• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rancangan perlindungan habitat penyu hijau (Chelonia mydas) (Kasus Kepulauan Derawan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Rancangan perlindungan habitat penyu hijau (Chelonia mydas) (Kasus Kepulauan Derawan)"

Copied!
232
0
0

Teks penuh

(1)

PENYU HIJAU (

Chelonia mydas

)

(KASUS KEPULAUAN DERAWAN)

ERNA TRI WIBOWO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam

disertasi saya yang berjudul :

RANCANGAN PERLINDUNGAN PENYU HIJAU (Chelonia mydas)

(Kasus Kepulauan Derawan)

merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri dengan arahan

Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi

ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di

perguruan tinggi lain.

Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas

dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, 15 Agustus 2007

(3)

ERNA TRI WIBOWO. Green Turtle (Chelonia mydas) Habitat’s Protection Design. (Case Derawan Archipelago). Coached by DANIEL R. MONINTJA, H.S. ALIKODRA, UNGGUL A and S. BUDIHARSONO.

Indonesia’s ocean and coast area are important ranging zone and migration route for green turtle (Chelonia mydas) population. Endangered species status and protected by the Government do not prevented capture the turtle and eggs harvesting in Indonesia region. The green turtle exploitation has increased more than 90 percent it population for five decades. The altitudes of exploitation level has accelerated the green turtle extinction speed around the world. The government must immediately change the policy to save green turtle for extinction.

This research conducted to analyze the green turtle protection policy which implementation executed by the government trough Technical Unit of the General Directorate for Forest Protection and Nature Conservation. The analysis’s result is employed as a protection effect and the green turtle management performance in order to formulate the alternative in the future.

The research shows that the prevailing protection policy is not effective because green turtle exploitation occurs in major part of Indonesia region. The research identified this ineffectiveness due to use limited scale of conservation effort by Technical Unit, lack of budget allocation, insufficient facilities, and limited capacity of human resources, as well as.

The proposed protection policy alternative exercise a different concept of turtle conservation on opposed to the prevailing effort by goverment. Protection should be aimed ward to turtle habitat (conservation in-situ) by means of Marine Protected Area (MPA). Green turtle management within MPA will restore the population and diminish the human exploitation threat. If several green turtles habitats in all Indonesia region converted to MPA, the green turtles protection will be effective in the form the MPA network.

The formulation of protection policy alternative in Derawan Case constructs The Archipelago Derawan MPA. Such formulation resulted in the development of Derawan Marine Protected Area design along with its management direction.

(4)

ERNA TRI WIBOWO. Rancangan Perlindungan Habitat Penyu Hijau (Chelonia mydas) (Kasus Kepulauan Derawan). Dibimbing oleh DANIEL R. MONINTJA, H.S. ALIKODRA, UNGGUL A dan S. BUDIHARSONO.

Wilayah perairan laut dan pesisir Indonesia merupakan daerah pengembaraan dan jalur migrasi penting bagi populasi penyu hijau. Status

endangered species dan dilindungi Pemerintah tidak menghalangi penangkapan induk dan pemanenan telur di wilayah Indonesia. Eksploitasi penyu hijau ini telah menurunkan populasi > 90 % selama lima dekade. Tingginya tingkat eksploitasi yang dilakukan masyarakat Indonesia telah mempercepat laju kepunahan penyu hijau di dunia. Perubahan kebijakan pemerintah harus segera dilakukan untuk menyelamatkan penyu hijau dari kepunahan.

Penelitian dilakukan untuk menganalisis kebijakan perlindungan penyu hijau yang dilaksanakan Pemerintah melalui Unit Pelaksana Teknis lingkup Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Hasil analisis digunakan sebagai pembelajaran tentang efektivitas perlindungan dan kinerja pengelolaan penyu hijau dalam perumusan alternatif perlindungan di masa datang.

Hasil penelitian diketahui bahwa kebijakan perlindungan tidak efektif karena eksploitasi penyu hijau terjadi di sebagian besar di wilayah Indonesia. Kegiatan pengawetan hanya dilakukan oleh sebagian kecil Unit Pelaksana Teknis. Kelemahan manajerial karena kekurangan alokasi dana, sarana-prasarana yang minim dan rendahnya kemampuan sumberdaya manusia dalam mengelola penyu hijau.

Alternatif perlindungan yang diusulkan menggunakan konsep yang berbeda dengan perlindungan yang selama ini dilaksanakan Pemerintah. Perlindungan diarahkan pada habitat penyu (konservasi in-situ) dengan membentuk Kawasan Konservasi Laut. Pengelolaan penyu hijau di dalam Kawasan Konservasi Laut akan memulihkan populasi dan mengurangi ancaman eksploitasi manusia. Jika beberapa habitat penyu hijau di seluruh wilayah Indonesia dijadikan Kawasan Konservasi Laut maka perlindungan penyu hijau secara meluas dan efektif dalam bentuk jejaring Kawasan Konservasi Laut.

Perumusan alternatif kebijakan perlindungan penyu hijau dilakukan pada kasus Kepulauan Derawan. Rumusan yang dihasilkan terdiri dari Rancangan Pengembangan Kawasan Konservasi laut Kepulauan Derawan dan Arahan Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan.

(5)

©

Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2007 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi Institut Pertanian Bogor.

(6)

PENYU HIJAU (

Chelonia mydas

)

(KASUS KEPULAUAN DERAWAN)

ERNA TRI WIBOWO

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc.

(8)

Nama Mahasiswa : Erna Tri Wibowo

NRP : P 31600025

Disetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Daniel R. Monintja Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, M.S.

Ketua Anggota

Dr. Unggul Aktani Dr. Ir. Sugeng Budiharsono Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Departemen Manajemen Dekan Sekolah Pascasarjana Sumberdaya Perairan

Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.

(9)

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas karunia rahmat dan

lindungan-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian tentang

Rancangan Perlindungan Habitat Penyu Hijau (Chelonia mydas) (Kasus

Kepulauan Derawan) dilaksanakan sejak tahun 2004 hingga 2005. Penelitian ini

merupakan kelanjutan tema penyu hijau dalam Tesis (S2) yang berjudul : Studi

Pemanfaatan Penyu Hijau (Chelonia mydas) dalam Kaitan dengan Upaya

Pelestarian di Kabupaten Badung, Propinsi Bali tahun 1991. Pemilihan topik

berkaitan dengan isu kepunahan penyu hijau yang memerlukan penanganan segera

dari pemerintah dan pihak-pihak yang terkait.

Penulis mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada

Prof. Dr. Daniel R. Monintja selaku Ketua Komisi Pembimbing; Prof. Dr. Ir. Hadi

S. Alikodra, MS., Dr. Ir. Sugeng Budiharsono, Dr. Unggul Aktani, masing-masing

selaku Anggota Komisi Pembimbing; Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc selaku Ketua

Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan; dan Dr. Ir. Mennofatria Boer,

DEA selaku Sekretaris Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan

Lautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ungkapan terima kasih

disampaikan pula kepada :

− Ibunda Hj. Istiti dan Hj. Istiyarti atas dukungan dan doa restu yang

diberikan selama ini.

− Suami Ir. Tri Wibowo dan anak-anak: Ria, Madi, Faris, Dita dan cucunda

Naznin yang telah memberi dukungan moril serta telah sabar menunggu

penyelesaian studi S3.

− Adinda Partomo yang telah membantu selama penelitian.

Saran dan masukan masih diperlukan untuk meningkatkan kualitas penulis

dalam bidang keilmuan yang selama ini ditekuni. Semoga karya ilmiah ini

memberi manfaat bagi upaya konservasi di Indonesia.

Bogor, 15 Agustus 2007

(10)

Penulis dilahirkan pada tanggal 9 Mei 1956 di Surabaya sebagai anak

pertama dari Bapak Tatok Soekadi (Alm) dan Ibu Istiti Ismonosiwi. Pada tahun

1981 menikah dengan Ir. Tri Wibowo dan dikarunia tiga orang anak.

Pendidikan S1 di Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada yang

diselesaikan pada tahun 1982; Pendidikan S2 yang ditempuh pada Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor yang

diselesaikan pada tahun 1991; Pendidikan S3 ditempuh di Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Institut Pertanian Bogor sejak tahun

akademik 2000/2001.

Konservasi merupakan bidang yang diminati penulis sejak pendidikan S1

hingga S3. Penelitian untuk skripsi S1 berjudul: Studi tentang peran vegetasi

terhadap populasi satwa burung air dan kalong di Cagar Alam Rambut Kepulauan

Seribu. Penelitian untuk tesis S2 berjudul : Studi Pemanfaatan Penyu Hijau dalam

kaitan dengan upaya pelestarian di Kabupaten Badung, Propinsi Bali. Penelitian

untuk disertasi S3 berjudul : Rancangan Perlindungan Habitat Penyu Hijau

(Chelonia mydas) (Kasus Kepulauan Derawan).

