• Tidak ada hasil yang ditemukan

LANDASAN TEOR

2.2. Ajaran Sosial Gereja

2.2.2. Catatan Historis Ajaran Sosial Gereja

Sebagai tanggapan terhadap masalah sosial besar yang pertama, Paus Leo XIII memaklumkan ensiklik sosial yang pertama, Rerum Novarum. Ensiklik yang dimaklumatkan pada tanggal 15 Mei 1891 ini menaruh perhatian pada masalah- masalah sosial secara sistematis. Juga pertama kali jalan pikiran ajaran sosial berangkat dari prinsip keadilan universal. Paus Leo XIII telah melihat parahnya kondisi kerja, karena eksploitasi oleh kapitalisme tanpa kontrol akibat revolusi industri, dan bangkitnya kekuatan sosialisme serta marxisme. Dengan berdasarkan hukum kodrat, Paus membela hak-hak buruh, pentingnya keadilan dan solidaritas, sekaligus juga meneguhkan hak kodrati atas kepemilikan pribadi (Leo XIII, 1891: 15-40).

Pada permulaan tahun 1930-an, menyusul krisis ekonomi dahsyat tahun 1929, Paus Pius XI menerbitkan Ensiklik Quadragesimo Anno, dalam konteks memperingati ulang tahun ke-40 Rerum Novarum. Ensiklik ini menegaskan kembali prinsip-prinsip dalam Rerum Novarum dan mengaplikasikannya dalam

situasi zaman itu. Paus menolak solusi komunisme yang menghilangkan hak-hak pribadi. Namun juga sekaligus mengkritik persaingan kapitalisme sebagai yang akan menghancurkan dirinya sendiri. Ajaran Paus Pius XI (1931:41-80) menunjukkan bagaimana Ajaran Sosial Gereja berkembang dan menjadi lebih spesifik, terutama dalam mempertahankan prinsip-prinsip : perdamaian dan keadilan, solidaritas, kesejahteraan umum, subsidiaritas, hak milik, hak untuk berserikat, dan peranan fundamental keluarga dalam masyarakat.

Paus Pius XI juga melawan rezim-rezim totaliter yang tengah menggejala di Eropa pada masa kepausannya. Paus Pius XI melancarkan protes menentang penyalahgunaan kekuasaan oleh rezim fasis totaliter di Italia dengan Ensiklik Non Abbiamo Bisogno. Terbitnya Ensiklik Mit Brennender Sorge tentang situasi Gereja Katolik di bawah Reich Jerman pada tanggal 14 Maret 1937 juga merupakan tanggapan atas situasi zaman itu. Teks Mit Brennender Sorge dibacakan di setiap Gereja Katolik di Jerman, setelah disebarkan dengan rahasia. Ensiklik tersebut keluar setelah tahun-tahun kesewenang-wenangan dan tindak kekerasan, dan ensiklik itu secara tegas diminta dari Paus Pius XI oleh para Uskup Jerman setelah Reich menerapkan langkah-langkah yang kian keras dan represif pada tahun 1936, khususnya yang berkenaan dengan kaum muda yang diwajibkan untuk mendaftarkan diri menjadi anggota Gerakan Kaum Muda Hitler (Pontifical Council for Justice and Peace, 2005:91).

Bersama dengan Ensiklik Divini Redemptoris tentang komunisme ateistik dan ajaran sosial Kristen, Paus Pius XI menyajikan sebuah kritik yang sistematis terhadap komunisme, dengan menyebutnya sebagai “yang secara

intrinsik merupakan kejahatan”, dan menyiratkan bahwa sarana-sarana utama untuk membenahi kejahatan yang dilakukan olehnya dapat ditemukan dalam pembaruan kehidupan Kristen, praktik cinta kasih injili, pemenuhan tugas-tugas keadilan baik pada tingkat antarpribadi maupun sosial dalam kaitan dengan kesejahteraan umum, serta pelembagaan kelompok-kelompok profesi dan lintas- profesi (Pontifical Council for Justice and Peace, 2005:92).

Paus Yohanes XXIII, dalam ensikliknya Mater et Magistra yang dipublikasikan tanggal 15 Mei 1961 untuk merayakan 70 tahun Rerum Novarum mengingatkan kembali semangat Rerum Novarum dan Quadragesimo Anno serta mengambil satu langkah maju dalam proses melibatkan seluruh jemaat Kristen. Ensiklik ini mengungkapkan keprihatinan mendalam Paus akan keadilan. Paus mencermati tumbuhnya jurang antara negara kaya dan miskin, sebagai produk dari sistem tata dunia yang tidak adil dan akibat dari penekanan yang terlalu kuat pada kemajuan industri, perdagangan, dan teknologi zaman itu. Dalam ensiklik ini diajukan pula “jalan pikiran” Ajaran Sosial Gereja: see, judge, and act. Gereja Katolik didesak untuk berpartisipasi secara aktif dalam memajukan tata dunia yang adil (John XXIII, 1961:80-124).

