• Tidak ada hasil yang ditemukan

Manajemen keterlibatan sosial gereja: studi kasus pemanfaatan dana aksi puasa pembangunan di Keuskupan Agung Semarang.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Manajemen keterlibatan sosial gereja: studi kasus pemanfaatan dana aksi puasa pembangunan di Keuskupan Agung Semarang."

Copied!
237
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Sampai sekarang, Gereja Katolik masih melihat kemiskinan sebagai sebuah persoalan yang penting dan mendesak untuk dibahas dan dicarikan jalan penyelesaiannya. Sikap Gereja itu tertuang dalam berbagai Ajaran Sosial Gereja. Dalam perspektif iman Katolik, kemiskinan bukanlah sebuah persoalan di balik meja teori melainkan sebuah persoalan konkret yang menyangkut martabat manusia sebagai gambaran Allah. Gereja mengajarkan agar umatnya sungguh-sungguh berpihak dan terlibat dalam usaha menyesejahterakan mereka yang miskin, lapar, dan tersingkir dalam kehidupan sosial masyarakat.

Tesis ini merupakan penelitian dengan menggunakan desain studi kasus yang dimanfaatkan untuk mengevaluasi Program Pemanfaatan Dana Aksi Puasa Pembangunan di Keuskupan Agung Semarang. Evaluasi Program Aksi Puasa Pembangunan di Keuskupan Agung Semarang diletakkan dalam konteks persolan substansi dan aplikasi. Persoalan substansi berkaitan dengan landasan filosofi, idiologi dan tujuan yang hendak dicapai dalam Aksi Puasa Pembangunan. Persoalan aplikasi bersinggungan dengan manajemen keterlibatan sosial dalam pelaksanaan Program Pemanfaatan Dana APP di Keuskupan Agung Semarang.

Kerangka teori yang dikembangkan untuk tujuan evaluasi dengan menggunakan prinsip-prinsip Ajaran Sosial Gereja dan teori community empowerment dalam dimensi Corporate Social Responbility. Kombinasi dari dua hal berbeda ini akan menjadi panduan dalam penyusunan standar kinerja pelaksanaan Program Aksi Puasa Pembangunan di Keuskupan Agung Semarang. Standar kinerja yang dihasilkan akan digunakan untuk mengukur kinerja yang aktual terjadi.

Penelitian ini sampai pada kesimpulan bahwa Gereja, dalam hal ini Keuskupan Agung Semarang, perlu menyesuaikan kebijakan dan program-program strategisnya pada aspek empowering agar tujuan mulianya, yakni pengentasan umat/masyarakat dari kemiskinan dapat benar-benar tercapai.

Kata Kunci: Keterlibatan Sosial, Ajaran Sosial Gereja, community empowerment,

(2)

ABSTRACT

So far, Church still see poverty as an important and urgent issue to be discussed and to be sought its solution. That attitude is established by church in

various Church Social Teachings. On the Catholic’s perspective, poverty is not an

issue beyond a theory but a concrete problem corresponds with the dignity of human as an image of God. Church teaches its people to plead and involved in the effort on bringing welfare for the poor, the hunger, and the marginalized people to the society.

This thesis is a research using study case design, applied to evaluate Utilization Program of Aksi Puasa Pembangunan fund on Semarang archdiocese. Aksi Puasa Pembangunan Evaluation Program on Semarang Archdiocese is placed on substantial and application context. Substantial issue is linked with philosophical cornerstone, ideology, and the goal that is going to be achieved in regards to Aksi Puasa Pembangunan. The application issue touches the social involvement management on the implementation of Utilization Program in regards to Aksi Puasa Pembangunan fund on Semarang Archdiocese

Theoretical framework that is developed for evaluation goal uses the principle of Church Social Teachings and community empowerment theory in Corporate Social Responsibility dimension. Combination of these two different situations will be the guidance on composing the implementation of performance standard of Aksi Puasa Pembangunan program on Semarang Archdiocese. Standard of performance that is obtained will be used to measure the actual performance.

This research arrives at its conclusion which is, Church, in this case Semarang Archdiocese, needs to harmonize its policy and its strategic program on the empowering aspect so that its noble goal, which is to eradicate its people from poverty, will truly be fulfilled.

(3)

MANAJEMEN KETERLIBATAN SOSIAL GEREJA:

STUDI KASUS PEMANFAATAN DANA AKSI PUASA PEMBANGUNAN

DI KEUSKUPAN AGUNG SEMARANG

TESIS

.

PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN.

.

..

..

Diajukan oleh

Bernadetta Rini Susanti

132222204

.

Kepada

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(4)

i

MANAJEMEN KETERLIBATAN SOSIAL GEREJA:

STUDI KASUS PEMANFAATAN DANA AKSI PUASA PEMBANGUNAN

DI KEUSKUPAN AGUNG SEMARANG

TESIS

UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN PERSYARATAN

MENCAPAI DERAJAT SARJANA S

-

2

.

PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN

..

..

..

Diajukan oleh

Bernadetta Rini Susanti

132222204

.

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(5)
(6)
(7)
(8)
(9)

vi

ABSTRAK

Sampai sekarang, Gereja Katolik masih melihat kemiskinan sebagai sebuah persoalan yang penting dan mendesak untuk dibahas dan dicarikan jalan penyelesaiannya. Sikap Gereja itu tertuang dalam berbagai Ajaran Sosial Gereja. Dalam perspektif iman Katolik, kemiskinan bukanlah sebuah persoalan di balik meja teori melainkan sebuah persoalan konkret yang menyangkut martabat manusia sebagai gambaran Allah. Gereja mengajarkan agar umatnya sungguh-sungguh berpihak dan terlibat dalam usaha menyesejahterakan mereka yang miskin, lapar, dan tersingkir dalam kehidupan sosial masyarakat.

Tesis ini merupakan penelitian dengan menggunakan desain studi kasus yang dimanfaatkan untuk mengevaluasi Program Pemanfaatan Dana Aksi Puasa Pembangunan di Keuskupan Agung Semarang. Evaluasi Program Aksi Puasa Pembangunan di Keuskupan Agung Semarang diletakkan dalam konteks persolan substansi dan aplikasi. Persoalan substansi berkaitan dengan landasan filosofi, idiologi dan tujuan yang hendak dicapai dalam Aksi Puasa Pembangunan. Persoalan aplikasi bersinggungan dengan manajemen keterlibatan sosial dalam pelaksanaan Program Pemanfaatan Dana APP di Keuskupan Agung Semarang.

Kerangka teori yang dikembangkan untuk tujuan evaluasi dengan menggunakan prinsip-prinsip Ajaran Sosial Gereja dan teori community empowerment dalam dimensi Corporate Social Responbility. Kombinasi dari dua hal berbeda ini akan menjadi panduan dalam penyusunan standar kinerja pelaksanaan Program Aksi Puasa Pembangunan di Keuskupan Agung Semarang. Standar kinerja yang dihasilkan akan digunakan untuk mengukur kinerja yang aktual terjadi.

Penelitian ini sampai pada kesimpulan bahwa Gereja, dalam hal ini Keuskupan Agung Semarang, perlu menyesuaikan kebijakan dan program-program strategisnya pada aspek empowering agar tujuan mulianya, yakni pengentasan umat/masyarakat dari kemiskinan dapat benar-benar tercapai.

Kata Kunci: Keterlibatan Sosial, Ajaran Sosial Gereja, community empowerment,

(10)

vii

ABSTRACT

So far, Church still see poverty as an important and urgent issue to be discussed and to be sought its solution. That attitude is established by church in

various Church Social Teachings. On the Catholic’s perspective, poverty is not an

issue beyond a theory but a concrete problem corresponds with the dignity of human as an image of God. Church teaches its people to plead and involved in the effort on bringing welfare for the poor, the hunger, and the marginalized people to the society.

This thesis is a research using study case design, applied to evaluate Utilization Program of Aksi Puasa Pembangunan fund on Semarang archdiocese. Aksi Puasa Pembangunan Evaluation Program on Semarang Archdiocese is placed on substantial and application context. Substantial issue is linked with philosophical cornerstone, ideology, and the goal that is going to be achieved in regards to Aksi Puasa Pembangunan. The application issue touches the social involvement management on the implementation of Utilization Program in regards to Aksi Puasa Pembangunan fund on Semarang Archdiocese

Theoretical framework that is developed for evaluation goal uses the principle of Church Social Teachings and community empowerment theory in Corporate Social Responsibility dimension. Combination of these two different situations will be the guidance on composing the implementation of performance standard of Aksi Puasa Pembangunan program on Semarang Archdiocese. Standard of performance that is obtained will be used to measure the actual performance.

This research arrives at its conclusion which is, Church, in this case Semarang Archdiocese, needs to harmonize its policy and its strategic program on the empowering aspect so that its noble goal, which is to eradicate its people from poverty, will truly be fulfilled.

