• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut oleh pemerintah

6.4 Arahan Rencana Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan

6.4.2 Rencana kegiatan pengelolaan

6.4.3.1 Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut oleh pemerintah

Untuk mengontrol sumberdaya yang berada di dalam Kawasan Konservasi Laut, umumnya pihak pengelola akan menghadapi kesulitan penentuan batas (delineate) wilayah pengelolaannya karena:

Sumberdaya berada dalam masa cair yang senantiasa bergerak.

Dampak dari aktivitas manusia berada di daratan akan dengan mudah mengalir melewati batas kawasan.

Masyarakat/nelayan lokal sulit mengenali batas kawasan karena samar-samar adanya. Nelayan sulit membedakan apakah berada di dalam atau di luar kawasan.

Seperti yang diusulkan Hardin untuk sumberdaya yang sulit ditetapkan batas-batasnya agar dialokasikan sebagai kepemilikan negara (Smith, 1981). Smith mencontohkan Marine Protected Area sebagai upaya perlindungan spesies-spesies langka dan terancam kepunahan agar dialokasikan sebagai sumberdaya pesisir dan laut dalam kepemilikan negara (state property). Kepemilikan negara dan dikelola oleh pemerintah ternyata paling efektif dalam pengawasan aksesibilitas masyarakat terhadap sumberdaya dibandingkan dengan tipe kepemilikan lain, baik secara individu maupun secara komunal yang hanya terdiri dari satu kelompok masyarakat (Berkes et al. 2001).

Dalam penelitian ini KKL Kepulauan Derawan diusulkan dalam pengelolaan oleh pemerintah dengan aturan/ peraturan yang ditetapkan oleh

pemerintah. Namun berkaitan dengan penentuan otoritas pengelolaan KKL ada potensi konflik antar lembaga pemerintah (Departemen Kehutanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, dan Pemerintah Daerah Kabupaten Berau) yang masing-masing memiliki landasan hukum yang sama kuat untuk menetapkan dan mengelola Kawasan Konservasi Laut. Konflik antar lembaga Pemerintah ini harus diselesaikan agar memperjelas kewenangan lembaga pemerintah mana yang akan mengelola KKL Kep. Derawan.

1) Departemen Kehutanan dengan Undang-Undang No. 5 tahun 1990

Pasal 2, 3 dan 4 UU No. 5 tahun 1990 memberi pengertian : Pemerintah bertanggung jawab dan berkewajiban melaksanakan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya agar terwujudnya kelestarian sumberdaya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Pasal 8 tentang: Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan: Perlindungan sistem penyangga kehidupan, Pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya dan Pemanfaatan secara lestari sumberdaya dan ekosistemnya. Kegiatan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya telah menjadi kewenangan Direktorat Jenderal PHKA Departemen Kehutanan. Lembaga ini menangani konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya baik di Kawasan Suaka Alam (Cagar Alam dan Suaka Margasatwa) maupun Kawasan Pelestarian Alam (Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam). Kawasan Konservasi Laut yang telah dimiliki Direktorat Jenderal PHKA, antara lain:

1. TWAL Pulau Weh BKSDA NAD

2. TWAL Kepulauan Banyak BKSDA NAD 3. TWAL Pulau Pieh BKSDA SUMBAR 4. CAL Pulau Anak Krakatau BKSDA Lampung 5. TNL Kep. Seribu BTN Kep. Seribu 6. CAL Pulau Sangiang BKSDA JABAR I

7. CAL Sancang BKSDA JABAR II

8. CAL Pangandaran BKSDA JABAR II 9. TNL Kep. Karimunjawa BTN Kep. Karimunjawa 10. TWAL Pulau Moyo BKSDA NTB

12. TWAL Pulau Satonda BKSDA NTB 13. TWAL Teluk Kupang BKSDA NTT I

14. CAL Riung BKSDA NTT II

15. TWAL Teluk Maumere BKSDA NTT II 16. TWAL Tujuh Belas Pulau BKSDA NTT II 17. CAL Kep. Karimata BKSDA KALBAR 18. SML Pulau Semama BKSDA KALTIM 19. TWAL Pulau Sangalaki BKSDA KALTIM

20. TNL Bunaken BTN Bunaken

21. TWAL Kepulauan Kapoposang BKSDA SULSEL I 22. TNL Taka Bonerate BTN Taka Bonerate 23. TWAL Teluk Lasolo BKSDA SULTRA 24. TWAL Pulau Padamarang BKSDA SULTRA 25. CAL Kep. Aru Tenggara BKSDA Maluku

26. CAL Banda BKSDA Maluku

27. TWAL Pulau Pombo BKSDA Maluku 28. TWAL Taman Laut Banda BKSDA Maluku 29. TWAL Pulau Kassa BKSDA Maluku 30. TWAL Pulau Marsegu BKSDA Maluku 31. SML Kep. Raja Ampat BKSDA Papua II 32. SML Sabuda Tataruga BKSDA Papua II 33. TWAL Kep. Padaido BKSDA Papua II 34. TNL Teluk Cendrawasih BTN Teluk Cendrawasih Di Kepulauan Derawan Direktorat Jenderal PHKA memiliki organisasi Seksi Konservasi Sumberdaya Alam yang membawahi SML Pulau Semama dan TWAL Pulau Sangalaki.

