• Tidak ada hasil yang ditemukan

LANDASAN TEOR

2.3. Community Empowerment dalam Dimensi Corporate Social Responbility

2.3.1. Pengertian dan Ruang Lingkup Kegiatan Community Empowerment

Konsep CSR telah dikembangkan sejak pertengahan abad 20. Konsep ini banyak diperdebatkan dan dibahas dalam beberapa konteks sehingga memunculkan berbagai gambaran mengenainya (Griffin, 2006:13-14). Tidak ada konsep yang resmi dan baku mengenai CSR. Konsep ini selalu berkembang dari masa ke masa.

European Commision mendefinisikan CSR sebagai bentuk integrasi sukarela masalah sosial dan lingkungan hidup ke dalam operasi bisnis dan interaksi mereka dengan pemangku kepentingan. Hal ini memuat pengertian bahwa dalam menjalankan perusahaan, para pemangku kepentingan di perusahaan berorientasi membantu lingkungan sosial yang berada di sekitar perusahan dan itu dilakukan dengan sukarela. Menurut Michael Hopkins (2007), CSR merupakan

bidang yang memusatkan perhatian pada upaya pemangku kepentingan untuk berperilaku beretika dan bertanggung jawab. Selanjutnya perilaku beretika dan bertanggung jawab itu diaplikasikan dalam tujuan CSR, yaitu untuk menciptakan standar kehidupan yang lebih tinggi dengan menciptakan laba usaha untuk orang yang berada di dalam maupun di luar perusahaan (Hopkins, 2007). Pernyataan tersebut menekankan bahwa dengan CSR diharapkan adanya keuntungan yang dapat di raih baik oleh pihak perusahaan maupun pihak di luar perusahaan yang dalam hal ini adalah masyarakat.

Namun demikian, bagaimana agar pelaksanaan kegiatan CSR memberi nilai optimum bagi bisnis dan masyarakat masih harus dipahami dengan baik. Kegiatan seperti pameran yang bertema cinta lingkungan hidup dengan memamerkan konsep penghematan energi, pengelolaan limbah, dan gagasan kepedulian lingkungan lainnya sering dianggap sebagai prakarsa CSR. Padahal, kegiatan sesekali seperti ini tanpa disertai dengan peningkatan kompetensi, pelatihan, pemberdayaan, penyediaan lapangan pekerjaan dan penciptaan kemakmuran tidak akan memberi hasil yang menguntungkan dan oleh karenanya juga tidak membawa manfaat berkelanjutan baik bagi perusahaan maupun masyarakat.

Jika perusahaan menekankan pelaksanaan kegiatan CSR-nya pada persoalan yang tidak relevan dengan lingkungan setempat, maka kegiatan terbaik sekalipun akan gagal menciptakan manfaat yang diharapkan baik untuk masyarakat maupun perusahaan. Keterlibatan perusahaan dalam kesepakatan sosial supaya relevan pada umumnya dengan mempertimbangkan beberapa faktor,

yaitu keadaan ekonomi, sosial, dan budaya di negara tempat bisnis tersebut beroperasi Urip, 2015:16). Berdasarkan uraian di atas, dalam kerangka kepentingan penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa penerapan prinsip CSR yang efektif seharusnya ditempatkan dalam konteks pemahaman bisnis akan strategi bisnis perusahaan yang diimbangi pemahaman akan kebutuhan masyarakat.

Pelaksanaan CSR yang berorientasi pada kebutuhan masyarakat menempatkan CSR pada konsep pembangunan berbasis masyarakat. Konsep ini mengandung pengertian bahwa pembangunan berangkat dari kebutuhan masyarakat, direncanakan, dan dilaksanakan oleh masyarakat dengan memanfaatkan potensi sumber daya yang ada dan dapat diakses oleh masyarakat setempat (Theresia, 2014:28). Pembangunan tidak dirumuskan oleh “orang luar” atau elit masyarakat yang merasa lebih tahu dan lebih pandai untuk merumuskan pembangunan yang cocok bagi masyarakatnya. Sejalan dengan konsep di atas, pemberdayaan masyarakat sebagai sebuah strategi, telah diterima dan berkembang dalam berbagai literatur sebagai salah satu bentuk pembangunan berbasis masyarakat (Theresia, 2014:91).