(11)

viii

DAFTAR ISI

Bab Halaman

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Perumusan Masalah 15

1.3. Tujuan Penelitian 16

1.4. Manfaat Penelitian 17

1.4.1. Manfaat Teoretis 17

1.4.2. Manfaat Praktis 17

BAB II LANDASAN TEORI 18

2.1. Pengantar 18

2.2. Ajaran Sosial Gereja 19

2.2.1. Pengertian tentang Ajaran Sosial Gereja 21 2.2.2. Catatan Historis Ajaran Sosial Gereja 23 2.2.3. Prinsip-Prinsip Ajaran Sosial Gereja 30 2.3. Community Empowerment dalam Dimensi Corporate 34

Social Responbility

2.3.1. Pengertian dan Ruang Lingkup Kegiatan Community 35 Empowerment

2.3.2. Partisipasi Masyarakat 40

2.3.3. Kompetensi Agen Pemberdayaan 43

2.4. Kerangka Berpikir 48

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 50

3.1. Pengantar 50

3.2. Paradigma Penelitian dan Trianggulasi 51

3.3. Strategi Penelitian Studi Kasus 56

3.4. Metode Penelitian 62

3.4.1. Desain Penelitian 62

(12)

ix

Bab Halaman

BAB IV DESKRIPSI PELAKSANAAN PROGRAM 76

DANA APP DI KEUSKUPAN AGUNG SEMARANG

4.1. Pengantar 76

4.2. Gambaran Umum Keuskupan Agung Semarang 77 4.3. Mekanisme Alur Kerja Program Pemanfaatan Dana APP 79

Keuskupan Agung Semarang

4.4. Capaian Kinerja Program Pemanfaatan Dana APP di 90 Keuskupan Agung Semarang Periode Tahun 2011-2012

sampai dengan Tahun 2014-2015

4.4.1. Keterserapan Dana Program Pemanfaatan Dana Aksi 91 Puasa Pembangunan di Keuskupan Agung Semarang

Periode Tahun Anggaran 2011-2012 sampai dengan 2014-2015

4.4.2. Pemanfaatan Dana APP di Keuskupan Agung Semarang 94 Berdasarkan Lima Kategori Bidang Perhatian Periode

Tahun Anggaran 2011-2012 sampai dengan 2014-2015

4.4.3. Sebaran Penerima Manfaat Program Pemanfaatan Dana 114 APP di Keuskupan Agung Semarang Periode Tahun

Anggaran 2011-2012 sampai dengan 2014-2015

BAB V EVALUASI PROGRAM PEMANFAATAN DANA APP 130 DI KEUSKUPAN AGUNG SEMARANG DENGAN

PARAMETER PRINSIP-PRINSIP ASG DAN TEORI COMMUNITY EMPOWERMENT

5.1. Pengantar 130

5.2. Analisis Kesesuaian Program Pemanfaatan Dana APP 132 di Keuskupan Agung Semarang dengan Prinsip-Prinsip Ajaran

(13)

x

Bab Halaman

5.2.1. Keterserapan Dana Program Pemanfaatan Dana APP 134 di Keuskupan gung Semarang Periode Tahun Anggaran

2011-2012 sampai dengan 2014-2015: Catatan Kritis Berasas Prinsip-Prinsip Ajaran Sosial Gereja

5.2.2. Pemanfaatan Dana APP di Keuskupan Agung Semarang 139 Periode Tahun Anggaran 2011-2012 sampai dengan

2014-2015 Berdasarkan Lima Kategori Bidang Perhatian: Catatan Kritis Berasas Prinsip-Prinsip Ajaran Sosial Gereja

5.2.3. Sebaran Penerima Manfaat Program Dana APP di 145 Keuskupan Agung PeriodeTahun Anggaran

2011-2012 sampai dengan 2014-2015: Catatan Kritis Berasas Prinsip-Prinsip Ajaran Sosial Gereja

5.3. Telaah Program Pemanfaatan Dana APP di Keuskupan Agung 155 Semarang Berdasarkan Kategori-Kategori Community

Empowerment dalam Dimensi Corporate Social Responbility

5.3.1. Profil Community Empowerment dalam Keterserapan 157 Dana Program Pemanfaatan Dana APP di Keuskupan

Agung Semarang Periode Tahun Anggaran 2011-2012 sampai dengan 2014-2015

5.3.2. Partisipasi Umat/Masyarakat dalam Lima Kategori 171 Bidang Perhatian Program Pemanfaatan Dana APP di

Keuskupan Agung Semarang Periode Tahun Anggaran 2011-2012 sampai dengan 2014-2015

5.3.3. Korelasi Kompetensi Agen Pemberdayaan dengan 180 Jumlah Proposal Disetujui dalam Sebaran Penerima

Manfaat Program Pemanfaatan Dana APP di

(14)

xi

Bab Halaman

5.4. Potensi Keberlanjutan Program Pemanfaatan Dana APP di 185 Keuskupan Agung Semarang

BAB VI KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 188

6.1. Kesimpulan 188

6.2. Saran 192

6.2.1. Bagi Penelitian Selanjutnya 192

6.2.2. Bagi Pengelolaan Program Pemanfaatan Dana APP 193

di Keuskupan Agung Semarang DAFTAR PUSTAKA 194

LAMPIRAN 199

(15)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

Tabel 3.1 Tabel Interpretasi Koefisien Kolerasi Product Moment 75 Tabel 4.1 Tabel Jumlah Paroki di Keuskupan Agung Semarang 78 Tabel 4.2 Rekapitulasi Ketermanfaatan Dana APP di Kas 97-99 Berdasarkan Kategori Bidang Perhatian Periode Tahun Anggaran 2011-2012

Tabel 4.3 Rekapitulasi Ketermanfaatan Dana APP di Kas 100-102 Berdasarkan Kategori Bidang Perhatian Periode Tahun

Anggaran 2012-2013

Tabel 4.4 Rekapitulasi Ketermanfaatan Dana APP di Kas 103-105 Berdasarkan Kategori Bidang Perhatian Periode Tahun

Anggaran 2013-2014

Tabel 4.5 Rekapitulasi Ketermanfaatan Dana APP di Kas 106-107 Berdasarkan Kategori Bidang Perhatian Periode Tahun

Anggaran 2014-2015

Tabel 4.6 Rekapitulasi Jumlah Proposal Disetujui Program 117-121 Pemanfaatan Dana APP Panitia KAS Periode Tahun

Anggaran 2011-2012 sampai dengan 2014-2015

Tabel 4.7 Rekapitulasi Jumlah Proposal Disetujui Program 122-123 Pemanfaatan Dana APP Panitia Kevikepan Semarang

Periode Tahun Anggaran 2011-2012 sampai dengan 2014-2015

Tabel 4.8 Rekapitulasi Jumlah Proposal Disetujui Program 124 Pemanfaatan Dana APP Panitia Kevikepan Kedu

Periode Tahun Anggaran 2011-2012 sampai dengan

2014-2015

Tabel 4.9 Rekapitulasi Jumlah Proposal Disetujui Program 125 Pemanfaatan Dana APP Panitia Kevikepan Surakarta

Periode Tahun Anggaran 2011-2012 sampai dengan 2014-2015

Tabel 4.10 Rekapitulasi Jumlah Proposal Disetujui Program 126-128 Pemanfaatan Dana APP Panitia Kevikepan Yogyakarta

Periode Tahun Anggaran 2011-2012 sampai dengan 2014-2015

Tabel 5.1 Kepemilikan Pedoman Pengelolaan Dana Sosial Gereja 144 Paroki-Paroki di Kevikepan Yogyakarta

Tabel 5.2 Evolusi Konsep CSR Berdasarkan Fokus Perhatian CSR 167

Tabel 5.3 Tabel Perhitungan Koefisien Korelasi Jumlah Proposal 182-183 Disetujui (x) dengan Kompetensi Agen Pemberdayaan

(16)

xiii

DAFTAR DIAGRAM

Diagram Halaman

Diagram 4.1 Pembagian Kolekte Dana APP di KAS 81 Diagram 4.2 Perbandingan Jumlah Penerimaan dan Pemanfaatan 93

Dana Program Pemanfaatan Dana APP di KAS

Periode Tahun Anggaran 2011-2012 sampai dengan 2014-2015

Diagram 4.3 Prosentase Keterserapan Dana APP di KAS 94 Berdasar Lima Kepanitiaan

Diagram 4.4 Jumlah Proposal Disetujui Program Pemanfaatan Dana 109 APP di KAS Periode Tahun Anggaran 2011-2013

sampai dengan 2014-2015

Diagram 4.5 Pemanfaatan Dana APP di KAS Berdasarkan Lima 111 Kategori Bidang Perhatian

Periode Tahun Anggaran 2011-2012 sampai dengan 2014-2015

Diagram 4.6 Pemanfaatan Dana APP di KAS Berdasarkan Lima 113 Kategori Bidang Perhatian di Lima Kepanitiaan

(17)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

Gambar 3.1 Komponen Analisis Data 72

(18)

xv

DAFTAR SKEMA

Skema Halaman

Skema 2.1 Kerangka Berpikir 49 Skema 5.1 Tipe Pelayan Pengelola Dana APP 163

(19)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

Lampiran 1 Kisi-kisi Instrumen Penelitian Kesesuaian Program 199-200 Pemanfaatan Dana APP di Keuskupan Agung Semarang

dengan Prinsip-prinsip Ajaran Sosial Gereja

Lampiran 2 Kisi-kisi Intrumen Penelitian Profil Community 201-202 Empowerment dalam pengelolaan Program Pemanfaatan

Dana APP di Keuskupan Agung Semarang

Lampiran 3 Pokok Kerangka Acuan Kuesioner Profil Community 203-204 Empowerment dalam Pengelolaan Program Pemanfaatan

Dana APP di Keuskupan Agung Semarang

Lampiran 4 Kisi-kisi Instrumen Penelitian Tingkat Partisipasi Penerima Manfaat Program Pemanfaatan Dana APP Di Keuskupan Agung Semarang

Lampiran 5 Pokok Kerangka Acuan Penelitian Lapangan Tingkat 206-207 Partisipasi Manfaat Program Pemanfaatan Dana APP

Di Keuskupan Agung Semarang

Lampiran 6 Kisi-kisi Instrumen Penelitian Kompetensi Sebagai Agen 208-209 Pemberdayaan Tim PSE Paroki di Keuskupan

Agung Semarang

(20)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Data resmi yang dikeluarkan pemerintah menunjukkan bahwa di Indonesia masyarakat miskin saat ini berjumlah 28,59 juta orang (11,22 persen) bertambah

sebesar 0,86 juta orang dibandingkan dengan kondisi September 2014 yang

sebesar 27,73 juta orang (10,96 persen). Data kemiskinan ini diukur dari biaya pemenuhan bahan pokok pangan dan papan minimum dengan kisaran konsumsi kalori 2.100 kilokalori (kkal) atau garis kemiskinan sekitar Rp. 289 041,91 per kapita per bulan.1 Data ini memperlihatkan dengan jelas bahwa secara umum masih ada puluhan juta orang Indonesia yang taraf hidupnya berada di bawah garis kemiskinan.

