• Tidak ada hasil yang ditemukan

Desa dengan Penduduk Bermata Pencaharian Ganda

Ummu Nafisah

Tolitoli, 30 Mei 2015

Kabupaten Tolitoli, merupakan sebuah kabupaten yang terletak di Provinsi Sulawesi Tengah, tepatnya pada koordinat 0,35 - 1,20 lintang utara dan 120,12 - 122,09 bujur timur dengan luas wilayah ±4.079,76 km² (BPS Kabupaten Tolitoli, 2015). Bentuk topografis wilayahnya berupa dataran hingga pegunungan dengan ketinggian 0 – 2.500 m dari permukaan laut. Kabupaten Tolitoli dipilih sebagai salah satu lokasi Riset Ethnografi Kesehatan (REK) tahun 2015 (REK 2015) yang saya ikuti pada perjalanan kali ini karena menempati posisi urutan 450 dari total 496 kabupaten pada Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat

hingga 14 jam dari Palu, atau dengan menggunakan moda transportasi udara cukup ditempuh kurang lebih satu jam. Penerbangan ke Tolitoli terbatas hanya 3 hari dalam seminggu, yaitu Senin, Rabu dan Jum’at. Perjalanan kami ini, kami memilih menggunakan jasa travel via jalur darat.

Perjalanan dimulai sekitar pukul 13.00 WITA dan kami sampai di ibukota kabupaten sekitar pukul 02.00 WITA setelah melewati jalan aspal berliuk-liuk, seribu jembatan (yang beberapa rusak dan berlubang sana-sini) dengan pemandangan laut, kebun serta rumah penduduk yang beberapa masih menggunakan rumah panggung. Wilayah Kabupaten Tolitoli yang terkenal sebagai Kota Cengkeh ini luas, bahkan beberapa kecamatan memiliki desa yang berada di kepulauan. Desa Sambujan adalah salah satu desa di Kecamatan Ogodeide, desa tempat kami grounded selama sebulan dalam misi REK kali ini. Wilayah desa Sambujan secara garis besar terbagi menjadi dua wilayah, yaitu dusun I di Sambujan Pulau, dan dusun II di Sambujan darat atau biasa disebut orang sebagai Siomang. Keterbatasan waktu dan sumber daya (peneliti), menyebabkan kami akhirnya memutuskan untuk tinggal di Sambujan Pulau, agar lebih fokus dalam kegiatan pengamatan, Siomang hanya kami kunjungi beberapa kali saja selama kegiatan riset ini.

Sambujan Pulau dapat ditempuh via perjalanan darat menggunakan motor kurang lebih 1 hingga 2 jam dari kota (Tolitoli). Kondisi jalan berbukit-bukit, beberapa belum beraspal dan hanya tanah merah yang tidak bisa dilewati ketika diguyur hujan. Terdapat sebuah tembusan jalan yang menghubungkan antara pulau utama dengan Sambujan

Pulau, yang dibangun sekitar tahun 2010. Sedang untuk menghubungkan antara pulau utama dengan Sambujan pulau, sebuah jembatan kayu yang selesai dibangun tahun 2013.

Gambar 1.

Jembatan kayu yang menghubungkan Sambujan Pulau dengan Pulau Utama.

Sumber: Dokumentasi Peneliti

Transportasi laut menjadi alternatif lain yang bisa dimanfaatkan. Sebuah perahu perintis yang mengantar penumpang ke pulau-pulau pada jam tertentu saja menyesuaikan dengan pasang surut air laut. Kapal perintis yang menuju ke Sambujan Pulau berangkat pada pukul 10.00 WITA dengan waktu tempuh sekitar 1 jam, lebih cepat daripada menggunakan transportasi darat. Transportasi ini kadang tidak bisa beroperasi apabila gelombang air laut

Gambar 2. Perahu Perintis sebagai

salah satu Transportasi Laut Sumber: Dokumentasi Peneliti

Transportasi ini yang sering kami manfaatkan untuk mengunjungi Siomang atau ke kota saat membutuhkan keperluan logistik. Hmm... seru! Setelah terombang-ambing air laut hingga 1 jam lebih perjalanan dari kota, akhirnya kami melihat deretan rumah kayu di Sambujan Pulau.