Selanjutnya, istilah ‘Pemberdayaan masyarakat’ merupakan alih bahasa dari kata ‘empowerment’. Kata power dalam empowerment diartikan sebagai ‘daya’ sehingga empowerment diartikan sebagai pemberdayaan. Daya mengandung pengertian kemampuan untuk melakukan sesuatu atau bertindak (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1993:188). Empowerment merupakan sebuah konsep untuk mengatasi masalah-masalah yang

menghubungkan ‘daya’ dengan pembagian kesejahteraan. Keadaan keterbelakangan dan kemiskinan seperti diutarakan di bab sebelumnya terjadi karena ketidakseimbangan dalam kepemilikan atau akses pada sumber-sumber ‘daya’. Proses historis yang panjang akhirnya menyebabkan terjadinya dispowerment, yakni peniadaan ‘daya’ pada sebagian besar masyarakat. Akibatnya, muncul lapisan masyarakat yang tidak memiliki akses yang memadai terhadap aset produktif yang umumnya dikuasai oleh mereka yang ‘memiliki daya’. Pada gilirannya keterbelakangan secara ekonomi mengakibatkan mereka makin jauh dari kekuasaan.

Pemberdayaan merupakan konsep yang berkaitan dengan kekuasaan. Istilah kekuasaan seringkali identik dengan kemampuan individu atau masyarakat khususnya kelompok rentan dan lemah untuk memiliki kekuatan dan kemampuan dalam (a) memenuhi kebutuhan dasarnya; (b) menjangkau sumber- sumber produktif; (c) berpartisipasi dalam proses pembangunan (Suharto, 2005:58). Dalam konteks ini pemberdayaan menekankan pada aspek pelimpahan wewenang atau memberi kekuasaan kepada individu sehingga mampu mengatur diri dan lingkungannya sesuai dengan keinginan, potensi, dan kemampuan yang dimilikinya.

Selanjutnya, dalam konsep pemberdayaan tidak sekedar termuat proses pemberian kewenangan atau kekuasaan saja kepada mereka yang lemah dan miskin. Pemberdayaan juga merupakan suatu proses menyiapkan masyarakat supaya memiliki sumber daya, kesempatan, pengetahuan dan keahlian untuk meningkatkan kapasitas diri masyarakat didalam menentukan masa depan mereka,

serta berpartisipasi dan mempengaruhi kehidupan dalam komunitas masyarakat itu sendiri (Ife, 1995). Dalam hal ini, konsep pemberdayaan dikaitkan dengan proses mendidik dengan tujuan peningkatan kualitas individu, kelompok masyarakat supaya mampu berdaya, memiliki daya saing, serta mampu hidup mandiri.

Pemberdayaan memiliki makna kesetaraan, adil dan demokrasi tanpa adanya tekanan atau dominasi dalam suatu komunitas atau masyarakat. Perbedaan karakter dan kemampuan individu adalah suatu keniscayaan. Namun setiap individu memiliki hak dan kewajibannya masing-masing. Realitas kesetaraan dan perbedaan individu ini menjadi prinsip dalam melakukan pemberdayaan. Dengan demikian pemberdayaan merupakan proses meningkatkan kemampuan individu atau masyarakat untuk berdaya yang dilakukan secara demokratis agar mampu membangun diri dan lingkungannya dalam meningkatkan kualitas kehidupannya sehingga mampu hidup mandiri dan sejahtera (Anwas, 2014:50).

Penuntasan kemiskinan dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat menekankan pada proses bukan semata-mata output dari proses tersebut. Oleh karena itu ukuran keberhasilan pemberdayaan adalah seberapa besar partisipasi atau keberdayaan yang dilakukan oleh individu atau masyarakat. Semakin banyak masyarakat terlibat dalam proses tersebut, semakin berhasil kegiatan pemberdayaan tersebut. Keberdayaan dalam konteks masyarakat merupakan kemampuan individu berpartisipasi aktif dalam masyarakat (Anwas, 2014:51).

Dalam kerangka penelitian ini , upaya memberdayakan masyarakat, akan dilihat dari tiga sisi. Pertama, memberdayakan analog dengan membangun kondisi yang mendorong potensi masyarakat berkembang . Pijakan dari konsep ini adalah bahwa setiap individu atau masyarakat memiliki kapasitas yang dapat dikembangkan. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya, dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan kapasitas yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkan. Kedua, memperkuat kapasitas atau daya yang dimiliki oleh masyarakat. Konsep ini dapat direalisasikan melalui kegiatan pendidikan, pelatihan dan pendampingan yang berkelanjutan. Individu dan masyarakat perlu dibiasakan untuk belajar menggunakan berbagai sumber yang tersedia. Sumber belajar bisa berupa buku, orang lain, alat, bahan dan juga lingkungan sekitar tempat tinggal mereka. Ketiga, dalam istilah pemberdayaan termuat juga pengertian menggerakkan partisipasi aktif individu dan masyarakat seluas-luasnya. Partisipasi ini mulai dari tahapan perencanaan, pengembangan, pelaksanaan, dan evaluasi.