Pemicu kemiskinan dewasa ini sangat bersifat multideminsional. Dunia kerja yang secara mendasar telah diubah oleh berbagai kemajuan teknologi modern, mendeskripsikan kemajuan kualitatif yang luar biasa, namun sayangnya hal ini juga diikuti dengan bentuk-bentuk baru ketidakstabilan dan penindasan di berbagai masyarakat yang justru dianggap makmur. Di berbagai tempat tingkat kesejahteraan terus bertumbuh, namun juga terdapat peningkatan yang memprihatinkan dalam jumlah orang-orang yang menjadi miskin dan, karena

1

Pemerintah melalui Badan Pusat Statistik (BPS) melaksanakan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) pada April 2014. Kegiatan tersebut bertujuan memotret kondisi sosial-ekonomi masyarakat, yang akan menjawab juga posisi terakhir kemiskinan di Indonesia. Badan Pusat Statistik. Diunduh dari http://bps.go.id

(21)

berbagai alasan kesenjangan antara mereka yang miskin dan yang kaya terus melebar. Pasar bebas, sebuah proses ekonomi dengan segi-segi yang positif, bagaimanapun juga pada akhirnya memperlihatkan keterbatasan-keterbatasannya.

Fenomena masalah sosial ini merupakan sebuah realitas sosial yang telah menjadi sebuah persoalan yang diperdebatkan, baik dalam ruang lingkup akademis maupun dalam ruang lingkup iman dan kepercayaan religius. Dari segi akademis, terdapat dua teori dan pendekatan terhadap kemiskinan, yakni teori-teori strukturalis, yang memandang kemiskinan dari sudut pandang sosial-politik (terutama teori-teori yang bermahzab Marxian), dan teori-teori kultural, terutama yang mendasarkan pendekatannya pada perspektif kebudayaan, seperti teori dan pendekatan kultural Oscar Lewis (Alhumami, 2008). Dari segi iman dan kepercayaan religius, Gereja Katolik menaruh perhatian yang serius terhadap persoalan kemiskinan dan upaya pengentasannya, seperti yang tertuang dari berbagai Ajaran Sosial Gereja.

Perhatian terhadap kemiskinan dari aspek akademis maupun ajaran religius itu menunjukkan bahwa kemiskinan merupakan sebuah fenomena yang mendesak untuk ditangani. Tidak mengherankan jika dengan semakin berkembangnya peradaban manusia, dan semakin meningkatnya kesadaran manusia akan pentingnya kesamaan harkat dan martabat manusia, telah menjadikan fenomena kemiskinan sebagai suatu permasalahan yang banyak mendapatkan sorotan. Secara akademis, berbagai telaah dalam ilmu sosial dan juga ilmu ekonomi banyak dilakukan, terutama untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang konsep kemiskinan dan mencari titik temu

(22)

penyelesaian yang benar-benar efektif dalam mengatasi masalah tersebut. Sebagai sebuah realitas sosial, kemiskinan juga mendapat perhatian dari kaum religius, termasuk Gereja Katolik. Gereja merasa dipanggil untuk dapat berbuat sesuatu untuk mengentaskan kemiskinan sebagai jalan memulihkan martabat manusia sebagai citra Allah. Gereja senantiasa berupaya untuk membangun solidaritas dengan kaum miskin dan tersingkir, demi mengusahakan pembebasan mereka yang seutuhnya. Gereja adalah Umat Allah yang diharapkan ikut ambil bagian dalam keprihatinan Allah dan rencana karya penyelamatan-Nya bagi seluruh umat manusia. Salah satu bentuk keterlibatan nyata Gereja dalam upaya penanganan masalah sosial ini adalah adanya Program Pemanfaatan Dana Aksi Puasa Pembangun (APP) yang pelaksanaannya ditangani oleh Panitia APP baik di tingkat nasional maupun di tingkat keuskupan.2

Program Pemanfaatan Dana APP di Keuskupan Agung Semarang yang akan dikaji dalam tesis ini dikelola oleh Panitia APP di Keuskupan Agung Semarang, yang terdiri dari lima kepanitiaan. Satu kepanitiaan di tingkat keuskupan dan empat kepanitiaan di tingkat kevikepan.3 Terdapat lima kategori pemanfaatan dana APP, yaitu: (1) kategori karitatif kemanusiaan, (2) kategori motivasi-animasi, (3) kategori bantuan pendidikan, (4) kategori bidang sosial kemasyarakatan dan pengembangan kemasyarakatan, dan (5) kategori bidang sarana-prasarana yang dikhususkan untuk merenovasi sarana-prasarana yang

2

Keuskupan merupakan suatu wilayah gereja yang dipercayakan pada reksa pastoral seorang uskup dan pembantu-pembantunya. Keuskupan biasanya diberi nama menurut kota tempat tinggal uskup.

3

Kevikepan bagian dari wilayah keuskupan yang dilayani oleh vikep (wakil uskup). Kevikepan mencakup sejumlah paroki. Kevikepan dibentuk untuk menciptakan koordinasi dan kerja sama yang lebih baik antarparoki sekevikepan.

(23)

rusak atau timbul akibat bencana alam atau musibah (Panitia APP Keuskupan Agung Semarang, 2012:3). Berdasarkan data lapangan programasi dan implementasinya di tingkat basis dari laporan Program Pemanfaatan Dana APP tahun anggaran 2012 – 2013 dapat ketahui bahwa jumlah keseluruhan nominal yang dikelola di Keuskupan Agung Semarang sebesar Rp 2.348.959.126. Angka yang mendeskripsikan jumlah nominal yang cukup besar.

Dari 1.024 proposal yang masuk di lima kepanitiaan pengelola Program Pemanfaatan Dana APP pada tahun anggaran 2012 – 2013, 57,13% merupakan permohonan bantuan yang bersifat karitatif. Kemudian 14,13% merupakan permohonan bantuan untuk pelaksanaan kegiatan retret, rekoleksi dan latihan kepemimpinan. Proposal yang bertujuan untuk pengembangan sosial-ekonomi dan kegiatan pemberdayaan sebanyak 28.74 %. Realisasi pemanfaatan dana APP berdasarkan permohonan proposal tersebut sebesar Rp 1.333.381.000. Termasuk dalam data ini pemanfaatan dana yang tidak melalui proposal, yaitu bantuan emergensi kemanusiaan. Dari nominal tersebut 49,09 % digunakan untuk bantuan yang bersifat karitatif. Sebanyak 9,58% diberikan sebagai bantuan pelaksanaan rekoleksi, retret dan pelatihan kepemimpinan. Untuk kegiatan yang bersifat pengembangan sosial-ekonomi dan pemberdayaan masyarakat sebesar 38,57 %.4

Deskripsi data yang dipaparkan di atas memperlihatkan ada persoalan penting yang perlu dicermati berkaitan dengan substansi maupun aplikasi Program

4

Pada tahun 2014 penulis pernah mengadakan penelitian mengenai pemanfaatan dana APP di Keuskupan Agung Semarang dan dituangkan dalam bentuk makalah dengan judul Kemiskinan dan Upaya Pemberdayaannya dalam Perspektif Iman Katolik: Studi Kasus Pemanfaatan Dana APP Keuskupan Agung Semarang.

(24)

Pemanfaatan Dana APP. Persoalan substansi berkaitan dengan landasan filosofi, idiologi dan tujuan yang hendak dicapai dalam Aksi Puasa Pembangunan. Pertanyaan yang berkaitan dengan persoalan substansi ini antara lain apakah terdapat kesesuaian antara Program Pemanfaatan Dana APP di Keuskupan Agung Semarang dengan prinsip-prinsip keterlibatan sosial dalam pelayanan Gereja yang sesuai dengan Ajaran Sosial Gereja yang disampaikan oleh Magesterium Partikular dan Universal, seperti tertuang dalam ensiklik-ensiklik sosial. Inspirasi Ajaran Sosial Gereja dalam meneliti dan menyelami tanda-tanda zaman secara global apakah sudah dijadikan tuntunan oleh pengelola Program Pemanfaatan Dana APP di Keuskupan Agung Semarang dalam melaksanakan tugas perutusan sosialnya.

Pola aplikasi berkaitan dengan tata kelola dan dampak Program Pemanfaatan Dana APP tersebut terhadap empowering umat. Pola pemberian dukungan dana kepada penerima manfaat program yang berbasis proposal mensyaratkan adanya Tim PSE Lingkungan dan Tim APP/PSE/DanPaMis Paroki yang peka terhadap kebutuhan umat dan memiliki pengetahuan yang cukup mengenai eksistensi dana-dana yang bisa diakses oleh umat.5 Kondisi dari hasil pengamatan awal pengamatan di lapangan mendiskripsikan tidak semua Tim PSE Lingkungan dan Tim APP/PSE/DanPaMis di Paroki memenuhi persyaratan tersebut. Ketidakterpenuhinya salah satu kompetensi ini kemungkinan merupakan

5

Di setiap Paroki minimal ada tiga jenis pendanaan yang bisa diakses oleh umat, yaitu: Dana Papa Miskin yang berasal dari 15% dari hasil kolekte umum dan amplop persembahan pada setiap hari Minggu, Dana APP yang ditinggal di Paroki berasal dari 25% dari keseluruhan dana yang diperoleh dari kolekte Minggu Palma serta kotak APP dan dana Tim Kerja PSE yang berasal baik dari dana program yang dianggarkan di RAPB Paroki maupun dana yang diperoleh dari permohonan kepada Panitia APP Kevikepan/Keuskupan/Nasional

(25)

salah satu penyebab mengapa ada beberapa Paroki yang sama sekali belum pernah mengakses dana APP baik di tingkat Kevikepan maupun Keuskupan. Data keterserapan dana APP -sesuai dengan apa yang telah dipaparkan di paragraf terdahulu- yang sebagian besar masih berada di kategori karitatif juga merupakan sinyal bahwa tata kelola Program Pemanfaatan Dana APP di Keuskupan Agung Semarang perlu melakukan evaluasi terkait dalam hal identifikasi masalah penerima manfaat dan perencanaan program. Lemahnya perencanaan dalam suatu program memproyeksikan rendahnya koordinasi dan partisipasi baik pemangku kepentingan maupun penerima manfaat. Berdasarkan pengamatan awal inilah penulis berketetapan hati mengangkat persoalan ini sebagai bahan penulisan tesis.

