• Tidak ada hasil yang ditemukan

“Menguak Tabir Merajut Masa Depan”

28 September – 5 Oktober 2005

Kaum Muda Akan Sanggup Membereskan Warisan Sejarah Kelam Oleh: Harsutejo

pertama kalinya acara peringatan tragedi kemanusiaan ini diadakan di berbagai tempat di Jakarta dengan berbagai macam acara. Seluruh acara berjalan dengan lancar dan aman dengan mayoritas dihadiri kaum muda yang ingin tahu. Penggerak dan inisiatif peringatan itu pun dilakukan oleh para tokoh muda laki perempuan dari berbagai LSM seperti Garda Sembiring dkk, dari perguruan tinggi seperti Media Patra Ismar Rahady S.Sn yang biasa disapa dengan Mbak Dira dkk dari IKJ dengan kelompok Kipas dan Dr Gadis Arivia dkk dari Departemen Filsafat FIB, UI serta institusi lain maupun perorangan. Kesungguhan, keuletan, dedikasi dan keberanian mereka telah menepis segala keraguan dari beberapa tokoh tua korban 1965 yang sampai detik terakhir enggan bergabung dan tak mampu memberikan apresiasinya. Dukungan pun datang dari teman-teman di manca negara termasuk kelompok Sastra Pembebasan. Bagaimanapun mayoritas kaum tua korban 1965 telah ikut mendukung dan menghargai kegiatan yang dimotori kaum muda tersebut.

kita ketahui acara kali ini diadakan di Komunitas Utankayu (talk show radio 68H dengan topik ‘Suara Korban Membongkar Stigma 65’ dan peluncuran buku Murad Aidit, Aidit Sang Legenda); Kampus UI Depok (diskusi dengan tema ‘Mengungkap Sejarah Yang Digelapkan’, pemutaran dan diskusi film, festival mini film dokumenter); Goethe Haus (pameran artefak 65, diskusi dengan tema ‘Suara Lirih Perempuan Korban’dan malam seni budaya dengan musik, tari dan pembacaan puisi); Taman Ismail Marzuki [TIM] (peluncuran buku Tragedi Kemanusiaan 1965- 2005, pameran artefak 1965 dan pemutaran film); Perpustakaan Nasional (pelun- curan buku kedua dr Ribka Tjiptaning Proletariyati Anak PKI Masuk Parlemen); Pusat Kebudayaan Prancis (pemutaran film dan peluncuran buku Pramoedya Ananta Toer Jalan Raya Pos); dan Diskusi Bulan Purnama Jl Garuda (dialog generasi muda dengan korban tragedi 1965). Sebagian acara itu dilakukan oleh panitia yang berbeda, mereka saling melakukan koordinasi yang telah berjalan dengan baik. Seluruh acara berjalan dengan meriah, lancar, aman dan diikuti oleh hadirin yang memenuhi tempat.

hemat saya seluruh rangkaian peringatan ini setidaknya telah menggugah perhatian kaum muda terhadap masalah warisan masa lampau tragedi kemanusiaan 1965 sebagai yang tertuang dalam dua tema poster “AKUI NEGARA BERTANGGUNG JAWAB ATAS TRAGEDI 1965” dan “INDONESIA 1965 40 TAHUN DIBUNGKAM 40 TAHUN TANPA KEADILAN”. Kaum mudalah yang akan sanggup membereskan warisan sejarah kelam negeri ini.

PROPOSAL

“TEMU RINDU MENGGUGAT SENYAP”

Pertemuan Perempuan Korban 1965-1966 Jawa Tengah dan DIY

I. Latar Belakang

Tragedi Kemanusiaan yang terjadi pada 1965-1966 merupakan sebuah titik balik bagi perjuangan kaum perempuan Indonesia pada umumnya. Perjuangan perem- puan Indonesia yang turut menyumbang besar bagi perjuangan kebangsaan dipatahkan setelah terjadi peristiwa yang kemudian dinamakan sebagai G 30 S. Karena dituduh sebagai pelaku yang telah melakukan pembunuhan terhadap para Jenderal di Lubang Buaya, para perempuan yang sebelumnya bergabung dengan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) menjadi korban dari kekerasan yang dilakukan oleh rezim Orde Baru. Ribuan perempuan Indonesia baik yang berasal dari Gerwani atau yang bergabung dengan organisasi-organisasi massa yang oleh pemerintah dianggap dekat dengan PKI dibunuh, ditangkap dan ditahan tanpa proses pengadilan di penjara-penjara militer.