Saat kali pertama melihat Sambujan pulau, sungguh excited karena pemandangannya sungguh luar biasa. Sebuah kelebihan yang dianugerahkan oleh Tuhan. saya membayangkan bahwa mata pencaharian sebagian penduduk pastilah mencari ikan ke laut karena keanekaragaman laut pasti melimpah ruah di lautan seperti ini. Ternyata benar, mata pencaharian sebagian besar penduduk adalah mencari ikan di laut, namun mata pencaharian tersebut bukanlah mata pencaharian

satu-satunya. Ada sumber mata pencaharian lain, yaitu sebagai petani cengkeh, pemetik cengkeh, atau pencudik cengkeh. Satu lagi kelebihan yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada mereka, selain isi laut, mereka juga disediakan lahan yang cocok untuk ditanami cengkeh.

Gambar 3.

Deretan rumah kayu di Sambujan Pulau Sumber: Dokumentasi Peneliti

Suku pertama yang mendiami pulau ini adalah Suku Bajo, namun kini sudah banyak pendatang yang mendiami pulau tersebut, antara lain adalah Suku Bugis. Jumlah suku Tolitoli sendiri hanya sedikit, dan pada umumnya sudah terjadi campuran. Bahasa yang dipakai dalam keseharian adalah bahasa Bajo dan Bugis, namun anak-anak dan remaja berbahasa Indonesia. Sebagian besar penduduk memeluk

Saat musim cengkeh tiba, masyarakat beramai-ramai memanen hasil cengkeh dan bahkan berhenti mencari ikan di laut. Selain penduduk asli, banyak sekali pendatang yang datang ke pulau saat musim cengkeh ini tiba, hanya sekedar untuk mencari rupiah dari hasil memetik cengkeh. Bayangkan, satu liter hasil petikan cengkeh dihargai Rp 10.000,00. Jika sehari saja pemetik cengkeh berhasil mengumpulkan 10 liter cengkeh, sudah Rp 100.000 yang dikantonginya sebagai upah. Kalikan dalam waktu 1 bulan, hmmm... Rp 3.000.000 sudah yang akan dibawa pulang. Padahal, musim panen cengkeh bisa berlangsung hingga 3 sampai 4 bulan. Belum lagi upah untuk bacudik cengkeh, yaitu kegiatan memisahkan cengkeh dari tangkainya, yang dihargai Rp 500,00 per liter, hasil penjualan tangkai dan daun cengkeh yang juga masih laku untuk dipakai sebagai bahan dasar minyak cengkeh. Hasil terbanyak jelas pemilik pohon. Satu kg cengkeh kering biasa dihargai minimal Rp 100.000, bahkan jika sedang mahal berkisar antara Rp 125.000,00 hingga Rp 150.000,00. Satu pohon saja paling sedikit bisa menghasilkan 20 liter cengkeh, sedang 1 kilogram setara dengan 4 liter lebih sedikit. Bagaimana jika mereka punya 1.000 pohon? Wah, betapa kayanya mereka, seharusnya...

Sayangnya, dibalik kelebihan itu Sambujan juga di-‘anugerahi’ kekurangan. Melihat begitu besarnya hasil alam mereka, tidak berbanding lurus dengan tingkat pendidikan... Sebagian besar penduduk ternyata hanya mengenyam pendidikan hingga bangku sekolah dasar saja. Ada yang sekolah hingga sampai ke perguruan tinggi, namun jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Salah satu staff BKKBN

Kecamatan Ogodeide mengatakan bahwa angka putus sekolah pada laki-laki usia 7-15 tahun di Ogodeide merupakan angka tertinggi se-Kabupaten Tolitoli. Termasuk salah satunya adalah di Sambujan. Penyebabnya? Multifaktor, tentu saja. Selain memang fasilitas pendidikan yang kurang, infrastruktur jalan yang masih buruk, ternyata motivasi untuk terus belajar pada remaja juga kurang. Di Pulau Sambujan sendiri, hanya ada 1 bangunan SD. Dengan demikian, anak-anak usia SD yang berasal dari pulau di sekitar Sambujan akan datang ke Sambujan pulau dengan menggunakan perahu bercadik. Tak jarang, apabila gelombang laut sedang tinggi, mereka tidak datang untuk belajar di sekolah.

Gambar 4. Anak Sekolah dari Pulau

Jika ada yang melanjutkan ke jenjang SMP atau SMA, maka mereka harus pergi ke kota Tolitoli. Sebab, meski SMP dan SMA ada pula di ibukota kecamatan, namun jarak Sambujan Pulau ke kota Tolitoli jauh lebih dekat.

