• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keterserapan Dana Program Pemanfaatan Dana APP di Keuskupan Agung Semarang Periode Tahun Anggaran 2011-2012 sampai dengan

DAN TEORI COMMUNITY EMPOWERMENT

5.2. Analisis Kesesuaian Program Pemanfaatan Dana APP di Keuskupan Agung Semarang dengan Prinsip-Prinsip Ajaran Sosial Gereja.

5.2.1. Keterserapan Dana Program Pemanfaatan Dana APP di Keuskupan Agung Semarang Periode Tahun Anggaran 2011-2012 sampai dengan

2014-2015: Catatan Kritis Berasas Prinsip-Prinsip Ajaran Sosial Gereja.

Seperti yang telah diuraikan pada Bab IV, data Dokumen Laporan Pemanfaatan Dana APP di Keuskupan Agung Semarang selama periode tahun anggaran 2011-2012 sampai dengan 2014-2015 mendeskripsikan tiga hal yang menarik untuk dicermati terkait keterserapan dana Program Pemanfatan Dana APP. Pertama, fenomena kenaikan dana diterima dari tahun ke tahun berbanding dengan penurunan dana yang berhasil di kelola di tiga tahun periode anggaran. Kedua, rerata keterserapan dana di lima kepanitiaan hanya mencapai 61%. Ketiga, Panitia APP Keuskupan Agung Semarang keterserapan dana yang dikelola paling rendah dibandingkan dengan empat panitia di tingkat kevikepan.

Data fenomena kenaikan besaran dana yang diterima dari tahun ke tahun dapat dimaknai sebagai bentuk semangat bersolidaritas. Semangat untuk menyumbang dengan murah hati kepada mereka yang berkekurangan. Solidaritas di sini baru dalam tataran sebagai ‘prinsip sosial’ untuk berbagi dana dan terlibat dalam pengumpulan dana. Solidaritas merujuk pada sesuatu yang lebih daripada sekedar tindakan murah hati yang sporadis (Paus Fransiskus: no.188, 109). Tataran sebagai ‘prinsip sosial’ tersebut akan lengkap apabila solidaritas juga dimaknai sebagai suatu ‘kebajikan moral’ yang autentik untuk tekad yang teguh dan tabah membaktikan diri kepada kesejahteraan umum, artinya pada kesejahteraan semua orang dan setiap orang perorangan karena semua sungguh bertanggung jawab atas semua orang (Pope John Paul II: 419-420). Artinya, dalam konteks ini, kenaikan dana yang diterima dari tahun ke tahun tersebut seharusnya berbanding lurus dengan usaha lima kepanitiaan pemanfaatan dana APP di Keuskupan Agung Semarang menaikkan besaran dana yang dikelola. Usaha untuk menghayati solidaritas sebagai keputusan untuk mengembalikan kepada kaum miskin apa yang menjadi milik mereka (Paus Fransiskus: no.189, 109).

Selanjutnya, logika sederhana memandu ke arah kesimpulan bahwa rerata keterserapan dana di lima kepanitiaan yang hanya mencapai 61% dan penurunan dana yang diserap pada tiga tahun anggaran dapat diinterprestasikan sebagai adanya kesejahteraan yang terus meningkat di paroki-paroki yang terletak di

wilayah teritorial Keuskupan Agung Semarang. Namun, data lapangan mengisyaratkan hal yang berbeda. Masih banyak penanda yang mengarah pada situasi dimana umat/masyarakat di wilayah ketugasan dan teritorial Keuskupan Agung Semarang umatnya belum sejahtera. Dalam suatu pemetaan yang diselenggarakan oleh Panitia APP Kevikepan Semarang, Paroki Purwodadi dan Adminitrasi Paroki Demak merupakan paroki dengan pemetaan yang mendeskripsikan masih cukup banyak kantong-kantong kemiskinan di wilayah teritorial kedua paroki tersebut. Akan tetapi, kedua paroki tersebut selama empat periode tahun anggaran tidak mengakses dana APP baik di tingkat kevikepan maupun keuskupan.

Fenomena keterserapan dana yang tidak memenuhi harapan tersebut, besar kemungkinan disebabkan desain alur akses dana yang tidak memungkinkan adanya peran aktif dari Panitia APP di kelima kepanitiaan berkenaan dengan pemanfaatan dana APP. Gambar 4.1 mengenai flow chart mekanisme akses dana APP di Keuskupan Agung Semarang menunjukkan bahwa pemanfaatan dana APP sepenuhnya mengandalkan proposal yang masuk. Reksa pastoral7 membutuhkan