Penulis pernah aktif di beberapa LSM dan terakhir pada LSM Sukabumi

Berkah Abadi yang berupaya mendirikan Pusat Penelitian dan Pengkajian Penyu

(11)

i

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ……….……….………. vi

DAFTAR LAMPIRAN ... x

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... ……… 1

1.2 Perumusan Masalah ...………... 3

1.3 Tujuan Penelitian ..……… 9

1.4 Ruang Lingkup Penelitian ...……… 9

1.5 ManfaatPenelitian ...………... 9

1.6 Novelty (Kebaruan) ………... 9

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diskripsi Penyu Hijau ... 11

2.1.1 Klasifikasi ... 11

2.1.2 Karakteristik ... 12

2.1.3 Siklus hidup ... 13

2.1.4 Perilaku penyu ... 15

2.1.4.1 Perilaku harian ... 15

2.1.4.2 Perilaku kawin ... 16

2.1.4.3 Perilaku migrasi ... 17

2.1.5 Habitat ... 18

2.1.6 Status penyu hijau ... 19

2.2 Kondisi Populasi Penyu Hijau ... 21

2.3 Eksploitasi Penyu Hijau di Indonesia ... 22

2.4 Ancaman Kepunahan Penyu Hijau ... 24

2.5 Penanganan Ancaman Kepunahan Spesies ……….. 26

(12)

ii

2.7 Kajian Peraturan Perundangan Berkaitan dengan

Konservasi Penyu ...

37

2.8 Alternatif Pengelolaan Penyu Hijau ... 40

2.8.1 Konsep konservasi in-situ ... 40

2.8.2 Konsep daerah perlindungan laut (marine protected area) ………. 41

2.8.2.1 Suaka Laut (Marine Reserve) .……….. 41

2.8.2.2 Cagar Biosfir (Biosphere Reserves) ……….. 42

2.8.2.3 Daerah perlindungan yang ada di Kepulauan Derawan ... 45

2.8.3 Konsep ecoregion ………. 47

2.9 Perencanaan Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan .. 48

2.10 Pengelolaan secara Kolaboratif ... 50

3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 55

3.2 Metode Analisis ... 55

3.2.1 Analisis kebijakan perlindungan penyu hijau ... 55

3.2.2 Alternatif perlindungan penyu hijau ……… 60

4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Pengelola Penyu Hijau di Indonesia ... 66

4.2 Kepulauan Derawan ... 67

4.2.1 Kondisi umum ... 67

4.2.1.1 Iklim ... 70

4.2.1.2 Oseanografi ... 72

4.2.2 Keanekaragaman hayati dan ekosistem ... 73

4.2.2.1 Keanekaragaman hayati ... 73

4.2.2.2 Ekosistem ... 74

4.2.3 Perikanan ... 81

(13)

iii

4.2.4.3 Desa Balikukup ... 86

4.2.5 Pengusahaan telur penyu hijau ... 87

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Efektivitas Perlindungan Penyu Hijau ... 91

5.2 Kinerja Pengelolaan Penyu Hijau ... 95

5.2.1 Pengaruh input pengelolaan UPT terhadap

pengelolaan penyu hijau ... 96

5.2.2 Karakteristik pengelolaan dan ancaman terhadap

penyu hijau ... 97

5.2.3 Memperbandingkan setiap UPT dalam mengelola

penyu hijau ... 100

5.3 Penilaian Kondisi Populasi Penyu Hijau ... 105

5.3.1 Balai Taman Nasional Meru Betiri ... 106

5.3.2 Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan

Timur ... 109

5.3.3 Balai Taman Nasional Alas Purwo ... 111

6 ALTERNATIF PERLINDUNGAN PENYU HIJAU

6.1 Pendekatan Pembentukan KKL Kepulauan Derawan ... 113

6.2 Tujuan Pembentukan KKL Kepulauan Derawan ... 113

6.3 Rancangan Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan... 114

6.3.1 Keterkaitan dengan perencanaan regional/ propinsi/

kabupaten ... 114

6.3.2 Keberadaan habitat penyu hijau dalam penentuan batas

Kawasan Konservasi Laut (KKL) ... 116

6.3.3 Pendapat pakar sebagai bahan pembanding dalam

penentuan prioritas konservasi di Kepulauan Derawan. 120

6.4 Arahan Rencana Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut

Kepulauan Derawan ... 122

(14)

iv

6.4.3.1 Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut

oleh pemerintah ... 127

6.4.3.2 Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut secara kolaboratif ... 132

6.4.3.3 Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut berbasis masyarakat ... 134

7 KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan ... 138

7.2 Saran ... 139

7.2.1 Ditujukan pemerintah ... 139

7.2.2 Ditujukan pada para peneliti ... 140

DAFTAR PUSTAKA ... 141

(15)

v

Tabel Teks Halaman

1 Pendugaan umur dewasa dari penyu hijau ………... 15

2 Hubungan antara tujuan, ukuran dan kompleksitas Rancangan Marine Protected Areas ……….. 43

3 Karakteristik ketiga tipe pengelolaan ………. 53

4 Matriks penentuan peringkat tindakan konservasi ………... 65

5 Pulau-pulau kecil di Kepulauan Derawan ……….. 69

6 Terumbu karang di Kepulauan Derawan ... 76

7 Luas padang lamun di Kepulauan Derawan ... 77

8 Penutupan dan jenis tumbuhan pada ekosistem lamun di Kepulauan Derawan ... 78

9 Sebaran ekosistem mangrove di Kepulauan Derawan ... 80

10 Produktivitas setiap jenis ikan di Kabupaten Berau tahun 2002 82

11 Komposisi penduduk Desa Derawan berdasarkan golongan umur dan jenis kelamin ... 84

12 Mata pencaharian penduduk Desa Derawan di bidang jasa dan perdagangan ... 85

13 Sejarah pengusahaan telur penyu di Kepulauan Derawan... 88

14 Lokasi peneluran penyu yang dikonsesikan Pemerintah Daerah 92 15 Hubungan antara karakteristik pengelolaan dan karakteristik ancaman ... 102

16 Hubungan antara zona dan karakteristik pengelolaan ... 103

17 Identifikasi sumberdaya alam penting dan penentuan tekanan terhadap sumberdaya alam dari hasil diskusi partisipatif ……... 120

18 Identifikasi sumberdaya alam penting dan penentuan tekanan terhadap sumberdaya alam dari pendapat pakar ……… 121

(16)

vi

Gambar Teks Halaman

1 Diagram Kerangka Pemikiran Penelitian ... 4

2 Kedua sub-spesies penyu hijau (Chelonia mydas) ……… 11

3 Sebaran penyu hijau (Chelonia mydas) ... 12

4 Karakteristik anatomi penyu hijau ………... 13

5 Siklus hidup penyu laut ………... 14

6 Posisi tubuh penyu hijau ketika bertelur ... 16

7 Rantai makanan di ekosistem terumbu karang dan lamun …... 18

8 Sebaran nesting area dan feeding ground penyu hijau di Indonesia ……….. 19

9 Sebaran ke-32 lokasi peneluran penyu hijau di dunia ... 21

10 Tingkat pertumbuhan populasi penyu hijau ………. 22

11 Pengangkutan penyu dari 31 lokasi di Indonesia ... 23

12 Perolehan PAD Kab. Berau dari pengusahaan telur penyu ... 24

13 Penangkapan induk penyu secara berlebihan ... 25

14 Akibat dari pemanenan telur penyu ……….. 26

15 Ilustrasi jika ketiga hak kepemilikan sumberdaya dialokasikan di wilayah pesisir dan laut ………. 29

16 Peta 44 negara yang telah melaksanakan konservasi penyu laut .. 33

17 Diagram konservasi penyu hijau ... 38

18 Daerah Perlindungan Laut di Kepulauan Derawan ……….. 46

19 Posisi Kepulauan Derawan pada Peta Keragaman Biota Karang dan Ecoregion Sulu-Sulawesi ……….. 47

20 Proses perencanaan konservasi dengan empat komponen ... 48

21 Hirarki derajat pengaturan pengelolaan co-management ... 52

22 Skema perubahan pengelolaan berbasis pemerintah menuju pengelolaan berbasis masyarakat ... 52

(17)

vii

threats and opportunities)……….. 64

26 Wilayah studi (BTN dan BKSDA) Ditjen PHKA ………. 66

27 Wilayah studi di 50 UPT yang memiliki wilayah pesisir ……….. 67

28 Peta wilayah studi Kepulauan Derawan ... 68

29 Pulau Maratua dan Pulau Sambit yang pernah menjadi sengketa anatar Indonesia dengan Malaysia ... 70

30 Peta Arus Lintas Indonesia (ARLINDO) ... 72

31 Profil dari karang tepi, karang penghalang dan karang cincin ... 75

32 Ekosistem lamun (seagrasses) ……….. 77

33 Formasi vegetasi di ekosistem mangrove ... 80

34 Sebaran ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang di Kepulauan Derawan ... 81

35 Peta sebaran daerah peneluran penyu di Kepulauan Derawan ... 87

36 Pengusahaan pemanenan telur penyu oleh CV. Derawan Penyu Lestari ... 89

37 Pedagang telur penyu di Jalan Gajah Mada Samarinda ... 90

38 Lokasi ke-24 UPT yang ada pemanenan telur penyu... 92

39 Lokasi ke-26 UPT yang ada penangkapan penyu ... 93

40 UPT yang melaksanakan kegiatan pengawetan ... 94

41 Struktur organisasi UPT tipe A, B, C ... 96

42 Karakteristik pengelolaan penyu hijau ... 98

43 Karakteristik ancamanpengelolaan penyu hijau ... 99

44 Pengelompokan UPT berdasarkan peringkat jarak dari Bali ... 100

45 Visualisasi koordinat TK-UPT dalam dua dimensi ... 101

46 Visualisasi koordinat TK-UPT yang dikombinasikan dengan preference karakteristik pengelolaan dan ancaman ... 101

47 Visualisasi koordinat TK-UPT yang dikombinasikan dengan preference zona dan karakteristik pengelolaan ... 102

48 Visualisasi koordinat lembaga UPT dalam 2 dimensi ... 104

(18)

viii

50 Peta sebarannesting site penyu hijau di Indonesia ... 105

51 Kurva jumlah penyu di BTN Meru Betiri selama 1980-2004 ... 106

52 Rata-rata bergerak dari kurva jumlah penyu di BTN Meru Betiri 107 53 Variasi musiman jumlah penyu yang mendarat di BTN Meru Betiri ... 107

