• Tidak ada hasil yang ditemukan

Catatan Peneliti Etnografi Kesehatan 2015

Nor Efendi

Sekadau, 15 mei 2015

Kalimantan Barat, provinsi ini sejatinya bagi saya yang lahir di Kalimantan Selatan adalah tetangga dekat. Sebagai tetangga seharusnya daerah ini telah terlebih dahulu saya kunjungi sebelum daerah-daerah lainnya, baik dalam rangkaian perjalanan terkait tugas keprofesian bidang kesehatan maupun destinasi travelling ala backpacker yang sesekali juga saya lakoni. Namun mirisnya, Kalimantan Barat seperti provinsi terasing jika dibanding dua provinsi tetangga lainnya, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Salah satu penyebabnya mungkin karena akses via darat ke provinsi berjuluk Bumi Katulistiwa ini tidak seterjangkau seperti ke

Selatan. Dan saya harus bersyukur karena Riset Etnografi Kesehatan 2015 lah yang akhirnya menakdirkan saya berkesempatan menjejakkan kaki di Kalimantan Barat, tepatnya di Desa Sei Antu, Kecamatan Belitang Hulu, Kabupaten Sekadau untuk masa penugasan selama 35 hari.

Gambar 1

Rute perjalanan Jakarta-Desa Sei Antu, Kalimantan Barat Sumber: Dimodifikasi dari Google Maps

Imajinasi akan spontan tergiring ke nuansa sebuah desa yang terkesan mistis ketika nama Desa Sei Antu disebut. Antu dalam Bahasa Dayak yang menjadi etnis mayoritas penghuni desa berpenduduk 1.404 jiwa ini memang berarti Hantu. Sehingga terjemahan bebas dari nama Sei Antu merujuk pada sebuah desa yang sungainya dipenuhi hantu-hantu, seram bukan? Kalaupun nanti pembaca belum bisa mendapatkan kesan seramnya, semata-mata karena keterbatasan saya mengolah kata-kata untuk mendeskripsikannya, hehehe... Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sekadau yang merekomendasikan penempatan lokasi penelitian kami di sana pun menegaskan bahwa desa itu kondisinya memang sesuai namanya. Ketika saya ingin mengorek keterangan lebih lanjut, beliau menantang kami

dengan mempersilahkan membuktikannya sendiri selama bertugas disana nanti. Hmm...jiwa petualang saya semakin meronta-ronta untuk menjajalnya.

Nama desa Sei Antu tercipta berdasarkan legenda yang dituturkan oleh nenek moyang kepada anak cucunya. Semula desa ini bernama Semelagau dimana konon dahulu kala terjadi wabah penyakit menular yang menyerang hampir seluruh warga desa, hingga korban pun berjatuhan. Berbagai upaya untuk mengatasi penyakit tersebut dilakukan oleh warga desa, namun tak satupun yang membuahkan hasil. Hingga tiba suatu masa dimana seorang pemuda Melayu yang disebut Bujang berburu sampai ke Desa Semelagau melalui jalur sungai. Setibanya di Semelagau, Bujang yang tidak disebutkan namanya dalam legenda, melihat sejenis binatang mirip rusa yang sedang minum dipinggiran sungai. Sebagai pemburu ia berusaha mendekat untuk menangkapnya. Namun ketika di dekati, betapa terkejutnya si Bujang mendapati ternyata hewan tersebut adalah makhluk jejadian menyerupai manusia dengan badan tinggi besar namun berkepala kecil seperti rusa. Setelah melalui perkelahian sengit, Bujang yang memang seorang pemburu handal akhirnya berhasil melumpuhkan makhluk tersebut yang kemudian ambruk ke sungai. Warga Desa Semelagau pun berdatangan menyaksikan peristiwa tersebut, dan ajaib, penyakit-penyakit yang mereka derita berangsur sembuh. Bujang di anggap pahlawan yang membebaskan mereka dari

tumbangnya Antu tersebut diabadikan sebagai pengganti nama Desa Semelagau menjadi Desa Sei (Sungai) Antu.

Keseraman desa Sei Antu bukan hanya bergema dari sejarah namanya. Akses jalan menuju desa yang dihuni penganut Kristen Katolik dan Protestan ini juga menciptakan kesan ngeri tersendiri. Bagaimana tidak, dari Jakarta perlu waktu 5 hari buat kami untuk benar-benar sampai di desa ini. Perjalanan udara yang berakhir saat mendarat di Bandara Supadio Kota Pontianak, harus dilanjutkan perjalanan darat selama 6-7 jam menggunakan armada mobil travel jenis minibus menuju ibukota kabupaten Sekadau tempat transit pertama.