Perdamaian dan perang adalah tema penting Ensiklik Pacem in Terris yang terbit pada tanggal 11 April 1963. Paus Yohanes XXIII, menyerukan perdamaian kepada dunia. Pada saat itu baru terjadi krisis Kuba, salah satu masa paling menegangkan dalam perang dingin dengan ancaman nuklirnya. Masa itu juga ditandai dengan berakhirnya kolonialisme di banyak negara, yang diwarnai dengan perselisihan tragis, yang melibatkan rasisme, tribalisme, dan aplikasi

brutal ideologi marxisme. Untuk memajukan tatanan sosial yang penuh damai, Paus mendukung partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan berkaitan dengan kesejahteraan umum, terutama melalui proses-proses demokratis (John XXIII, 1963:125-156).

Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes dari Konsili Vatikan II merupakan sebuah tanggapan yang sarat makna dari pihak Gereja terhadap berbagai harapan dan kerinduan dunia dewasa ini. Gaudium et Spes (kegembiraan dan harapan), merupakan dokumen Konstitusi Pastoral tentang Gereja dalam dunia modern, hasil Konsili Vatikan II tanggal 7 Desember 1965. Dokumen ini merupakan refleksi para Bapa Konsili tentang kehadiran Gereja di tengah dunia modern. Dalam refleksi itu, mereka mengaplikasikan ajaran-ajaran Gereja tentang moral dan sosial pada harapan-harapan dan tantangan-tantangan yang dialami di banyak negara pada masa itu. Para Bapa Konsili sangat kuat mendorong partisipasi umat Katolik dalam berbagai dimensi kehidupan duniawi (Second Vatikan Council, 1965:157-220).

Dokumen lain dari Konsili Vatikan II yang sangat penting dalam kumpulan ajaran sosial Gereja adalah Pernyataan Dignitatis Humanae, di mana hak untuk kebebasan beragama dimaklumkan dengan sangat jelas dan tegas. Dokumen ini menyajikan tema tersebut dalam dua bab. Yang pertama, yang bercorak umum, menegaskan bahwa kebebasan beragama dilandaskan pada martabat pribadi manusia dan bahwa kebebasan itu mesti dikokohkan sebagai sebuah hak sipil dalam tatanan hukum masyarakat. Bab kedua mengkaji tema tersebut dalam terang wahyu serta menjelaskan dampak-dampak pastoralnya,

sembari menunjukkan bahwa itu adalah sebuah hak yang tidak hanya bersangkut paut dengan orang sebagai individu tetapi juga dengan berbagai kelompok orang (Pontifical Council for Justice and Peace, 2005:97).

Ensiklik Populorum Progressio dimaklumatkan oleh Paus Paulus VI pada 26 Maret 1967. Paus Paulus VI berbicara di pihak jutaan rakyat dari negara- negara berkembang. Berhadapan dengan semakin lebarnya jurang antara negara- negara kaya dan miskin, Paus menegaskan bahwa keadilan tidak bisa dipisahkan dari pembangunan dan kemajuan. Pembangunan dan kemajuan harus ditujukan pada perkembangan manusia secara integral. Isu tentang marginalisasi kaum miskin akibat pembangunan banyak dibahas. Ensiklik ini mendorong banyak umat Katolik untuk menjalankan option for the poor dan menghadapi sebab-sebab penindasan (Paul VI, 1967:221-244).

Pada permulaan tahun 1970-an, dalam sebuah suasana pergolakan dan kontroversi ideologis yang kuat, Paus Paulus VI meninjau kembali ajaran sosial Paus Leo XIII dan memperbaharuinya, dalam kesempatan ulang tahun ke-80 Rerum Novarum, dengan Surat Apostolik Octogesima Adveniens. Paus membahas persoalan-persoalan khas tahun 70an dengan surat apostolik kepada Kardinal Maurice Roy. Surat tersebut menyerukan persoalan keadilan sosial dengan memperhitungkan ancaman komunisme dan masalah-masalah serius lain, seperti urbanisasi, diskriminasi rasial, teknologi baru, dan peran umat Katolik dalam politik. Soal-soal yang berkaitan dengan urbanisasi dipandang menjadi salah satu sebab lahirnya “kemiskinan baru”. Paus mendorong umat untuk bertindak mengambil bagian secara aktif dalam masalah-masalah politik dan mendesak

untuk memperjuangkan nilai-nilai injili guna membangun keadilan sosial (Paul VI, 1971:244-267).