54 Penurunan telur penyu yang ada di Pantai Sukamade BTN Meru Betiri selama tahun 1980-2003 ... 108

55 Kurva jumlah telur yang ada dan yang menetas di Pantai Sukamade BTN Meru Betiri selama tahun 1980-2003 ... 108

56 Kurva penetasan telur bulanan di BTN Meru Betiri ... 109

57 Penurunan jumlah penyu hijau di BKSDA Kaltim ... 109

58 Penurunan jumlah penyu hijau bulanan di BKSDA Kaltim ... 110

59 Proporsi jumlah penyu yang mendarat di Kepulauan Derawan .... 110

60 Diagram proporsi keempat spesies penyu laut di BTN Alas Purwo ... 111

61 Penyu hijau sebagai speciestarget bagi upaya konservasi keanekaragaman hayati di Kepulauan Derawan ... 113

62 Kawasan Perlindungan Laut Kepulauan Derawan ... 115

63 Peta bathimetry Kepulauan Derawan ... 116

64 Keberadaan ekosistem lamun dan terumbu karang di Kepulauan Derawan sebagai indikasi dari habitat feeding ... 117

65 Proporsi jumlah penyu di delapan pulau sebagai indikasi dari habitat breeding penyu hijau ... 117

66 Proporsi jumlah telur di delapan pulau sebagai indikasi dari habitat breeding penyu hijau ... 118

67 Peta Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan... 119

68 Peta prioritas konservasi di Kepulauan Derawan hasil penilaian pakar ... 121

(19)

ix

71 Peta kegiatan pengelolaan Kawasan Konservasi Laut

(20)

x

Lampiran Teks Halaman

1 Analisis CATREG - Regression for Categorical Data …….. 150

2 Analisis Hierarchical Clustering ………...…… 156

3 Analisis Multidimensional Scaling (MDS) ... 160

4 Analisis Time Series ... 172

5 Perencanaan Konservasi Setempat (Site Conservation

Planning) ... 178

6 The Analytical Approach ... 198

(21)

1.1Latar Belakang

Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dengan keanekaragaman hayati

yang tinggi. Sebagian besar perairan laut Indonesia (> 51.000 km2) berada pada

segitiga terumbu karang dengan keanekaragaman tertinggi di dunia. Adanya arus

termoklin dari Samudra Pasifik dan kekayaan biota laut menjadikan perairan

Indonesia penting bagi pengembaraan 25 jenis mamalia laut dan enam jenis penyu

laut.

Sepanjang hidup penyu laut melakukan pergerakan dari satu tempat ke

tempat lain. Migrasi penyu laut merupakan fenomena alam untuk memenuhi

kebutuhan biologis, seperti: mencari pakan, beristirahat, menemukan pasangan,

kawin dan mendapatkan lokasi untuk bersarang. Pergerakan penyu secara periodik

ini mampu menempuh jarak ribuan kilometer melintasi samudera dan melewati

batas negara.

Penyu hijau adalah salah satu spesies penyu laut yang mampu bermigrasi

melintasi 80 negara (IUCN, 2002). Sepanjang jalur migrasi baik di perairan tropis

dan sub tropis penyu hijau mengalami eksploitasi kecuali di Zona Atlantic

Oceans. Hasil penelitian Seminoff et al. (2003) pada 32 lokasi peneluran di

seluruh dunia dilaporkan penurunan populai penyu hijau sebesar 48% hingga 67%

selama tiga generasi. Dari hasil pendugaan populasi penyu hijau ini kemudian

mengelompokkan penyu hijau sebagai endangered species. Berbeda halnya

dengan wilayah Indonesia yang berada di Indian Ocean dan Southeast Asia,

penurunan populasi penyu hijau rata-rata 80%. Red Data Book-IUCN

menerangkan jika penurunan populasi suatu spesies mencapai 80% selama 10

tahun atau tiga generasi maka spesies diklasifikasikan pada status critically

endangered species.

Penyebab penurunan populasi secara drastis dibenarkan oleh Sarjana Putra

(1996), Troeng (1997) bahwa eksploitasi penyu hijau tertinggi di dunia berada di

wilayah Indonesia. Tingginya tingkat eksploitasi yang dilakukan masyarakat

(22)

Umumnya penangkapan induk terjadi di laut lepas dan pemanenan telur di

sekitar pantai peneluran. Jika penangkapan induk dan pemanenan telur penyu

secara berlebihan dan berlangsung terus-menerus selama beberapa dekade

berakibat pada kepunahan populasi (Montimer, 1995). Dibandingkan dengan

kelima jenis penyu laut lainnya, penyu hijau paling intensif dieksploitasi karena

daging dan telurnya digemari masyarakat pesisir. Permintaan penyu hijau yang

tinggi disebabkan beberapa alasan mulai dari konsumsi rumah tangga, sumber

pendapatan masyarakat, kepentingan adat hingga sumber Pendapatan Asli Daerah

(PAD). Demikian halnya dengan tata niaga penyu dengan biaya transaksi yang

tinggi masih berlangsung sebagai black market di daerah Tanjung Benoa Bali.

Pemerintah Indonesia melalui instansi-instansi terkait, seperti: Departemen

Kehutanan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Departemen Kelautan dan

Perikanan serta Kementerian Lingkungan Hidup telah mengeluarkan beberapa

peraturan dan kebijakan perlindungan jenis-jenis yang terancam punah, seperti:

Ratifikasi Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman Hayati melalui

Undang-Undang No. 5 tahun 1994, Ratifikasi Convention on International Trade in

Endangered Species (CITES) melalui Keputusan Presiden No. 43 tahun 1978;

Penetapan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 serta Peraturan Pemerintah

No. 8 tahun 1999.

Penetapan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 telah melindungi penyu

hijau bersama 236 jenis satwa dan 58 jenis tumbuhan lain di wilayah Indonesia.

Sejak tahun 1999 eksploitasi penyu hijau termasuk kegiatan ilegal. Status

endangered species dan pengelompokan dalam Appendix I - CITES serta

penetapan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 menjadikan penyu hijau

sebagai aset negara yang dikelola oleh pemerintah. Keikutsertaan Indonesia di

berbagai konvensi internasional (CITES tahun 1978, Ramsar tahun 1991 dan

Keanekaragaman Hayati tahun 1994), pemerintah menunjuk Direktorat Jenderal

Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Departemen Kehutanan

sebagai management outhority flora dan fauna. Pengelolaan penyu hijau

didasarkan Undang-Undang No. 5 tahun 1990, Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun

1999 dan Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1999 sebagai kegiatan konservasi

(23)

Indikasi kegagalan perlindungan penyu hijau ditunjukkan oleh tingginya

eksploitasi penyu hijau di berbagai wilayah Indonesia, penurunan jumlah penyu

yang mendarat di pantai peneluran dan rendahnya dukungan masyarakat.

Ancaman kepunahan penyu hijau semakin nyata jika pemerintah tidak segera

menghentikan eksploitasi penyu hijau. Untuk penyelamatan penyu hijau dari

kepunahan diperlukan analisis kebijakan perlindungan dan perumusan alternatif

perlindungan penyu hijau di masa datang.

Analisis kebijakan perlindungan penyu hijau dilakukan terhadap kegiatan

konservasi Unit Pelaksana Teknis (UPT) di lingkup Direktorat Jenderal PHKA

baik yang berbentuk Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) maupun

Balai Taman Nasional (BTN). Hasil analisis kebijakan diperlukan untuk

pembelajaran tentang efektivitas perlindungan dan kinerja pengelolaan penyu

hijau dalam rangka perumusan alternatif perlindungan penyu hijau.

Alternatif perlindungan penyu hijau diarahkan pada perlindungan habitat.

Perumusan alternatif perlindungan penyu hijau dipilih Kepulauan Derawan karena

memiliki nesting area penyu hijau tertinggi di Indonesia, sebagai daerah

pengembaraan penting dalam jalur/ lintasan migrasi dari Samudra Pasifik ke

Samudra Hindia; dan terjadi penurunan populasi penyu hijau hebat hingga > 90%

selama lima dekade terakhir (WWF-Wallacea, 2000). Wilayah Kepulauan

Derawan akan dirancang Kawasan Konservasi Laut (KKL). Pengelolaan penyu

hijau di dalam KKL akan memulihkan populasi dan mengurangi ancaman

eksploitasi manusia. Jika beberapa habitat penyu hijau di seluruh wilayah

Indonesia dijadikan KKL maka perlindungan penyu hijau secara meluas dan

efektif dalam bentuk jejaring KKL.