Keesokan harinya kami melanjutkan perjalanan menggunakan motor dinas pinjaman dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sekadau dan diantar oleh salah seorang stafnya sebagai penunjuk jalan menuju Balai Sepuak, ibukota Kecamatan Belitang Hulu. Perjalanan dari kota kabupaten menuju ibukota kecamatan paling ujung utara Sekadau ini kami tempuh dalam waktu 3 jam, salah satunya dengan menyeberangi sungai terpanjang di Indonesia yaitu Sungai Kapuas dimana motor yang kami tumpangi juga ikut dinaikkan ke perahu penyeberangan.

Alat transportasi untuk mencapai Desa Sei Antu dapat menggunakan roda empat jenis double gardan atau roda dua dengan melintasi jalanan tanah bergelombang, berlumpur, menanjak dan menurun lewat hutan serta perkebunan sawit. Kondisi jalan akan kering dan berdebu saat musim kemarau dan berubah menjadi ekstrim karena licin dan berlumpur pada musim hujan. Jalanan yang sebagian besar sepi dari

pemukiman penduduk juga menuntut kesabaran, ketahanan mental yang prima serta nyali ekstra bagi pelintasnya.

Gambar 2

Akses jalur transportasi menuju Desa Sei Antu Sumber : Dokumentasi Peneliti

Guyuran hujan deras dan cuaca tidak bersahabat yang menyambut kedatangan kami, membuat kami harus bermalam lagi 2 malam di Balai Sepuak, menunggu jalan dikeringkan oleh alam. Seramnya akses jalan menuju Desa Antu salah satunya karena tidak direkomendasikan (lebih tegasnya dilarang) di lalui setelah dan atau saat hujan. Desa Sei Antu sendiri letaknya paling ujung sebelah utara wilayah Kecamatan Belitang Hulu. Perlu 2 jam waktu tempuh dari Balai Sepuak untuk sampai di desa tanpa jangkauan sinyal telekomunikasi seluler ini. Beberapa masyarakat pemilik handphone mencoba mengakses sinyal telekomunikasi seluler dengan bantuan antena rakitan (seperti antena penangkap siaran televisi) yang harus dipasang dengan

yang kualitasnya juga tidak bisa dibilang bagus dan stabil. Sumber penerangan listrik pada malam hari di Desa Sei Antu hanya menggunakan mesin genset milik desa yang merupakan proyek bantuan pemerintah serta sebagian milik pribadi dengan kapasitas lebih kecil. Sebagian masyarakat juga menggunakan listrik yang bersumber dari tenaga surya. Aliran listrik dari genset milik desa terbatas menyala mulai sekitar pukul 18.00 sampai 20.30 WIB.

Desa Sei Antu yang luasnya 80 Km2 dan sebagian besar wilayahnya berupa hutan hujan tropis, terbagi menjadi 3 dusun yang terpisah dan dipimpin oleh masing-masing kepala dusun yaitu Dusun Sei Antu Hulu, Dusun Sei Antu Pulau dan Dusun Sebelantau dibawah kepemimpinan administratif seorang kepala desa yang dipilih masyarakat. Kantor pemerintahan administrasi desa berada di Dusun Sei Antu Hulu, walaupun dusun dengan jumlah penduduk terbanyak dan tempat tinggal kepala desanya berada di Dusun Sebelantau. Selain kepala dusun, juga ditunjuk seorang ketua adat di masing-masing dusun yang diberikan wewenang untuk mengatur hukum dan peraturan adat. Desa Sei Antu dikenal masih kuat memegang adat istiadat dan budaya etnis Dayak, salah satu buktinya dengan masih berdirinya Rumah Betang Panjang yang mereka sebut Rumah Panyai, tersisa satu-satunya di wilayah Kabupaten Sekadau. Rumah Panyai yang menurut penuturan penanggung jawab tersebut bisa dihuni sampai 17 kepala keluarga dalam satu atap, telah dibangun sejak tahun 1966. Desain Rumah Panyai seperti rumah-rumah panjang milik etnis dayak lainnya, berupa bilik-bilik untuk masing-masing kepala keluarga

bertempat tinggal yang hanya dipisahkan oleh dinding. Konstruksinya berbentuk rumah panggung tinggi sekitar 3-4 meter dari atas permukaan tanah dengan kayu Tebelian sebagai bahan utamanya. Tebelian di daerah lain dikenal dengan sebutan kayu Ulin atau kayu Besi merupakan kayu unggul yang tidak akan mudah lapuk meskipun termakan usia ratusan tahun. Kayu Tebelian banyak terdapat di hutan-hutan Kalimantan di mana etnis Dayak bermukim.