Dokumen Justicia in Mundo yang dikenal juga dengan Convenientes ex Universo. Dokumen ini merupakan hasil Sinode para uskup di Roma tahun 1971. Para uskup, yang berkumpul di Roma untuk sinode tahun 1971, menyuarakan untuk jutaan orang yang tinggal di negara-negara berkembang. Mereka tidak hanya menyerukan diakhirinya kemiskinan dan penindasan, namun juga perdamaian abadi dan keadilan sejati. Dalam Gereja, sebagaimana di dalam dunia, keadilan harus dipertahankan dan dipromosikan. Misi Gereja tanpa ada suatu upaya konkret dan tegas mengenai tindakan perjuangan keadilan, tidaklah integral. Misi Kristus dalam mewartakan datangnya Kerajaan Allah mencakup pula datangnya keadilan. Keadilan merupakan dimensi konstitutif pewartaan Injil. Para uskup juga menyerukan dihormatinya hak untuk hidup, hak-hak perempuan, dan perlunya pendidikan keadilan. Dokumen ini banyak diinspirasikan oleh seruan keadilan dari Gereja-Gereja di Afrika, Asia, dan Latin Amerika, khususnya

pengaruh pembahasan tema “pembebasan” oleh para uskup Amerika Latin di Medellin (Roman Synod, 1971:267-283).

Sembilan puluh tahun setelah Rerum Novarum, Yohanes Paulus II mempersembahkan Ensiklik Laborem Exercens bagi kerja sebagai kebaikan hakiki pribadi manusia, unsur utama kegiatan ekonomi serta kunci bagi seluruh persoalan sosial. Laborem Exercens memaparkan sebuah spiritualitas serta etika kerja dalam konteks refleksi teologis dan filosofis yang sangat mendasar. Kerja tidak boleh dipahami hanya dalam arti objektif dan materiil akan tetapi juga harus

dimengerti makna subjektifnya. Ensiklik ini mengkritik komunisme dan kapitalisme sekaligus sebagai yang memperlakukan manusia sekedar sebagai “alat”. Manusia dipandang sebagai instrumen penghasil kemajuan dan perkembangan. Manusia mempunyai hak untuk bekerja, menerima upah yang adil, sekaligus memiliki hak untuk hidup secara manusiawi dengan pekerjaannya (Paul II, 1981:351-391).

Melalui Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis, Yohanes Paulus II memperingati ulang tahun ke-20 Populorum Progressio dan masih dalam konteks kebutuhan akan solidaritas, kebebasan, dan keadilan. Ensiklik ini berfokus pada makna dan nilai pribadi manusia. Dengan visi global tentang perubahan-perubahan sosial, Yohanes Paulus II mengamati relasi antarnegara, mencela beban hutang pada negara-negara dunia ketiga dan imperialisme baru (Paul II, 1987:392-431).

Pada ulang tahun ke-100 Rerum Novarum, Yohanes Paulus II memaklumatkan ensiklik sosialnya yang ketiga, Centesimus Annus. Ensiklik ini memunculkan kembali prinsip-prinsip fundamental pandangan Kristen tentang organisasi sosial dan politik yang selama ini menjadi tema utama dari ensiklik sebelumnya. Analisis yang jelas dan mendalam tentang “hal-hal baru”, dan khususnya terobosan besar tahun 1989 dengan tumbangnya sistem Soviet, memperlihatkan penghargaan terhadap demokrasi serta ekonomi pasar dalam konteks sebuah solidaritas (Paul II, 1991:432-477).

Ensiklik Caritas in Veritate ditulis oleh Benediktus XVI dan terbit 29 Juni 2009. Ensiklik ini berbicara tentang perkembangan integral manusia dalam kasih dan kebenaran. Ensiklik ini mendiskusikan krisis finansial global dalam konteks

meluasnya relativisme. Pandangan Benediktus XVI melampaui kategori-kategori tradisional kekuasaan pasar negara yang berpaham kapitalisme dan kekuasaan negara yang berpaham sosialisme. Dengan mengamati bahwa setiap keputusan ekonomi memiliki konsekuensi moral, Paus menekankan pengelolaan ekonomi yang berfokus pada martabat manusia (Riyanto, 2015:65).