• Tidak ada hasil yang ditemukan

Program konservasi penyu di tingkat internasional

2.6 Konservasi Penyu

2.6.2 Program konservasi penyu di tingkat internasional

Menurut WWF-International, Species Programme (2004), bahwa konservasi penyu laut saat ini telah dilaksanakan pada 44 negara. Latar belakang permasalahan penyu setiap negara memberi ragam pelaksanaan konservasi yang berbeda-beda (Gambar 16).

Gambar 16. Peta 44 negara yang telah melaksanakan konservasi penyu laut (Sumber : WWF, 2004)

WWF (2004) menyatakan permasalahan yang dihadapi dalam upaya konservasi penyu di seluruh dunia, antara lain:

Karakteristik siklus hidup penyu menjadi rawan karena kerusakan habitat dan akibat eksploitasi berlebihan;

Sifat migrasi yang luar biasa jauhnya yang terkadang melintasi beberapa samudra menyebabkan perhatian yang nyata dari berbagai negara;

Keterbatasan sumberdaya dan kemampuan kemauan politik untuk mengelola populasi penyu;

Keterbatasan data tentang sejarah kehidupan penyu dan ancaman ketika melaksanakan pengelolaan dan mendiskusikan konservasi penyu;

Kekurangan informasi yang dimengerti masyarakat dan pengambil keputusan tentang sifat biologis penyu laut, status konservasi dan pengelolaan yang diperlukan;

Kekurangan penghargaan akan nilai penyu saat sekarang dan di masa datang sebagai komunitas pesisir dan ekosistem;

Kurangnya koordinasi pemangku kepentingan baik nasional, regional dan lokal;

Kurangnya peraturan dan penegakan hukum;

Peningkatan penduduk di wilayah pesisir, kemiskinan dan konflik pemanfaatan sumberdaya;

Perubahan iklim global.

Tujuan konservasi penyu laut dalam WWF-International, Species Programme (2004) dikelompokkan menjadi empat, antara lain:

(1) Mengurangi eksploitasi berlebihan untuk pemanfaatan daging dan bagian-bagian tubuh lainnya, telur serta pemanfaatan non-konsumsi. Upaya konservasi penyu laut telah dilaksanakan, antara lain:

− Di Pulau Kei (Indonesia) melalui peningkatan kepedulian dan pendidikan agar masyarakat lokal berpartisipasi dalam konservasi dan pengaturan penangkapan penyu secara lestari dan peraturan pemerintah.

− Di Pulau Ono (Fiji) dan dan The Great Astrolabe (Kadavu) dengan merubah kebiasaan masyarakat (tradisional dan non tradisional) melakukan perburuan penyu dengan Pembentukan Daerah Perlindungan Laut (Marine Protected Area) berbasis masyarakat.

− Di Pulau Bali (Indonesia) dengan melakukan kampanye secara intensif dan menyebarluaskan pesan konservasi agar masyarakat sadar atau tidak mengkonsumsi daging penyu sebagai keperluan sehari-hari maupun kepentingan adat/ keagamaan.

− Di Kepulauan Derawan (Indonesia) dengan menghentikan pemanenan telur penyu yang dilakukan masyarakat dengan pengaturan pemanenan telur penyu untuk disisihkan sebagai restoking. Penyisihan telur 10% pada tahun 1999 – 2000, meningkat menjadi 20% pada tahun 2001. Pemerintah Daerah pada tahun 2002 melarang eksploitasi telur penyu di P. Sangalaki. Upaya konservasi lainnya adalah pengembangan wilayah

Kepulauan Derawan sebagai Daerah Perlindungan Laut (Marine Turtle Santuary Areas).

− Di Fort Dauphin (Madagaskar) melalui pengembangan alternatif pemanfaatan penyu laut dan peningkatan kelembagaan masyarakat.