Tesis ini merupakan penelitian yang akan menerapkan prinsip-prinsip Ajaran Sosial Gereja dan Corporate Social Responbility dalam mengevaluasi Program Pemanfaatan Dana APP di Keuskupan Agung Semarang. Penelitian ini perlu dilakukan agar dapat memperoleh pengetahuan dan pemahaman yang lebih baik mengenai bagaimana Gereja melibatkan diri dalam persoalan-persoalan kemiskinan dengan sebuah pengamatan khusus pada kasus Program Pemanfaatan Dana APP di Keuskupan Agung Semarang. Ada dua perspektif teoritis yang digunakan dalam tesis ini, yaitu landasan filosofis dana APP dan teori Corporate Social Responbility.

Perpektif teoritis pertama yang digunakan dalam studi ini berkaitan dengan landasan filosofis dana APP. Landasan ini bersumber dari pemahaman mengenai dua hal yang sangat fundamental dalam pelaksanaan Program Pemanfaatan Dana APP di Keuskupan Agung Semarang. Pertama, mengenai apakah yang dimaksud

(26)

dengan APP. Kedua, perihal Ajaran Sosial Gereja yang merupakan pedoman bagi umat kristiani dalam berlaku sebagai orang kristiani dalam tata duniawi yang semakin diliputi persaingan dan pengelompokkan sehingga mengakibatkan rusaknya relasi antarmanusia, baik secara pribadi maupun bersama karena terbatasnya persediaan kebutuhan manusiawi (Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi-KWI, 2008:16)

Inspirasi dasar APP bersumber pada pemurnian kehidupan Kristiani dengan gerakan-tobat bersama yang dilakukan selama Masa Pra-Paskah (Heuken, 2004:70). Pada masa ini seluruh umat mengolah diri dengan bermati raga, berpuasa dan berpantang. Aktivitas-aktivitas diarahkan pada yang bersifat membangan manusia seutuhnya. Mati raga, puasa dan pantang bukan sekedar tanda pertobatan pribadi demi kesucian diri sendiri, melainkan juga merupakan tanda lahiriah cinta kasih pada sesama. Demensi sosial dalam masa Pra-Paskah menjadi nyata dalam usaha-usaha untuk mengurangi penderitaan bersama dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan bersama (Caritas Indonesia: LPPS, 1994:1). Berdasarkan pengalaman, APP semakin memperlihatkan perkembangan sebagai medan untuk memperjuangkan keadilan sosial melalui gerakan-gerakan solidaritas umat dalam menanggapi segi-segi pembangunan dalam masyarakat.

Tujuan akhir yang ingin dicapai dalam ber-APP adalah membangkitkan kesadaran umat akan pentingnya pembaharuan diri dan masyarakatnya dalam membangun manusia Indonesia yang dicita-citakan. Di satu pihak, Gereja mempunyai tujuan keselamatan yang baru akan tercapai sepenuhnya di dunia yang akan datang. Di lain pihak, Gereja juga merupakan tanda kehadiran Allah

(27)

Penyelamat di dunia ini. Maka umat sebagai Gereja Allah di Indonesia ada demi masyarakat Indonesia. Sebagai tanda keselamatan, umat menghayati iman sebagai anggota masyarakat dan terlibat dalam pembangunan masyarakat (Caritas Indonesia: LPPS, 1994 : 2). Pembangunan adalah gerakan pengambilbagian dalam penderitaan dan wafat Tuhan Yesus demi kesejahteraan, kedamaian, dan keadilan sosial bagi semua manusia. Dengan APP diharapkan terjadi gerakan pemberdayaan masyarakat yang merupakan wujud dari pelayanan yang mengutamakan kaum kecil, lemah, miskin, tersingkir dan difabel (Panitia APP Keuskupan Agung Semarang, 2009:17).

Masa Pra-Paskah selain merupakan masa untuk olah kesalehan pribadi juga merupakan masa untuk mengembangkan solidaritas kemanusiaan dengan menghimpun dana dari umat selama masa puasa. Dana yang terkumpul disebut Dana Aksi Puasa Pembangunan. Secara garis besar ada dua bidang yang didukung pendanaannya oleh Panitia APP. Pertama, bidang pelayanan karitatif. Kedua, bidang pelayanan pemberdayaan dan pengembangan masyarakat (Panitia APP Keuskupan Agung Semarang, 2009:21). Terkait dengan pemanfaatannya untuk bidang yang kedua, secara nasional ditangani oleh Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi Konperensi Waligereja Indonesia atau disebut sebagai Komisi PSE KWI. Sedangkan di setiap keuskupan ditangani oleh Komisi PSE Keuskupan.

Dana APP dimaksudkan untuk menunjang program pembangunan dan kegiatan masyarakat Indonesia. Program ini mengutamakan asas solidaritas dan subsidiaritas, yakni sebagai bantuan penunjang usaha-usaha swadaya yang

dilakukan oleh kelompok masyarakat. Adapun tujuannya adalah untuk:

(28)

(1) meningkatkan kesadaran dan motivasi masyarakat terutama umat katolik agar lebih peka terhadap kebutuhan sesama yang lemah-miskin atas dasar keadilan sosial; (2) meningkatkan taraf hidup dengan mengusahakan pelbagai usaha di bidang sosial ekonomi masyarakat; (3) meningkatkan kemampuan kerja organisasi yang menaruh perhatian pada usaha-usaha pembangunan masyarakat kecil (Caritas Indonesia: LPPS, 1994 : 4).

Tanggung jawab sosial gereja adalah penegasan tentang upaya dan pergumulan gereja untuk mengatasi segala sesuatu yang membuat orang-orang miskin terus-menerus menjadi orang yang terpinggirkan dan tersingkirkan, yakni kelaparan, penyakit kronis, tuna aksara, kemiskinan, ketidakadilan dalam relasi internasional khususnya di bidang perdagangan, situasi ekonomi, dan neo-kolonialisme budaya yang kadang kala lebih kejam daripada neo-kolonialisme politik. Gereja memiliki tanggung jawab untuk mewartakan pembebasan bagi jutaan manusia; tanggung jawab untuk melahirkan pembebasan, untuk memberikan kesaksian tentangnya, dan untuk memastikan bahwa pembebasan tersebut mencapai kepenuhannya (Paul VI, 1991, hal 296) . Dalam hal ini, signifikasi dan relevansi Gereja bagi masyarakat tampak bila Gereja sungguh-sungguh terlibat dalam pergulatan hidup masyarakat. Gereja tidak menjadi asing di tengah pergulatan masyarakat, tetapi ikut menyumbang dalam kehidupan bersama secara khusus dalam pengembangan sosial ekonomi, maupun dalam memperjuangkan keadilan, kedamaian dan keutuhan ciptaan (Dewan Karya Pastoral Keuskupan Agung Semarang, 2011).

(29)

Komitmen bahwa Gereja sungguh-sungguh terlibat dalam pergulatan hidup masyarakat muncul secara tegas dalam Arah Dasar (Ardas) Keuskupan Agung Semarang tahun 2006-2010 dan tahun 2011-2015. Berikut petikan alinea terkait kedua Ardas tersebut.

Alinea ke-2 Arah Dasar Umat Allah KAS tahun 2006-2010:

Dalam konteks masyarakat Indonesia yang sedang berjuang mengatasi korupsi, kekerasan, dan kerusakan lingkungan, umat Allah Keuskupan Agung Semarang terlibat secara aktif membangun habitus baru berdasarkan semangat Injil (bdk. Mat 5-7). Habitus baru dibangun bersama-sama: dalam keluarga dengan menjadikannya sebagai basis hidup beriman, dalam diri anak, remaja, dan kaum muda dengan melibatkan mereka untuk pengembangan umat, dalam diri yang kecil, lemah, miskin dan tersingkir (KLMT) dengan memberdayakannya.

Alinea ke-3 Arah Dasar Umat Allah KAS tahun 2011-2015:

Langkah pastoral yang ditempuh adalah pengembangan umat Allah, terutama optimalisasi peran kaum awam, secara berkesinambungan dan terpadu dalam perwujudan iman di tengah masyarakat; pemberdayaan kaum kecil, lemah, miskin, tersingkir, dan difabel; serta pelestarian keutuhan ciptaan. Langkah tersebut didukung oleh tata penggembalaan yang sinergis, mencerdaskan dan memberdayakan umat beriman serta memberikan peran pada berbagai kharisma yang hidup dalam diri pribadi maupun kelompok.

Dua potongan alinea arah dasar KAS tersebut menunjukkan komitmen Gereja dalam hal keterlibatan sosial Gereja dalam menanggapi realitas kemiskinan. Mereka yang kecil, lemah, miskin, tersingkir, dan difabel adalah bagian dari harta warisan Gereja, selalu ada bersama gereja. Bersama mereka, dikembangkan gerak pemberdayaan yang memerdekakan.

Kegiatan Gereja demi keadilan dan partisipasi dalam perombakan dunia tersebut sepenuhnya sebagai demensi kostitutif pewartaan Injil (Roman Synod 1971, 1991:270). Gereja yang dimaksudkan dalam studi ini adalah Gereja Katolik dengan bentuk-bentuk tanggung jawab sosial gereja yang diwujudkan dalam

(30)

berbagai dokumen, seperti ketetapan Paus yang untuk selanjutnya disebut ensiklik maupun Ajaran Sosial Gereja.

Perspektif teoritis kedua berkaitan dengan teori Corporate Social Responbility (CSR). Salah satu temuan utama ketika mempelajari CSR dari literatur adalah bahwa tidak ada satupun konsep yang secara universal dapat diterima sebagai definisi CSR. Definisi generik mengenai CSR yang mengandung pengertian cukup lengkap muncul dari World Business Council for Sustainable Development (Urip, 2014:6). CSR menurut World Business Council for Sustainable Development adalah komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan para karyawan perusahaan, keluarga karyawan, masyarakat lokal dan masyarakat luas dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan (Holme dan Watts, 2000). Selanjutnya bidang ini berkembang secara signifikan dan saat ini berkembang beragam teori, pendekatan dan terminologi mengenai CSR.

