• Tidak ada hasil yang ditemukan

Catatan Bocah Blitar Selatan

(Ditulis kembali oleh Harsutejo dari transkrip yang dibuat oleh Dewi Ratnawulan berdasarkan kisah narasumber Mbak Santi).

hari-hari pengapku di balik terali sepi mencengkam bersama kawan hari nanti yang cerah

hidup seluruh kami berikan engan luka dalam derita menunggu dan menanti lagi detik dan jam tanpa harapan jauh dari cinta rindumu

dalam pembuangan hukuman mati ’lah dipatok maut pasti

kehangatan berlimpah ibu hidup mengabdi nanti lebih bercahya hati dan pikiran luka dengan derita bertahun kami dambakan kebebasan kemanusiaan murni semua di negeri ini

hidup berlanjut luka derita terbalut ayahmu

cita hari nanti dalam sanubari bijak bestari

kebebasan tanpa pengabdian

(‘Surat Untuk Anakku’ oleh Pudji Aswati 1968).1

itu menyentuh perasaanku, ditulis oleh ibuku ketika berada dalam penjara. Puisi ini kubaca beberapa tahun sesudah kedua orangtuaku telah tiada. Puisi itu tercantum dalam buku harian bapak The Last Year of Gatot Lestario yang ditulisnya ketika mendekam di penjara Pamekasan, Madura. Ketika aku teringat orangtuaku, buku ini menjadi curahan hati. Begitu banyak kenangan indah tentang mereka, juga kenangan sedih, sering membuat air mata meleleh menangis dalam hati. Ketika kami masih berkumpul, hidup kami sangat bahagia. Hampir setiap minggu kami diajak rekreasi. Kami terkadang juga diajak ketika mereka bertugas ke daerah-daerah. Sampai tiba badai yang memporak porandakan keluarga dan kebahagiaan kami. aktivis PKI, ibu salah seorang pengurus Gerwani Jawa Timur. Bapak berasal dari Malang, ayahnya, jadi kakekku, pernah menjabat sebagai walikota Malang. Bapak bersekolah di Taman Siswa, Yogyakarta, ia tinggal mondok di rumah Ki Hajar Dewantara. Sejak mahasiswa ia telah aktif dalam pergerakan. Ibu yang berasal dari Magelang, kakekku dari ibu pada masa penjajahan Jepang ditangkap dan meninggal di penjara. Oleh pemerintah RI kakek diangkat sebagai salah satu Perintis Kemerde-

kaan karena kegiatannya dalam pergerakan melawan penjajahan. Orangtua kami bertemu waktu sama-sama bersekolah di Yogyakarta dan saling diperkenalkan oleh Ki Suratman, sesepuh Taman Siswa.

suatu hari pada tahun 1965, segerombolan pemuda datang mengepung rumah kami sambil mengacung-acungkan golok dan clurit. Gerombolan itu berteriak-teriak menyuruh kami keluar, mereka seperti orang kesurupan, menyeramkan. Umurku 5 tahun, gadis mungil yang gemuk dan lucu, dengan kulit bersih. Aku sangat ketakutan dan menangis, berada dalam gendongan Inem, pembantu kami. Bapak tidak ada di rumah. Tiba-tiba api sudah menyala di mana-mana. Kami berdua bersembunyi di belakang almari dekat dapur. Mas Hardika, kakakku yang berumur 10 tahun, ber- usaha melindungiku dengan berdiri di depanku. Aku menggigil ketakutan dan sudah tidak bisa menangis lagi. Kakak menyuruhku berdoa. Ibu berganti pakaian lusuh agar tidak dikenali, sebelum pergi menyelamatkan diri ia menitipkan kami kepada tetangga sebelah. Untunglah tetangga kami, seorang militer berpangkat Laksamana, berhasil menyelamatkan kami. Rumah itu akhirnya terbakar habis. Sejak itu sering terbayang akan gerombolan galak dan pembakaran rumah kami. Ketika terjadi kerusuhan bulan Mei 1998 di Jakarta, kembali terbayang peristiwa itu, badanku menggigil, lemas, nafas sesak.