1.2Perumusan Masalah

Secara garis besar permasalahan disajikan pada Gambar 1 tentang diagram

kerangka pemikiran penelitian. Permasalahan yang menjadi pokok pembahasan

(24)
(25)

(1) Penyu hijau

(a) Habitat

Penyu hijau memiliki kebiasaan bermigrasi dan mampu menempuh

perjalanan jauh hingga ribuan kilometer. Habitat spesies migran ini

dikelompokkan dalam tiga bagian, yakni: habitat feeding, breeding dan

migratory (Donovan, 1995). Habitat penyu hijau sulit diketahui karena

sebagian besar siklus hidup penyu berada di laut lepas, namun habitat feeding

dan habitat breeding dapat dipetakan. Keduanya mudah dikenali karena

terletak berdekatan, yakni: perairan laut dangkal dengan ekosistem lamun dan

terumbu karang serta pantai berpasir putih dengan solum tebal dan tekstur

kecil.

(b) Populasi

Di alam populasi penyu hijau mengalami pemangsaan predator,

serangan penyakit, kerusakan habitat, kematian akibat penggunaan alat

tangkap nelayan dan pencemaran laut, penangkapan induk, pemanenan telur.

Eksploitasi terhadap populasi penyu berupa penangkapan induk dan

pemanenan telur menempati proporsi tertinggi. Ancaman manusia memberi

tekanan di sepanjang hidup penyu baik masih berwujud telur hingga penyu

dewasa. Penurunan populasi penyu hijau tertinggi berada di wilayah Indonesia

yakni mencapai > 90% selama lima dekade terakhir (WWF-Wallacea, 2000).

Tingginya tingkat eksploitasi yang dilakukan masyarakat Indonesia telah

mempercepat laju kepunahan penyu hijau di dunia.

(2) Regulasi

(a) Tingkat internasional

Secara internasional penyu hijau telah digolongkan sebagai endangered

species dalam Red Data Book (IUCN, 2003) yang didefinisikan sebagai suatu

taxon yang beresiko punah dalam waktu dekat (Jones et al. 2000). Dalam

CITES dikategorikan dalam Appendix I berarti spesies yang dilarang

diperdagangkan secara internasional. Namun demikian regulasi internasional

lainnya yakni: Convention on Biodiversity (CBD) dan UNCLOS mendukung

dilakukan perlindungan habitat. Pada UNCLOS pasal 9 bab 5 dinyatakan

(26)

merupakan habitat spesies yang menurun populasinya, terancam dan hampir

punah serta biota lainnya dari polusi. Pada CBD pasal 8 dinyatakan bahwa

pembentukan sistem daerah perlindungan (protected area) atau daerah yang

memerlukan konservasi keanekaragaman hayati. Pembukaan (Preamble) CBD

menyebutkan bahwa persyaratan dasar bagi konservasi keanekaragaman hayati

ialah konservasi in-situ ekosistem dan habitat alami, serta pemeliharaan dan

pemulihan populasi jenis-jenis yang dapat berkembang biak dalam lingkungan

alaminya.

(b) Tingkat nasional

Pemerintah Indonesia telah melindungi penyu hijau melalui Peraturan

Pemerintah No. 7 tahun 1999. Sejak tahun 1999 semua bentuk eksploitasi

penyu hijau menjadi kegiatan ilegal. Dengan adanya Undang-Undang No. 5

tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1999, pemerintah

berkewajiban melaksanakan konservasi spesies penyu hijau.

(c) Tingkat kabupaten

Pada tingkat kabupaten, penyu hijau dijadikan obyek pajak. Kebijakan

privatisasi pemanenan telur penyu memberi masukan Pendapatan Asli Daerah

(PAD) di beberapa kabupaten. Pengusahaan telur penyu menimbulkan konflik

kepentingan antar lembaga pemerintah.

(d) Tingkat lokal

Di tingkat lokal populasi penyu hijau berada pada situasi open access.

Open access diterangkan sebagai situasi tidak ada hak kepemilikan secara sah

untuk membatasi siapa pun memanfaatkan sumberdaya (Ciriacy-Wantrup,

1968). Sebagai contoh penangkapan induk penyu di laut lepas maupun di

pantai dengan leluasa dilakukan masyarakat lokal/ nelayan, demikian halnya

dengan pengunduhan telur penyu yang dianggap sebagai benda temuan di

pantai.

(3) Permasalahan kebijakan

(a) Kebijakan perlindungan yang tidak efektif

Pada tahun 1999 Pemerintah Indonesia melindungi penyu hijau melalui

Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999. Penyu hijau bersama 236 jenis satwa

(27)

endangered species dan pengelompokan dalam Appendix I - CITES secara

internasional dan penetapan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999

menjadikan penyu hijau sebagai aset negara yang dikelola oleh pemerintah.

Setelah delapan tahun pemerintah mengimplementasikan perlindungan

penyu hijau. Indikasi kegagalan perlindungan penyu hijau ditunjukkan oleh

tingginya eksploitasi penyu hijau di berbagai wilayah Indonesia, penurunan

jumlah penyu yang mendarat di pantai peneluran dan rendahnya dukungan

masyarakat. Karenanya dilakukan analisis kebijakan terhadap pengelolaan

penyu hijau yang dilaksanakan pemerintah. Ancaman kepunahan semakin

nyata jika pemerintah tidak segera merubah kebijakan perlindungan penyu

hijau.

(b)Ancaman Kepunahan

Ancaman kepunahan penyu hijau sebagai akibat eksploitasi berlebihan

yang dilakukan oleh masyarakat. Eksploitasi yang tinggi dan implikasinya

dapat dipandang dari beberapa aspek, antara lain:

a)Aspek ekologi

− Hilangnya kemampuan reproduksi populasi

Penangkapan induk dan pemanenan telur penyu secara berlebihan akan

menghilangkan kemampuan reproduksi populasi. Hilangnya

kemampuan reproduksi dapat ditandai dengan: (a) Jika konsumsi

daging penyu berasal dari penangkapan semua induk yang akan

bertelur; (b) Jika terjadi pemanenan semua telur yang ada di sarang.

Apabila ekploitasi induk dan telur berlangsung secara terus-menerus

selama beberapa dekade akan menimbulkan kepunahan spesies penyu

hijau.

− Kerusakan habitat

Penyu hijau adalah jenis herbivora yang kelangsungan hidupnya

tergantung pada keutuhan ekosistem terumbu karang. Terumbu karang

merupakan habitat feeding penyu hijau yang menyediakan berbagai

jenis tumbuhan rumput laut. Penggunaan alat tangkap yang merusak,

(28)

menimbulkan hilangnya sumber pakan populasi penyu hijau yang

berakibat ancaman kepunahan.

b)Aspek sosial

Kebiasaan bermigrasi jauh menjadikan populasi penyu hijau di laut

sebagai sumberdaya open access. Situasi open access diindikasikan oleh

tidak ada pengelolaan dan tidak ada kepemilikan yang membatasi

pemanfaatan penyu hijau. Sebagai satwa buruan yang memiliki nilai

ekonomis tinggi jika tidak ditangkap orang hari ini akan ditangkap orang

lain di lain hari. Eksploitasi secara berlebihan hingga melampaui daya

dukungnya akan mengarahkan kepunahan spesies dalam waktu dekat.

c)Aspek ekonomi

Penyu hijau merupakan spesies penyu laut yang paling intensif

dieksploitasi. Jika dibandingkan dengan harga per ekor ikan, nilai

ekonomis penyu hijau tergolong tinggi (±1 juta rupiah/ekor untuk ukuran

induk). Tingginya eksploitasi penyu hijau yang diawali sebagai

pemenuhan kebutuhan protein keluarga dan pendapatan masyarakat lokal.

Dalam perkembangannya eksploitasi penyu berkembang sebagai

perdagangan penyu hijau ilegal yang melibatkan tata niaga dengan biaya

transaksi yang tinggi.

d)Aspek budaya

Persepsi masyarakat tentang penyu hijau menyebabkan rendahnya

dukungan terhadap upaya konservasi penyu hijau. Umumnya eksploitasi

penyu hijau sulit dihentikan karena ada anggapan bahwa ketersediaan

penyu hijau di alam masih berlimpah dan masyarakat tidak peduli akan

status spesies dilindungi. Pada kasus Sukabumi, penyu sebagai sumber

protein murah dan mudah didapatkan di daerah pantai. Mitos yang

berkembang tentang khasiat daging dan telur penyu telah menimbulkan

peningkatan eksploitasi penyu dari tahun ke tahun. Pada kasus Pulau Bali

pengiriman penyu dari berbagai wilayah Indonesia berkaitan dengan

kepentingan adat. Adanya perdagangan penyu secara ilegal (black

market) di daerah Tanjung Benoa Bali merupakan bukti sulitnya

(29)

1.3Tujuan Penelitian

1) Melakukan analisis kebijakan perlindungan penyu hijau yang dilaksanakan

Unit Pelaksana Teknis (UPT) lingkup Ditjen PHKA.

