• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketidakadilan Mengadili Perbedaan

Oleh . Haryo Sasongko

(di bidang apa pun) bukanlah lukisan atau potret jadi masa lalu seperti Monalisa. Ia dipuji atau dibenci, dikagumi atau dianggap biasa-biasa saja, yang jelas gambar Monalisa tetap digantung di tembok Museum Louvre di Paris.. Diam, tak berubah dan memang tak boleh diubah-ubah, baik letaknya apalagi lukisannya. lagi dengan pemikiran yang setiap saat bisa berubah dan berkembang, meluas, menjangkau siapa saja tanpa mengenal batas wilayah. pemikiran seseorang dalam waktu singkat

dapat merasuki ribuan, mungkin jutaan pikiran orang lain. Dan, seperti dikatakan Victor Hugo (1802-1885), seniman dan pemikir dari Perancis, "an invasion of can be resisted; invasion of ideas cannot be resisted". Invasi militer dapat dibendung, sementara invasi gagasan tidak dapat dibendung

Kalau boleh disambung, invasi militer selalu berbentuk kekerasan dengan dukungan persenjataan, sementara invasi gagasan bergerak diam-diam. Invasi tentara yang bersenjata, hanya bisa dihadapi dengan senjata. Tetapi bagaimana dengan invasi pemikiran yang berbentuk penafsiran agama, ideologi, keyakinan, sekte, aliran kepercayaan dan sebagainya? Bahkan ini tak bisa disebut invasi karena jauh beda dengan invasi tentara yang dilakukan dengan pemaksaan. Lebih tepat disebut pengembangan wawasan, restorasi, pencerahan, reinterpretasi atau liberalisasi pemikiran.

Dan kalau kebetulan beda dengan yang lain, maka tak seorang pun punya hak untuk menghakimi bahwa suatu idelogi, aliran atau pemikiran tertentu itu sesat dan perlu dibasmi dengan cara atau tindakan anarkhis seperti menghadapi invasi tentara. Kecuali kalau ideologi atau pemikiran keagamaan itu juga "disebarkan" dengan cara kekerasan dan pemaksaan, maka aparat keamanan atau hukum berkewajiban menindaknya. Bukan menindak ideologi atau pemikiran mereka, tetapi tindak kekerasannya kalau terbukti dapat menimbulkan gangguan umum. penindakan itupun tidak berupa kekerasan, karena kalau demikian yang terjadi adalah kekerasan versus kekerasan. Anarkhi lawan anarkhi. Memaksa orang atau kelompok untuk meninggalkan keyakinannya karena dianggap sesat, atau sebaliknya dipaksa untuk menerima keyakinan yang tidak dapat diyakininya, adalah awal dari kesesatan dan tirani. Dalam Surat Al Baqarah Ayat 256, dengan pendek menyebutkan: "tidak ada paksaan dalam beragama". Dan UUD 1945 Pasal 29 jelas mengungkap hal senada dengan ayat Alquran itu. Jadi, baik sebagai umat Islam atau bangsa Indonesia, menghalangi seseorang untuk masuk suatu agama, pindah agama, meninggalkan agama, jelas bertentangan dengan agama Islam dan konstitusi nasional kita. Stigmatisasi "murtad" (untuk pemeluk Islam yang pindah ke agama lain dan "mu'alaf" untuk kebalikannya (pemeluk agama lain masuk Islam) adalah stigmatisasi subyektif yang diskriminatif. Hanya dilihat dari sudut nilai Islam.

****************************

Belakangan ini, tudingan sesat-menyesatkan yang dilandasi oleh superioritas merasa benar sendiri dan karena itu juga merasa menang sendiri (karena merasa pada posisi mainstream), justru marak ke permukaan, ketika seharusnya orang semakin kritis untuk menerima sekaligus mengembangkan (perbedaan) pemikiran. Ini terlihat terutama dalam kaitan dengan keagamaan. Kalau dalam muktamar NU ada salah satu "keputusan" yang "vonis" bahwa komunitas pemikiran kelompok orang dalam Jaringan Islam Liberal (JIL) sebagai kegiatan "sesat", dalam Muktamar Muhammadiyah juga ada "vonis" bahwa komunitas pemikiran kelompok yang menyebut dirinya Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) juga "sesat". Sholat dengan dua bahasa dinyatakan "haram" dan tentu saja "sesat". Dan yang paling "meriah" belakangan ini sehingga terjadi "tawuran" gaya preman adalah penyerangan dan perusakan oleh suatu (atau beberapa) kelompok terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di berbagai tempat di seluruh Indonesia karena dianggap

"sesat" "tidak sesuai dengan ajaran Islam". Rumah-rumah pribadi yang dijadikan tempat peribadatan umat Kristiani disegel. Tidak jelas apakah rumah-rumah pribadi umat Islam yang dipakai untuk pengajian juga perlu disegel. Kalau ingin menegakkan demokrasi seharusnya demikian. Sesuai Pasal 29 UUD 1945, tidak ada agama unggulan, agama klas satu atau klas dua (pinggiran) di Indonesia.

