama missi (dakwah), sehingga tidak mengkhawa-tirkan kelompok agama lainnya.

Pimpinan beberapa majelis agama umumnya dapat menghargai perbedaan dalam agama Buddha. Perbedaan tersebut dikarenakan perbedaan sesepuh dan leluhur, dan murid sang Buddha itu memang banyak sehingga sangat memungkinkan adanya penafsiran yang berbeda, apalagi sesepuh tersebut hidup dalam lingkungan yang berbeda.

Berdasarkan deskripsi di atas, penelitian ini merekomendasikan hal-hal sebagai berikut:

(23)

dari masing-masing majelis, melalui pengurus majelis, sehingga diperoleh data yang pasti mengenai jumlah umat yang akan dibina. Kerukunan yang sudah tercipta dengan baik, internal dan eksternal perlu dipertahankan melalui forum-forum dialog yang sudah ada, yaitu WALUBI dan FKUB.

Semoga informasi yang terdapat dalam buku ini dapat digunakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dalam mengambil kebijakan. Tak ada gading yang tak retak, untuk itu kritik dan saran untuk perbaikan buku ini sangat kami harapkan.

Wabillahi taufik wal hidayah. Wassalam

Jakarta, September 2016

Drs. H. Nuhrison M. Nuh, MA beberapa sutra yang dianggap lebih praktis yaitu: Sutra Intan;

Sutra Hati; Sutra Altar Mustika Dharma; Sutra tentang Bodhisatwa Maitreya Mencapai Sorga Tusita; Sutra tentang Bodhisatwa Maitreya mencapai Kebudhaan; Sutra tentang Bodhisatwa Maitreya tentang Panggilan Jiwa Buddha, dan sastra-sastra Mahayana lainnya.

Relasi sosial dengan sesama penganut Buddha, berjalan dengan baik, tidak ada persoalan di antara mereka walau berbeda aliran dan majelis. Mereka dapat memahami karena adanya perbedaan sesepuh dan leluhur. Dalam perayaan hari-hari besar keagamaan yang diadakan oleh WALUBI umumnya pimpinan majelis diundang untuk menghadiri acara tersebut. WALUBI merupakan wahana untuk mempersatukan umat Buddha yang tergabung dalam WALUBI. Dengan umat non Buddha juga kerukunannya terjalin dengan baik, hal ini mungkin karena agama Buddha bukan agama missi (dakwah), sehingga tidak mengkhawa-tirkan kelompok agama lainnya.

Pimpinan beberapa majelis agama umumnya dapat menghargai perbedaan dalam agama Buddha. Perbedaan tersebut dikarenakan perbedaan sesepuh dan leluhur, dan murid sang Buddha itu memang banyak sehingga sangat memungkinkan adanya penafsiran yang berbeda, apalagi sesepuh tersebut hidup dalam lingkungan yang berbeda.

Berdasarkan deskripsi di atas, penelitian ini merekomendasikan hal-hal sebagai berikut:

Agar Ditjen Bimas Buddha melalui aparatnya di tingkat provinsi dan kabupaten/kota untuk mendata umat

(24)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR KEPALA PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN ... iii SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT KEMENTERIAN AGAMA ... v PROLOG ... ix PRAKATA EDITOR ... xvii DAFTAR ISI ... xxiii

PENDAHULUAN ... 1 1. Lembaga Keagamaan Buddha Indonesia (LKBI)

di Provinsi Kalimantan Barat

Nuhrison M. Nuh ... 11

2. Majelis Agama Buddha Theravada (Magabudhi) di Blitar, Jawa Timur

Asnawati ... 41

3. Majelis Rohaniwan Tridharma Seluruh Indonesia (Martrisia) Komisariat Daerah Provinsi Riau

Suhanah ... 75

4. Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (MAPANBUMI) di Kota Medan

Wakhid Sugiyarto ... 113

5. Buddhisme Niciren di Indonesia: Studi Kasus Niciren Syosyu Indonesia

(25)

6. Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia (MAGABUDHI) di Provinsi Riau

Reslawati ... 255

7. Majelis Umat Buddha Mahayana Indonesia (Majubumi) di Jepara Provinsi Jawa Tengah

Achmad Rosidi ... 285

8. Majelis Kasogatan di Provinsi Kalimantan Barat

M. Taufik Hidayatulloh ... 307

9. Majelis Umat Buddha Theravada Indonesia (MAJUBUTHI) di Kota Tangerang

Achmad Ubaidillah & Adang Nofandi ... 357

10. Majelis Buddha Soka Gakkai di Indonesia

Syaiful Arif ... 385

11. Paham Buddhayana dan Tantangannya di Provinsi Lampung

Zaenal Abidin Eko Putro ... 417 EPILOG ... 455 INDEKS ... 459

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR KEPALA PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN ... iii SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT KEMENTERIAN AGAMA ... v PROLOG ... ix PRAKATA EDITOR ... xvii DAFTAR ISI ... xxiii

PENDAHULUAN ... 1 1. Lembaga Keagamaan Buddha Indonesia (LKBI)

di Provinsi Kalimantan Barat

Nuhrison M. Nuh ... 11

2. Majelis Agama Buddha Theravada (Magabudhi) di Blitar, Jawa Timur

Asnawati ... 41

3. Majelis Rohaniwan Tridharma Seluruh Indonesia (Martrisia) Komisariat Daerah Provinsi Riau

Suhanah ... 75

4. Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (MAPANBUMI) di Kota Medan

Wakhid Sugiyarto ... 113

5. Buddhisme Niciren di Indonesia: Studi Kasus Niciren Syosyu Indonesia

(26)

Keragaman Majelis

Di Kalangan Umat Buddha

Indonesia

(27)

Keragaman Majelis

Di Kalangan Umat Buddha

Indonesia

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Adanya sekte dan majelis dalam agama Buddha merupakan realitas yang tak dapat dihindari dalam kehidupan social keagamaan. Walaupun demikian masih terdapat kelompok keagamaan tertentu berusaha memaksakan kehendaknya seolah pemahmannya sendiri sebagai kebenaran, hingga mengabaikan kelompok lainnya. Mereka mudah menyalahkan dan menyesatkan aliran, paham dan gerakan keagamaan yang berbeda, meskipun secara teologis perbedaan itu masih absah.