Peristiwa G 30 S telah membuat ribuan kaum perempuan Indonesia menderita. Bagaimana tidak, sebuah peristiwa yang jauh dari kesadaran maupun jarak dari para kaum perempuan ini telah merubah secara drastis kehidupan dan nasib mereka. Para perempuan ini tidak hanya menderita secara fisik karena proses penangkapan yang dilakukan oleh tangan-tangan kekuasaan Orde Baru tetapi juga mengalami penderitaaan dan luka batin yang sangat dalam. Hal ini terjadi karena banyak di antara kaum perempuan ini ketika dalam pemeriksaan maupun dalam tahanan- tahanan militer mendapatkan perlakuan kasar bahkan kekerasan seksual yang dilakukan oleh para pemeriksanya.

Trauma akan kekerasan masa lalu yang dialami oleh para perempuan korban 1965 ini begitu membekas dalam ruang kesadaran mereka. Bahkan dampak dari trauma ini secara meluas juga menghinggapi para perempuan Indonesia masa kini. Sebab, setelah terjadi peristiwa G 30 S, perempuan Indonesia dibatasi peranannya oleh negara dan hanya berkedudukan dalam wilayah domestik kerumahtanggaan. Pemerintahan Orde Baru telah secara sistematis menghancurkan gerakan perem- puan Indonesia yang kritis dengan menciptakan citra yang seolah-olah bahwa perempuan tidak layak untuk berkiprah diluar domain kerumahtanggaannya. Dengan menciptakan narasi historiografi perempuannya, negara menggunakan masa lalu dari Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) menjadi “media pengingat” untuk mem- batasi peranan dan aktivitas kaum perempuan. Indonesia.

Di sisi lain, dalam kehidupan setelah keluar dari tahanan-tahanan Orde baru kaum perempuan korban Tragedi Kemanusiaan 1965-1966 ini mengalami penderitaan yang begitu berat, ini tidak hanya berkaitan dengan luka batin dan fisik yang dialami ketika dalam penahanan tetapi juga diakibatkan karena politik pencitraaan dan stigmatisasi yang dilakukan oleh negara terhadap mereka. Para perempuan korban ini mendapatkan stigmatisasi berganda (multiple stigmatization). Mereka tidak hanya dituduh komunis (yang distigmatisasi oleh negara sebagai “pemberontak”, “kejam”, “ateis”), tetapi juga distigmatisasikan sebagai Gerwani yang dicitrakan negara

sebagai sosok “perempuan pembunuh”, “sadis”, “liar”, “amoral” dsb. Citra yang melekat pada perempuan korban ini demikian “lengkap”, sehingga secara otomatis membuat mereka banyak yang memilih untuk diam dan menganggap bagian dari masa lalu mereka bagaikan sebuah “aib” yang tidak perlu untuk diketahui oleh publik. Belum lagi politik diskriminasi yang dilakukan oleh Orde Baru terhadap para tapol dan keluarganya yang membatasi akses mereka di wilayah ekonomi, sosial politik telah membuat mereka tidak hanya terpuruk secara mental tetapi juga dalam kehidupan sosial.