Yang dipertanyakan, sejak kapan seseorang berhak mengklaim dirinya paling tahu Islam? Dan atas dasar itu berhak pula "mengadili" orang lain yang tidak sesuai dengan monopoli kebenaran yang dianutnya? Apakah mereka yang mengklaim telah memegang "hak monopoli kebenaran Islam" tidak pernah membaca Surah as-Sajdah Ayat 25 yang menegaskan bahwa manusia samasekali tidak memiliki otoritas untuk menilai keimanan seseorang, termasuk "sesat" atau "benar"? Agama diturunkan oleh Tuhan, bukan ciptaan manusia dan oleh sebab itu hanya Tuhan sebagai penciptanya yang berhak menjatuhkan "vonis" atas benar tidaknya keimanan atau pemikiran seseorang (dalam urusan keyakinan beragama). Dan vonis itu pun baru dijatuhkan oleh Tuhan setelah di akherat nanti. Bukan di dunia ini. dalam Surah as-Sajdah Ayat 25 demikian: Inna rabbaka huwa yafshilu baynahum yawm al qoyamah fiyma kanu fihi yakhtalifun. (Sesungguhnya Tuhanmu.Dialah yang memberikan di antara mereka pada hari kiamat tentang apa yang selalu mereka perselisihkan padanya.)

Kalau boleh ditambah, Nabi Muhammad sendiri justru mengajarkan kepada umatnya untuk mengakui (tidak berarti harus membenarkan) kehadiran the others sebagai suatu realitas. Ini artinya, Nabi terakhir menurut pemeluk Islam bukan aliran Ahma- diyah (karena menurut Ahmadiyah masih ada lagi Nabi terakhir sesudah Muhammad yakni Mirza Ghulam Ahmad, dan dari nama ini lahir Ahmadiyah), telah menempatkan Islam untuk mengakui pluralisme, dan Nabi Muhammad merupakan pelopor yang memancangkan pluralisme dan pengakuan terhadap the others. Umat Islam disadar- kan untuk sama-sama memiliki hak hidup dan hak memeluk agama serta keyakinan yang berbeda dengan umat lainnya. Siapa yang sesungguhnya benar, siapa yang telah "sesat" Tuhan yang akan menjatuhkan vonis

Sayang sekarang banyak orang atau kelompok telah mewisuda dirinya sebagai tuhan. Sebagai yang maha kuasa, maha benar, dan berhak mengadili siapa saja (termasuk dengan cara anarkhis). Padahal konsep pluralisme itu sudah dipancangkan pula dalam Surah al Kaafiruun: "Katakanlah hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah; Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah; dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah; Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku".

Meskipun Surah ini ditujukan kepada orang kafir, namun dari sisi kontekstual, mencerminkan ajaran yang mengakui adanya the others, sama lain tidak untuk saling memaksakan ajaran agama atau kepercayaannya untuk diikuti. Kalau bagi pengikut Muhammadiyah yang paling benar adalah Muhammadiyah, bagi pengikut NU yang paling benar adalah NU, maka juga pengikut Ahmadiyah untuk berkeyakinan bahwa Ahmadiyah yang paling benar.

Logikanya, tidak pernah ada orang yang secara sengaja mengajarkan "kesesatan" dan mengajak pengikutnya untuk sama-sama "tersesat". Tudingan "sesat" pasti berasal dari the others. Dari pihak-pihak lain yang memiliki klaim kebenaran tunggal.

"Yang tidak sama dengan (penafsiran) saya, itu salah dan harus dibubarkan". Kalau saja "penyelesaian" soal "ajaran sesat" ini dilakukan di meja diskusi, dialog secara intelektual untuk mencapai pencerahan, tentu itu bukan hanya tidak ada masalah, malah bisa menyelesaikan masalah. Tetapi kalau dilakukan dengan tawuran gaya preman, bukan hanya tidak akan menyelesaikan masalahnya, bahkan menjadi bermasalah. Bukan pencerahan pemikiran tapi penggelapan pemikiran. Di sini bukan akal yang berbicara, melainkan okol (otot). Padahal Islam tidak membenarkan tindakan kekerasan untuk menyelesaikan masalah apa pun. Sorga dan neraka kepunyaanTuhan, dan Tuhan pula yang menentukan siapa masuk ke mana.

*************** 0 0 0 0 0 0******************

http://www2.rnw.nl/rnw/id/spesial/40_thn_g30s_pki050928/pembunuhan_pasca30S_ 050928?view=Standard