Menurut Durkheim, agama adalah realitas social dan kekuatan kolektif masyarakat yang berada di atas individu-individu, sehingga para pemeluknya tunduk dan bergantung pada kekuatan moral daripadanya, menerima segala sesuatu yang baik dan meninggalkan larangannya, (Bernard Raho: 2013: hal 44), sehingga agama dipahami sebagai jalan menuju kehidupan sejati, yang diyakini setiap pemeluknya dan menjadi pedoman atau lentera dalam hidupnya. Watak dasarnya adalah memperbaiki realitas kehidupan yang ada (das sein) agar sesuai dengan kehidupan seharusnya ( das sollen). Secara teoritis, jika suatu kelompok individu dan masyarakat secara social semakin tunduk dan mematuhi ajaran agama, berarti agama itu bermakna tinggi dan berfungsi dengan baik. Tetapi jika individu atau masyarakat secara social tidak lagi tunduk pada ajaran agamanya, berarti agama itu sudah kehilangan makna, apalagi berfungsi, sehingga beragamapun sekedar pengakuan administrative belaka. Oleh karena itu agar agama bernilai, bermakna dan

(28)

berfungsi, ia harus beradaftasi dan direvitalisasi dengan perkembangan social masyarakat dimana agama itu dipeluk. Jika perlu dilahirkan aliran baru dengan spiritualitas baru dan vitalitas baru sesuai dengan perkembangan pemahaman keagamaan dari masyarakat yang memeluk agama itu. Dari proses seperti inilah lahir berbagai aliran, paham, sekte, gerakan, organisasi atau majelis keagamaan di hamper semua agama, dan menjadi keharusan sejarah.

Agama Buddha merupakan agama tua yang kedatangannya bersamaan dengan agama Hindu di Indonesia. Tiba pada sekitar abad kelima masehi, dan sejumlah kerajaan Hindu dan Buddhapun telah dibangun secara bergelombang sejak abad kelima hingga kesebelas masehi. Kedatangan agama Buddha dimulai dengan aktivitas perdagangan sejak awal abad pertama melalui jalur sutra antara India- Cina dan jalur rempah-rempah India-Nusantara. (Buddhisme in Indonesia: Diunduh 30 Februari 2015). Sejumlah warisan kejayaan kerajaan Hindu dan Buddhapun dapat ditemukan di seluruh Indonesia, seperti candi dan berbagai situs sejarah dan prasasti sebagai situs sejarah dan menjadi symbol bahwa agama Hindu Buddha pernah mendominasi kehidupan social keagamaan masyarakat di seluruh pelosok Nusantara.

Pada masa Majapahit, agama Buddha berkolaborasi dengan agama Hindu dan disebut dengan Shiwa Buddha, tetapi sayangnya kemudian lenyap begitu Brawijaya V masuk Islam. Di Negara asalnya (India) agama Buddhapun lenyap. Tetapi aliran/sekte Buddha Mahayana berhasil menyelamatkan agama Buddha dari kepunahan, dan dapat pengikut besar di Asia Timur, seperti Cina, Korea, Jepang dan Taiwan setelah mengalami akulturasi dengan budaya setempat. Di Cina Buddha Hinayana tidak dapat diterima

(29)

karena ajarannya yang terlalu jauh bertentangan dengan kosmologi masyarakat Cina, yaitu kebahagiaan, kemakmuran dan umur panjang. Mahayanalah yang menyelamatkan mereka dengan prinsip karma yang dapat mereka terima secara logis, yang didasarkan pada prinsip kausalitas (sebab akibat). Jadi Mahayana dipandang ajaran yang didasarkan pada spirit Buddha yaitu kasih sayang pada sesama. Sementara itu Hinayana sifatnya sangat individu, tekstual dan dipandang tidak dapat menyelamatkan semua orang. (Beatric Lane Suzuki, 2009).

Masuknya Brawijaya V sebagai muslim mempercepat konversi agama masyarakat dari Shiwa Buddha ke Islam. Ketidak mampuannya beradaptasi dengan perkembangan sosial keagamaan global waktu itu, menyebabkan Shiwa Buddha kehilangan daya tarik dan tidak fungsional bagi penganutnya. Azyumardi Azra menjelaskan bahwa waktu itu banyak orang-orang suci (wali-sufi) yang memiliki ilmu kesaktian (kanuragan) mampu mengalahkan kehebatan ilmu kesaktian orang-orang suci dari Shiwa Buddha, sehingga masyarakat Jawa yang paternalistik dan menghormati orang suci dengan mudah masuk Islam. (Azyumardi Azra, 2004).