2) Perumusan alternatif kebijakan perlindungan penyu hijau pada Kasus

Kepulauan Derawan untuk memperoleh:

− Rancangan Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan;

− Arahan Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Analisis kebijakan perlindungan penyu hijau menggunakan analisis

deskriptif dan analisis statistik yang diarahkan pada penilaian tentang efektivitas

perlindungan penyu hijau, kinerja pengelolaan penyu hijau, dan kondisi populasi

penyu. Hasil analisis kebijakan perlindungan penyu hijau digunakan sebagai

pembelajaran tentang efektivitas perlindungan dan kinerja pengelolaan penyu

hijau dalam perumusan alternatif perlindungan di masa datang.

Alternatif perlindungan penyu hijau yang menggunakan konsep berbeda

dimana perlindungan diarahkan pada habitat penyu. Perumusan alternatif

kebijakan perlindungan penyu hijau pada Kasus Kepulauan Derawan untuk

memperoleh: Rancangan Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan dan

Arahan pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan.

1.5Manfaat Penelitian

1) Sebagai pertimbangan pemerintah dalam mengupayakan konservasi penyu

hijau di masa datang dan memberi informasi kepada pihak-pihak yang

terkait.

2) Sebagai informasi dan referensi bagi penelitian lebih lanjut yang berkaitan

dengan penyu hijau.

1.6 Novelty (Kebaruan)

1) Konsep perlindungan habitat

Untuk menyelamatkan penyu hijau dari kepunahan dilakukan perlindungan

(30)

memulihkan populasi penyu hijau dan mengurangi ancaman kepunahan.

Perlindungan habitat bagi spesies langka dan terancam kepunahan dapat

dibentuk Kawasan Konservasi Laut. Jika habitat-habitat penting penyu hijau

di Indonesia dialokasikan sebagai KKL maka pengelolaan penyu hijau akan

berupa jejaring (network) KKL yang mampu melindungi penyu hijau secara

meluas dan efektif.

2) Proses perencanaan Kawasan Konservasi Laut (KKL) secara partisipatif

Perencanaan KKL Kepulauan Derawan menggunakan Site Conservation

Planning (The Nature Conservancy, 2003). Metode ini pernah digunakan di

TN Lore Lindu dan TN Tesso Nilo yang keduanya berada di daratan.

Didasari oleh kerangka 5-S (systems, stresses, sources, strategies, success)

dilaksanakan diskusi secara partisipatif dengan masyarakat lokal/ pengguna

sumberdaya alam. Proses diskusi yang terarah dengan prosedur sederhana

dan alat peraga memudahkan pengumpulan data/ informasi. Melibatkan

masyarakat setempat dalam proses perencanaan merupakan pendekatan

bottom-up dimana masyarakat tidak ditempatkan sebagai obyek atau

diabaikan harapan dan keinginannya. Proses perencanaan yang sekaligus

pemasyarakatan ini mempermudah implementasi strategi konservasi karena

dukungan/ sambutan masyarakat dimulai sejak tahap identifikasi

permasalahan, menemukan prioritas penanganan masalah hingga memilih

(31)

2.1 Diskripsi Penyu Hijau

2.1.1 Klasifikasi

Penyu hijau adalah satu dari ke tujuh jenis penyu laut yang sebagian besar

hidupnya berada di laut. Penyu hijau dapat dijumpai di perairan laut tropis dan

sub tropis (Marquez, 1990; Bowen et al. 1992) antara 200 Lintang Utara hingga

200 Lintang Selatan (Marquez, 1990). Namun secara individual penyu hijau

dijumpai di perairan temperate (Cogger et al. 1993). Crite (2000)

mengklasifikasikan penyu hijau, sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata (Vertebrates)

Class : Reptilia (Reptiles)

Ordo : Testudinata (Turtle and Tortoises)

Familia : Chelonida (True Sea Turtles)

Genus : Chelonia

Species : Chelonia mydas

Sub-species : Chelonia mydas mydas Chelonia mydas agassizii

Penyu hijau terdiri dari dua sub-spesies yakni : Chelonia mydas mydas yang

berwarna hijau dan Chelonia mydas agassizii yang berwarna hitam (Eastern

Pacific green turtle) (Gambar 2).

(32)

SeaWorld/ Busch Gardens Animals (http://www.swbg-animals.org)

menerangkan bahwa sebaran penyu hijau (Chelonia mydas mydas) di Lautan

Atlantik, Teluk Mexico, sepanjang pantai Argentina, Laut Mediteran dan

Indo-Pasifik; dan sebaran penyu hitam (Chelonia mydas agassizii) di pantai Barat

Amerika Utara dan Selatan dan mulai pertengahan Baja California hingga Peru.

Gambar 3. Sebaran penyu hijau (Chelonia mydas) (Sumber : SeaWorld/ Busch Gardens Animals)

2.1.2 Karakteristik

Morfologi penyu hijau dijelaskan dalam Nowell (2003), bahwa: penyu

hijau dewasa berwarna antara hijau pudar hingga coklat kemerah-merahan

hingga hitam pada cangkang bagian atas (carapace), cangkang bagian sisi

bawah (plastron) berwarna kuning keputihan, memiliki anggota badan yang

menyerupai pedal untuk berenang, bagian kepala berukuran kecil bila

dibandingkan dengan bagian badan secara keseluruhan, ekor penyu jantan lebih

panjang bila dibandingkan dengan penyu betina, panjang karapas sekitar 1 meter

(33)

Gambar 4. Karakteristik anatomi penyu hijau (Sumber : Pitchard dan Montimer, 1999)

Pitchard dan Montimer (1999) menerangkan bahwa penyu hijau memiliki

ciri khusus, antara lain: (1) cangkang yang halus berbentuk oval; warna coklat

kehijauan pada bagian atas karapas (carapace) dengan panjang 120 cm dan

kuning keputihan pada bagian bawah cangkang (plastron); empat pasang scute

di bagian samping dan lima scute di bagian tengah; dua prefrontal scales; dan

kuku kecil yang tajam pada dua anggota badan bagian depan; (2) kepala berada

di bagian depan yang panjangnya 15 cm, ada sepasang ruas prefrontal, empat

pasang ruas postorbital dan kuku pada setiap anggota badan (flipper) bagian

depan. Pada anakan memiliki : karapas dengan ciri khusus dimana panjang 49

mm hingga 46 mm yakni lapisan cembung menyerupai tulang muda dengan tiga

warna yang kontras; bagian bawah (plastron) berwarna putih; dan bagian kepala

berwarna hitam atau mendekati hitam dengan empat pasang ruas postorbital dan

empat pasang costal scutes.

2.1.3 Siklus hidup

Sejak ditetaskan anak penyu (juvenile) mulai mengembara di laut lepas

(34)

laut (benthic feeding zone) hingga bertemu pasangannya dan kawin. Setelah tiba

saatnya bertelur, penyu betina akan mendarat di pantai untuk membuat sarang

dan bertelur. Dalam interval waktu ± 2 minggu penyu betina akan bertelur

kembali di pantai yang sama. Selanjutnya penyu akan kembali ke perairan laut

hingga musim kawin tiba. Para ahli menyebut periode pertumbuhan penyu

hingga dewasa pada masa pengembaraan ini sebagai ‘waktu yang hilang’

(Carr, 1967 dan Frick, 1976 disarikan dalam Carr, 1980). Perilaku penyu ini

divisualisasilan oleh Colin J. Limphus pada Gambar 5 berikut ini.

Gambar 5. Siklus hidup penyu laut (Sumber : Colin J. Limphus, Press. Com.)

Pertumbuhan anakan penyu menuju usia dewasa memiliki survival rate

yang rendah. Menurut Ehrenfeld (1974) hanya 1 hingga 3 persen anakan penyu

yang mampu bertahan hidup hingga usia dewasa. Selama siklus hidupnya penyu

di laut memerlukan ketahanan hidup yang tinggi terhadap pemangsaan predator,

keterbatasan makanan, serangan hama penyakit serta polusi air laut, perubahan

lingkungan serta dieksploitasi manusia.

Kehidupan penyu hijau memiliki ciri yang sama dengan jenis penyu laut

lainnya, yakni: pertumbuhan yang lambat untuk sampai usia kedewasaan dan

mampu mencapai umur yang panjang (Chaloupka dan Musick, 1997; Hirth,

1997). Waktu yang diperlukan untuk satu generasi dapat diukur dari usia

(35)

Umur dewasa penyu hijau berkisar antara 27 sampai dengan 40 tahun

(Seminoff., 2004b). Masa reproduksi diduga berkisar antara 17 hingga 23 tahun

(Fitzsimmons et al. 1995). Umur dewasa penyu hijau lebih pendek jika

dibudidayakan, yakni 11 sampai dengan 15 tahun dengan berat badan 90 hingga

200 kg (Wood, 1990).