Bidang ini merupakan isu akademis yang menarik perhatian banyak pakar manajemen. Carr (1996;55-62), meletakkan CSR dalam kerangka profit-making. Menurut Carr perusahaan memiliki standar etis yang lebih rendah daripada masyarakat pada umumnya dan tidak memiliki tanggung jawab sosial selain mematuhi hukum. Freedman (1996:241) berpendapat selain perusahaan memaksimalkan kekayaan shareholder dan mematuhi undang-undang, perusahaan juga harus bersifat etis. Freeman (2001) mengutamakan peran perusahaan untuk peduli tehadap masyarakat. Perusahaan harus peduli pada potensi kerugian dari perilaku bisnisnya dalam berbagai kelompok stakeholder. Carroll (2000)

(31)

menyempurnakan tiga pendapat ahli terdahulu dengan menunjukkan bahwa CSR terdiri dari empat jenis tanggung jawab, yaitu: ekonomi, hukum, etika dan filantropis. Masing-masing tanggung jawab merupakan domain atau demensi dari model CSR yang terpisah. Namun, mereka masih saling terkait satu sama lain serta saling tergantung dengan beberapa cara.

Pada akhirnya, meskipun muncul banyak definisi dan teori CSR , Panwar dan Hansen (2007) menegaskan bahwa CSR harus mengacu pada keseimbangan ekonomi, sosial dan lingkungan. Keseimbangan ini menempatkan CSR secara tegas dalam ranah sustainable development atau yang untuk selanjutnya disebut sebagai pembangunan berkelanjutan. Ide pembangunan berkelanjutan ini diterapkan di perusahaan dengan cara mengarahkan kegiatan bisnisnya pada penciptaan ketiga demensi nilai triple bottom line, yang sangat terkenal dengan istilah 3P, yaitu profit, planet dan people (Elkington, 1998). Langkah pencapaian triple bottom line dilebur dalam wawasan CSR. Profit membentuk landasan bagi keberlangsungan kegiatan perusahaan, dan juga merupakan prasyarat untuk tercapainya dua dimensi yang lain. Oleh sebab itu, meskipun perolehan laba secara berkelanjutan wajib terjaga, namun hanya pendekatan holistik terhadap semua keberlanjutan -di sinilah CSR memainkan peranan penting- yang akan memungkinkan perusahaan mempunyai daya saing.

Terkait dengan hal di atas, maka dalam konteks pembangunan berkelanjutan, kesuksesan sebuah perusahaan dapat dicapai melalui pencapaian tujuan organisasi secara keseluruhan tanpa mengorbankan keseimbangan hubungan antara tiga demensi dari pembangunan berkelanjutan. CSR, dalam hal

(32)

ini merupakan sarana untuk menuju tujuan tersebut. Dibedakan 3 tingkatan dalam pelaksanaan CSR, yaitu: (1) community relation yang menekankan jalinan harmonis antara perusahaan dan masyarakat dengan program sponsorship dan charity; (2) community assistance yang berorientasi pada bantuan-bantuan sosial kemanusiaan yang bersifat insidental; dan (3) community empowerment yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat dan meningkatkan daya saing masyarakat. Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, tingkatan community empowerment inilah yang paling sesuai untuk dilaksanakan (Resnawaty, 2011:145-158).

Seperti yang telah dipaparkan dalam paragraf terdahulu, perusahaan yang dianggap bertanggung jawab sosial adalah perusahaan yang secara sadar mengarahkan kegiatan bisnisnya pada penciptaan ketiga dimensi nilai, yaitu profit, people dan planet. Pendekatan holistik dan seimbang pada tiga dimensi nilai tersebut membentuk landasan bagi keberlanjutan kegiatan suatu perusahaan. Desain konsep triple bottom line dalam suatu perusahaan tersebut, diusulkan dalam studi ini untuk diadopsi dan diterapkan secara selektif pada pelaksanaan Program Pemanfaatan Dana APP di Keuskupan Agung Semarang sebagai prasyarat keberhasilan dan keberlanjutan program tersebut. Gereja sebagai sebuah organisasi nonprofit tetap harus mempertimbangkan aspek economic goal dalam melaksanakan peran sosialnya supaya berkelanjutan dan bukan sesaat, sementara dan tidak berkesinambungan. Sebagaimana perusahaan sebagai organisasi yang berorientasi pada profit juga mempertimbangkan aspek social goal agar keberlanjutan perusahaan tetap terjaga.

(33)

Berdasarkan latar belakang dan wawasan teoritis yang dipaparkan di atas, studi ini mengambil judul “Manajemen Keterlibatan Sosial Gereja: Studi Kasus Program Pemanfaatan Dana APP di Keuskupan Agung Semarang”. Ada tiga alasan yang mendasarinya. Pertama, keprihatinan penulis terhadap pendekatan dan metode tata kelola Program Pemanfaatan Dana APP di Keuskupan Agung Semarang dalam mewujudkan dimensi sosialnya. Seperti yang diuraikan dalam paragraf sebelumnya, Program Pemanfaatan Dana APP di Keuskupan Agung Semarang sebagian besar berada dalam kategori karitatif kemanusiaan. Dewasa ini, dalam kerangka pengembangan perlindungan sosial berbasis kebutuhan masyarakat fase karitatif semacam ini memerlukan fase lanjutan yang dapat menunjang dan melengkapi. Program yang bersifat karitatif tidak berarti buruk tetapi efeknya hanya akan bertahan dalam siklus yang amat pendek dan tidak berkelanjutan. Selain itu, pendekatan ini dinilai kurang mampu meningkatkan keberdayaan atau kapasitas masyarakat lokal (Resnawaty, 2011:145-158).

Kedua, ada keinginan agar ilmu Social Responbility Management yang dikuasai ini ikut memberikan kontribusi dalam tata kelola Program Pemanfaatan Dana APP di Keuskupan Agung Semarang dalam menangani masalah-masalah sosial. Perkembangan terkini dari ilmu Social Responbility Management yang diaplikasikan dalam sebuah Corporate, lebih menekankan pada pendekatan community development yang bercirikan konsep empowerment dan sustainable development dalam penanganan masalah sosial. Konsep ini akan didiskusikan secara akademis untuk menemukan titik temu dengan prinsip-prinsip Ajaran Sosial Gereja dalam melaksanakan dimensi sosialnya.

(34)

Ketiga, tersusunnya panduan yang lebih komprehensif dalam pengembangan dimensi sosial ekonomi masyarakat dalam perspektif tata kelola gereja. Terkait dengan hal ini pengembangan dimensi sosial ekonomi masyarakat tidak hanya cukup dimengerti dalam arti pengembangan kemakmuran masyarakat tetapi harus mencakup pengertian yang lebih luas, yakni pengembangan hubungan sosial masyarakat dalam tingkat ekonomi yang semakin baik.

1.2. Perumusan Masalah

Gereja sebagai salah satu entitas dalam kehidupan masyarakat memiliki tanggung jawab sosial, sehingga gereja perlu terlibat dan ambil bagian dalam penanganan masalah-masalah sosial. Program Pemanfaatan Dana APP di Keuskupan Agung Semarang merupakan salah satu bentuk keterlibatan sosial Gereja. Program ini menggunakan dana APP untuk mendukung pelayanan pemberdayaan umat katolik dan masyarakat pada umumnya yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi dan kualitas hidup manusia, terutama bagi mereka yang kecil, lemah, miskin, tersingkir dan difabel.

Data lapangan programasi dan implementasinya di tingkat basis dari laporan pemenfaatan dana APP tahun anggaran 2012 - 2013 memperlihatkan adanya suatu Persoalan yang perlu dicermati secara teliti dan mendalam terkait dengan persoalan substansi maupun aplikasi dalam pelaksanaan Program Pemanfaatan Dana APP di Keuskupan Agung Semarang. Secara lebih spesifik, persoalan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.

(35)

1. Sejauh mana koherensi Program Pemanfaatan Dana APP di Keuskupan Agung Semarang dengan kerangka kerja Ajaran Sosial Gereja?

2. Sejauh mana kesesuaian pengelolaan Program Pemanfaatan Dana APP di Keuskupan Agung Semarang dengan kategori-kategori yang terdapat dalam konsep community empowerment?

3. Sejauh mana potensi keberlanjutan Program Pemanfaatan Dana APP di Keuskupan Agung Semarang?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah mengevaluasi Program Pemanfaatan Dana APP di Keuskupan Agung Semarang. Secara lebih spesifik, tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.

1. Menganalisis tingkat koherensi Program Pemanfaatan Dana APP di Keuskupan Agung Semarang dengan kerangka kerja ASG.

2. Mengevaluasi pengelolaan Program Pemanfaatan Dana APP di Keuskupan Agung Semarang berdasarkan kategori-kategori yang terdapat dalam konsep community empowerment.

3. Menganalisis potensi keberlanjutan Program Pemanfaatan Dana APP di Keuskupan Agung Semarang.

(36)

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian mengenai evaluasi Program Pemanfaatan Dana APP di Keuskupan Agung Semarang ini memiliki dua manfaat, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis. Secara spesifik kedua manfaat tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.

1.4.1. Manfaat Teoretis

1. Memperkaya kajian dalam Social Responbility Management, khususnya mengenai pendekatan CSR yang dapat diterapkan sebagai model tata kelola gereja untuk mewujudkan dimensi sosialnya.

2. Mengembangkan konsep Social Responbility Management dalam tata kelola Program Pemanfaatan Dana APP di Keuskupan Agung Semarang.

1.4.2. Manfaat Praktis

1. Menyajikan model manajemen CSR dalam pengelolaan dana APP di Keuskupan Agung Semarang.

2. Memberikan rekomendasi tentang tata kelola pemanfaatan dana APP di Keuskupan Agung Semarang dalam penanganan masalah-masalah sosial dalam perspektif Social Responbility Management .