Agama Buddha bangkit kembali ketika Indonesia sudah merdeka dan terus tumbuh subur dan berkembang hingga hari ini. Menurut keterang Dirjen Bimas Buddha, jumlah umat Buddha di Indonesia sat ini mencapai 8,7 juta jiwa. Sensus nasional tahun 2000, kurang lebih 3% dari total penduduk Indonesia beragama Buddha, sekitar 8,7 juta orang. (Budhisme in Indonesia, 2006).

Agama Buddha memiliki banyak aliran atau sekte yang beberapa diantaranya juga eksis di Indonesia, seperti

(30)

Theravada, Mahayana dan Tantrayana. Di samping itu banyak majelis yang dikelola oleh komunitas Buddha diseluruh Indonesia, baik yang bernaung dibawah sekte Theravada, Mahayana dan Tantrayana. Secara keseluruhan jumlah majelis yang resmi tercatat adalah 20 buah, 12 buah bernaung dibawah Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI), yaitu: Majabuthi, Mapanbumi, Madhatantri, PSBI, PBD NSI, Majabumi, Kasogatan, Tantrayana, Majabuti, T.Suci, Matrisia, Amitaba,Sinar Buddha, dan LKBI. 4 majelis bergabung di Konferensi Agung Sangha Indonesia (KASI), yaitu Sagin, STI, SMI (sangha), MBI, Magabudhi, Majabumi, dan Martrisia (Tridharma). Sementara majelis yang berada diluar WALUBI dan KASI yaitu: Ekadharma, Soka Gakai, Mikti dan Mahabudhi.( Dirjen Bimas Buddha, 2015).

Menurut Dirjen Bimas Buddha, sekte Mahayana banyak berkembang di Cihna, Korea dan Jepang. Theravada/Hinayana berkembang di Srilangka dan Birma, sementara Tantrayana berkembang di Tibet. Beberapa sekte dibawa Mahayana seperti Maitreya berkembang di Taiwan dan Nichiren berkembang di Jepang. (Dirjen Bimas Buddha: 2015).

Di Indonesia sekarang ini berkembang berbagai paham dan aliran keagamaan dalam agama Buddha, namun Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, belum mempunyai informasi yang mendalam tentang keberadaan beberapa paham dan aliran keagamaan yang terdapat dalam agama Buddha. Selama ini baru beberapa aliran dalam agama Buddha yang pernah dilakukan penelitian seperti Niciren Syosyu Indonesia (NSI) di Batam, Majelis Pandita Buddha Maiteriya Indonesia (MAPANBUMI) di Jakarta, Majelis Buddhayana Indonesia

(31)

(MBI) di Lampung, Madhatantri (Majelis Agama Buddha Tantrayana Indonesia). Oleh karena itu, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, khususnya Puslitbang Kehidupan Keagamaan memandang penting dan perlu melakukan suatu kajian tersendiri terhadap beberapa aliran dalam agama Buddha yang belum diteliti, dan pada tahun ini penelitian dilakukan antara lain terhadap sebelas majelis agama Buddha.

Masalah Penelitian

Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini dirumuskan dalam pertanyaan sebagai berikut: (1) Sejarah perkembangan majelis-majelis agama (2) Bagaimana manejemen organisasinya (3) Apa kitab sucinya, pokok-pokok ajarannya, ritual dan tradisi keagamaannya (4) Bagaimana dinamika atau konflik-konflik yang pernah terjadi dan cara penyelesaiannya (5) Bagaimana relasi sosialnya dengan penganut agama Buddha lainnya dan non Buddha. (6) Bagaimana pandangan pemuka agama dari sekte lainnya dan pembimas Buddha.

Tujuan Penelitian

Secara umum, kajian ini ingin memperoleh gambaran yang lebih jelas (secara deskriptif) tentang majelis-majelis agama yang diteliti. Sementara secara khusus dan lebih rinci tujuan kajian ini, ingin menghimpun berbagai informasi tentang sejarah lembaga, manajemen organisasinya (struktur, keanggotaan, pembinaan, dana dan prasarananya, kitab sucinya dan pokok-pokok ajaraannya (teologi), ritual (sistem peribadatan) etika dan tradisi keagamaannya (hari suci

(32)

keagamannya), relasi sosialnya (hubungan dengan umat Buddha lainnya, masyarakat setempat dan pemerintah), respon pemuka agama dan pemerintah terhadap keberadaan majelis-majelis agama yang diteliti.

Kerangka Konseptual

Konsep Teologis Agama Buddha

Agama Buddha didasarkan pada konsep teologi yang memahami bahwa ada sesuatu kekuatan gaib yang maha dahsyat di alam semesta ini yang mengatur segala isi dari alam semesta ini. Siapa yang berbuat sesuai dengan kekuatan gaib ini akan selamat, siapa yang berbuat bertentangan dengan kekuatan gaib ini akan celaka. Sang Buddha sendiri tidak pernah menyebut atau memberi nama kepada kekuatan gaib tersebut. Tuhan dalam agama Buddha tidak bernama seperti dalam agama lain. Sistem ketuhanan dalam agama Buddha didasarkan pada sabda Buddha, yaitu: “Ketahuilah

para bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para bhikkhu, apabila tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para bhikkhu,karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.” (wikipedia org/ agama Buddha, 30-1-2015).