Gambar 3

Rumah Adat Panyai Etnis Dayak Mualang Di Desa Sei Antu Sumber : Dokumentasi Peneliti

Di desa penghasil lada dan karet ini saya berkenalan dengan IP (25 tahun), seorang perawat berdarah blasteran dari ibu Dayak dan ayah Cina, yang bertugas di Puskesmas Pembantu (Pustu) Dusun Sebelantau. IP lah yang kemudian

sangat membutuhkannya untuk mengguiding perburuan informan yang akan diwawancarai dalam riset kali ini.

IP berstatus pegawai tidak tetap yang dikontrak oleh pemerintah daerah setempat untuk mengisi kekosongan petugas kesehatan di desa terpencil. Meskipun seorang putera daerah yang berasal dari desa lain di kecamatan yang sama, namun masa pendidikan akademi keperawatannya dihabiskan di salah satu institusi swasta di Jakarta. Godaan hiruk pikuknya keramaian ibukota tak menyurutkan niat dan tekadnya untuk kembali dan mengabdikan diri di daerah asal. Walaupun belum terlalu langka, namun pengabdi kesehatan yang berjiwa seperti IP jumlahnya semakin terbatas di negeri ini. Manusiawi memang jika umumnya petugas kesehatan seperti perawat, bidan, maupun dokter akan lebih memilih mengabdi (bekerja) di daerah yang enak dan nyaman bagi mereka, di banding harus bersusah-susah mendekam di daerah terpencil, perbatasan atau kepulauan dengan gaji yang terkadang juga hanya pas-pasan sesuai standar biaya hidup yang tinggi di zona luar biasa tersebut.

“...sejak dikirim orang tua ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikan, saya memang sudah berniat untuk mengabdi di kampung. Mungkin karena saya anak kampung, lahir dan besar di kampung, jadi hati dan jiwa saya sudah terikat dengan kampung. Dan ilmu saya tentu saja lebih dibutuhkan di kampung seperti ini daripada di kota besar sana. Lagipula saya memang lebih suka hidup tenang dengan suasana kampung yang sepi seperti disini, daripada di Jakarta yang kemana-mana di hadang macet...”.

Penuturan IP sedikit menyentil saya yang 2 tahun terakhir merasa begitu menikmati hidup sebagai kaum urban ibukota. Terkadang saya merasa bangga sendiri bisa menikmati keramaian dan segala fasilitas yang tersedia di Jakarta. Bangga bisa melanjutkan pendidikan magister di universitas paling ternama negeri ini walaupun dengan topangan beasiswa pemerintah. Bangga bisa terlibat sebagai peneliti freelance seperti sekarang ini. Astagfirullah... kebanggaan saya yang mungkin berselimut takabur dan sombong melipir. IP mengingatkan saya bahwa saya juga anak kampung dan saya juga harus kembali ke kampung, membangun kampung dengan ilmu dan karya saya.

Gambar 4

Pustu Dusun Sebelantau Desa Sei Antu Tempat IP Bertugas Sumber : Dokumentasi Peneliti

minggat oleh pendahulunya. Kiprah IP yang masih tergolong singkat telah mulai dirasakan oleh masyarakat Dusun Sebelantau khususnya dan Desa Sei Antu umumnya. Beberapa masyarakat yang saya temui secara terpisah banyak yang mengungkapkan kehadiran IP bak pelepas dahaga di tengah kehausan akan layanan petugas kesehatan. Masyarakat Desa Sei Antu meskipun masih kuat memegang adat dan tradisi, namun untuk urusan pelayanan kesehatan terutama pengobatan, mereka sudah sangat terbuka dan menerima layanan modern. Sepenggal pengakuan masyarakat yang menggambarkan betapa berartinya kehadiran petugas kesehatan di daerah terpencil yang jauh dari jangkauan layanan kesehatan tergambar dari hasil wawancara saya dengan salah seorang informan berikut ini :

“...semenjak pak IP ada disini, kami tidak perlu lagi jauh-jauh berjalan kaki ke desa lain di kabupaten tetangga untuk mengimunisasi anak ke Posyandu setiap bulan. Dulu kami berjalan puluhan kilo dengan waktu bisa sampai dua jam. Itupun terkadang kami harus bersabar menunggu anak-anak penduduk asli sana yang didahulukan semua mendapatkan imunisasiny. Baru jika imunisasinya ada sisa,bisa diberikan kepada kami yang istilahnya sebagai orang luar, di sana. Terkadang lelah perjalanan jauh kami dan waktu yang kami sempatkan untuk kesana, terbuang sia-sia jika imunisasinya sudah keburu habis digunakan anak-anak penduduk asli sana...” (Ibu S,38 tahun).