(37)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Pengantar

Sebagaimana telah diuraikan dalam bagian pendahuluan, tesis ini merupakan studi yang menggunakan pendekatan evaluasi untuk mengkaji Program Pemanfaatan Dana APP di Keuskupan Agung Semarang. Kata ‘evaluasi’ dalam kehidupan sehari-hari sering diartikan sebagai padanan istilah ‘penilaian’ yaitu suatu proses untuk menyediakan informasi tentang sejauh mana suatu kegiatan tertentu telah dicapai, bagaimana perbedaan pencapaian itu dengan suatu standar tertentu untuk mengetahui apakah ada selisih di antara keduanya, serta bagaimana manfaat yang telah dikerjakan itu bila dibandingkan dengan harapan-harapan yang ingin diperoleh. Dalam ilmu manajemen yang menekankan pada pelaksanaan empat fungsi manajemen, yaitu perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian dan pengendalian, evaluasi menempati fungsi pengendalian. Pengendalian adalah proses untuk mengetahui apakah aktivitas organisasi telah sesuai dengan perencanaan atau tidak. Kegiatan pengendalian meliputi empat langkah yaitu: pertama, menetapkan standar kinerja; kedua, mengukur kinerja secara aktual; ketiga, membandingkan kinerja aktual dengan standar; dan keempat, melakukan tindakan untuk perbaikan bila terjadi penyimpangan antara kinerja aktual dengan kinerja standar.

(38)

Terkait dengan hal di atas, evaluasi Program APP di Keuskupan Agung Semarang ini diletakkan dalam konteks persolan substansi dan aplikasi. Persoalan substansi berkaitan dengan landasan filosofi, idiologi dan tujuan yang hendak dicapai dalam Aksi Puasa Pembangunan. Persoalan aplikasi bersinggungan dengan manajemen keterlibatan sosial dalam pelaksanaan Program Pemanfaatan Dana APP di Keuskupan Agung Semarang. Evaluasi ini dengan menggunakan standar dan orang-orang yang terlibat dalam suatu kegiatan yang dievaluasi. Hasil dari evaluasi program akan digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk meningkatkan kualitas perumusan, implementasi dan hasil dari program.

Kerangka teori yang akan dikembangkan untuk tujuan evaluasi ini dengan menggunakan prinsip-prinsip Ajaran Sosial Gereja dan teori community empowerment dalam dimensi Corporate Social Responbility. Kombinasi dari dua hal berbeda ini akan menjadi panduan dalam penyusunan standar kinerja pelaksanaan Program Aksi Puasa Pembangunan di Keuskupan Agung Semarang. Standar kinerja yang dihasilkan akan digunakan untuk mengukur kinerja yang aktual terjadi. Selanjutnya, hasil perbandingan kinerja aktual dengan standar kinerja akan digunakan untuk perbaikan apabila terjadi penyimpangan antara kinerja aktual dengan kinerja standar.

2.2. Ajaran Sosial Gereja

Ajaran sosial Gereja pada awalnya tidak dipikirkan sebagai sebuah sistem yang terstruktur tetapi muncul karena bergulirnya waktu, melalui sejumlah

(39)

intervensi Magisterium atas persoalan-persoalan sosial. Ajaran sosial Gereja termasuk dalam ranah teologi, bukan ideologi, dan khususnya teologi moral (Paul II, 1987:424). Ajaran sosial Gereja tidak dapat didefinisikan selaras dengan parameter-parameter sosio-ekonomi. Ajaran sosial Gereja bukan sistem ideologis atau pragmatis yang bermaksud untuk menentukan dan menciptakan relasi-relasi ekonomi, politik dan sosial, melainkan sebuah kategori yang mandiri. Ajaran sosial Gereja merupakan perumusan cermat hasil-hasil refleksi yang saksama tentang realitas kehidupan, dalam masyarakat maupun dalam tatanan internasional, dalam terang iman dan tradisi Gereja. Ajaran itu bermaksud menafsirkan kenyataan-kenyataan itu, dengan menetapkan keselarasan ataupun perbedaannya dengan ajaran Injil tentang manusia dan panggilannya, panggilan sekaligus duniawi dan adikodrati. Tujuan Ajaran sosial Gereja adalah menuntun menuju perilaku Kristen.

Selanjutnya, Ajaran Sosial Gereja bercorak teologis, khususnya teologi moral, sebab Ajaran Sosial Gereja merupakan pedoman-pedoman untuk bertindak” (Paul II, 1987:424). Ajaran ini menempatkan diri pada titik temu antara kehidupan serta hati nurani Kristen di satu pihak dan kenyataan-kenyataan konkret dunia di lain pihak. Ajaran itu terealisasi dalam usaha-usaha yang dijalankan oleh kaum beriman secara individu, keluarga-keluarga, komunitas yang berkecimpung dalam bidang kebudayaan dan kemasyarakatan, para tokoh politik dan pemimpin negara, untuk mewujudnyatakan serta menerapkan ajaran itu dalam realitas kehidupan (Paul II, 1991:477). Dalam ajaran sosial ini tercermin tiga taraf pengajaran, yaitu teologi moral yang berada dalam taraf fondasional motivasi;

(40)

taraf direktive kaidah untuk kehidupan di tengah masyarakat; dan taraf deliberative hati nurani, yang dipanggil untuk mengantarai norma objektif serta norma umum dalam situasi sosial yang konkret dan tertentu. Ketiga taraf ini secara implisit menentukan pula metode yang tepat serta struktur epistemologis yang khas dari ajaran sosial Gereja (Pontifical Council for Justice and Peace, 2005:73).

Terkait dengan tujuan penelitian tesis ini, maka pada komponen landasan teori mengenai Ajaran Sosial Gereja akan dipaparkan mengenai tiga hal, yaitu: pengertian tentang Ajaran Sosial Gereja, catatan historis perjalanan Ajaran Sosial Gereja dan prinsip-prinsip Ajaran Sosial Gereja. Selanjutnya, untuk kepentingan penyusunan instrumen evaluasi Program Pemanfaatan Dana APP di Keuskupan Agung Semarang akan digunakan prinsip-prinsip Ajaran Sosial Gereja yang merupakan nilai-nilai penting yang dirangkum dari setiap Ajaran Sosial Gereja yang telah dipaparkan dalam bab sebelumnya.

2.2.1. Pengertian tentang Ajaran Sosial Gereja

Istilah “Ajaran Sosial Gereja” atau dalam bahasa Inggris sering disebut Social Doctrines of the Catholic Church menunjuk pertama-tama pada Ajaran para Paus dalam Ensiklik atau Surat Apostolik mengenai persolan-persoalan sosial sejak Surat Ensiklik Rerum Novarum dari Paus Leo XIII. Perhatian Gereja untuk persoalan-persoalan sosial tentu saja tidak baru dimulai dengan dokumen tersebut, karena Gereja tidak pernah lupa menunjukkan perhatiannya terhadap masyarakat. Namun demikian, Ensiklik Rerum Novarum menandai permulaan

(41)

kesadaran-kesadaran baru dalam hidup menggereja. Kesadaran baru ini dalam hal keterlibatan umat Katolik pada persoalan-persoalan politik, keadilan kerja, tata ekonomi dan relasi perdagangan, tata damai dunia, relasi pemilik modal dan buruh, kesehatan dan hidup manusia, teknologi komunikasi, radio, film, aneka perkembangan dan kemajuan global, hak asasi dan kebebasan beragama, kebebasan beremigrasi dan menentukan nasionalitas, soal-soal lingkungan dan pemanasan global.

Ajaran Sosial Gereja bertujuan agar hidup beriman tidak hanya dipenuhi oleh sekedar “perbuatan-perbuatan saleh pribadi”, melainkan menampilkan dinamika partisipasi hidup beriman yang kongkret dalam pengalaman suka dan duka masyarakat. Ajaran Sosial Gereja memiliki tujuan agar umat beriman bertindak, bergerak, bekerja bersama-sama dalam cara-cara yang efektif untuk membangun tata hidup manusia. Cara efektif diwujudkan dalam aneka kerja sama pemberdayaan dan pengentasan sesama dari keterpurukan (Riyanto, 2015:3).

Selanjutnya, dalam Ajaran Sosial Gereja terdapat pemahaman yang menyeluruh mengenai keterlibatan nyata bagaimana iman Katolik mendorong umat untuk berkarya nyata. Ajaran Sosial Gereja memiliki jalan pikiran yang integral dalam semua tahapan. Pada prinsipnya dokumen-dokumen Ajaran Sosial Gereja berpolakan jalan pikiran To see, judge and act seperti yang termuat dalam Ensiklik Mater et Magistra dari Yohanes XXIII (Riyanto, 2015:12). To see memuat maksud bahwa Gereja pertama-tama menyimak, mendengarkan dan mempelajari segala persoalan yang ada dalam realitas sosial. To judge

(42)

mengindikasikan langkah selanjutnya, yaitu Gereja memberikan refleksi teologis, penilaian, analitis, kritik, pembahasan atas realitas perkembangan yang ada dalam realitas tersebut. “Gereja” di sini adalah para pemimpin klerus maupun para tokoh umat. To act artinya Gereja mendesak umat Allah atau siapa pun yang berkehendak baik untuk bertindak konkret mempromosikan keadilan dan melawan segala bentuk ketidakadilan, mempromosikan perdamaian, dan tatanan sosial yang benar dan baik.

2.2.2. Catatan Historis Ajaran Sosial Gereja

Sebagai tanggapan terhadap masalah sosial besar yang pertama, Paus Leo XIII memaklumkan ensiklik sosial yang pertama, Rerum Novarum. Ensiklik yang dimaklumatkan pada tanggal 15 Mei 1891 ini menaruh perhatian pada masalah-masalah sosial secara sistematis. Juga pertama kali jalan pikiran ajaran sosial berangkat dari prinsip keadilan universal. Paus Leo XIII telah melihat parahnya kondisi kerja, karena eksploitasi oleh kapitalisme tanpa kontrol akibat revolusi industri, dan bangkitnya kekuatan sosialisme serta marxisme. Dengan berdasarkan hukum kodrat, Paus membela hak-hak buruh, pentingnya keadilan dan solidaritas, sekaligus juga meneguhkan hak kodrati atas kepemilikan pribadi (Leo XIII, 1891: 15-40).