(33)

digambarkan dalam bentuk apapun dan Yang Mutlak tidak berkondisi (asamkhata), manusia yang berkondisi (shamkata) dapat mencapai kebebasan dari lingkaran kehidupan (samsara) dengan cara bermeditasi (berkhalwat dan bertapa). Akibat tidak ada sebutan Tuhan dalam agama Buddha, maka umat Buddha Indonesia menyebutnya “Tuhan Yang Maha Esa” atau “Yang Maha Esa”, sesuai dengan keputusan Pasamuan 1 Majelis Buddha Dharma Indonesia di Lawang (12 s.d.14 Maret 1976). Tetapi beberapa tahun sebelumnya pendiri Perbudddi (Persatuan Buddha Indonesia), Bhikkhu Ashin Jinarakkhita mengusulkan agar sebutan Tuhan dalam agama Buddha disebut, Sang Hyang Adi Buddha, tetapi usulan ini tidak disepakati seluruh umat Buddha dan yang lazim tetap disebut Tuhan Yang Maha Esa. Umat Buddha memiliki nilai-nilai moralitas yang dipegang dan dijaga yang biasa disebut dengan Pancasila Buddhis. Disamping memegang lima sila moralitas ini umat Buddha juga sangat menjunjung tinggi karma sebagai sesuatu yang berpegang pada prinsip sebab akibat.

Para penganut agama Buddha apapun alirannya berpegang pada Tripitaka, didalamnya tercatat sabda dan ajaran Buddha Gautama, yang diklasifikasikan dalam tiga buku yaitu Sutta Pitaka (khutbah-khutbah Sang Buddha), Vinaya Pitaka (peraturan atau tata tertib para bhikkhu) dan Abidahmma Pitaka (ajaran hukum metafisika dan psikologi). Itulah sebabnya kumpulan buku tersebut disebut Tripitaka. Tri artinya tiga dan pitaka artinya keranjang, Tripitaka artinya tiga keranjang (kelompok) buku diatas. (Nahar Nahrawi, 2006: hal 200-201).

(34)

Sekte Agama Buddha

Agama Buddha memiliki banyak sekte/aliran karena Sang Buddha mengajarkan kepada banyak kelompok orang, ada masyarakat biasa, kaum terpelajar, kaum pertapa, para dewa, dan asura. Sang Buddha menyesuaikan materi yang diajarkan sesuai dengan pola pikir masing-masing kelompok yang berbeda. Tiap-tiap manusia memiliki kecendrungan yang berbeda, baik minat maupun kebiasaannya. Hal ini menyebabkan cara setiap orang melihat ajaran Sang Buddha bisa dari berbagai sudut pandang, disesuaikan dengan mereka. Masalah sekte/aliran, seperti halnya masalah agama, adalah masalah kesesuaian/kecocokan. Tentu saja hal ini berbeda pada setiap pribadi. Ajaran Sang Buddha amat luas, sehingga ada kelompok tertentu yang memiliki kecendrungan untuk memilih bagian atau tradisi tertentu dari ajaran Sang Buddha untuk dipraktekkan.

Sekte/aliran dalam agama Buddha ada tiga yaitu Theravada, Mahayana dan Tantrayana. Selain itu ada juga sekte yang sebenarnya merupakan pecahan dari sekte Buddha Mahayana. Yaitu: Tridharma; Maitreya, Nichiren, Satya Buddha, dan Buddhayana.

Majelis Agama Buddha

Majelis agama Buddha merupakan organisasi umat Buddha dalam mengembangkan dan membina sebuah aliran/sekte dalam agama Buddha. Majelis agama Buddha tersebut seperti Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (MAPANBUMI), Majelis Rohaniwan Tridharma Seluruh Indonesia (MARTRISIA), Majelis Pandita Buddha Dhamma

(35)

Indonesia (MAPANBUDDHI), dan masih banyak mejelis lainnya.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dalam bentuk studi kasus. Dalam memahami data yang ditemui di lapangan, peneliti lebih bertumpu pada pendekatan fenomenologis dalam arti berusaha memahami subjek dari sudut pandang mereka sendiri, memaknai berbagai fenomena sebagaimana dipahami dan dimaknai oleh para pelaku.

Pengumpulan data dilakukan melalui kajian pustaka, wawancara mendalam serta pengamatan lapangan. Kajian pustaka dilakukan baik sebelum maupun sesudah pengumpulan data lapangan. Sebelum ke lapangan kajian pustaka ditekankan pada usaha merumuskan permasalahan penelitian serta menentukan fokus dalam penelitian. Sedangkan kajian pustaka setelah pengumpulan data lapangan ditujukan untuk menganalisis dokumen-dokumen yang diperoleh selama penelitian lapangan.

Wawancara dilakukan dengan tokoh-tokoh kelompok ini, pengikutnya, pemuka agama aliran/sekte agama Buddha lainnya, pengurus WALUBI (Provinsi dan Kota), pemuka agama setempat, dan Kepala Pembimas Agama Buddha Provinsi. Sedangkan pengamatan dilakukan mengenai kondisi tempat ibadat.

Semua informasi, temuan, kenyataan lapangan berupa konsep, aspirasi, saran, dan catatan-catatan yang berhasil dikumpulkan, kemudian dicatat, diseleksi, diklasifikasi dan ditarik beberapa kesimpulan pokok yang bersifat umum dan menyeluruh.

