• Tidak ada hasil yang ditemukan

dalam Harmonisasi Dokter Adat dan Layanan Medis di Kampung Tomer, Merauke

Elia Nur Ayunin

Merauke, 25 Mei 2015

Letak Kabupaten Merauke secara greorgrafis berada antara pada 1370 - 1410 BT dan 50 00’9 00’ LS. Kabupaten Merauke merupakan kabupaten terluas diantara provinsi Papua yang juga berada di bagian paling selatan Provinsi Papua. Keadaan Topografi Kabupaten Merauke umumnya datar dan berawa disepanjang pantai dengan kemiringan 0-3% dan kearah utara yakni mulai dari Distrik Tanah Miring, Jagebob, Elikobel, Muting dan Ulilin keadaan Topografinya bergelombang dengan kemiringan 0 – 8%. Batas wilayah Kabupaten Merauke ini terdiri dari,

Sebelah Utara dengan Kabupaten Boven Digoel dan Kabupaten Mappi

Barat berbatasan dengan Laut Arafura

Gambar 1. Peta Kabupaten Merauke Sumber: Pemerintah Kabupaten Merauke

Kabupaten Merauke terkenal sebagai wilayah ujung tertimur Indonesia, disanalah terletak titik nol NKRI, tepatnya terletak di Distrik Soeta, yang ditandai dengan adanya tugu merauke sebagai lambang batas ujung timur Indonesia. Penelitian kami (yaa, karena saya tak sendiri, saya bermitra dengan Alfarabi selaku Sosiolog) untuk mengemban misi khusus, yakni untuk membahas alkulturasi budaya kesehatan di ‘kota rusa’. Dengan demikian pemilihan lokasi penelitian tentu dengan memperhatikan keberadaan interaksi antara suku asli dan suku pendatang. Hasil diskusi dengan pengampu kesehatan di Kabupaten merauke terpilihlah Kampung Tomer, Distrik Naukenjerai sebagai lokasi penelian kami. Lokasi Distrik Naukenjerai relatif dekat dengan pusat kota Merauke. Kurang lebih membutuhkan waktu 2 jam untuk dapat sampai ke pusat kota, itu pun hanya pada musim

Kampung Tomer, Distrik Naukenjerai

kemarau, dengan menggunakan kendaraan roda empat ber-double-gardan. Sebenarnya bukan jarak yang jauh yang menjadikan perjalanan terasa lama, namun jalanan yang berlubang-lubang lah yang menghambat kelancaran perjalanan. Tentu bukan tanpa alasan, jalanan tersebut dibiarkan rusak oleh pemerintah, penambangan pasir ilegal di sepanjang pantai, yang menjadikan pemerintah bersikap enggan melakukan perbaikan jalan.

Gambar 2

Kondisi jalanan menuju ke Kampung Tomer, foto diambil ketika tanah kering

Sumber: Dokumentasi Peneliti

Kedekatannya dengan pusat kota menjadikan kebanyakan kampung di Distrik Naukenjerai tidak hanya ditinggali oleh masyarakat suku asli, namun juga para pendatang dari suku Jawa, Maluku, dan Makassar

suku asli, mayoritas penduduknya adalah orang pribumi. Hal tersebut dikarenakan, akses jalan menuju 2 kampung tersebut lebih sulit dibandingkan 3 kampung sebelumnya, bahkan kesulitan bertambah ketika musih penghujan.

Gambar 3

Truk pengangkut pasir yang sedang menunggu giliran muatan pasir Sumber: Dokumentasi Peneliti

Pada musim penghujan, sangat dibutuhkan alat transpormasi zonder (alat pembajak sawah) untuk membelah jalanan yang berubah menjadi rawa. Zonder biasa diperoleh dari peminjaman kepada UPT pertanian setempat. Transportasi yang dapat digunakan untuk sampai ke kampung Tomerau dan Kondo selain menggunakan zonder, dapat juga menggunakan spit dari Kampung Tomer. Untuk menggunakan speed boat, dalam bahasa lokal masyarakat menyebutnya dengan Jonshon. Untuk menggunakan moda transportasi tersebut masyarakat harus merogoh kocek lebih dalam. Pengoperasian Jonshon ini hanya dilakukan setelah

matahari tenggelam, dimana saat air laut sudah terjadi pasang dan menyentuh bibir pantai.

