• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.8 Alternatif Perlindungan Penyu Hijau .1 Konsep konservasi in-situ

2.8.2 Konsep daerah perlindungan laut ( marine protected area ) .1 Suaka Laut (Marine Reserve)

2.8.2.2 Cagar Biosfir ( Biosphere Reserves )

Belakangan tujuan pembentukan Marine Protected Areas mengalami pergeseran ke arah melindungi keanekaragaman hayati. Karenanya pembentukan Marine Protected Areas cenderung besar dan luas terdiri dari berbagai habitat yang saling berhubungan (Agardy, 1999).

Penentuan prioritas konservasi yang diusulkan oleh Darwall dan Vié (2003), yakni : Daerah yang kaya dengan keanekaragaman hayati (yang diukur dari keragaman spesies); Daerah dengan spesies endemik; Daerah dengan spesies yang terancam kepunahan; Komunitas alami atau habitat yang terancam; Tempat terjadinya proses ekologi/evolusi.

Berbagai metode yang telah dikembangkan untuk merancang Marine

Protected Areas. Agardy (1999) menyebutkan bahwa untuk merancang

Marine Protected Areas didasarkan dua pendekatan, yakni : pengawetan

daerah yang masih asli (wilderness) baik di wilayah pesisir dan laut dan penyelesaian konflik antar pengguna sumberdaya baik saat ini maupun di masa datang. Pendapat lain yang memiliki kemiripan adalah penyataan Balmford (2002) bahwa ada dua hal utama yang menjadi pertimbangan penentuan lokasi MarineProtected Areas, antara lain: pertimbangan ekologis (ecological consideration) dan manusia (humanconsideration).

Pada Marine Protected Areas yang berukuran besar menggunakan konsep Ecosystem-Based Management dimana batas wilayah secara geografis dan unit pengelolaan ditentukan oleh lingkup pergerakan organisme dan hubungan antar proses secara fisikal. Para perencana mengerjakan perlindungan ekosistem secara terpadu dimana pertimbangan ekologis akan

menentukan batas daerah yang dilindungi dan unit pengelolaan yang diperlukan (Hatcher et al. 1989 disarikan dalam Dayton et al. 1995).

Menurut Lauck et al. (1998) jika perlindungan ditujukan pada hanya satu spesies atau satu tipe habitat spesies maka rancangan dan model pengelolaan yang dihasilkan sederhana; jika yang dilindungi suatu habitat/ sumberdaya yang luas jangkauannya maka rancangan dan model pengelolaan akan lebih kompleks; jika yang dilindungi adalah suatu ekosistem dengan proses-proses yang ada di dalamnya maka rancangan dan model pengelolaan yang dihasilkan adalah Marine Protected Areas besar dengan berbagai tipe ekosistem dan habitat-habitat yang saling berhubungan. Hubungan antara tujuan, ukuran dan kompleksitas rancangan Marine Protected Areas disajikan pada Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2. Hubungan antara tujuan, ukuran dan kompleksitas Rancangan

MarineProtected Areas.

Tujuan

Marine Protected Areas

Perkiraan

Ukuran Kompleksitas

1. Melindungi an endangered species Kecil - Sedang Sederhana 2. Melindungi a migratory species Besar atau jaringan Sederhana-rumit 3. Melindungi habitat dengan ancaman tunggal Sedang Sederhana 4. Melindungi habitat dengan berbagai ancaman Sedang - Besar Rumit

5. Menanggulangi overfishing Kecil Sederhana

6. Meningkatkan stok Kecil - Sedang Sederhana 7. Melindungi areal bersejarah dan memiliki

nilai budaya Kecil Sederhana

8. Sebagai model CZM atau pemberdayaan

masyarakat lokal Kecil - Sedang

Beberapa yang rumit

9. Mempromosikan marine ecotourism Kecil Sederhana 10. Sebagai tempat penelitian ilmiah Kecil Sederhana

11. Konservasi keanekaragaman hayati Besar atau jaringan Sederhana-rumit Sumber : Agardy, 1999.

Umumnya keanekaragaman hayati di dalam Marine Protected Areas

mendapat tekanan dari masyarakat yang ada di wilayah pesisir. Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk di wilayah pesisir semakin meningkat pula tekanan terhadap Marine Protected Areas, seperti: eksploitasi secara berlebihan atau penggunaan alat tangkap dinamit dan potasium, penambangan batu karang penebangan kayu, pembukaan lahan tambak, polusi dan sedimentasi dari daratan serta aktivitas wisata.