(36)

Buku ini memuat tulisan keragaman majelis-majelis dalam agama Buddha, yang terdiri dari:

a) Lembaga Keagamaan Buddha Indonesia (LKBI);

b) Majelis Agama Buddha Theravada (Magabudhi) di Blitar Jawa Timur;

c) Majelis Rohaniawan Tridharma Seluruh Indonesia (MARTRISIA) di Provinsi Riau;

d) Majelis Pandita Buddha Maitreya (MAPANBUMI) di Kota Medan;

e) Budhisme Niciren di Indonesia;

f) Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia (Magabudhi) di Provinsi Riau;

g) Majelis Umat Buddha Mahayana Indonesia (Maju Bumi) di Jepara Jawa Tengah;

h) Majelis Kasogatan di Provinsi Kalimantan Barat;

i) Majelis Umat Buddha Theravada Indonesia (Maju Buthi) di Kota Tangerang

j) Majelis-majelis Buddha Saka Gakkai Indonesia

k) Majelis Buddhayana Indonesia (MBI) di Provinsi Lampung.

(37)

LEMBAGA KEAGAMAAN BUDDHA INDONESIA (LKBI) DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT

Oleh:

Nuhrison M. Nuh

(38)
(39)

I

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sejarah Lembaga Keagamaan Buddha Indonesia (LKBI) A. Setting Sosial Ketika Berdirinya LKBI

Agama Buddha telah menyebar dan berkembang di Kalimantan Barat sejak zaman kemerdekaan. Keberadaan agama Buddha di Kalimantan Barat sama keberadaannya seperti agama Buddha di Indonesia umumnya, namun demikian penyebaran dan perkembangan agama Buddha di Kalimantan Barat pada waktu itu dapat dikatakan mati suri antara ada dan tiada. Perkembangan berikutnya hanya mengikuti tradisi Cina. Artinya yang dikembangkan adalah nilai-nilai tradisional Cina sehingga menimbulkan perspektif bahwa agama Buddha adalah agama orang Cina.

Pada kurun waktu 1990-an agama Buddha di Kalimantan Barat belum mampu menunjukkan eksistensinya secara menonjol karena belum ada pelayanan dari pemerintah secara khusus. Sekitar tahun 1993 terjadi pemisahan secara khusus dengan terpisahnya Pelayanan Bimbingan Masyarakat Hindu dan Pelayanan Bimbingan Masyarakat Buddha. Pada waktu itu Kepala Pembimas Buddha di jabat oleh Ida Bagus Putra Arimbawa. Sampai dengan tahun 1998 keberadaan agama Buddha belum mampu menunjukkan eksistensinya secara nyata, dimana agama Buddha belum mendapat pelayanan secara nyata karena pejabat Plt Pembimas Buddha dijalankan oleh pejabat dari agama Hindu.

Siswa-siswi yang beragama Buddha di sekolah masih banyak yang mengikuti pelajaran agama lain. Hal ini

(40)

dikarenakan belum ada seorangpun umat Buddha yang telah diangkat oleh pemerintah secara depenitif menjadi pegawai negeri sipil sebagai guru agama Buddha.

Tahun 1998 didatangkan sorang pegawai Bimas Buddha dari Jakarta (Saiman, S.S) untuk memberikan pelayanan kepada umat Buddha di wilayah Kalimantan Barat, kemudian pegawai tersebut diangkat sebagai Plt Pembimas Buddha. Pada tahun 1999 Plt Pembimas Buddha menghadap Gubernur Kalimantan Barat Aspar Aswin, agar umat Buddha mendapat porsi dalam pengangkatan pegawai. Gubernur menanggapi secara serius permohonan Pembimas Buddha, dan menugaskan Drs. Ignasius Liong sebagai Kepala Biro Kepegawaian untuk mendata dan memberikan formasi pengangkatan guru agama Buddha. Setelah diadakan pendataan dan meneliti kondisi formasi pengangkatan pegawai, maka Kepala Biro memberikan jatah Formasi Guru Agama Buddha sebanyak 18 orang. Ketika itu tenaga yang tersedia baru satu orang, kekurangan 17 orang. Plt Pembimas Buddha mengusulkan kepada Kepala Biro untuk mengadakan seleksi di Jakarta. Kepala Biro menyetujui dan menugaskan kepada Plt Pembimas Buddha, Kepala Dinas Pendidkkan, Kepala Dinas Transmigrasi untuk menyeleksi calon guru agama Buddha di Jakarta.

Bulan Oktober 1999 Surat Keputusan Guru Agama Buddha telah turun, dan Plt Pembimas Buddha memanggil semua Calon Guru Agama Buddha untuk datang melaksanakan tugas. Mulai tahun itulah untuk pertama kalinya ada 17 orang guru agama Buddha di Kalimantan Barat, karena yang satu orang mengundurkan diri.

(41)

untuk menata dan mengumpulkan data keagamaan Buddha di seluruh Kalimantan Barat. Periode ini juga sedang hangat-hangatnya reformasi yang diikuti oleh banyaknya pemekaran wilayah. Setelah dilakukan pendataan pada setiap kabupaten/kota maka Plt mengusulkan dengan mendatangi setiap daerah pemekaran, agar dalam pembentukan struktur organisasi di daerah terdapat Kasi/Penyelenggara Bimas Buddha. Usulan tersebut ditembuskan ke Ditjen Bimas Hindu dan Buddha dan Sekjen Departemen Agama. Usulan tersebut dapat dikabulkan sehingga di setiap Kabupaten /Kota pemekaran terdapat Kasi/Penyelenggara Bimas Buddha.