− Taman Laut Pulau Mafia (Tanzania) bekerja sama dengan masyarakat lokal dalam pengelolaan perikanan, penghentian penggunaan alat tangkap yang merusak serta melaksanakan konservasi penyu laut. Ada wilayah Pulau Mafia yang dijadikan zona no-fishing untuk mengantisipasi terjadinya penangkapan penyu tidak disengaja (by-catch)

− Di Sine Saloom (Senegal) melalui penghentian konsumsi daging dan telur penyu oleh masyarakat lokal dan meningkatkan kepedulian masyarakat.

− Di Lima Bagian Selatan dan Pisco Paracas (Peru) dengan penghentian konsumsi daging penyu secara ilegal. Konservasi dilaksanakan dengan penegakan hukum di daratan dan di laut.

− Di Jamaica dan Bahama (Karibia) dengan melakukan dialog dengan pemerintah untuk mencari alternatif pemanenan penyu laut dengan penelitian pangan dan nilai budaya penyu laut. Upaya konservasi lainnya adalah penetapan peraturan perlindungan penyu laut di Bahama, Cuba, Republik Dominika, Haiti, Jamaica, Mexico, Puerto Rico, Turki dan pulau Caicos, Kepulauan British Virgin dan pulau Virgin. Pengembangan Turtugerro sebagai Lembaga Konservasi di wilayah Karibia telah menunjukkan adanya manfaat ekonomi dari kelangsungan hidup penyu laut dibandingkan jika dilakukan pembantaian penyu laut. (2) Mengurangi penangkapan tidak sengaja (by catch) dengan bekerja sama

dengan nelayan, para pakar dan pemerintah. Upaya konservasi berkaitan dengan penyu laut dilaksanakan di Australia bagian Utara, The Great Barrier Reef, Orissa (India), Mozambique (Afrika bagian Timur), Namibia dan Angola serta Afrika bagian Selatan, Suriname, Guyana, Uruguay, Argentina, Mexico, Ecuador, Italia.

(3) Pembentukan dan memperkuat wilayah perlindungan (Protected Area) pada daerah peneluran dan habitat penting penyu laut. Upaya pembentukan wilayah perlindungan telah dilaksanakan di pulau-pulau penyu kawasan Asia Tenggara seperti di Malaysia, Indonesia dan Filipina yang dikenal dengan Program Konservasi Tri-National Sea Turtles. Wilayah lainnya pembentukan wilayah perlindungan berada di Viet Nam, The Geat Barrier

Reef (Australia), Orissa (India), Pulau Solomon, Samoa, Cape Verde,

Senegal, Colombia, Turki, Yunani.

(4) Melibatkan masyarakat lokal dalam memantau, melindungi dan mengelola penyu laut dan sarangnya telah dilaksanakan di Australia bagian Utara dan Barat, Malaysia, pulau Cook, Vanuatu, Klunga (Kenya) Afrika bagian Timur, Brasil, Panama, Spanyol, Turki. Adapun kerja sama antar negara dilaksanakan di Guyana, Guiana Perancis dan Suriname.

Di Indonesia tepatnya di Bali, penyu hijau telah dikonsumsi dalam jumlah yang sangat besar diperkirakan 20.000 ekor per tahun. Gubernur Propinsi Bali telah menetapkan quota 5.000 ekor per tahun untuk upacara Agama Hindu walaupun dalam waktu dekat penyu hijau mengalami kepunahan (Reuters, 1994) disarikan dalam (Nilsson, 2005).

Program konservasi penyu internasional yang dikembangkan di Indonesia, antara lain :

(i) Program perlindungan habitat penyu laut lintas negara

Penandatanganan MoU IOSEA (Indian Ocean and South East Asia

Marine Turtle Memorandum of Understanding) merupakan bukti dari

kemauan negara-negara di dunia untuk melindungi penyu laut. Indonesia merupakan salah satu negara yang menandatangani MoU bersama 22 negara lain pada 23 Juni 2001. Setiap negara berkomitmen untuk melindungi, melestarikan, mengembalikan dan memulihkan penyu dan habitatnya atas dasar bukti ilmiah yang terbaik, dan dengan memperhatikan kondisi lingkungan, sosial-ekonomi dan karakteristik budaya negara penandatangan.