7

Pelayanan pastoral adalah pelayanan keselamatan bagi semua orang sebagai tugas dasar Gereja, oleh semua anggota Gereja, selaras dengan bentuk, cara hidup dan jabatannya. Dengan kata lain, berpastoral secara benar berarti melakukan pelayanan pastoral seluas realitas kehidupan. Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) yang berlangsung pada tahun 2005 menegaskan ada 17 pokok masalah terkait dengan realitas kehidupan baik dalam bidang politik, ekonomi dan sosial yang dialami oleh rakyat Indonesia menjadi tanggung jawab dan panggilan iman Gereja Katolik Indonesia. 17 pokok masalah yang dipandang mendesak untuk diatasi bersama yaitu: (1) keretakan hidup berbangsa, (2) otonomi daerah dan masyarakat adat, (3) korupsi:masalah budaya, (4) korupsi: masalah lemahnya mekanisme kontrol, (5) kemiskinan, (6) pengangguran, (7) kriminalitas, (8) perburuhan, (9) pertanian, (10) lingkungan hidup: berkaitan dengan hutan, (11) lingkungan hidup: berkaitan dengan nonhutan, (12) pendidikan formal: pendidikan dasar-menengah, (13) pendidikan formal: pendidikan tinggi, (14) pendidikan nonformal: pendidikan dalam keluarga, (15) pendidikan nonformal: kaum muda, (16) kesehatan, dan (17) kekerasan dalam rumah tangga.

136

pemetaan persoalan yang dihadapi umat/masyarakat yang cukup lengkap dan menyeluruh dan ini mensyaratkan peran aktif Panitia APP di kelima kepanitiaan. Dengan adanya pemetaan persoalan, kebijakan pastoral diharapkan semakin bisa memberikan gambaran akan persoalan dan realitas yang dihadapi umat/masyarakat. Selain itu, dapat memprediksi dan mengantisipasi langkah pemulihan dan perbaikan melalui program yang dibuat oleh Panitia APP di kelima kepanitiaan. Dengan demikian diperlukan tinjauan ulang mengenai pemanfaatan dana APP yang hanya bertumpu pada proposal yang diusulkan oleh empat kriteria penerima manfaat Program Pemanfaatan Dana APP di Keuskupan Agung Semarang. Digali sebuah kemungkinan pemanfaatan dana untuk sebuah program yang didanai dana APP dengan tidak melalui mekanisme akses dana APP seperti yang tertuang dalam gambar 4.1 tetapi melalui hasil pemetaan yang memberikan gambaran perlunya diadakan sebuah program untuk mengatasi problematik yang dihadapi oleh umat/masyararakat.

Data primer dan data sekunder yang menunjukkan bahwa keterserapan dana Panitia APP Keuskupan Agung Semarang paling rendah dibandingkan dengan empat panitia di tingkat kevikepan secara sederhana ‘konteksnya’ dapat dijelaskan dengan menggunakan Gambar 4.1 mengenai flow chart mekanisme akses dana APP di Keuskupan Agung Semarang. Melalui alur flow chart tersebut dapat dilihat bahwa penerima manfaat dari dana APP yang dikelola oleh Panitia APP

Keuskupan Agung Semarang juga merupakan penerima manfaat dari dana APP yang dikelola oleh Panitia APP Kevikepan Semarang, Panitia APP Kevikepan Kedu, Panitia APP Kevikepan Surakarta dan Panitia APP Kevikepan Yogyakarta. Terdapat overlapping fungsi yang diemban oleh Panitia APP Kevikepan Semarang. Fungsi yang telah diemban oleh empat panitia pengelola dana APP di tingkat kevikepan, diemban juga oleh Panitia APP Kevikepan Semarang. Dengan demikian, Overlapping fungsi inilah penyebab yang paling mungkin untuk kondisi tidak maksimalnya keterserapan dana yang dikelola oleh Panitia APP Keuskupan Agung Semarang.

Berdasarkan data keterserapan dana APP pada diagram 4.3 tentang prosentase keterserapan dana APP di Keuskupan agung Semarang di lima kepanitiaan dapat dilihat bahwa pengelolaan dana APP lebih efektif di tingkat kevikepan, -Panitia APP Kevikepan Semarang, Panitia APP Kevikepan Kedu, Panitia APP Kevikepan Surakarta dan Panitia APP Kevikepan Yogyakarta-. Terkait dengan pola ini sangat mungkin prinsip subsidiaritas diterapkan oleh Panitia APP Keuskupan Agung Semarang. Panitia APP Keuskupan Agung Semarang bertindak sejauh sebagai “subsidium” bagi empat panitia pengelola dana APP di tingkat kevikepan. Untuk itu peran Panitia APP Keuskupan Agung Semarang lebih kepada mendukung, memajukan dan mengembangkan panitia APP di tingkat kevikepan. Bentuk ini sesuai dengan makna imperatif yang ditunjukkan oleh prinsip

subsidiaritas, yaitu fungsi-fungsi yang dapat dijalankan secara efisien oleh kelompok-kelompok yang lebih kecil dan lebih rendah tingkatannya tidak usah diambil alih oleh kelompok yang lebih luas dan lebih tinggi (Pope John XXIII: 91-92).

5.2.2. Pemanfaatan Dana APP di Keuskupan Agung Semarang Periode Tahun