Periode 2006-2009 merupakan periode penataan organisasi-organisasi keagamaan Buddha. Pada tahun tersebut Plt Pembimas Buddha dilantik sebagai Pejabat Depenitif Pembimas Buddha. Saiman S.S, merupakan pejabat pertama Pembimas Buddha Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Kalimantan Barat, setelah tujuh tahun menjabat sebagai Plt. Pada tahun itu juga diadakan Musda Perwakilan Umat Buddha Provinsi Kalimantan Barat atau DPD WALUBI Provinsi Kalimantan Barat. Terpilih dalam Musda tersebut sdr Herman Limanto dari Madha Tantri ( Majelis Agama Buddha Tantrayana Satya Buddha Indonesia).

Sejak berdirinya WALUBI mulailah tampak kesemarakan kehidupan umat Buddha di Provinsi Kalimantan Barat. Maka mulailah bermunculan organisasi-organisasi agama Buddha. Hingga saat ini di Provinsi Kalimantan Barat terdapat delapan majelis agama Buddha, yaitu: (1) Mapanbumi (Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia); (2) YPSBDI ( Yayasan Pandita Sabha Buddha Dharma Indonesia); (3) BDNSI ( Buddha Dharma Niciren Sosyu Indonesia); (4) Matrisia (Majelis Tri Dharma Indonesia); (5) LKBI (Lembaga

(42)

Keagamaan Buddha Indonesia); (6) Majelis Agama Buddha Kasogatan Indonesia; (7) Madha Tantri (Majelis Agama Buddha Tantrayana Satya Buddha Indonesia); (8) MAGABUDTHI (Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia). Dari delapan majelis tersebut yang terbesar adalah MAPANBUMI yang memiliki ratusan tempat ibadah, dan diantaranya terdapat vihara yang terbesar di Provinsi Kalimantan Barat, sedangkan yang terbesar kedua adalah Majelis Tri Dharma Indonesia ( MATRISIA). (Saiman,S.S,

Agenda Kerja Pembimas Buddha Kanwil Departemen Agama Prov Kalbar, 2009, hal 29-31).

B. Perkembangan LKBI

Sejarah adalah masa lalu dan sekarang. Oleh sebab itu sumber primer sangatlah penting, sumber primer itu adalah para pelaku sejarah dan dokumen-dokumen yang dimiliki oleh lembaga tersebut. Permasalahannya dalam masalah LKBI ini sumber primer tersebut tidak dapat ditemui dan diperoleh, hanya orang yang melanjutkan lembaga tersebut yang dapat ditemui.

Berdasarkan informasi dari Bapak Sunarto Ketua LKBI yang sekarang, LKBI berdiri pada tanggal 18 Mei tahun 1999. Sebagai pendirinya Bapak Budi Wong, yang ketika itu sering mengadakan kontak dengan Pimpinan LKBI Pusat, ketika itu dia menjabat sebagai Ketua WALUBI Kalimanan Barat. Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa sebelum terbentuknya LKBI, agama Buddha pada tahun 1998-an belum eksis, pelayannya masih ditangani oleh Pembimas Hindu, orangnyapun orang Hindu, karena pada saat itu belum ada pegawai yang beragama Buddha.

(43)

Setelah ditempatkannya PLT Pembimas Agama Buddha di Kalimantan Barat dia mulai mengadakan pendataan dan pembinaan terhadap majelis agama Buddha. Dalam pendataan tersebut dia memperoleh informasi ada beberapa vihara yang belum tergabung dalam salah satu majelis. Maka disarankan agar mereka bergabung dalam Lembaga Keagamaan Buddha Indonesia (LKBI). LKBI pada awalnya berbeda dengan majelis yang merupakan representasi dari aliran/sekte, tetapi dia merupakan federasi dari berbagai aliran/sekte. Pada mulanya bergabung sekte kasogatan dan Maitereya (non MAPANBUMI), tetapi setelah berdiri majelis sendiri maka Kasogatan keluar dari LKBI dan mendirikan majelis sendiri.

Berdirinya LKBI di Pusat bersamaan dengan dibentuknya WALUBI baru. Dimana dalam WALUBI yang baru beberapa majelis tidak bergabung, sehingga jumlah anggota majelis yang bergabung dengan WALUBI menjadi berkurang. Mereka yang tidak bergabung dengan WALUBI kemudian mendirikan KASI ( Konferensi Sangha Agung Indonesia). Dalam persaingan antara WALUBI dan KASI tersebut maka didirikanlah Lembaga Keagamaan Buddha Indonesia. Selain itu beberapa majelis yang dibawah WALUBI lama dipermasalahkan, dalam wadah WALUBI yang baru, dapat diterima dengan baik.

WALUBI (Perwalian Umat Buddha Indonesia) didirikan pada 8 Mei 1978 ketika dilangsungkan Kongres Umat Buddha di Yogyakarta, sebagai wadah tunggal umat Buddha Indonesia yang beranggotakan majelis-majelis agama Buddha dan tiga organisasi, yaitu: Sangha Agung Indonesia, Sangha Theravada Indonesia, dan Sangaha Mahayana Indonesia.

(44)

Sedangkan majelis yang tergabung dalam WALUBI waktu itu adalah: Majelis Buddhayana Indonesia (MBI), Majelis Pandita Buddha Dhamma Indonesia ( Mapanbudhi) yang kemudian berganti nama menjadi Magabudhi, Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia (Majabumi), Martrisia (Majelis Rohaniawan Tri Dharma Seluruh Indonesia), Majelis Pandita Buddha Maitereya Indonesia (Mapanbumi), Majelis Nichiren Syosyu Indonesia (NSI), dan Majelis Dharmaduta Kasogatan Indonesia.