Tabel 1. Pendugaan umur dewasa dari penyu hijau

Studi Lokasi Umur penyu

dewasa (thn) Sumber informasi

A. Hawaiian Archipelago 30 Zug et al. 2002

B. Australia (nGBR) 30 Limphus danWalter, 1980

C. Australia (sGBR) 40 Limphus dan Chaloupka, 1997

D. Florida 30 Mendonca, 1981

E. Florida 27 Frazer dan Ehrhart, 1985

F. U.S. Virgin Islands 33 Frazer dan Ladner, 1986

G. Ascension Island 35 Frazer dan Ladner, 1986

H. Costa Rica 26 Frazer danLadner, 1986

I. Suriname 36 Frazer dan Ladner, 1986

Sumber : Seminoff (2004b)

2.1.4 Perilaku penyu

2.1.4.1 Perilaku harian

Umumnya penyu berada di habitat bentik (benthic habitats) yakni

perairan laut dengan kedalaman di atas 30 cm. Anakan penyu adalah karnivora

(carnivorous) (Cogger, 2000), ketika dewasa penyu hijau adalah herbivora

(herbivorous) dengan jenis tumbuhan rumput laut dan alga (Forbes, 1996;

Brand-Gardner et al. 1999; Whiting, 2000; Cogger, 2000). Penyu dewasa juga

memakan berbagai jenis tumbuhan di daerah mangrove (Forbes, 1996;

Limphus, C.J. dan D.L. Limphus, 2000), seperti telur ikan (Forbes, 1996),

ubur-ubur (Limphus et al. 1994) dan karang lunak (Whiting, 2000).

Caribbean Conservation Corporation & Sea Turtle Survival League

(2003) menerangkan perilaku makan penyu hijau dan beristirahat memiliki

waktu tertentu. Selama musim bertelur penyu laut berada di pantai peneluran

dan dangkalan berbatu perairan laut. Selain itu penyu akan bermigrasi hingga

ratusan atau ribuan mil. Penyu hijau beristirahat tidur pada permukaan air laut

(36)

2.1.4.2 Perilaku kawin

Dalam Caribbean Conservation Corporation & Sea Turtle Survival

League (2003) masa kawin mulai meminang hingga kawin dengan periode

yang pendek. Jika sampai pada saat bertelur hanya induk betina yang bergerak

menuju pantai pada malam hari. Induk penyu membuat sarang dan bertelur,

kemudian meninggalkan telur serta kembali ke laut. Perilaku kawin penyu

juga diterangkan dalam SeaWorld/ Busch Gardens Animals di dalam

(www.swbg-animals.org) bahwa: Induk penyu bertelur lima kali setiap musim

kawin dengan periode lima tahun. Namun secara individual penyu hijau

bertelur sebelas kali setiap musim kawin yang menghasilkan telur sebanyak

1.200 butir dimana setiap sarang rata-rata 110 butir. Telur penyu berbentuk

menyerupai bola pingpong, berwarna keputihan, berdiameter rata-rata 45 mm

dengan berat 50 gram. Pada waktu malam hari penyu hijau mendarat di pantai

berpasir halus dengan solum yang tebal untuk bertelur.

Caribbean Conservation Corporation & Sea Turtle Survival League

(2003) bahwa induk jantan penyu hijau memiliki naluri homing instict yakni

kembali ke pantai dimana dia ditetaskan. Masa inkubasi selama 60 hari

dengan pemanasan pasir di sekitar sarang yang menumbuhkan embrio. Jika

suhu penetasan lebih tinggi akan cenderung menghasilkan jenis kelamin

jantan, sebaliknya suhu yang rendah akan menghasilkan jenis kelamin betina.

Menurut Pritchard dan Montimer (1999) penyu hijau memiliki ciri khusus

ketika bertelur yakni sebagian tubuhnya berada di bawah permukaan pasir

pantai (Gambar 6).

(37)

2.1.4.3 Perilaku migrasi

Penyu hijau bermigrasi jauh untuk tujuan reproduksi dengan mencari

makanan dan menemukan pantai peneluran. Seperti halnya penyu laut lainnya,

penyu hijau bermigrasi sepanjang hidupnya menuju beberapa lokasi dan

habitat pada wilayah yang sangat luas (Hirth., 1997). Ketika anakan penyu

hijau hasil penetasan meninggalkan pantai peneluran akan memulai tahap

kehidupan selanjutnya di laut (Carr, 1987). Anakan penyu mengapung

mengikuti gerakan arus laut dan menyebar ke arah laut lepas (Carr dan

Meylan, 1980; Witham, 1991). Setelah beberapa tahun berada pada perairan

laut, anakan penyu yang telah agak besar akan berada pada perairan laut yang

kaya makanan pada daerah dengan tumbuhan lamun atau alga (Musick dan

Limphus, 1997). Tahap berikutnya adalah ketika penyu telah mencapai usia

dewasa akan bermigrasi untuk tujuan kawin menuju tempat yang menyediakan

makanan dan berada di dekat pantai peneluran selama periode (Hirth, 1997).

Perjalanan migrasi penyu ini mampu mencapai jarak ribuan kilometer

(Mortimer dan Portier, 1989). Selama masa tidak kawin penyu dewasa akan

berada di perairan tempat mencari makan (Seminoff et al. 2003).

Di laut terbuka dengan arus yang kuat, penyu dengan tenang hanya

mendongakkan kepala beberapa inci di atas permukaan air. Penyu memiliki

kemampuan navigasi yang luar biasa untuk menemukan pantai peneluran

walaupun dengan jarak tempuh yang panjang. Dalam Caribbean Conservation

Corporation & Sea Turtle Survival League(2003) bahwa perilaku migrasi dan

kemampuan navigasi penyu hijau yang merupakan misteri terbesar dari dunia

binatang (The Animal Kingdom). Ada teori yang menyatakan kemampuan

navigasi penyu hijau ada berkaitan dengan magnet bumi. Sebagai contoh di

sebelah Selatan Great Barrier Reef tercatat migrasi penyu dari tempat

bertelur mampu mencapai 2.600 km tetapi rata-rata menempuh 400 km

(Limphus et al. 1992). Namun menurut Dizon dan Balazs (1982); Mortimer

dan Carr (1984); Liew dan Chan (1992), induk penyu biasanya berada di

(38)

2.1.5 Habitat

Dalam Wetlands International Indonesia Programme (1996) menerangkan

bahwa di perairan laut penyu dapat dijumpai di ekosistem terumbu karang dan

lamun. Pada Gambar 7 dapat dilihat rantai makanan di ekosistem terumbu

karang dan ekosistem lamun dimana penyu merupakan salah satu komponen

ekosistem.

Gambar 7. Rantai makanan di ekosistem terumbu karang dan lamun

(Sumber : Wetlands International Indonesia Programme, 1996)

Kelleher, G. (1999), mengistilahkan habitat kelompok mamalia laut, penyu

laut, burung laut dan beberapa spesies endemik sebagai the critical habitat.

Donovan (1995) menyebutkan bahwa habitat migratory species terdiri dari tiga

yakni: habitat migratory, habitat feeding dan habitat breeding. Keberadaan

(39)

bertelur (habitat breeding) yang dengan mudah dapat dikenali dan dipetakan.

Pada umumnya keduanya terletak berdekatan, yakni: perairan laut dengan

ekosistem lamun dan terumbu karang serta pantai berpasir putih, bertekstur kecil

dengan solum tebal. Habitat penyu hijau di Indonesia dapat dijumpai di daerah

pantai peneluran (nesting area) dan yang mencari makan (feeding ground)

seperti yang dilaporkan oleh WWF-Indonesia (2005) pada Gambar 8.

Gambar 8. Sebaran nesting area dan feeding ground penyu hijau di Indonesia (Sumber : WWF-Indonesia, 2005)

2.1.6 Status penyu hijau

Dalam Wikipedia (2006), status konservasi suatu spesies merupakan

indikator tentang kelangsungan hidup suatu spesies pada saat ini hingga di masa

datang. Tidak mudah untuk mengetahui status konservasi suatu spesies, karena

harus melakukan penelitian secara menyeluruh tentang peningkatan maupun

penurunan pertumbuhan populasi di sepanjang waktu, tingkat keberhasilan

kawin maupun tentang berbagai ancaman. IUCN (2003a), pembentukan IUCN

Red List of Threatened Species pada tahun 1963 telah menginventarisasi status

konservasi seluruh tumbuhan dan binatang di bumi ini. IUCN Red List

merupakan ukuran yang tepat untuk mengevaluasi resiko kepunahan ribuan

(40)

Penyu hijau (Chelonia mydas) beserta keenam jenis penyu laut lainnya

dikategorikan sebagai endangered species dalam IUCN Red List. Endangered

species adalah spesies yang dalam waktu dekat sangat beresiko mengalami

kepunahan. Menurut Seminoff (2004a) pada 32 lokasi peneluran di seluruh

dunia, populasi penyu hijau mengalami penurunan 48% hingga 67% selama tiga

generasi. Eksploitasi secara berlebihan dan dampak dari aktivitas manusia telah

mendorong populasi penyu hijau ke arah kepunahan. Hasil pendugaan Seminoff

ini kemudian mengelompokkan penyu hijau sebagai endangered species

menurut kriteria A2bd.

Pada awal tahun 1970-an penyu hijau masih berstatus Threatened Animals.

Setelah proses pengusulan selama tujuh tahun akhirnya pada tahun 1979 The

U.S. Endangered Species Act memasukkan penyu hijau sebagai endangered

species. Berkaitan dengan perlindungan penyu hijau telah ditandatangani

beberapa kesepakatan (convention) internasional, antara lain:

The African Convention for the conservation of nature and natural

resources yang ditandatangani pada bulan September 1968.

Convention On International Trade of Endangered Wild Fauna and Flora

Species (CITES) yang ditandatangani 140 negara pada 28 Maret 1979.

