• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tapol Golongan A Selamat Dari Pembantaian

Oleh:Harsutejo

Bulan Oktober 1965 isteriku sedang hamil tua anak kami pertama. Jam 3.00 pagi buta pintu rumah kami diketuk keras. Setelah bangun aku bersiap untuk menghadapi apa yang akan terjadi. Seperti telah terlatih beberapa minggu, isteriku yang membukakan pintu. Aku segera keluar kamar menemui mereka, seorang polisi dan tentara. Kami baru beberapa hari pindah ke Jl Kenanga dengan menempati sebuah kamar. Kekayaan kami terdiri dari sebuah tempat tidur, sebuah almari pakaian dan dua rak buku kecil. Banyak buku milikku disita, percobaanku untuk menjelaskan bahwa itu semua buku-buku sejarah dan pendidikan sesuai dengan studi dan pekerjaanku, mendapatkan jawaban klasik, “Hanya untuk diperiksa, nanti dikembali-

kan.” Bagaimana akan dikembalikan kalau tidak pernah dibuat berita acara penyitaan sementara.

Diluar rumah berkumpul segerombolan orang yang mengawasi dengan berbagai alat yang tajam maupun tumpul. Rupanya mereka menjadi kurang bernafsu setelah menyaksikan sang pesakitan cumalah seorang berbadan ceking yang sekali tepuk akan mampus. Buru-buru isteriku memberikan jaket untuk kukenakan beserta cucuran air mata. Mencinta itu saling mendidik. Ini bagian panjang dari proses percintaan kami dalam rumahtangga baru, ibarat pemahkotaan dan penyaliban sekaligus seperti yang digambarkan pujangga Khalil Gibran dalam skala mini saja. Itu jalan-jalan kota Malang mulai menggeliat. Kami sampai ke Polresta Malang di pojok jalan Oro-oro Dowo dan Kayutangan. Setelah didata, aku diantar ke sebuah bangunan seperti los pasar. Di sana sudah ada barang 150 orang, ada yang tidur, duduk-duduk, rebahan, ada yang sedang salat. Beberapa orang telah kukenal, seorang dosen, pegawai penerangan, wartawan, mahasiswa. Ada juga seorang lurah yang telah kukenal ketika ikut acara turun ke desa, di suatu pelosok Malang Selatan. Ia menceritakan kisah pelariannya setelah seluruh perangkat desanya dibantai di depan keluarganya masing-masing. Hanya secara kebetulan saja ia bisa selamat dan lari ke kota Malang, kemudian menyerahkan diri ke kantor polisi setelah menggelandang beberapa waktu. Tentunya cerita itu ulangan yang ke sekian kalinya meski masih dengan getar emosi.

Hari ke lima penahananku, suatu malam beberapa puluh di antara kami disuruh bersiap untuk dipindahkan ke suatu tempat tanpa disebutkan. Pemindahan itu pun tak diberitahukan kepada para keluarga. Ini suatu metode teror yang dilakukan penguasa. Beberapa orang benar-benar panik karena teringat Pak Lurah beserta beberapa orang lain yang dijemput tentara beserta sejumlah pemuda, selanjutnya raib untuk selamanya. Seorang polisi tanpa maksud menakuti-nakuti menceritakan hal itu, mayat mereka dibuang ke Kali Brantas. Sementara itu isteriku termasuk sebarisan isteri para tapol yang kebingungan mencari suaminya. Teror mental telah mencapai sasarannya. Kemudian hari isteriku menceritakan, ia datang tiap hari selama seminggu ke kantor polisi dengan perut buncitnya. Ia tidak mendapat keterangan tentang keberadaanku, petugas tak mengizinkannya bertemu Kapolres. Isteriku pun pergi ke Kodim dan Korem, kedua instansi ini menyarankannya untuk ke kantor polisi. Akhirnya isteriku berhasil mengirimkan satu bungkus abon, satu bungkus sambal pecel, dan satu setel pakaian yang kusambut dengan sukacita di penjara Lowokwaru. Beberapa hari kemudian aku mendapatkan berita, sebenar- nyalah isteriku mengirimkan lebih banyak lagi. Itu bukan cerita baru, jeruji besi dan tembok tebal tidak cuma menyekap dan memisahkan orang dari dunia ramai, ia juga menggerogoti dan menyunat milik pesakitan yang sekarat sekalipun. Pada suatu hari seorang polisi yang tak kukenal masuk blok kami dan mencariku. Dengan berpura- pura omong keras ia menyelipkan sepucuk surat. Isteriku telah melahirkan bayi laki- laki dan menunggu nama dariku. Aku menuliskan nama pada sepotong kertas yang disodorkannya.