Pada tahun 1998 WALUBI membubarkan diri, dan seiring dengan pembubaran ini berdiri WALUBI baru yang sifatnya federatif yang terdiri dari majelis-majelis agama Buddha. Berbeda dengan WALUBI sebelumnya, organisasi WALUBI ini merupakan singkatan dari Perwakilan Umat Buddha Indonesia beranggotakan majelis-majelis dan terdapat dewan Sangha.

Majelis-majelis anggota WALUBI Perwakilan saat ini terdiri dari: Majelis Agama Buddha Tantrayana Zen Fo Zong Kasogatan Indonesia ( Zhen Fo Zong Kasogatan), Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (Mapanbumi), Parisadha Buddha Dharma Indonesia (PSBDI), Majelis Rohaniawan Tridharma Seluruh Indonesia (MARTRISIA), Majelis Buddha Tantrayana Satya Buddha Indonesia (Madha Tantri), Majelis Umat Buddha Theravada Indonesia (Majubuthi), Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia (Majabumi), Lembaga Keagamaan Buddha Indonesia (LKBI), Majelis Agama Buddha Mahayana Buddhis Indonesia (Mahabudhi), Majelis Agama Buddha Tantrayana Indonesia (Majabudti), Majelis Umat Buddha Mahayana Indonesia (Majubumi), Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia Tanah Suci (Majabumi Tanah Suci).

(45)

Sementara itu, terdapat pula majelis agama Buddha dalam WALUBI perwalian namun tidak bergabung dalam WALUBI perwakilan yaitu: Majelis Buddhayana Indonesia (MBI), Majelis Agama Buddha Dhamma Indonesia (Magabudhi), Majelis Agama Buddha Tri Dharma Indonesia (Martrisia Jakarta sewaktu bergabung dalam WALUBI perwalian).(Lihat Tabloid KASI, Edisi Pertama, 1 November 2007).

Sejak berdirinya telah terjadi empat kali pergantian pengurus. Pada periode pertama 1999-2004 dipimpin oleh Budiona Tan, sedangkan Pak Budi Wong yang merupakan pendirinya justru menjabat wakil ketua dibantu oleh Pak Sunarto. Kemudian pada periode 2004 – 2009 dipimpin oleh Bapak Sunarto, kemudian periode 2009 – 2014 dipimpin oleh Bapak Limas Joni, kembali pada periode 2015 – 2019 pimpinan dipercayakan kembali pada Bapak Sunarto.

Berbeda dengan majelis lainnya yang mempunyai otoritas terhadap rumah ibadah yang berada dibawah binaannya, di LKBI tidak demikian, rumah ibadah yang bernaung dibawah LKBI mempunyai hak untuk mengatur viharanya, tanpa dapat dicampuri oleh LKBI. LKBI hanya berfungsi sebagai mediator antara vihara dengan pemerintah dan antara vihara dengan umat Buddha lainnya. Sedangkan kedalam pimpinan vihara berhak mengatur dirinya sendiri. Oleh sebab itu kalau kita tanya tentang informasi yang berkaitan dengan vihara yang berada dibawah binaannya, umumnya mereka tidak tahu. Bahkan berapa jumlah vihara yang tergabung dalam LKBI pengurus kurang mengetahuinya secara pasti. Sebagai contoh ketika terjadi pesamuan vihara yang dianggap anggota sebanyak 9 (sembilan) buah, tetapi yang datang hanya 6 (enam) orang pengurus vihara.

(46)

Malah menurut Ketua WALUBI Kalimantan Barat Pdt Edi Tansuri anggota LKBI banyak, ada puluhan tetapi memang tidak terdata dengan baik. Semua vihara yang belum bergabung pada sebuah majelis seharusnya bergabung ke LKBI sebab LKBI merupakan federasi dari berbagai vihara, tetapi nampaknya sekarang yang tergabung dengan LKBI hanya vihara yang beraliran Maitreya yang tidak bergabung di MAPANBUMI. Mengapa mereka beraliran Maetreya tapi tidak mau bergabung dengan MAPANBUMI menurut keterangan Pak Soenarto dan Ketua MAPANBUMI karena berlainan gurunya. Yang bergabung dengan LKBI berguru langsung dengan guru ( Pdt Hung) yang berasal dari Taiwan, sedangkan MAPANBUMI melalui muridnya bernama MS Maitreyawira yang berguru dengan guru yang ada di Taiwan (Pdt Hung). Oleh sebab itu kelompok Maitreya yang ada di LKBI menganggap lebih hebat dari Maitreya yang tergabung di MAPANBUMI. (wawancara dengan Pdt Hendra Ngantung

22-4-2015 dan Soenarto, 16-22-4-2015). C. Setting Sosial Masa Kini

Kondisi LKBI sekarang kurang berkembang bila dibandingkan dengan majelis-majelis lainnya, hal ini antara lain karena organisasi ini bersifat independen, artinya masing-masing vihara tidak tunduk pada pimpinan daerah LKBI Provinsi Kaliamnatan Barat. Selain itu LKBI belum mempunyai pengurus daerah tingkat II, yang seharusnya ada. Seandainya ada kepengurusan daerah tingkat II mungkin vihara yang akan bergabung akan lebih banyak. Tetapi kita juga dapat memakluminya karena WALUBI sendiri baru mempunyai perwakilan baru di tiga daerah, yaitu

(47)

Jumlah penduduk Provinsi Kalimantan Barat (2013) 4.641.000 yang terdiri dari 2,366.000 laki-laki dan 2.275.000 perempuan. Sedangkan jumlah pemeluk agama adalah: Islam 2.892.238 orang; Katolik 268.551; Kristen 729.653; Hindu 12.153; Buddha 359.400; Khonghucu 19.368.