Convention on the Conservation of Migratory Species of Wild Animals

yang ditandatangani di Bonn pada 23 Juni 1979.

Convention on the Conservation of European Wildlife and Natural

Habitats yang ditandatangani di Bern pada 19 September 1979.

EEC Directive on the Conservation of Natural Habitats and Wild Flora

and Fauna yang ditandatangani pada 21 Mei 1992 oleh negara France,

Greece, Italy dan Spain. Penyu hijau tergolong pada kelompok spesies

dalam Annex IV yakni sekelompok spesies yang memerlukan

perlindungan secara ketat dengan mencadangkan wilayah yang dilindungi.

Convention for The Protection of The Mediterranean Sea Against

Pollution yang ditandatangani di Barcelona pada tahun 1976 dan Protocol

Concerning Mediterranean Specially Protected Areas yang ditandatangani

(41)

2.2 Kondisi Populasi Penyu Hijau

Dari data Seminoff (2004a) diketahui bahwa migrasi penyu hijau melintasi

80 negara pada wilayah perairan tropis dan sub tropis. Sebaran penyu hijau

dilaporkan berada di 32 lokasi di seluruh dunia (Gambar 9).

Gambar 9. Sebaran ke-32 lokasi peneluran penyu hijau di seluruh dunia (Sumber : Seminoff, 2004a)

Dalam Seminoff (2004a), eksploitasi penyu hijau terjadi di sepanjang jalur

migrasi penyu kecuali di wilayah Samudera Atlantik. Pada Gambar 10 dapat

diketahui bahwa eksploitasi penyu paling intensif terjadi di 24 lokasi peneluran

penyu di Samudera Hindia dan Asia Tenggara dengan penurunan populasi

rata-rata 80%. Sebaliknya peningkatan populasi lebih dari 100% terdapat di wilayah

perairan Costa Rica (Tortuguero), Mexico (Yucatan Peninsula) dan United States

(Florida). Wilayah pertumbuhan dengan peningkatan rata-rata 30% dijumpai di

Pulau Arsension, Kepulauan Bijagos dan Suriname yang berada di Samudera

(42)

Gambar 10. Tingkat pertumbuhan populasi penyu hijau (Sumber : Seminoff , 2004a)

2.3 Eksploitasi Penyu Hijau di Indonesia

Bagi Indonesia, penyu hijau memiliki peran strategis secara politis, selain

berkaitan dengan kepentingan masyarakat global, protes internasional dengan

ancaman boikot seringkali diterima Indonesia. Setelah boikot pariwisata,

belakangan ini Indonesia terkena sanksi embargo ekspor udang laut ke pasar

Amerika. Menyusul kemudian protes dari PADI (Professional Association for

Diving Instructors) Eropa dengan membuat petisi yang ditandatangani lebih dari

200 ribu penyelam Eropa. Para penyelam mengancam tidak akan lagi berkunjung

ke Bali jika perdagangan penyu masih tetap berlangsung (KSBK, 2001).

Setelah tujuh tahun pemberlakuan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999,

Pemerintah Indonesia belum mampu menghentikan eksploitasi terhadap spesies

penyu hijau. Eksploitasi yang masih berlangsung hingga kini berupa

penangkapan induk penyu di perairan laut dan pemanenan telur penyu di pantai

peneluran menempati posisi tertinggi di dunia (Sarjana Putra, 1996;

Troeng (1997).

Menurut Tri Wibowo, E (1991), pada tahun 90-an eksploitasi induk penyu

hijau terjadi hampir merata di seluruh perairan laut Indonesia. Untuk memasok

kebutuhan daging penyu masyarakat P. Bali, kegiatan menangkap penyu terjadi

(43)

lalu lintas kapal bermuatan penyu di Pelabuhan Tanjung Benoa, Bali pada tahun

1990 sampai dengan tahun 1991 disajikan pada Gambar 11.

Gambar 11. Pengangkutan penyu dari 31 lokasi di Indonesia (Sumber : Tri Wibowo. E , 1991)

Manusia merupakan ancaman terbesar bagi kelangsungan hidup penyu, baik

di wilayah pesisir maupun di perairan laut lepas. ProFauna (2005) melaporkan

bahwa eksploitasi penyu di Indonesia masih berlangsung hingga kini. Dalam

laporannya ProFauna menyatakan bahwa perdagangan penyu dan bagian-bagian

tubuhnya dijumpai di P. Jawa. Selama bulan Januari - April 2005, ProFauna

mencatat tentang jenis, jumlah, harga dan asal penyu yang diperdagangkan di

enam lokasi pantai Selatan P. Jawa, antara lain: Pantai Teluk Penyu Cilacap (Jawa

Tengah), Pantai Puger Banyuwangi (Jawa Timur), Pantai Pangandaran (Jawa

Barat), Pantai Pelabuhan Ratu (Jawa Barat), Pantai Pangumbahan Sukabumi

(Jawa Barat), dan Pantai Samas (Yogyakarta).

Pemanenan telur penyu dengan tujuan bisnis terjadi di Kecamatan Tambelan

(Riau), Kecamatan Paloh (Kalimantan Barat), Kepulauan Derawan (Kalimantan

Timur) dan Pangumbahan (Jawa Barat). Sebagai ilustrasi di Propinsi Kalimantan

Timur, pengusaha telur penyu memberikan masukan Pendapatan Asli Daerah

(PAD) PEMDA Kabupaten Berau (Gambar 12). Perolehan PAD selama tahun

1999 hingga 2000 mencapai hampir Rp. 1 milyar atau sekitar 38 persen dari PAD

(44)

Gambar 12. Perolehan PAD Kab. Berau dari pengusahaan telur penyu (Sumber : Data Kabupaten Berau, 2002)

Dalam lima dekade terakhir terjadi penurunan hebat populasi penyu di

kepulauan Derawan, diperkirakan mencapai 90% dari jumlah yang bisa ditemukan

50 tahun lalu. Penyebab yang paling dominan adalah pengambilan telur penyu

secara sistematis (WWF-Wallacea, 2000).

2.4Ancaman Kepunahan Penyu Hijau

Sebagai ahli ekologi, Wilson berpendapat bahwa secara keseluruhan isu

tentang lingkungan yang mutakhir adalah kepunahan spesies (Wilson,1980).

Harding G.W. (1998) menyatakan bahwa kehidupan suatu spesies tidak berubah

selama jutaan tahun. Beberapa spesies yang mengalami proses adaptasi dengan

adanya perubahan kecil yang terjadi pada ekosistem. Namun jika perubahan

cukup besar dalam waktu pendek maka spesies tidak mampu beradaptasi akan

gagal dalam proses reproduksi dan mengalami kepunahan. Kepunahan spesies

diartikan sebagai hilangnya suatu spesies dari muka bumi untuk selamanya.

Kepunahan secara massal telah terjadi dimana 40% hingga 95% spesies binatang

dan tumbuhan telah hilang dari bumi dan setiap tahun diperkirakan 10 hingga 20

spesies telah punah.

Wilson (1980) menyatakan bahwa peningkatan kepunahan spesies pada abad

ini telah didokumentasikan dan sebagian besar penyebabnya karena aktivitas

manusia, kerusakan habitat dan pengenalan spesies baru ke dalam suatu kawasan.

Ancaman kepunahan penyu hijau sama seperti yang dialami spesies anggota

(45)

eksploitasi manusia. Ancaman manusia memberi tekanan pada sepanjang hidup

penyu baik ketika masih berwujud telur hingga penyu dewasa.

Ackerman (1997) ancaman dari manusia yang paling merugikan adalah

pemanen telur penyu dan penangkapan induk penyu secara sengaja di daerah

peneluran. Ancaman lain yang bersifat insidentil adalah dampak dari perubahan

lingkungan di daratan maupun di laut, penangkapan penyu tidak sengaja (by

catch), kerusakan habitat, serangan penyakit dan predator, kematian penyu karena

teknik penangkapan ikan dengan menggunakan drift netting, shrimp trawling,

dynamite fishing, dan long-lining, pembangunan gedung daerah pantai,

penambangan pasir dan abrasi pantai. Adanya cahaya lampu di daerah peneluran

juga berpengaruh negatif terhadap perilaku bertelur induk penyu (Witherington,

1992) dan perjalanan anakan penyu yang baru ditetaskan lebih tertarik pada

sumber cahaya daripada bergerak menuju ke laut (Witherington dan Bjorndal,

1990). Wabah penyakit tumor Fibropapilloma juga menyerang penyu hijau

sebagai akibat dari kerusakan habitat (George, 1997). Pencemaran air laut dan

pengaruh eksplorasi minyak dan gas di bawah laut telah menyebabkan ancaman

yang serius terhadap populasi penyu laut pada umumnya (George, 1997).

Montimer menyoroti ancaman kepunahan penyu sebagai akibat dari

eksploitasi yang dilakukan manusia secara berlebihan. Menurut Montimer (1995),

penangkapan induk dan pemanenan telur penyu secara berlebihan dan

berlangsung secara terus-menerus selama beberapa dekade berakibat kepunahan

populasi penyu. Pada Gambar 13 menunjukkan suatu hipotesis jika manusia

mengkonsumsi daging penyu dari semua induk yang akan bertelur di pantai.