2) Departemen Kelautan dan Perikanan dengan Undang-Undang No. 31 tahun 2004 dan Undang-Undang No. 27 tahun 2007

Dalam pasal 1 UU No. 31 tahun 2004 didefinisikan konservasi sumberdaya ikan sebagai upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya ikan termasuk ekosistem, jenis dan genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan dan kesinambungan dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas, nilai dan keanekaragaman sumberdaya ikan. Pasal 5 ayat 1 menyebutkan bahwa wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia untuk penangkapan dan/ atau pembudidayaan ikan, meliputi: perairan Indonesia; ZEEI; sungai, danau, waduk, rawa dan genangan air lainnya yang dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang potensial di wilayah Republik Indonesia.

Undang-undang No. 31 tahun 2004 memberi pemahaman bahwa: Perairan laut Kepulauan Derawan dan ZEEI merupakan wilayah pengelolaan perikanan dalam kewenangan Pemerintah/ Departemen Kelautan dan Perikanan baik untuk penangkapan ikan maupun pembudidayaan ikan. Dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan, Menteri DKP dapat menetapkan suaka perikanan, jenis ikan dan kawasan perairan yang dilindungi, termasuk taman nasional laut untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan, pariwisata dan/ atau kelestarian sumberdaya ikan dan/ atau lingkungannya (Pasal 7 ayat 1 dan 5).

Implementasi UU No. 31 tahun 2004 akan sulit dilaksanakan karena DKP tidak memiliki kawasan dan organisasi secara vertikal di seluruh Indonesia. Dinas Perikanan dan Kelautan yang ada di daerah merupakan organisasi dari Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten. Sementara perairan laut yang menjadi wilayah pengelolaan DKP telah menjadi kewenangan Pemerintah Daerah baik di tingkat kabupaten dan provinsi (Pasal 18 ayat 2 dan 4 UU No. 32 tahun 2004). Jika Menteri DKP akan menetapkan dan mengelola suaka perikanan dan taman nasional laut akan berbenturan dengan kewenangan Pemerintah Daerah.

Undang-undang No. 27 tahun 2007 menyebutkan bahwa Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (WP3K) ditetapkan oleh Peraturan Menteri (pasal 28). Pengelolaan Kawasan Konservasi yang berada di dalam kewenangan Kabupaten dan Propinsi diintegrasikan dengan kegiatan Pemerintah Daerah (Pasal 6). Penetapan UU No. 27 tahun 2007 diharapkan dapat mengatasi konflik kepentingan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah.

3) Pemerintah Daerah Kabupaten Berau dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2004.

Pasal 18 ayat 3 dan 4 UU No. 32 tahun 2004 memberi pemahaman bahwa kewenangan Kabupaten Berau untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut paling jauh 4 mil dari garis pantai ke arah laut. Pengelolaan sumberdaya di laut ini, melalui kegiatan: eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan kekayaan laut. Wilayah laut yang dimiliki Kabupaten Berau berada di

sekitar Kepulauan Derawan. Kegiatan pengelolaan sumberdaya laut yang menjadi kewenangan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Berau berbeda dengan pengelolaan Kawasan Perlindungan Laut (KPL) yang telah ditetapkan melalui Peraturan Bupati (Perbup) No. 31 tahun 2005 merupakan implementasi dari konservasi pada pasal 18 ayat 1 dan 2.

Jika memperhatikan Penjelasan UU No. 32 tahun 2004 menyebutkan bahwa pemerintah pusat yang memiliki kewenangan menetapkan kawasan khusus di daerah otonom untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat khusus dan untuk kepentingan nasional/ berskala nasional, misalnya dalam bentuk kawasan cagar budaya, taman nasional, pengembangan industri strategis, pengembangan teknologi tinggi seperti pengembangan tenaga nuklir, peluncuran peluru kendali, pengembangan prasarana komunikasi, telekomunikasi, transportasi, pelabuhan dan daerah perdagangan bebas, pangkalan militer, serta wilayah eksploitasi, konservasi, bahan galian strategis, penelitian dan pengembangan sumberdaya nasional, laboratorium sosial, lembaga pemasyarakatan spesifik.

Pasal 18 dan penjelasan UU No. 32 th 2004 menimbulkan kerancuan kewenangan penetapan kawasan konservasi di Kepulauan Derawan oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah Pusat. Kerancuan kewenangan ini menimbulkan konflik kepentingan di dalam penentuan lembaga pemerintah yang mengelola KKL Kepulauan Derawan.

Permasalahan lainnya adalah kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Berau dalam mengelola wilayah laut yang bersifat mendua. Dalam hal konservasi Pemerintah Daerah Kabupaten Berau telah membentuk KPL melalui Peraturan Bupati No. 31 tahun 2005, di sisi lain Pemerintah Daerah Kabupaten Berau melaksanakan privatisasi pengunduhan telur penyu oleh

Haji Saga di tiga pulau yang tidak berpenghuni (P. Bilang-Bilang, P. Balembangan, P. Mataha, dan P. Sambit). Kasus Haji Saga merupakan

contoh ketidakjelasan konsep konservasi yang dianut Pemerintah Daerah Kabupaten Berau.