Lowokwaru aku sempat bertemu Goei Poo An, pemimpin redaksi dan pemilik koran Trompet Masjarakat Surabaya yang berada di sel berseberangan. Koran itu dikenal sebagai pendukung Bung Karno, pembela rakyat kecil dan beredar luas di Jawa

Timur. Pada minggu ketiga kedatangan rombonganku, gelombang pemangggilan pada jam 2.00 – 3.00 pagi mulai lagi. Mereka semua tak ada kabar beritanya, lenyap bak ditelan bumi. Di kemudian hari kuketahui sebagian dari mereka dibantai di muara Kali Lesti, Gladakperak, pantai selatan Malang. Salah seorang tapol itu Drs Hadi- negoro, teman dekat yang selalu membawakan semangatnya yang tinggi dengan lembut dan santun, ketua jurusan Sejarah FKIP dan Ketua HSI Cabang Malang. Ia dicomot dari tahanan di belakang stasiun beserta sejumlah tapol lain.

Malam hari-hari berikutnya aku tidur nyenyak tanpa mendengar panggilan tersebut. Ketika pagi kulihat sel-sel yang berhadapan dengan sel kami telah hampir kosong termasuk Pak Goei. Dalam deretan itu terdapat 10 sel, masing-masing dengan penghuni 10 sampai 15 tapol. Mereka diikat kedua tangannya, kemudian dimasukkan ke truk-truk yang siaga di dekat gerbang bagian dalam, jauh dari sel kami. Kebusukan merebak ke hidung kami melalui narapidana, sipir, polisi, tentara. Mereka manusia biasa lengkap dengan emosi dan perasaannya, yang suatu kali tak bisa menahan untuk tidak bicara. Truk-truk itu dilarikan ke beberapa tujuan yang telah ditetapkan ke luar kota, di antaranya ke berbagai tempat di Batu, Dinoyo, perkebunan Margosuko, Dampit dsb yang kami ketahui di belakang hari. Lubang- lubang besar telah disiapkan beserta segerombolan pembantai dengan segala macam senjata tajamnya. Di penjara Lowokwaru tokoh Amir Syarifudin pernah disekap dan disiksa oleh penguasa Jepang dengan digantung. Pejuang kemerde- kaan ini lolos dari hukuman mati berkat campurtangan Bung Karno. Yang dialami ribuan teman kami lebih ringkas. Orang-orang baru pun datang dan sel-sel itu penuh kembali. Tiap kali rombongan tapol baru datang, koleksi kisah-kisah seram pem- bantaian pun selalu bertambah.

Di Lowokwaru aku sempat merenungkan kembali tentang berbagai hal. Terngiang kembali kata-kata dokter Sudarsono, paman isteriku, tokoh PSI, bekas duta besar di India dan Beograd, ketika itu pegawai tinggi Deparlu. Selesai kongres HSI di Jakarta bulan Agustus 1965, aku pergi ke rumahnya. “Hati-hati kamu, PKI mau berontak lagi!” Aku menganggapnya sebagai bercanda seperti sering terjadi. Dengan perkembangan kejadian adakah ini berarti datangnya peristiwa tersebut bukan rahasia bagi mereka? Lalu retorika Aidit tentang revolusi dan merelakan cangkir piring pecah berantakan. Hal itu disampaikannya dalam pertemuannya dengan peserta kongres HSI. Perdebatan politik dan ideologi sejak permulaan abad lampau, sampai juga ke penjara Lowokwaru. Apa revolusi bisa dirancang dan dibikin?