Situasi ini terdapat di daerah peneluran Pulau Seychelles sebelum tahun 1980.

Gambar 13. Penangkapan induk penyu secara berlebihan

(46)

Gambar 14. Akibat dari pemanenan telur penyu (Montimer, 1995)

Gambar 14 menunjukkan kerusakan populasi penyu hijau jika pemanenan

telur dilakukan secara berlebihan pada beberapa wilayah di Asia Tenggara.

Menurut Montimer (1995) pada model ini induk penyu diasumsikan memiliki usia

produktif 20 hingg 50 tahun, dan rata-rata aktivitas produksi penyu selama 20

tahun (Carr, 1987).

Proses kehancuran populasi secara bottom up (Gambar 13) dan secara top

down disajikan pada Gambar 14. Perbedaan keduanya adalah sudut pandang

melihat kehancuran suatu populasi jika terjadi eksploitasi berlebihan.

Penangkapan induk dan pemanenan telur secara berlebihan akan menyebabkan

tidak ada lagi anakan yang ditetaskan. Selanjutnya tidak akan ada lagi anakan

yang menjadi induk pada generasi di depan (Montimer, 1995).

2.5Penanganan Ancaman Kepunahan Spesies

Penyu hijau yang berstatus endangered species dan beresiko punah dalam

waktu dekat IUCN Red Book. Isu kepunahan spesies merupakan the global

common (yakni : hilangnya satu dari keanekaragaman hayati di bumi) menjadi

(47)

untuk mengawasi penangkapan dan perdagangan penyu hijau di seluruh dunia

telah dilaksanakan dan menjadi tanggung jawab negara-negara penanda tangan

CITES (Convention on International Trade in Endangered Species). Efektivitas

kesepakatan internasional ini tergantung pada efisiensi pengawasan dan kebijakan

yang berkaitan dengan penangkapan, pengumpulan, perburuan dan perdagangan

penyu, baik secara individu maupun kolektif.

Populasi penyu hijau yang berada di perairan laut dapat disebut sebagai

common-pool resource. Menurut Ostrom (1999) common-pool resource dapat

dipandang sebagai pusat/ inti sumberdaya yang mengalirkan unit-unit sumberdaya

sepanjang waktu. Common-pool resources terdiri dari sistem sumberdaya dan

aliran unit sumberdaya dari sistem sumberdaya (Blomquist dan Ostrom, 1985).

Vincent dan Ostrom (1977) dalam McCay (1996) menyebutkan bahwa

penggunaan istilah common pool digunakan untuk sumberdaya yang mengalami

permasalahan sulitnya menentukan batas sumberdaya termasuk di dalamnya ada

pengaruh aktivitas seseorang yang dapat mengurangi kepentingan orang lain.

Dalam aktivitas ekonomi, common-pool resource memiliki ciri khusus, yakni:

Kesulitan untuk membatasi penggunaan dengan membangun batas secara fisik

atau penerapan hukum karena memerlukan biaya yang tinggi, Manfaat yang

diperoleh seseorang akan mengurangi manfaat yang diperoleh orang lain

(Ostrom et al, 1994).

Common-pool resources dapat dimiliki oleh negara, propinsi/ kabupaten,

masyarakat setempat, secara individu atau gabungan diantaranya (Feeny et al.

1990). Untuk memahami isu-isu common diperlukan pengetahuan tentang corak

sumberdaya dan cara yang dipilih manusia mendapatkan sumberdaya

(McCay B.J, 1996).

Umumnya permasalahan common-pool resources berkisar pada

permasalahan common propertyresources yakni: kemampatan, pengunaan secara

berlebihan, kecenderungan rusak jika pengguna tidak mempertimbangkan

keterbatasannya. Sebagai satwa buruan yang bernilai ekonomi tinggi, jika tidak

ditangkap orang hari ini akan ditangkap orang lain di lain hari. Pada situasi the

commons dilemma demikian ini akan sulit mengharapkan insentif dari pengguna

(48)

Demikian halnya di laut lepas penyu hijau berada digolongkan sebagai

sumberdaya open access. Hal ini dibenarkan dalam Troeng dan Drews (2004)

bahwa kebiasaan penyu bermigrasi jauh ini menjadikan penyu hijau sebagai

sumberdaya open access. Open access diterangkan sebagai situasi tidak ada hak

kepemilikan secara sah untuk membatasi siapa pun memanfaatkan sumberdaya

(Ciriacy-Wantrup, 1968).

Eksploitasi manusia secara berlebihan di berbagai lokasi di bumi ini

menyebabkan terjadinya the tragedy of the commons (Morriss, 1994). Dalam

rekomendasinya Hardin mengemukakan penanganan the tragedy of the commons

yang bersifat mendua, yakni : no technological solution dan a political solution

dengan penetapan hak kepemilikan atas sumberdaya. Rekomendasi pengalokasian

sumberdaya sebagai private property untuk solusi the tragedy of the commons

tidak secara tegas dikemukan oleh Hardin (Simth R.J, 1981). Pembatasan

memperoleh sumberdaya dengan pembentukan kepemilikan secara individu

(private property) merupakan usulan dari Gordon (McCay, 1996).

Menurut Berkes et al. (2001) the tragedy of the commons di pesisir dan laut

merupakan permasalahan perikanan yang berkaitan dengan aktivitas masyarakat

secara individu dan kolektif. Solusi dari the tragedy of the commons dengan

mengelola manusia (management people) dimana masyarakat dapat

mempertahankan sumberdaya yang secara ekologis agar tidak hancur dalam

jangka waktu yang panjang. Lebih lanjut Berkes menjelaskan bahwa the tragedy

of the commons dapat ditangani dengan penyelesaian dua permasalahan, yakni:

the exclution problem dengan mengontrol pengguna untuk memperoleh

sumberdaya dan the substrability problem dengan menyusun dan menerapkan

aturan/ peraturan agar menurunkan dampak aktivitas pengguna sumberdaya

terhadap pengguna lainnya.

Usulan Berkes et al. (2001) the exclution problem dapat diselesaikan dengan

mengalokasikan hak kepemilikan sumberdaya pada kepemilikan negara (state

property); kepemilikan secara individu (private property); kepemilikan secara

komunal (communal property) atau kombinasi diantara ketiganya. Jika ketiga hak

kepemilikan sumberdaya dialokasikan pada wilayah pesisir dan laut maka dapat

(49)

Gambar 15. Ilustrasi jika ketiga hak kepemilikan sumberdaya dialokasikan di wilayah pesisir dan laut

(Sumber : Berkes et al, 2001)

Setelah pengalokasian hak kepemilikan sumberdaya maka dibentuk aturan

penggunaan sumberdaya yang akan memberi karakteristik pengelolaan yang

berbeda-beda, antara lain : Aturan ditetapkan oleh pemerintah jika hak

kepemilikan sumberdaya oleh negara (state property); Aturan mengikuti

makanisme pasar jika hak kepemilikan sumberdaya secara individual (private

property); Aturan ditetapkan oleh masyarakat setempat jika hak kepemilikan

sumberdaya oleh masyarakat (communal property) serta kombinasi dari ketiganya

(Berkes et al. 2001).

(1) Pengalokasian kepemilikan negara (state property)

Untuk mengontrol sumberdaya di lautan akan mendapat kesulitan dalam

penetapan batas sumberdaya. Seperti yang diusulkan Hardin, sumber daya

Gambar

Gambar 3. Sebaran penyu hijau (Chelonia mydas) (Sumber : SeaWorld/ Busch Gardens Animals)
Gambar 4. Karakteristik anatomi penyu hijau (Sumber : Pitchard dan Montimer, 1999)
Gambar 7. Rantai makanan di ekosistem terumbu karang dan lamun (Sumber : Wetlands International Indonesia Programme, 1996)
Gambar 8. Sebaran nesting area dan feeding ground penyu hijau di Indonesia (Sumber : WWF-Indonesia, 2005)
+7

Referensi

Dokumen terkait

adalah proses perencanaan resort di kawasan Pantai Watu Kodok yang efektif dan efisien melalui pendekatan arsitektur bioklimatik dengan memperhatikan kenyamanan terhadap fasilitas

Hasil dari pemodelan dengan dan tanpa menggunakan algoritma PSO menghasilkan pola grafik yang tidak jauh berbeda antara hasil simulasi dengan data eksperimen

Hipertensi dapat menyebabkan kelebihan beban tekanan pada jantung sehingga kerja jantung akan meningkat dan terjadi stress pada dinding jantung juga meningkat sehingga

Pengecualian dari instrumen ekuitas AFS, jika, pada periode berikutnya, jumlah penurunan nilai berkurang dan penurunan dapat dikaitkan secara obyektif dengan sebuah peristiwa

Sistem sapaan remaja yang digunakan oleh remaja untuk berkomunikasi dengan temannya terdapat sapaan yang negatif dan positif.Sapaan yang merupakan kata yang

Disini penulis tertarik pula untuk mencari ideal moral dari ayat-ayat zakat dengan menggunakan metode Double Movement yang diperkenalkan Fazlur Rahman, yaitu dengan

6 Allah Ta’ala berfirman yang artinya: “Mereka itu tidak mendahului-Nya dengan Perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintahNya” dan dalam ayat lain juga disebutkan yang