Pada permulaan tahun 1930-an, menyusul krisis ekonomi dahsyat tahun 1929, Paus Pius XI menerbitkan Ensiklik Quadragesimo Anno, dalam konteks memperingati ulang tahun ke-40 Rerum Novarum. Ensiklik ini menegaskan kembali prinsip-prinsip dalam Rerum Novarum dan mengaplikasikannya dalam

(43)

situasi zaman itu. Paus menolak solusi komunisme yang menghilangkan hak-hak pribadi. Namun juga sekaligus mengkritik persaingan kapitalisme sebagai yang akan menghancurkan dirinya sendiri. Ajaran Paus Pius XI (1931:41-80) menunjukkan bagaimana Ajaran Sosial Gereja berkembang dan menjadi lebih spesifik, terutama dalam mempertahankan prinsip-prinsip : perdamaian dan keadilan, solidaritas, kesejahteraan umum, subsidiaritas, hak milik, hak untuk berserikat, dan peranan fundamental keluarga dalam masyarakat.

Paus Pius XI juga melawan rezim-rezim totaliter yang tengah menggejala di Eropa pada masa kepausannya. Paus Pius XI melancarkan protes menentang penyalahgunaan kekuasaan oleh rezim fasis totaliter di Italia dengan Ensiklik Non Abbiamo Bisogno. Terbitnya Ensiklik Mit Brennender Sorge tentang situasi Gereja Katolik di bawah Reich Jerman pada tanggal 14 Maret 1937 juga merupakan tanggapan atas situasi zaman itu. Teks Mit Brennender Sorge dibacakan di setiap Gereja Katolik di Jerman, setelah disebarkan dengan rahasia. Ensiklik tersebut keluar setelah tahun-tahun kesewenang-wenangan dan tindak kekerasan, dan ensiklik itu secara tegas diminta dari Paus Pius XI oleh para Uskup Jerman setelah Reich menerapkan langkah-langkah yang kian keras dan represif pada tahun 1936, khususnya yang berkenaan dengan kaum muda yang diwajibkan untuk mendaftarkan diri menjadi anggota Gerakan Kaum Muda Hitler (Pontifical Council for Justice and Peace, 2005:91).

Bersama dengan Ensiklik Divini Redemptoris tentang komunisme ateistik dan ajaran sosial Kristen, Paus Pius XI menyajikan sebuah kritik yang sistematis terhadap komunisme, dengan menyebutnya sebagai “yang secara

(44)

intrinsik merupakan kejahatan”, dan menyiratkan bahwa sarana-sarana utama untuk membenahi kejahatan yang dilakukan olehnya dapat ditemukan dalam pembaruan kehidupan Kristen, praktik cinta kasih injili, pemenuhan tugas-tugas keadilan baik pada tingkat antarpribadi maupun sosial dalam kaitan dengan kesejahteraan umum, serta pelembagaan kelompok-kelompok profesi dan lintas-profesi (Pontifical Council for Justice and Peace, 2005:92).

Paus Yohanes XXIII, dalam ensikliknya Mater et Magistra yang dipublikasikan tanggal 15 Mei 1961 untuk merayakan 70 tahun Rerum Novarum mengingatkan kembali semangat Rerum Novarum dan Quadragesimo Anno serta mengambil satu langkah maju dalam proses melibatkan seluruh jemaat Kristen. Ensiklik ini mengungkapkan keprihatinan mendalam Paus akan keadilan. Paus mencermati tumbuhnya jurang antara negara kaya dan miskin, sebagai produk dari sistem tata dunia yang tidak adil dan akibat dari penekanan yang terlalu kuat pada kemajuan industri, perdagangan, dan teknologi zaman itu. Dalam ensiklik ini diajukan pula “jalan pikiran” Ajaran Sosial Gereja: see, judge, and act. Gereja Katolik didesak untuk berpartisipasi secara aktif dalam memajukan tata dunia yang adil (John XXIII, 1961:80-124).

Perdamaian dan perang adalah tema penting Ensiklik Pacem in Terris

yang terbit pada tanggal 11 April 1963. Paus Yohanes XXIII, menyerukan perdamaian kepada dunia. Pada saat itu baru terjadi krisis Kuba, salah satu masa paling menegangkan dalam perang dingin dengan ancaman nuklirnya. Masa itu juga ditandai dengan berakhirnya kolonialisme di banyak negara, yang diwarnai dengan perselisihan tragis, yang melibatkan rasisme, tribalisme, dan aplikasi

(45)

brutal ideologi marxisme. Untuk memajukan tatanan sosial yang penuh damai, Paus mendukung partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan berkaitan dengan kesejahteraan umum, terutama melalui proses-proses demokratis (John XXIII, 1963:125-156).

Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes dari Konsili Vatikan II merupakan sebuah tanggapan yang sarat makna dari pihak Gereja terhadap berbagai harapan dan kerinduan dunia dewasa ini. Gaudium et Spes (kegembiraan dan harapan), merupakan dokumen Konstitusi Pastoral tentang Gereja dalam dunia modern, hasil Konsili Vatikan II tanggal 7 Desember 1965. Dokumen ini merupakan refleksi para Bapa Konsili tentang kehadiran Gereja di tengah dunia modern. Dalam refleksi itu, mereka mengaplikasikan ajaran-ajaran Gereja tentang moral dan sosial pada harapan-harapan dan tantangan-tantangan yang dialami di banyak negara pada masa itu. Para Bapa Konsili sangat kuat mendorong partisipasi umat Katolik dalam berbagai dimensi kehidupan duniawi (Second Vatikan Council, 1965:157-220).

Dokumen lain dari Konsili Vatikan II yang sangat penting dalam kumpulan ajaran sosial Gereja adalah Pernyataan Dignitatis Humanae, di mana hak untuk kebebasan beragama dimaklumkan dengan sangat jelas dan tegas. Dokumen ini menyajikan tema tersebut dalam dua bab. Yang pertama, yang bercorak umum, menegaskan bahwa kebebasan beragama dilandaskan pada martabat pribadi manusia dan bahwa kebebasan itu mesti dikokohkan sebagai sebuah hak sipil dalam tatanan hukum masyarakat. Bab kedua mengkaji tema tersebut dalam terang wahyu serta menjelaskan dampak-dampak pastoralnya,

(46)

sembari menunjukkan bahwa itu adalah sebuah hak yang tidak hanya bersangkut paut dengan orang sebagai individu tetapi juga dengan berbagai kelompok orang (Pontifical Council for Justice and Peace, 2005:97).

Ensiklik Populorum Progressio dimaklumatkan oleh Paus Paulus VI pada 26 Maret 1967. Paus Paulus VI berbicara di pihak jutaan rakyat dari negara berkembang. Berhadapan dengan semakin lebarnya jurang antara negara-negara kaya dan miskin, Paus menegaskan bahwa keadilan tidak bisa dipisahkan dari pembangunan dan kemajuan. Pembangunan dan kemajuan harus ditujukan pada perkembangan manusia secara integral. Isu tentang marginalisasi kaum miskin akibat pembangunan banyak dibahas. Ensiklik ini mendorong banyak umat Katolik untuk menjalankan option for the poor dan menghadapi sebab-sebab penindasan (Paul VI, 1967:221-244).

Pada permulaan tahun 1970-an, dalam sebuah suasana pergolakan dan kontroversi ideologis yang kuat, Paus Paulus VI meninjau kembali ajaran sosial Paus Leo XIII dan memperbaharuinya, dalam kesempatan ulang tahun ke-80 Rerum Novarum, dengan Surat Apostolik Octogesima Adveniens. Paus membahas persoalan-persoalan khas tahun 70an dengan surat apostolik kepada Kardinal Maurice Roy. Surat tersebut menyerukan persoalan keadilan sosial dengan memperhitungkan ancaman komunisme dan masalah-masalah serius lain, seperti urbanisasi, diskriminasi rasial, teknologi baru, dan peran umat Katolik dalam politik. Soal-soal yang berkaitan dengan urbanisasi dipandang menjadi salah satu sebab lahirnya “kemiskinan baru”. Paus mendorong umat untuk bertindak mengambil bagian secara aktif dalam masalah-masalah politik dan mendesak

(47)

untuk memperjuangkan nilai-nilai injili guna membangun keadilan sosial (Paul VI, 1971:244-267).

Dokumen Justicia in Mundo yang dikenal juga dengan Convenientes ex Universo. Dokumen ini merupakan hasil Sinode para uskup di Roma tahun 1971. Para uskup, yang berkumpul di Roma untuk sinode tahun 1971, menyuarakan untuk jutaan orang yang tinggal di negara-negara berkembang. Mereka tidak hanya menyerukan diakhirinya kemiskinan dan penindasan, namun juga perdamaian abadi dan keadilan sejati. Dalam Gereja, sebagaimana di dalam dunia, keadilan harus dipertahankan dan dipromosikan. Misi Gereja tanpa ada suatu upaya konkret dan tegas mengenai tindakan perjuangan keadilan, tidaklah integral. Misi Kristus dalam mewartakan datangnya Kerajaan Allah mencakup pula datangnya keadilan. Keadilan merupakan dimensi konstitutif pewartaan Injil. Para uskup juga menyerukan dihormatinya hak untuk hidup, hak-hak perempuan, dan perlunya pendidikan keadilan. Dokumen ini banyak diinspirasikan oleh seruan keadilan dari Gereja-Gereja di Afrika, Asia, dan Latin Amerika, khususnya

pengaruh pembahasan tema “pembebasan” oleh para uskup Amerika Latin di

Medellin (Roman Synod, 1971:267-283).

Sembilan puluh tahun setelah Rerum Novarum, Yohanes Paulus II mempersembahkan Ensiklik Laborem Exercens bagi kerja sebagai kebaikan hakiki pribadi manusia, unsur utama kegiatan ekonomi serta kunci bagi seluruh

persoalan sosial. Laborem Exercens memaparkan sebuah spiritualitas serta etika kerja dalam konteks refleksi teologis dan filosofis yang sangat mendasar. Kerja tidak boleh dipahami hanya dalam arti objektif dan materiil akan tetapi juga harus

(48)

dimengerti makna subjektifnya. Ensiklik ini mengkritik komunisme dan kapitalisme sekaligus sebagai yang memperlakukan manusia sekedar sebagai “alat”. Manusia dipandang sebagai instrumen penghasil kemajuan dan perkembangan. Manusia mempunyai hak untuk bekerja, menerima upah yang adil, sekaligus memiliki hak untuk hidup secara manusiawi dengan pekerjaannya (Paul II, 1981:351-391).

