• Tidak ada hasil yang ditemukan

Warisan Sebuah Rezim

Suatu hari di pelabuhan penyeberangan Lembar, Pulau Lombok, terjadi keributan kecil antara dua orang sopir. Keributan itu lantaran rebutan penumpang. Aksi baku hantam pun tidak dapat dicegah.Galib terjadi, sebelum aksi baku hantam, terlebih dahulu kedua pihak yang bertikai mengawali dengan saling mencaci dan mengumpat. Menyebut keburukan masing- masing. Dari mulut keluar nama-nama binatang dan kata-kata kotor. Di antara deretan kata-kata kotor yang keluar dari mulut penuh emosi itu adalah kata umpatan: PKI Tanpa disadari, berkali-kali kata PKI dilontarkan kedua belah pihak.

Di dalam kamus bahasa keseharian orang Sasak Lombok (dan mungkin di daerah lain) yang tidak tertulis dan tidak terbukukan, kata PKI disamaartikan dengan kafir. Kata kafir (Arab: kufr) dalam bingkai teologi Islam berarti ingkar, tidak beriman. Term ini menunjukkan akan keberadaan seseorang yang tidak memiliki keyakinan iman di dalam hati. Atau mengingkari adanya Tuhan. Persoalan kemudian, bagaimanakah sebuah peristilahan dalam hal ini kata PKI sebagai ungkapan caci maki itu tiba-tiba muncul dari ketidaksadaran dan menjadi suatu istilah yang diterima dengan sadar oleh orang banyak, sebagaimana yang diterima oleh orang Sasak, untuk menegas- kan suatu keburukan? Proses apa yang berjalan dalam menentukan dan mem- populerkan istilah PKI sehingga menjadi sebuah kata buruk yang hanya pantas disandingkan dengan ungkapan kotor lainnya?

Jika bahasa, menurut sifat dan hakikatnya, adalah metaforis (Cassirer, 1987: 166), maka setidaknya kelahiran satu ungkapan atau istilah selalu merujuk kepada sebuah latar historis atau peristiwa tertentu. Kata hermeneutika yang berarti menafsirkan misalnya, diambil dari nama Hermes, orang yang ditugaskan menyampaikan pesan dewa Jupiter kepada manusia. Karena manusia kesulitan menangkap langsung pesan dewa Jupiter, Hermeslah yang ditugaskan menjemput pesan itu untuk disampaikan kepada manusia. Dari nama Hermes terlahir istilah hermeneutika, dengan merujuk kepada peristiwa Hermes yang menafsirkan pesan Jupiter (E

Sumaryono, 1999: 23-24). Lalu bagaimana dengan istilah PKI bagi masyarakat Sasak yang suka menggunakannya sebagai umpatan dalam setiap ercekcokan? Proses perubahan makna kata PKI (Partai Komunis Indonesia) yang semula berupa singkatan nama dari salah satu partai kontestan pemilu sebelum dibubarkan tahun 1966, kemudian menjadi kalimat serapah yang digunakan orang Sasak hingga saat ini, tidak terlepas dari konteks sejarah sepanjang Orde Baru. Dengan kata lain, narasi panjang antara tahun-tahun kelam dan masa kejayaan pembangunan Orde Barulah yang turut serta melahirkan, membentuk, dan mentahbiskan kalimat serapah tersebut ke dalam kamus keseharian orang Sasak. Dengan ini ingin ditegaskan bahwa istilah „PKI“ sebagai ungkapan serapah orang Sasak yang semula diucapkan dari ketidaksadaran, tidak dengan begitu saja ada dari ruang kosong dengan mengabaikan konteks besar yang membidani kelahiran istilah tersebut. Berangkat dari asumsi bahwa sebuah kata lahir dari latar historis atau peristiwa tertentu, maka demikian halnya dengan kata umpatan PKI. Secara umum, dapat dinyatakan bahwa kata PKI sebagai ungkapan serapah itu adalah produk dari sebuah tatanan rezim yang memiliki kepentingan memapankan kekuasaan melalui tindakan eksploitasi terhadap ingatan kolektif rakyatnya.

Latar historis

Peralihan dari era Orde Lama ke Orde Baru diantarai oleh sebuah peristiwa kekacauan politik tahun 1965. Peristiwa yang dipicu konflik di tubuh Angkatan Darat (AD) itu dengan serta merta menyeret nama Partai Komunis Indonesia sebagai dalang penculikan dan pembunuhan atas tujuh perwira AD pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965.