Bagi yang merasa tidak tahan hidup mandiri, di rantau seringkali beberapa bulan melanjutkan sekolah ke kota, mereka kembali pulang dan putus sekolah. Belajar dari pengalaman orangtua yang dulunya juga lulusan SD, ternyata mereka mampu menghidupi anak-anaknya. Mengapa mereka tidak? Jika orangtuanya ‘mampu’, maka tentunya mereka juga ‘mampu’. Begitu seterusnya, sehingga terbentuk pola pikir bah pendidikan tidak berpengaruh dalam kehidupan

masa depan.

Faktor pendidikan merupakan salah satu fak-tor yang penting untuk menunjang aspek kehidup-an ykehidup-ang lain, seperti kese-hatan maupun ekonomi. Semakin tinggi pengetahu-an, akan memungkinkan se-seorang untuk semakin ‘sa-dar’ menjaga kesehatan, lingkungan, dan mampu mengatur manajemen keu-angan keluarga hingga bisa jadi mengangkat ekonomi keluarga.

Gambar 6.

Seorang Bayi dalam Gendongan Ibunya

Selain angka putus sekolah yang tinggi, angka pernikahan dini juga cukup tinggi dengan ditemukannya pasangan yang menikah di usia belasan. Remaja perempuan biasa menikah di usia belasan, dibanding laki-laki. Tidak ada ketentuan untuk pemilihan jodoh bagi anak perempuan, asal ada yang melamar dan mau, maka ia akan dinikahkan oleh orangtuanya. Alasannya, selain karena sudah bertemu dengan jodoh di usia tersebut, bila anak sudah menikah, itu berarti orangtua sudah ‘lepas’ tanggung jawabnya. Masih cukup banyak laki-laki yang ditemukan belum menikah hingga usia 20-an. Hal ini menurut salah satu informan, dikarenakan orangtua anak perempuan takut menikahkan anaknya dengan suami yang akan bekerja di laut.

Di sini, di desa yang melimpah hasil lautnya, melimpah pula anak usia remaja yang putus sekolah. Di sini, di desa yang melimpah hasil cengkehnya, melimpah pula bayi-bayi mungil terlahir dari rahim ibu yang berusia belasan tahun...

Aspek kesehatan yang ‘menonjol’ adalah pola pemilihan pengobatan. Masyarakat sudah mengenal pengobatan modern atau pengobatan medis. Hal ini dikarenakan di desa tersebut sudah dibangun sebuah Poskesdes pada tahun 2010 dan terdapat tenaga kesehatan yang menempatinya. Namun demikian, pola pencarian obat pertama pada sebagian besar masyarakat adalah mengobati sendiri terlebih dahulu, baik dengan cara membeli obat yang

sembuh, barulah ia mencari pengobatan ke tenaga kesehatan.

Gambar 7. Pengobatan Tiup-tiup Sumber: Dokumentasi Peneliti

Saya juga sedikit terperangah ketika mengetahui anak-anak datang ke Poskesdes untuk ‘membeli’ obat. Tidak hanya sekali dua kali, tetapi ‘banyak kali’ yang memakai pola demikian. Ternyata, mereka diminta oleh orangtuanya datang ke Poskesdes untuk membeli obat karena orangtua, adik, atau saudaranya yang lain ada yang sakit. Mereka ‘membeli’ tanpa ‘memeriksakan diri’ terlebih dahulu. Menurut keterangan dari bidan desa setempat, hal ini memang sudah biasa. Bidan desa sendiri sebenarnya takut memberikan obat tanpa melakukan pemeriksaan terlebih dahulu. “Jika obat yang dikonsumsi benar, ia berfungsi sebagai penawar, namun jika tidak, bisa jadi ia justru berfungsi sebagai racun”, demikian katanya. Hanya saja,

pada akhirnya ia meng-ikuti ‘pola pengo-batan’ masyarakat tersebut de-ngan memberikan obat-obatan berdosis rendah, kemudian keesokan hari-nya apabila keluar dari Poskesdes dan bertemu dengan orang yang ber-sangkutan (red: orang yang sakit), akan mena-nyakan gejala sakit yang diderita. Selanjutnya ia menuliskannya di buku data pengunjung Poskes-des. Selain itu, tak jarang, ia dipanggil untuk datang

memeriksa orang yang sakit di rumahnya, sehingga, tentu saja, data kunjungan ke Poskesdes bisa jadi bukanlah data ‘kunjungan’ yang sebenarnya.

Gambar 8.

Pola Pemeriksaan ‘Panggil-panggil’ Sumber: Dokumentasi Peneliti

Malaikat Tanpa Sayap