itu bulan Januari 1966, aku menerima panggilan. Selama ini interogasi yang kami alami bersifat massal. Ketika menghadap, pejabat itu memperkenalkan diri sebagai Letkol Sutrasno SH, Komandan Korem 83, Malang. Sebagai ketua tim pemeriksa ia langsung menembakku dengan pernyataan, “Jadi saudara yang membacakan pernyataan HSI mendukung Dewan Revolusi di RRI Malang pada 1 Oktober?” Wah ini sungguh tuduhan berat. Pada malam hari tanggal tersebut aku berada di RRI Malang, Jl Buring untuk mengisi acara seperti telah dijadwalkan. Topiknya tentang revolusi berdasar ajaran Bung Karno. Naskah ketikan untuk RRI itu ada di tangannya. Di pojok berkasku tercantum tanda agak besar ‘A’, rupanya aku dimasukkan golongan ‘A’ yang akan dituntut di pengadilan, mungkin karena itu aku tidak ikut didor bersama Drs Hadinegoro. Nampaknya tidak ada keterangan apa pun dalam berkas yang dapat menggiringku. Lalu kami berbincang tentang keluarga,

pendidikan, pekerjaan. Dan yang tidak kusangka, ia bicara tentang ajaran Bung Karno, dalam topik itu kami bertemu.

Bulan ke empat beberapa orang di blok kami dipindah ke blok lain yang hanya terdiri dari dua sel kecil, masing-masing dengan lima penghuni. Aku berkumpul dengan Pak Jarwo, seorang pengusaha kota Malang yang cukup beken. Terdapat peralatan memadai seperti kompor kaleng susu yang dibarter dari blok lain. Terdapat pasokan makanan dengan tetap dari luar lewat jalur sang penguasaha kaya. Di jaman itu kami belum mengenal peralatan elektronik kecil dengan kapasitas besar. Kelak Pak Jarwo dan beberapa teman lain dicomot dan lenyap tanpa jejak. Maka kekayaannya yang berupa beberapa rumah tinggal, toko buku, percetakan, pabrik rokok, kendaraan, dan yang lain diambil alih oleh para penguasa baju hijau menjadi bancaan seperti warisan moyangnya. Kelak aku juga mengetahui sebenarnyalah namaku bersama Drs Amim tercantum dalam daftar mereka yang harus dilenyapkan. Rezim berkuasa menggolongkan sarjana dan kaum cendekiawan kiri sebagai kelompok amat berbahaya pengusung ideologi.

Enam bulan ditahan, pagi itu aku dan Drs Amim lagi-lagi dipangggil untuk segera berkemas. Seorang sipir berbisik bahwa kami berdua dibebaskan. Meski kami sempat gembira tapi kami tak bisa mempercayainya. Kami pun membenahi barang kami lengkap termasuk bantal dan tikar sesuai dengan saran teman-teman. Pemindahan tahanan termasuk ke alam baka tak pernah diberitahukan dengan jelas. Berjam-jam kami berdua berada di sebuah ruangan tertutup Kodim Malang di Jl Kahuripan. Menjelang jam sembilan malam baru kami berdua dipanggil, kami dibebaskan dengan wajib lapor. Aku dijemput adik iparku, dengan becak kami menuju Jl Muria 6, rumah mertuaku, tempat isteri dan anakku tinggal setelah penangkapanku.

Berada di penjara aku dipecat sebagai dosen, tanpa surat pemecatan. Kelak aku mendengar sampai beberapa tahun kemudian namaku masih tercantum dalam daftar gaji. Tiap bulan seseorang telah menandatanganinya, sedang keluargaku tidak pernah menerimanya. Beberapa minggu setelah dibebaskan aku diizinkan oleh pejabat tempat aku wajib lapor untuk pindah ke Surabaya dengan alamat fiktif. Selanjutnya dengan bantuan saudara dan teman aku lari ke hutan rimba Jakarta dengan identitas baru. Dengan berdebar dapat kuikuti berita ditangkapnya kembali bahkan dibunuhnya teman-teman yang telah dibebaskan yang tidak menyingkir. Aku sendiri masih dicari untuk ditangkap kembali. Kemudian aku juga mendengar samar- samar pencoretan nama kami dari daftar maut dan pembebasanku berkat campurtangan Letkol Sutrasno SH, seseorang yang hanya kukenal sebagai pemerik- sa, tak lama setelah itu ia dipecat dari jabatannya dan meninggal beberapa tahun kemudian. Utang budi dibawa mati. [Dipetik dari naskah belum terbit: Harsutejo, Cerita Orang Pinggiran (memoar)]. <harsonos@cbn.net.id>

******************************

40 Tahun Tragedi 1965 (8) Pekan Seni Budaya