Peristiwa tragedi kemanusiaan di Lubang Buaya itu kemudian, dalam hitungan bulan, diikuti oleh tragedi kemanusiaan yang jauh lebih besar, yakni aksi balas dendam berupa penangkapan dan pembunuhan atas anggota, simpatisan Partai Komunis Indonesia. Partai Komunis Indonesia telah lama diidentikkan sebagai partai dengan ideologi komunisme yang anti-Tuhan (ateisme). Identitas ketidakbertuhanan orang- orang PKI ini kemudian menjadi alat pembenaran bagi kalangan kelompok beragama untuk membunuh, memusnahkan, dan mengucilkan orang- orang yang dituduh PKI. Oleh kaum beragama, orang- orang PKI disamakan dengan orang kafir yang halal darahnya. Dalam kasus pembantaian orang PKI oleh kaum beragama ini, dapat dilihat bagaimana kekuasaan telah berhasil melakukan manipulasi. Kaum beragama dijadikan alat bagi kepentingan membasmi musuh ideologi penguasa. Di atas kesadaran kaum beragama yang melakukan pembunuhan atas nama keyakinan agama mereka, berjalan kepentingan penguasa (Orde Baru) untuk membasmi musuh ideologi sang penguasa dan usaha menegakkan pamor kekuasaan di atas kenistaan ideologi lawan.

Sudah menjadi hukum sejarah, ketika sebuah rezim berkuasa menggantikan rezim lama, terlebih jika pergantian itu terjadi dengan melalui peristiwa politik yang pelik dan kompleks, maka dengan serta-merta rezim baru akan membangun sebuah tatanan dengan paradigma tersendiri. Perubahan yang kemudian terjadi yang mengiringi pergantian rezim tersebut, tidak hanya menyangkut perubahan struktur politik, tatanan birokrasi, aturan-aturan undang-undang dan hukum, tetapi bahkan

menyangkut segenap perubahan dalam hal-hal yang tidak termasuk masalah- masalah fundamental tadi, seperti hal berubahnya makna sebuah kata PKI diidentikkan sebagai kekafiran. PKI adalah musuh ideologi Pancasila. Pancasila mengakui ketuhanan dalam sila pertama, sedangkan komunisme tidak. Ingatan akan orang-orang PKI sebagai kaum kafir ini bersemayam sekian tahun lamanya dalam kesadaran masyarakat, yang pada akhirnya kemandirian masyarakat pula yang mengubahnya jadi istilah tersendiri.

Latar sosial budaya

Singkatan PKI yang berubah menjadi ungkapan serapah yang keji dan biasa diucapkan sebagian orang Sasak dalam setiap percekcokan, dikarenakan makna sebutan itu selalu dikontraskan dengan yang bertuhan, yang beriman, yang suci, yang berkepercayaan. Memori tentang peristiwa historis dan keidentikan komunisme dengan ateisme turut membentuk kesadaran dan persepsi masyarakat, serta mengukuhkan kata PKI sebagai ungkapan keburukan. Kebetulan orang Sasak Lombok sangat terkenal dengan kehidupan religiusnya. Tak berlebihan jika seorang peneliti etnografis, Ecklund, mengatakan, Menjadi orang Sasak berarti menjadi Muslim (Bartolomeo, 2001:86). Ungkapan ini ingin menegaskan bahwa agama mayoritas orang Sasak adalah Islam. Orang Sasak sangat fanatik pada agamanya. Mereka akan sangat tersinggung jika dikatakan tak bertuhan misalnya. Tidak memercayai Tuhan adalah aib terbesar orang Sasak. Identitas kuatnya keyakinan agama orang Sasak ditunjukkan pula dengan pemberian simbol Pulau Seribu asjid bagi Lombok.Di dalam ruang lingkup masyarakat dengan latar sosial budaya yang sedemikian fanatik kehidupan religiusnya itu, kata serapah PKI mendapatkan tempat tersendiri sebagai ungkapan yang sama derajatnya dengan atau bahkan lebih ekstrem dari serapah; bawi (babi), acong (anjing), sundal, jadah, dan kata-kata kotor lainnya. Reaksi spontan dan emosional akan timbul jika seseorang diserapahi dan dicaci dengan kata PKI. karena sesungguhnya kata serapah PKI itu lebih menegaskan posisi kerendahan martabat, kehinaan, dan kenistaan seseorang. Meskipun peristiwa 1965 telah jauh dari saat ini, dan meskipun rezim Orde Baru yang angkuh, yang berperan sebagai mesin pencipta stigma PKI, telah runtuh, namun bekas-bekasnya masih tersisa di mana-mana. Termasuk di dalam bahasa ungkapan serapah dengan kata PKI!, yang populer di masyarakat Sasak. Kata serapah warisan tatanan rezim Orde Baru itu hingga kini menjadi kamus keseharian yang hanya tertulis dan terbukukan dalam ingatan, dan sewaktu-waktu akan meluncur deras dari mulut orang yang sedang saling bertikai.

SAMSUL BAHRI, Warga Asal Lombok Tengah, Mahasiswa Magister Ilmu Religi Budaya Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

Kompas,

24 September 2005