Kegagalan pengelolaan Marine Protected Areas karena tidak adanya sumbangan Marine Protected Areas bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pihak pengelola sulit menghalangi masyarakat memasuki kawasan dan meniadakan pengaruh dari aktivitas masyarakat di daratan. Kelleher G. (1999) menyebutkan salah satu prinsip keberhasilan pengelolaan Daerah Perlindungan Laut (DPL) karena dukungan masyarakat lokal yang ditentukan oleh adanya sumbangan Marine Protected Areas terhadap kesejahteraan masyarakat melalui pemeliharaan keanekaragaman hayati.

Menurut Jones (2006) tidak banyak literatur yang menggunakan pendekatan aspek sosial-ekonomi dalam penentuan lokasi DPL, seperti: pertimbangan tentang perilaku kolektif yang menimbulkan tekanan terhadap keanekaragaman hayati dan permintaan pasar yang menyebabkan kerusakan sumberdaya hayati dan sebagainya. Namun demikian masih ada suatu pendekatan yang dapat mempertemukan kebutuhan masyarakat dengan pemeliharaan sumberdaya hayati, yaitu: Konsep Marine and Coastal

Protected Area (MCPA). Suatu rancangan DPL dengan memadukan wilayah

pesisir dan laut melalui mekanisme pengelolaan dan tindakan antisipatif terhadap aktivitas manusia yang menimbulkan dampak terhadap lingkungan pesisir dan laut. Konsep ini telah tertuang pada Resolution 19.46 of the IUCN General Assembly tahun 1994.

Setahun kemudian konsep Marine and Coastal Protected Areas

(MCPAs) telah disahkan dalam The Conference of the Parties (COP). Dalam Kelleher, G. (1999) diperkenalkan konsep Cagar Biosfer yang dapat memadukan antara kepentingan konservasi dengan pemanfaatan secara berkelanjutan. Suatu wilayah di pesisir dan laut dengan berbagai tipe ekosistem dapat diusulkan agar terjadi keseimbangan antara masyarakat dan alam. Cagar Biosfer memiliki ciri adanya fungsi: (i) Konservasi (perlindungan terhadap bentang alam, berbagai ekosistem, spesies); (ii) Pembangunan (membantu pembangunan ekonomi dengan tidak mengabaikan aspek ekologi dan budaya); dan (iii) Sebagai sarana penelitian, pemantauan, pendidikan dan pelatihan konservasi.

Umumnya rancangan Cagar Biosfer memiliki ciri jaringan dengan tiga zona yang saling berhubungan, yakni:

(1) Zona inti yang diperuntukan bagi perlindungan jangka panjang untuk mencapai tujuan konservasi dan aktivitas manusia diupayakan seminimal mungkin.

(2) Zona penyangga yang meliputi wilayah yang berada di seputar atau di dekat zona inti dimana kegiatan yang dapat dilaksanakan diatur dan disesuaikan dengan kepentingan zona inti. Daerah ini dapat dilakukan penelitian untuk pengembangan pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan; pemulihan ekosistem, pendidikan dan pelatihan, kegiatan wisata yang dilakukan secara hati-hati.

(3) Zona Peralihan yang terletak lebih luar dimana masyarakat lokal, lembaga konservasi alam, peneliti, kelompok budaya, perusahaan swasta dan para pemangku kepentingan sepakat bekerja sama untuk mengelola dan mengembangkan daerah ini secara lestari dan menghasilkan manfaat bagi masyarakat yang tergantung di dalamnya.