Sarana peribadatan yang tersedia bagi masing-masing agama adalah: Masjid 4.203 buah; Gereja Kristen 3.062 buah; Gereja Katolik 2.056 buah; Pura 20 buah dan Vihara 312 buah, sedangkan untuk agama Khonghucu tidak tersedia datanya. Sedangkan tenaga penyuluh yang tersedia: Islam 1170 orang; Kristen 300 orang; Katolik 406 orang, Hindu 20 orang dan Buddha 95 orang.

Jumlah penganut agama Buddha di Provinsi Kalimantan Barat berjumlah 359.400 jiwa. Penganut terbanyak di Kota Pontianak sebanyak 101. 204, kedua di Kota Singkawang sebanyak 92.574 jiwa. sedangkan penganut yang paling sedikit terdapat di Kabupaten Kapuas Hulu sebanyak 419 jiwa, Kabupaten Sintang sebanyak 1228 jiwa.( Kalimantan

Barat Dalam Angka, 2014, BPS Provinsi Kalimantan Barat 2015).

Dari sejumlah penganut agama Buddha tersebut tidak diketahui berapa yang bergabung dalam LKBI.

Jumlah majelis yang terdapat di Provinsi Kalimantan Barat yaitu: MAPANBUMI (Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia), beralamat di Jl Beringin No 12A Pontianak, Ketuanya Pandita D.Hendra Ngantung; PSBDI (Pandita Sabha Buddha Dharma Indonesia),beralamat di Jl Arteri Supadio Km 14,8 Kab Kubu Raya, Ketuanya Pandita Maskun Halim Krisno; LKBI (Lembaga Keagamaan Buddha Indonesia), beralamat di Jl Siaga, Pontianak, Ketua Soenarto; MATRISIA (Majelis Tri Dharma Indonesia), beralamat di Jl Pattimura No 203, Pontianak Kalbar, Ketua Pandita Burhan?Lim Hui Weng;

(48)

Majelis Kasogatan Indonesia, beralamat di Jl Arteri Supadio, Kec Sungai Raya Kab Kubu Raya, Ketua Pandita Firmanto; MAGABUDHI (Majelis Agama Buddha Theravasa Indonesia), beralamat di Jl Parit II Gg Flamboyan III B Kec Sungai Raya Kab Kubu Raya, Ketua dr. Ali Fuchih Siaw M.BA; PBDNSI (Parisadha Buddha Dharma Niciren Sosu Indonesia), beralamat di Jl H.Abbas II No 35 Pontianak, Ketua Handoko Salim; MADHATANTRI (Majelis Agama Buddha Tantrayana Indonesia), beralamat di Jl Siam Gg Kelantan IV No 162 Pontianak, Ketua Pandita Herman Limanto. Selain itu terdapat Pengurus WALUBI tingkat Provinsi dan Kabupaten/ Kota, yaitu WALUBI Tingkat Provinsi dengan Ketua Pandita Edy Tansuri; DPD WALUBI Kota Pontianak, dipimpin oleh Lilyana, SE,MM; DPD WALUBI Kabupaten Kubu Raya dipimpin oleh Tjen Jung Lung dan DPD WALUBI Kota Singkawang dipimpin oleh Pandita Tjhin Jiu Siu.

Selain itu terdapat 51 orang guru agama Buddha di seluruh Kabupaten dan Kota yang terdapat di Provinsi Kalimantan Barat, 17 orang diantaranya bertugas di Kota Pontianak. Dengan data tersebut nampak masih banyak daerah kabupaten yang belum memiliki guru agama. Adapun sekolah umum yang bercirikan Buddha berjumlah 9 buah yang terdiri dari 4 buah TK, 3 buah SD, 1 buah SMP dan 1 buah SMK. Sekolah - sekolah tersebut tersebar di 6 buah di Kota Singkawang, 2 buah di Kabupaten Kubu Raya dan 1 buah di Kabupaten Sambas. Dilihat dari jumlah murid sekolah-sekolah tersebut cukup signifikan, sebagai contoh SMK Mudita Singkawang memiliki murid 679 orang ,terdiri dari 312 orang laki-laki dan 367 orang perempuan, dan SD Karena Singkawang mempunyai murid sebanyak 315 orang, terdiri dari 147 orang laki-laki dan 168 orang perempuan.

Gambar

Gambar Dai Chi  adalah symbol dari  agama Tao. Dai Chi ini melambangkan  dualisme/dua sifat yang berlainan (sifat  positif dan negatif) timbul dari satu  sumber kebenaran adanya yang satu  menunjukan yang lain bergantungan bila  terpadu secara harmonis, te
Tabel 6  Rumah Ibadah 6 No  Kecamaatan

Referensi

Dokumen terkait

Dalam pada ini meski gerakan sempalan di kalangan umat Islam di Indonesia cukup berbeda dengan yang terjadi di dunia Barat-Eropa lantaran perbedaan latar belakang

Bab lV: Hasil penelitian dan pembahasan tentang, kepemimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Medan dalam pembinaan umat Islam. Bab V: Penutup yang terdiri dari kesimpulan

“Untuk permasalahan atau ham batan yang berasal dari masyarakat atau umat, maka Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Medan mengutamakan yang namanya musyawarah dalam