Ahh..ini kan Indonesia. Ini kan masih satu pulau, satu provinsi, satu suku. Tapi hak-hak generasi penerus bangsa

untuk mendapatkan sehat melalui layanan imunisasi dasar, ternyata masih terkesan diskriminatif karena keterbatasan sumber daya yang disediakan pemerintah. Semoga jika masih ada kasus-kasus seperti ini di belahan Indonesia lainnya, saya berharap para orangtua yang sudah memiliki kesadaran tinggi akan pentingnya imunisasi sebagai salah satu prasyarat hidup sehat, dapat tetap sabar menunggu malaikat-malaikat tanpa sayap seperti IP didatangkan pemerintah bertugas di daerah mereka.

Gambar 5

Kegiatan Posyandu Mekar Dusun Sebelantau Sumber : Dokumentasi Peneliti

ketika meladang, berhasil diselamatkan oleh perawatan tangan IP.

“...lukanya besar dan mengeluarkan darah yang banyak. Seharusnya waktu itu isteri saya dirujuk ke kota. Tapi tau sendiri lah dengan kondisi jalan dan desa kami yang terpencil disini. Kalau menunggu sampai ke kota, bisa-bisa isteri saya meninggal di tengah jalan. Untung sudah ada pak IP yang bisa menginfus dan menjahit luka lalu merawatnya sampai sembuh...”. Ketika saya konfirmasi ke IP tentang peristiwa ini, IP merendah dengan menjawab bahwa ia hanya melakukan sebisanya untuk menolong masyarakat yang diamanahkan kepadanya. Padahal alat kesehatan dan obat-obatan yang disediakan pemerintah sebagai modal IP bertugas menurut saya masih sangat terbatas. Beberapa alat dan obat-obatan di Pustu Sebelantau bahkan dibeli dan diusahakan sendiri oleh IP secara swadaya, demi bisa memberikan pelayanan terbaik sesuai kebutuhan penugasannya. Terkadang kita merasa hanya melakukan hal-hal kecil menurut kapasitas keilmuan kita. Namun bisa jadi justeru terasa teramat bernilai bak seorang malaikat dimata orang-orang yang menerimanya. Jadi, jangan pernah berhenti memberi, sekecil apapun itu, dalam keterbatasan kita

Selama melakukan riset dan bekerjasama dengan IP, saya berkesempatan kembali bernostalgia mengasah kemampuan klinis dengan ikut membantu menangani pasien-pasien yang datang ke Pustu atau memanggil IP ke rumah untuk mendapatkan homecare. Kerinduan akan hubungan interpersonal dengan pasien-pasien yang beberapa tahun lalu

pernah saya nikmati sedikit terobati dengan memberikan pelayanan berduet dengan IP. Sambutan masyarakat pun semakin menambah semangat saya untuk bukan hanya sebatas menyelesaikan misi penelitian, tetapi sambil menapaktilasi masa lalu saat berjuang menjalankan tugas di sebuah pedalaman pemukiman transmigrasi di Kalimantan Selatan.

Pengabdian IP sebagai perawat kesehatan yang mengabdi di desa terpencil tidak hanya bertabur puja puji dan gelimang terimakasih. Tantangan pengabdian juga cukup besar menghadang. Sebagai desa yang telah lama ditinggalkan petugas kesehatan sebelumnya yang seorang bidan desa, masyarakat desa ini nyaris kehilangan sentuhan terhadap pertolongan persalinan tenaga kesehatan. Dukun kampung laki-laki yang telah berusia 65 tahun versi KTP beliau yang ditunjukkan kepada saya saat wawancara, adalah satu-satunya penolong persalinan yang telah dipercaya dan diandalkan masyarakat. Hampir semua ibu hamil, bersalin dan nifas di desa ini mempercayakan layanan kesehatan reproduksinya ke kakek tua yang mereka sebut sebagai bidan kampung tersebut.