itu keluarga kami terpisah-pisah, aku dititipkan pada seorang bibi masih satu kota di Surabaya, sedang kakakku ikut seorang bibi, adik ibu di kota kecil K di Jawa Tengah. Setelah lewat hampir dua tahun aku diambil oleh nenek dari ibu untuk berkumpul kembali bersama ibu. Yang kuingat sejak itu kami berdua selalu pergi buru-buru dari satu tempat ke tempat lain, dari satu kota ke kota lainnya. Belakangan kutahu perjalanan itu untuk menghindari penangkapan. Dan akhirnya kami tinggal di Blitar Selatan pada permulaan 1967. Setelah berpisah hampir dua tahun, pada suatu hari kami bertemu bapak. Aku kaget, bapak muncul dengan pakaian kumal compang- camping. Ibu menanyakan hal-hal yang tidak kumengerti artinya, mereka berbicara berbisik-bisik dengan wajah serius. Selanjutnya bapak selalu datang pada waktu yang sama, jam satu malam. Pintu diketuk beberapa kali dengan kode tertentu, aku pun selalu bangun dan ikut bergabung. Aku selalu duduk di pangkuan bapak, senang sekali memegang dan mengusap kumis serta jenggotnya, lalu diciumnya pipi dan kepalaku serta diusapnya dengan penuh sayang. Suasana yang hangat itu selalu begitu singkat, ayah nampak buru-buru seperti takut ada orang yang mengintai. Lama-kelamaan aku jadi terbiasa dengan situasi tersebut. Ia selalu pergi lagi tepat pada jam 3 dini hari, sampai kami diberitahu untuk segera pindah. “Kita sudah terkepung, harus segera lari menghindar,” begitu kata bapak. Sebagai anak kecil aku bertanya, “Kenapa mesti lari-lari?” Bapak hanya menjawab bahwa nanti kalau aku sudah dewasa akan tahu artinya.

itu oleh ibu aku dititipkan kepada seseorang yang sama sekali tidak kukenal. Itulah pertemuanku terakhir dengan ibu sebelum ia ditangkap. Aku menangis terus di dalam mobil colt mini yang membawaku ke rumah adik ibu dan berkumpul kembali dengan kakakku, Mas Hardika. Aku dilahirkan pada tahun 1960, tetapi dalam akte kelahiraku yang kemudian dibuat oleh keluarga bibi dan paman, tahun kelahiranku diubah menjadi 1958. Mas Hardika lahir pada 1955, karena kami berdua diakui sebagai anak kandung mereka maka perlu dibuat akte kelahiran yang berturutan secara masuk akal dengan keempat anak bibi sendiri, sementara kedua sepupuku

anak sulung kembar sebaya dengan aku. Bibi dan paman kami keduanya kepala sekolah lanjutan atas, hidup di kota kecil secara memadai serta memperlakukan kami seperti anaknya sendiri. Kami pun beruntung dapat menikmati sekolah dengan baik.

Sekolah teman-teman sering bertanya diriku anak siapa, mereka melihat aku amat berbeda dengan anak-anak bibi yang lain. Akhirnya mereka tahu kalau aku bukan anak kandung bibi. Hal ini membuatku merasa minder dan menjadi anak pendiam. Aku jarang bergaul dengan teman-teman. Sebaliknya aku memiliki kemauan keras untuk membuktikan bahwa aku anak orang baik-baik dan bertekat hendak menjadi yang terbaik. Aku selalu menjadi juara kelas, hal ini terutama dorongan nenek. Ia selalu mendukung dan membombong, memberikan perhatian besar pada perkem- bangan kami. Sejak kecil ia selalu mendidik kami dalam segi agama, menekankan arti pentingnya berdoa, dengan doa kita bisa mengubah diri. Dengan kasih sayang setiap Hari Raya Lebaran beliau selalu mengajak kami berdua menjenguk ibu dan bapak di penjara. Ayah tertangkap di Jakarta pada tahun 1972. Untuk bisa men- jenguk, sebelumnya nenek harus mencari informasi dari satu penjara ke penjara lain, dari satu kota ke kota lain. Kunjungan itu amat kami tunggu-tunggu, sampai kini pun aku merasakan makna yang mendalam bila Lebaran tiba. Setelah salat Ied, kami bertiga menjenguk ibu dan bapak. Sering kami mendapat hinaan dan perlakuan melecehkan dari petugas, “Hei, anak PKI!” Setiap kami menjenguk aku selalu memperhatikan kondisi fisik bapak. Pernah kudapatkan bapak berjalan dengan menyeret sebelah kakinya, itu bekas siksaan, kakinya ditindih dengan kaki meja, beberapa petugas duduk di atasnya sambil menekan. Ia juga distrum dengan alat listrik, “Biasa, mereka mencari informasi yang dibutuhkan”. Aku dengar pernah bapak tidak diberi air minum. Untuk bertahan hidup, ia minum air kencingnya sendiri. Penjara ibu menderita sakit kanker leher rahim, badannya sangat lemah, perutnya membuncit seperti orang hamil. Untunglah, hal itu dipergoki oleh kunjungan Palang Merah Internasional meskipun penguasa berusaha menyembunyikannya. Ibu dioperasi sampai empat kali. Aku dan kakak ketika itu tidak bisa mendekat ibu karena sebelumnya ia bilang kalau kami bukan anaknya, tetapi anak adiknya. Pada suatu saat dengan dukungan nenek kami sangat ingin mempertemukan ibu dan bapak. Dengan berbagai cara untuk memperoleh izin dari berbaga instansi dan berbagai meja kami mengorbankan banyak waktu, tenaga, uang dan siap dihina, tetapi gagal. Pada suatu-saat emosiku tak tertahankan karena kecewa dan marah, maka meluncurlah kata-kata spontan kepada seorang pejabat militer, “Apa Bapak tidak tahu perasaan kami yang lama ditinggal kedua orangtua? Kalau Bapak mengalami hal seperti ini, apa yang akan Bapak lakukan?” Komandan itu rupanya kaget dengan kata-kata yang kulontarkan. Ketika ibu dibebaskan pada 1987, dia menyatakan salut dengan anak ibu yang berani berbicara terus terang kepada dirinya. Siksaan yang dialami ibu dalam penjara sangat kejam. Ketika bapak belum tertangkap ibu dihajar habis-habisan untuk mendapatkan informasi tentang kebera- daannya. Setelah dibebaskan kesehatannya amat buruk, ia menderita gangguan saraf. Kami harus membawanya ke dokter ahli karena ibu tertawa tidak bisa dihentikan.