Kampung Tomer sendiri terletak di tengah luasnya Distrik Naukenjerai, yang cukup banyak ditempati oleh para pendatang, komposisi antara penduduk asli dan penduduk pendatangnya adalah 50:50. Sebagian besar penduduk pendatang beralasan pindah dan menempati kampung Tomer ini dikarenakan untuk menyambung kehidupan. Seperti pendatang suku jawa yang berasal dari daerah transmigrasi, mereka yang merasa tanah di tempat tinggal dahulu tandus dan tidak bisa digunakan bersawah, hingga akhirnya menemukan Kampung Tomer yang mana memiliki tanah yang cukup subur, walaupun hanya dapat memanen satu kali satu tahun. Suku Jawa ini mulai menempati Kampung Tomer sekitar tahun 1986. Sehingga tak heran Merauke disebut-sebut sebagai miniatur Indonesia di tanah Papua. Hal ini tidak terlepas dari dampak program transmigrasi pada sekitar tahun 1960-an .

Keunikan lain dari Kampung Tomer adalah terdapatnya kelompok keluarga yang merupakan masyarakat eks pelintas batas PNG yang dipulangkan oleh Pemerintah tahun 2005, yang mulai diterima masuk kampung pada tahun 2006. Kampung Tomer dipilih menjadi lokasi pemulangan karena kakek atau dalam bahasa lokal disebut tete dari kelompok tersebut berasal dari suku Kanume yang menempati tanah kampung Tomer. Mereka dipulangkan dari PNG melalui

ditempatkan pada satu rukun tangga (RT) tersendiri yaitu RT 03.

Kurang lebih 48 tahun lamanya mereka meninggalkan tanah kelahirannya, namun adat dan budaya moyang tetap masih banyak yang melekat dan dijalankan hingga saat ini. Kelompok masyarakat RT 03 memiliki beberapa keunikan tersendiri, berbeda dengan kelompok masyarakat Kampung Tomer umumnya. Salah satunya kelompok masyarakat RT 03 masih memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap praktek suanggi, dimana sebagian besar masyarakat lainnya sudah meyakini bahwa praktek dan penggunaan suanggi sudah berkurang di tengah masyarakat khususnya di wilayah kampung Tomer, walaupun tetap mengakui akan keberadaan suanggi tersebut.

Suanggi adalah salah satu praktek ilmu kebatinan yang dikenal di tanah Merauke. Praktek ini sesungguhnya sudah banyak ditinggalkan oleh kebanyaan suku di Merauke, namun tak sedikit juga suku yang masih mengakui ke-eksis-an dari praktek tersebut, seperti halnya pada kelompok masyarakat RT 03. Suanggi di masyarakat dipercayai sebagai sebuah ilmu hitam atau black magic. Suanggi merupakan suatu ilmu dan kemampuan diluar batas nalar manusia. Masyarakat yang masih mempercayai sunggai, percaya bahwa suanggi dapat menjadi sumber kesakitan dan kematian. Kepercayaan di masyarakat bahwa kesakitan yang dihasilkan dari suanggi ini tidak ditunjukkan secara kasat mata, namun akan memberikan rasa kesakitan yang luar biasa atau dapat berupa kesakitan yang muncul secara tiba-tiba bahkan hingga dapat menyebabkan kematian. Dengan

demikian masyarakat tersebut ketika berhadapan dengan kesakitan atau kematian, sering kali langsung berspekulasi bahwa hal tersebut diakibatkan oleh serangan suanggi. Hal tersebut dapat memicu konflik atau mengakibatkan saling tuduh menuduh. Terlebih lagi praktek suanggi ini erat kaitannya dengan konflik atau bahkan dendam antar orang, keluarga atau masyarakat kampung. Dengan begitu tidak dapat dipungkiri kemungkinan konflik dan gesekan yang lebih besar.