(ii)Perlindungan migratory species

Usulan program Indonesia's Marine Mammal Management Area dari

The Nature Conservancy pada pertemuan dengan Kementerian Lingkungan

Hidup, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Kehutanan, LIPI, Departemen Dalam Negeri, Departemen Luar Negeri, Departemen Pariwisata, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, WWF, IWF, Proyek Pesisir, NRM dan CRMP. Pembentukan Kawasan Pengelolaan Habitat Mamalia Laut yang direncanakan di perairan Sawu, Bali, Selat Solor-Alor, Selat Sape, Selat Lombok dan Laut Maluku.

(iii)Pengelolaan Sulu Sulawesi Marine Ecoregion (SSME).

Sulu Sulawesi Marine Ecoregion meliputi wilayah pesisir dan laut

yang terletak di antara Sabah Malaysia, Kalimatan Timur Indonesia dan Pilipina yang mendapat peringkat keempat dalam prioritas global dan peringkat pertama di Asia-Pasifik (DeVantier et al. 2004). Kepulauan Derawan merupakan salah satu lokasi penting di ekoregion Sulu-Sulawesi. MoU tentang pengelolaan SSME. Penandatangan MoU setingkat menteri dari negara Malaysia, Pilipina dan Indonesia pada tanggal 13 Februari 2003.

2.7 Kajian Peraturan Perundangan Berkaitan dengan Konservasi Penyu Konservasi penyu hijau didasarkan: (1) Undang-Undang No. 5 tahun 1990 yang mengatur pengawetan di dalam dan di luar suaka alam dan pemanfaatan spesies; (2) Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 mengatur pengawetan yang meliputi pengelolaan di dalam dan di luar habitatnya; (3) Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1999 mengatur pemanfaatan spesies. Pada Gambar 17 disajikan diagram konservasi penyu hijau.

Gambar 17. Diagram konservasi penyu hijau

Peraturan perundangan yang berkaitan dengan konservasi penyu hijau di Indonesia, antara lain :

i) Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

− Pasal 21 (2): Setiap orang dilarang untuk : menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan

memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup; a.) menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati; b.) mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia

ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia; c.) memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkan dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia; d.) mengambil, merusak, memusnahkan,

memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang dilindungi.

− Pasal 40 (2) : Barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

ii) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

− Pasal 4 (1): Jenis tumbuhan dan satwa ditetapkan atas dasar golongan: a) tumbuhan dan satwa yang dilindungi; b) tumbuhan dan satwa yang tidak dilindungi; (2) Jenis-jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a adalah sebagaimana terlampir dalam Peraturan Pemerintah ini; (3) Perubahan dari jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi menjadi tidak dilindungi dan sebaliknya ditetapkan dengan Keputusan Menteri setelah mendapat pertimbangan Otoritas Keilmuan (Scientific Authority);

− Bab VI: Pengiriman atau pengangkutan tumbuhan dan satwa yang dilindungi. Pasal 25 ayat (1) Pengiriman atau pengangkutan tumbuhan dan satwa dari jenis yang dilindungi dari dan ke wilayah Republik Indonesia atau dari dan ke suatu tempat di wilayah Republik Indonesia dilakukan atas dasar ijin menteri. Ayat (2) Pengiriman atau pengangkutan tumbuhan dan satwa sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) harus : a. Dilengkapi dengan sertifikat kesehatan tumbuhan dan satwa dari instansi yang berwenang; b. Dilakukan sesuai dengan persyaratan teknis yang berlaku. Ayat (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengiriman atau pengangkutan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur Menteri. iii) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 8 tahun 1999 tentang

Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

− Bab XII: Sanksi. Pasal 50: Ayat (3) Barangsiapa mengambil tumbuhan liar atau satwa liar dari habitat alam tanpa izin atau dengan tidak

memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), Pasal 8 ayat (2), Pasal 29 dan Pasal 39 ayat (2) dengan serta merta dapat dihukum denda administrasi sebanyak-banyaknya Rp 40 juta dan atau dihukum tidak diperbolehkan melakukan kegiatan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar.

2.8 Alternatif Perlindungan Penyu Hijau