Dieksekusi pada tahun 1985. Waktu itu dia berada di penjara Pamekasan, Madura. Sampai kini kami tidak tahu di mana ayah dikubur, ketika ia dieksekusi kami pun

tidak diberitahu. Saat itu aku sedang menempuh ujian statistik, mata kuliah yang sangat aku kuasai karena memang menyukainya. Tetapi ketika waktu tinggal 15 menit lagi, kertas ujianku masih juga kosong. Dosen yang menunggu berhenti di samping bangkuku dan bertanya apa yang terjadi dengan diriku. Dia memintaku menemuinya di kantor setelah ujian selesai. Aku tidak bisa berkata apa pun kecuali menangis. Esoknya bapakku dieksekusi yang kuketahui dari siaran televisi dan koran. Kejadian sesudah itu sungguh tak tertahankan. Ketika itu aku sudah bekerja, setiap hari diantarjemput mobil karyawan. Yang terakhir dijemput adalah dua orang anggota Kopasus yang bertugas di perusahaan tempatku bekerja. Di dalam mobil, kedua tentara itu membicarakan berita televisi tentang pelaksanaan hukuman mati bapakku. Oh, sungguh siksaan luar biasa bagiku, begitu sulit menyembunyikan perasaan sedih. Hari-hari berikutnya begitu kelabu murung yang membuyarkan konsentrasiku. Aku tak bisa mengadu kepada siapa pun kecuali kepada-Nya. Menjadi anak tapol merupakan suatu penderitaan tersendiri. Suatu kali aku berpa- caran dengan adik teman akrab kakak, anak seorang pejabat militer berpangkat Laksamana. Ketika hubungan kami mengarah serius, kakakku menceritakan siapa kami yang sebenarnya. Ibunya langsung mengirim surat agar kami putus hubungan karena hal itu akan sangat membahayakan keluarga dan masa depan anaknya. Aktivis ibuku tahu betul risikonya, dia pun siap menerimanya. Waktu ia dibebaskan kondisinya sangat buruk. Setelah berobat dengan menghabiskan biaya ia tidak bisa pulih, tetapi semangat hidupnya tetap besar. Sejak keluar penjara ibu tinggal di Malang. Dalam kondisi kesehatan yang buruk, ibu mengumpulkan para istri penjual bakso dan orang miskin di lingkungan tempat tinggalnya diajari menyulam, ibu juga memberikan bantuan modal kerja. Saat itu penghasilanku cukup besar, seminggu sekali aku dapat menjenguknya ke Malang dengan pesawat. Ada satu harapan ibuku yang tidak kesampaian, melihat jatuhnya rezim yang berkuasa. Bagiku sendiri kejatuhan rezim Suharto terasa seperti menggelundungnya batu besar yang selama ini menindih bahu kami. Ada perasaan sesal akan apa yang terjadi pada keluarga kami, tapi kemudian ada juga rasa bangga pada orangtuaku, pada ayahku. Ya, rasa bangga.

************ 40 Tahun Tragedi 1965 (7)