Melalui Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis, Yohanes Paulus II memperingati ulang tahun ke-20 Populorum Progressio dan masih dalam konteks kebutuhan akan solidaritas, kebebasan, dan keadilan. Ensiklik ini berfokus pada makna dan nilai pribadi manusia. Dengan visi global tentang perubahan-perubahan sosial, Yohanes Paulus II mengamati relasi antarnegara, mencela beban hutang pada negara-negara dunia ketiga dan imperialisme baru (Paul II, 1987:392-431).

Pada ulang tahun ke-100 Rerum Novarum, Yohanes Paulus II memaklumatkan ensiklik sosialnya yang ketiga, Centesimus Annus. Ensiklik ini memunculkan kembali prinsip-prinsip fundamental pandangan Kristen tentang organisasi sosial dan politik yang selama ini menjadi tema utama dari ensiklik sebelumnya. Analisis yang jelas dan mendalam tentang “hal-hal baru”, dan khususnya terobosan besar tahun 1989 dengan tumbangnya sistem Soviet, memperlihatkan penghargaan terhadap demokrasi serta ekonomi pasar dalam konteks sebuah solidaritas (Paul II, 1991:432-477).

Ensiklik Caritas in Veritate ditulis oleh Benediktus XVI dan terbit 29 Juni 2009. Ensiklik ini berbicara tentang perkembangan integral manusia dalam kasih dan kebenaran. Ensiklik ini mendiskusikan krisis finansial global dalam konteks

(49)

meluasnya relativisme. Pandangan Benediktus XVI melampaui kategori-kategori tradisional kekuasaan pasar negara yang berpaham kapitalisme dan kekuasaan negara yang berpaham sosialisme. Dengan mengamati bahwa setiap keputusan ekonomi memiliki konsekuensi moral, Paus menekankan pengelolaan ekonomi yang berfokus pada martabat manusia (Riyanto, 2015:65).

2.2.3. Prinsip-Prinsip Ajaran Sosial Gereja

Gereja Katolik merupakan Gereja yang hidup. Gereja yang menunjukkan sikap-sikap responsif dan keberpihakan terhadap masalah-masalah sosial, seperti mengusahakan tercapainya keadilan dan perdamaian, pembelaan martabat manusia, pengentasan kemiskinan dan pelestarian lingkungan hidup. Responsivitas tersebut sangat jelas terlihat dalam paparan mengenai catatan historis Ajaran Sosial Gereja. Selanjutnya, dari catatan historis Ajaran Sosial Gereja dapat dilihat suatu prinsip-prinsip yang bercorak umum dan fundamental terkait dengan realitas masyarakat dalam keseluruhannya: dari relasi-relasi yang dekat dan langsung ke relasi-relasi yang diperantarai politik, ekonomi dan hukum; dari relasi-relasi di antara berbagai komunitas dan kelompok ke relasi-relasi di antara orang perorangan dan bangsa-bangsa.

Pontifical Council for Justice and Peace (2004) dalam Compendium of the Social Doctrine of the Church mengemukakan adanya empat prinsip Ajaran Sosial Gereja. Prinsip-prinsip tersebut adalah: martabat pribadi manusia, yang menjadi dasar bagi semua prinsip lain serta isi ajaran sosial Gereja; kesejahteraan umum; subsidiaritas; dan solidaritas. Prinsip-prinsip Ajaran Sosial Gereja tersebut

(50)

memiliki nilai dalam kesatuannya, saling keterkaitan di antaranya serta dalam perumusannya. Hal ini terkait dengan pemahaman bahwa ajaran sosial Gereja merupakan kumpulan ajaran terpadu yang menafsirkan berbagai realitas sosial modern secara sistematis. Demikian juga dalam pengkajiannya, masing-masing prinsip ini tidak dapat berdiri sendiri secara individual dan digunakan secara terpisah dan tidak berkaitan satu dengan yang lain. Suatu pemahaman teoretis yang mendalam dan penerapan aktual atas satu dari prinsip-prinsip sosial ini akan menimbulkan resiproksitas, komplementaritas serta interkoneksitas yang menjadi bagian dari struktur prinsip tersebut. Lebih dari itu, prinsip-prinsip fundamental ajaran sosial Gereja ini menyajikan tidak hanya sekedar warisan refleksi yang permanen yang merupakan bagian hakiki dari pesan Kristen namun prinsip-prinsip tersebut menunjukkan jalan yang akan ditempuh untuk membangun sebuah kehidupan sosial yang baik, autentik dan diperbaharui (Pontifical Council for Justice and Peace, 2005:162).

Berikut ini akan diuraikan secara singkat keempat prinsip Ajaran Sosial Gereja.

1) Prinsip hormat akan martabat dan hidup manusia

Setiap manusia diciptakan menurut citra Allah. “Setiap manusia di sini maksudnya siapa pun, tidak dibeda-bedakan atas dasar ras, seks, usia, asal-usul, agama, orientasi seksual, status ekonomi, kesehatan, prestasi atau aneka ciri natural yang lain. Keluhuran manusia tidak tergantung dari apa yang dikerjakan atau diraih atau siapa dia. Ketika manusia dilahirkan, ia mempunyai hak untuk hidup. Ajaran Sosial Gereja menegaskan bahwa

(51)

“hidup” di sini tidak sekedar bernafas tetapi juga berkaitan dengan eksistensinya sebagai manusia yang memiliki hak untuk hidup layak.

2) Prinsip kesejahteraan umum

Prinsip kesejahteraan umum mengacu pada pengertian bahwa kesejahteraan itu milik bersama bukan milik beberapa orang . Karena milik bersama, kesejahteraan itu berkaitan dengan sistem yang adil bukan berkaitan dengan pembagian materi yang adil. Sistem yang adil mengarah pada sistem tata kehidupan yang memungkinkan semua orang mendapat kesempatan yang sama untuk meningkatkan taraf hidupnya. Kesejahteraan umum merupakan kondisi yang diciptakan dengan tujuan agar setiap orang dan kelompok dapat memenuhi kebutuhan dan mengembangkan potensi sepenuhnya.

Kesejahteraan umum merupakan tanggung jawab setiap individu. Dengan kata lain, prinsip ini menegaskan bahwa setiap individu bertanggung jawab terhadap individu yang lain; bahwa orang lain adalah tanggung jawab kita. Tanggung jawab tersebut mewajibkan setiap individu untuk bekerja sama membangun kondisi-kondisi sosial yang menjamin agar setiap pribadi dan kelompok dalam masyarakat dapat memenuhi kebutuhan dan mewujudkan potensi mereka. Selain itu, prinsip kesejahteraan umum memiliki kedalaman maksud untuk memprioritaskan keadilan yang menyejahterakan terutama bagi mereka yang lemah dan miskin.

(52)

3) Prinsip subsidiaritas

Prinsip subsidiaritas terkait dengan permasalahan bagaimana sebuah tata kebijakan dan tanggung jawab dilaksanakan. Apabila lembaga di tingkat bawah mampu mengerjakan tugas dan tanggung jawabnya maka lembaga di tingkat atas jangan mengambil alih. Ketika kewenangan efektif dikerjakan di tingkat bawah, atasan tidak perlu memperumit dengan berbagai kebijakan yang mengambil alih tanggung jawab ataupun kebijakan.

Prinsip Subsidiaritas memungkinkan partisipasi dari lembaga atau individu di lapis bawah dalam menentukan diri sendiri dan di sinilah tercermin penghargaan martabat manusia. Individu atau lembaga yang secara langsung terkena dampak dari suatu kewenangan atau kebijakan seharusnya memiliki peran dalam pengambilan keputusan atau kebijakan tersebut. Intinya, bagaimana melibatkan individu atau lembaga lapis bawah dalam setiap pengambilan keputusan yang nantinya akibatnya akan diterima oleh individu atau lembaga lapis bawah tersebut.

4) Prinsip solidaritas

Solidaritas adalah sebuah kebajikan moral yang autentik, bukan suatu perasaan belas kasihan atau rasa sedih karena nasib buruk sekian banyak orang. Sebaliknya, solidaritas ialah tekad yang teguh dan tabah untuk membaktikan diri kepada kesejahteraan umum, artinya kepada kesejahteraan semua orang dan setiap orang perorangan karena kita semua sungguh bertanggung jawab atas semua orang. Istilah “solidaritas”, yang digunakan secara luas oleh Magisterium,mengungkapkan secara ringkas kebutuhan

(53)

untuk mengakui ikatan-ikatan kokoh yang mempersatukan semua orang dan kelompok-kelompok sosial satu sama lain, ruang yang diberikan kepada kebebasan manusia bagi pertumbuhan bersama dimana di dalamnya semua orang berbagi dan berperan serta.

2.3. Community Empowerment dalam Dimensi Corporate Social Responbility

Community Empowerment merupakan sebuah aktualisasi dari CSR yang lebih bermakna daripada sekedar aktivitas charity. Hal ini disebabkan dalam pelaksanaan CSR dengan Community Empowerment terdapat kolaborasi kepentingan bersama antara perusahaan dengan komunitas, adanya partisipasi, produktivitas dan keberlanjutan (Sri Urip, 2014:81). Community Empowerment mengacu pada proses yang memungkinkan masyarakat untuk meningkatkan kontrol atas hidup mereka. Community adalah kelompok masyarakat yang kemungkinan memiliki hubungan atau kemungkinan tidak , tetapi mereka berbagi kepentingan bersama, keprihatinan atau identitas. Community ini kemungkinan berada di tingkat lokal, nasional maupun internasional, dengan kepentingan tertentu atau luas. Empowerment mengacu pada proses dimana oran

Gambar

GAMBAR 3.1 KOMPONEN ANALISIS DATA
TABEL 3.1 TABEL INTERPRETASI
TABEL 4.1 TABEL JUMLAH PAROKI DI KEUSKUPAN AGUNG SEMARANG
tabel berikut ini. Tabel 4.2 merupakan rekapitulasi pemanfaatan dana APP periode
+7

Referensi

Dokumen terkait