Dampak dari “kebisuan” para korban perempuan inilah yang membuat mereka cenderung tidak bersuara ketika pasca Orde Baru muncul berbagai wacana untuk membongkar kejahatan kemanusiaan Orde Baru secara umum ataupun tentang wacana pemulihan hak-hak korban dari kekerasan yang dilakukan oleh Orde Baru. Padahal keterlibatan para perempuan korban 1965 mutlak untuk dilakukan, karena hal ini akan semakin mengungkap bagaimana kejahatan dan kekerasan masa lalu pada tahun 1965 yang dilakukan oleh Orde Baru itu begitu sistematis dan ber- dampak pada semua kelompok sosial yang ada di Indonesia, termasuk juga kaum perempuan Indonesia. Sebab, tanpa keterlibatan kelompok perempuan korban 1965 kita akan mereduksi arti dan posisi “korban” kejahatan Orde baru itu seolah-olah hanya mereka yang menjadi korban politik. Sementara dunia perpolitikan sudah diidentikkan dengan dunia kaum laki-laki. Yang artinya, bisa saja disimpulkan bahwa “korban kejahatan kemanusiaan dan kekerasan masa lalu Orde Baru hanya terdiri dari tahanan politik laki-laki”. Padahal seperti kita ketahui akibat dari kebijakan “anti komunis” yang dilakukan oleh Orde Baru dampaknya juga dirasakan oleh para perempuan yang dituduh komunis, istri-istri yang ditinggalkan oleh suaminya karena dibunuh atau dipenjara, dan juga anak dan keturunan para tahanan politik. Dengan memperluas dimensi korban maka setidaknya wacana tentang pengungkapan kebenaran, rehabilitasi ataupun rekonsiliasi akan lebih lengkap, sebab kita tidak terjebak dalam penunggalan entitas korban itu sendiri. Kita harus menunjukkan bahwa korban dari kekuasaan Orde Baru itu terdiri dari banyak varian yang masing- masing mempunyai lapisan trauma yang berbeda-beda. Dan yang lebih penting adalah mengajak kelompok korban dari berbagai macam kelompok sosial untuk bersama-sama terlibat dalam wacana penuntasan kekerasan masa lalu yang dilakukan oleh Orde Baru. Untuk itulah kami dari Perempuan Korban Tragedi 1965- 1966 yang berdomisili di Yogyakarta bersama dengan SYARIKAT INDONESIA membentuk kepanitiaan bersama untuk melaksanakan kegiatan yang kami namakan sebagai “TEMU RINDU MENGGUGAT SENYAP”. Pertemuan ini merupakan ikhtiar yang kami lakukan untuk mengumpulkan korban perempuan 1965-1966 terutama yang berada di Jawa.

II. Tujuan

Secara umum tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mempertemukan para perempuan korban 1965 se-Jawa. Kita berharap dengan pertemuan ini para perempuan korban 1965 bisa mengungkap “kebisuan” yang selama ini diderita oleh korban perempuan 1965 dan mencairkan “trauma” individu yang diderita oleh para perempuan korban 1965.

1. Mengajak para perempuan korban 1965 untuk terlibat dalam wacana yang mengemuka tentang pemulihan korban kekerasan Orde Baru maupun wacana tentang pengungkapan kebenaran.

2. Menyuarakan kepentingan, ide dan gagasan para perempuan korban 1965 yang kemungkinan tidak terakomodasi dalam kerja-kerja yang dilakukan Komisi Kebe- naran dan Rekonsiliasi di kelak kemudian hari.

3. Membentuk jaringan korban perempuan 1965 yang mempunyai kepentingan terutama untuk mengatasi keterpurukan mental ataupun sosial ekonomi para perem- puan korban 1965.

III. Bentuk Kegiatan

Kegiatan ini berbentuk semiloka yang dirancang sebagai media untuk mengarti- kulasikan diri bagi para ibu-ibu yang umumnya selama ini tidak mempunyai ruang untuk bercerita (storytelling) tentang masa lalu mereka. Dari ruang penceritaan ini diharapkan akan berfungsi juga sebagai trauma healing bagi ibu-ibu, sehingga mereka kemudian bisa kembali melakukan identifikasi diri sebagai bagian dari korban kekerasan masa lalu Orde Baru serta melakukan transformasi psikologis dari obyek menjadi subyek yang memperjuangkan kepentingan korban. Acara yang direncanakan berlangsung sehari penuh ini akan lebih memberikan ruang ekspresi dan artikulasi diri bagi para ibu-ibu dari penyampaian gagasan sampai kemudian ada agenda tindak lanjutnya. Sementara itu untuk memperkaya materi dan memberi perkembangan informasi tentang agenda-agenda yang telah dikerjakan oleh bebe- rapa institusi berkaitan dengan agenda perempuan dalam penuntasan kekerasan masa lalu maka dihadirkan wakil-wakil institusi yang selama ini sudah melakukan agenda tersebut di antaranya adalah dari KOMNAS PEREMPUAN, ELSAM dan Perwakilan LPKP Jakarta.

IV. Peserta

Peserta kegiatan ini terdiri dari para perempuan korban 1965 yang berasal dari beberapa wilayah se-Jawa yang berjumlah sekitar 200 orang, selain itu juga diundang para aktivis yang bergerak dengan isu-isu perempuan di Yogyakarta dan sekitarnya. Harapannya bahwa para aktivis perempuan ini akan belajar dari penga- laman perempuan korban 1965 dan bersama-sama memperjuangkan keterpurukan para korban perempuan 1965 melalui agenda kerja masing-masing. Walaupun secara khusus acara ini untuk para kaum perempuan korban 1965 tapi acara ini tidak menutup akan kehadiran bapak-bapak.

*************** 0 0 0 0 0 0****************** “Menguak Tabir Merajut Masa Depan”