Suanggi ini dipercaya dapat dilancarkan oleh orang-orang tertentu berdasarkan permintaan. Sedangkan untuk upaya penyembuhannya dipercayakan kepada dokter adat. Dokter adat adalah orang-orang pilihan yang memiliki kemampuan dan kekuatan khusus. Orang-orang tersebut haruslah telah ditetapkan melalui forum adat. Mereka adalah orang-orang yang bersih dari perbuatan kejahatan serta tidak menyalahgunakan ilmunya untuk membuat sakit atau mengambil nyawa orang lain. Dokter adat dipercaya tidak hanya dapat mengobati serangan suanggi, namun juga dapat mengobati gangguan dema (bahasa etnik marind) atau deme (bahasa etnik kanume). Selain suanggi, sumber kesakitan lainnya yang dipercaya oleh masyarakat menyebabkan kesakitan ialah gangguan dari deme.

Deme menurut kepercayaan masyarakat merupakan tuan tanah, yang memiliki kuasa atas suatu tempat atau barang, juga sebagai penjaga. Gangguan deme ini biasa

tersebut terjadi karena sang deme menginginkan bayi yang dikandung ketika lahir menggunakan nama deme tersebut.

Sang dokter adat tersebut akan dengan sigap mengetahui penyebab dari kesakitan yang dialami pasiennya, apakah disebabkan suanggi atau gangguan deme, kemudian akan menghilangkan pengaruh suanggi atau gangguan deme yang diterima pasiennya. Dokter adat dipercaya juga memiliki kemampuan untuk melihat seberapa parah kesakitan dan kondisi tubuh pasiennya. Setelah dokter adat dapat menghilangkan pengaruh suanggi atau gangguan deme, dokter adat akan memeriksa kembali kondisi tubuh pasien tersebut. Apabila pasien tersebut memerlukan pengobatan lebih lanjut, yang dikarenakan terjadi kerusakan di organ tubuhnya, dokter adat akan menyuruh pasiennya untuk melakukan pengobatan ke layanan medis.

Sebagai contoh kasus, terdapat seseorang yang sakit dikarena serangan suanggi. Secara kasat mata tubuh orang tersebut utuh, hanya perasaan sakit tiada tara yang dirasa disekujur tubuh. Setelah dilakukan pemeriksaan oleh dokter adat diketahui bahwa tubuh orang tersebut sudah tidak utuh lagi, tulang-tulang tubuhnya patah dan remuk, kondisi tersebut diyakini oleh dukun adat sebagai akibat dari serangan suanggi. Setelah mendapatkan perlakuan dari dokter kampung, yaitu penyambungan kembali tulang-tulang yang patah dan remuk akibat serangan suanggi, pasien kemudian diminta juga melakukan pengobatan ke layanan medis untuk mendapatkan pemulihan pada tulang dan penyembuhan lainnya yang diperlukan pada kerusakan organ yang mendapat dampak dari serangan suanggi.

Dengan demikian fungsi dari dokter adat adalah sebagai penghilang serangan suanggi atau gangguan deme saja, dan diperlukan juga pengobatan pada layanan medis untuk mengobati organ yang rusak dan atau pemulihan. Praktek pengobatan suanggi dan gangguan deme saat ini sudah jauh berbeda dengan zaman dahulu. Saat ini pengobatan tidak terbatas hanya dilakukan secara adat, tetapi juga melibatkan dan dilakukan secara medis. Hal tersebut menunjukkan adanya penerimaan adat terhadap pelayanan pengobatan medis serta kepercayaan masyarakat terhadap layanan medis sudah sejajar dan dapat beriringan dengan kepercayaan, adat dan tradisi yang ada di masyarakat. Hal ini dapat disebabkan dari perkembangan pengetahuan dan informasi kesehatan di masyarakat, yang menjadikan penerimaan terhadap layana kesehatan medik juga meningkat.

Hal ini merupakan kondisi yang positif bagi perkembangan layanan kesehatan di tanah Papua, dimana masyarakat mulai melibatkan layanan kesehatan untuk mengobati kesakitan yang mereka alami, tidak lagi hanya mengandalkan pengobatan adat. Perkembangan ini tentu dapat berdampak pada penurunan angka kesakitan dan angka kematian yang diakibatkan karena tidak mendapatkan pelayanan medis, walaupun layanan medis belum menjadi prioritas dalam pencarian pengobatan. Memang sudah seharusnya layanan pengobatan medis dan upaya kesehatan

dan pemerintah, yang kemudian di Papua dikenal dengan istilah “Tiga Tungku”. Istilah itu merepresentasi tungku pemerintahan, tungku agama (gereja), dan tungku adat.

Kesikut Talaud