Bidan kampung yang mengaku telah berpraktik sejak usia 40 tahunan ini masih tampak gagah di usianya yang terbilang sudah cukup sepuh. Jangkauan pelayanannya pun ternyata juga cukup luas, bahkan beberapa kali pernah dipanggil pasiennya sampai ke kota Pontianak, selain tentu

Gambar 6

Sulitnya akses rujukan membuat IP terkadang harus menginfus pasiennya di rumah

Sumber : Dokumentasi Peneliti

Pelayanan yang diberikan bidan kampung yang namanya cukup unik ini (sama persis dengan nama salah satu jenis tanaman serbuk terlarang) sebenarnya cukup sederhana, hanya mengandalkan keterampilan pijat dan urut dari tangannya. Apalagi jenis kelamin beliau yang seorang laki-laki mungkin memang sedikit membatasi gerak untuk melakukan tindakan yang lebih dari itu, termasuk dalam menolong persalinan. Satu hal yang membuat saya terhenyak ketika mengetahui bahwa bidan kampung ini masih menggunakan sembilu bambu untuk memotong tali pusat bayi baru lahir. Keterhenyakan saya berlanjut ketika mewawancarai ibu-ibu yang pernah melahirkan menyebutkan bahwa budaya perawatan tali pusat neonatus

dengan cara diludah menggunakan hasil kunyahan sirih pinang dari nenek atau keluarga bayi lainnya, masih dipraktikkan. Hmm...kombinasi yang sudah sangat bagus untuk memicu kejadian Tetanus Neonaturum. Namun kenyataan di lapangan mementahkan semua faktor risiko ini. Kompilasi data baik dari Dinas Kesehatan, Puskesmas Sebetung yang menjadi Puskesmas Induk Pustu Sebelantau Desa Sei Antu, bahkan hasil wawancara mendalam dengan sedikit teknik bergerilya agar bisa menelusuri fakta sebenarnya, memberikan hasil yang sama. Tidak ada kematian bayi di seluruh wilayah desa ini setidaknya dalam 3 tahun terakhir. Saya kemudian berhusnuzon bahwa Clostridium tetani memang tidak ada yang hidup di desa ini, walaupun ini pemikiran dangkal yang hanya berbasis data kasat mata.

Rendahnya cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan (nakes) sungguh menjadi tantangan tersendiri bagi IP dalam melaksanakan tugas di desa ini. Namun dibalik itu saya melihat sebuah peluang, bahwa ketidakrisihan para ibu bersalin mempercayakan perangkat dapurnya kepada penolong berjenis kelamin laki-laki bisa jadi entry point bagi IP untuk setidaknya menjalin kemitraan dengan sang bidan kampung. IP sempat ragu tentang hal ini dengan alasan tidak terlalu terampil dalam urusan menolong partus (parsalinan), karena dia hanya seorang perawat, bukan bidan. Namun setelah saya menceritakan pengalaman betapa dahulu ketika

adalah suatu keniscayaan yang harus saya lakukan, IP pun tergugah. Dan saya harus mensupport dia dengan membagikan file-file serta video langkah-langkah pertolongan partus terkini. Dalam kesempatan lain berakrab-akrab dengan sang bidan kampung saya manfaatkan untuk menginisiasi kemungkinan kemitraan tersebut, dengan bahasa bahwa IP adalah adik saya yang baru lulus dan bertugas di desa tersebut, membutuhkan banyak bimbingan dan sharing pengalaman serta keterampilan dalam menolong persalinan. Alhamdulillah, bidan kampung kakek G memberikan respon yang positif. Semoga sepeninggal saya nanti, upaya ini membuahkan hasil di kemudian hari. Tidak muluk-muluk, cukup dengan dimulainya kerjasama dua lelaki ini dalam menolong persalinan dan mengganti alat pemotong tali pusat dari sembilu menjadi gunting steril.

Tak terasa waktu 35 hari masa riset akan segera berakhir. Selama itu pula saya terus menikmati hari-hari, menyaksikan sebuah pengabdian besar yang mungkin terlihat kecil atau bahkan tersembunyi di tengah luasnya nusantara ini. Pengabdian seorang insan kesehatan yang terlihat tulus, walaupun tarif yang diterima atas jasanya masih harus dihutang, atau bahkan diganti dengan berbagai sayuran dan pangan yang saat itu ada dan dimiliki pasien-pasiennya, serta tidak sedikit pula yang hanya mampu mengucapkan terimakasih dan untaian doa. Tapi saya yakin IP akan terus bahagia dengan darmabaktinya. Saya tahu itu karena kami sudah begitu dekat selama 35 hari ini. Terus semangat IP, terus berjuang menjadi salah satu pahlawan kesehatan bangsa ini. Salam sejawat!

Apakah Ini Bukan Masalah