• Tidak ada hasil yang ditemukan

Catatan Perjalanan di Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan

Sutamin Hamzah

Banjar, 18 Mei 2015,

Awal Langkah, menuju muara di Desa Podok, Kabupaten Banjar

Fenomena masyarakat Indonesia akan hadirnya batu akik yang masih menjadi buah bibir dimana-mana dapat tersaji di Kabupaten Banjar, salah satu dari 11 kabupaten di propinsi Kalimantan Selatan yang terkenal dengan pusat intan dan batu alam lainnya. Mayoritas orang Banjar memeluk agama Islam, mereka menjadikan Kabupaten Banjar sebagai serambi Mekah Provinsi Kalimantan Selatan. Perjalanan dari Bandara Samsudin Noor yang terletak di Banjarbaru menuju ke kabupaten ini bisa ditempuh dengan

Secuplik gambaran Kabupaten Banjar yang diperoleh peneliti pada saat membaca isi informasi dari jendela Wikipedia, di sela-sela perjalanan. Tepat pukul 07.30 tim peneliti menuju ke lokasi penelitian di kecamatan. Aluh-Aluh, Desa Podok sebagai lokasi Riset Etnografi Kesehatan 2015 yang menjadi berkah kesempatan peneliti untuk melihat Indonesia dari Pulau Borneo bagian selatan. Menggunakan mobil sewa dengan perjalanan kurang lebih memakan waktu 90 menit. Sesampainya di lokasi, tim peneliti mengunjungi Puskesmas setempat dan Kantor Camat Aluh-Aluh untuk mengurus perijinan dan berkoordinasi tentang pelaksanaan pengumpulan data di lapangan.

Mengenal Kecamatan Aluh-aluh lebih dekat di peroleh dari Camat Aluh-Aluh Bapak SHT yang berada diruangan kerjanya. Beliau mengatakan, Kabupaten Banjar sudah ada sejak tahun 1950 dan Kecamatan Aluh-Aluh merupakan salah satu Kecamatan dari 6 Kecamatan, sehingga terbentuknya Kabupaten Banjar. Menurut orang tua disini, bahwa sejarah dari nama kecamatan Aluh-Aluh, pernah ada pahlawan wanita di sebut Aluh, yang seperti di Banda Aceh ada pahlawan Cut Nyak Dien.

Lanjut cerita, beliau menginformasikan keadaan Masyarakat Aluh-Aluh yang memanfaatkan sungai sebagai sumber kehidupan. Mata pencaharian rata-rata nelayan di laut dan di sungai, selain itu juga sebagai petani padi di pehumaan (sawah). Hasil perikanan yang terkenal di Kecamatan Aluh-Aluh meliputi udang, cumi, dan kepiting. Angka kemiskinan Aluh-Aluh masih tertinggi di bawah angka rata-rata Kecamatan Gambut. Secara geografis Kecamatan

Aluh-Aluh terbagi atas 19 Desa 13 Desa diantaranya berada di pinggiran Sungai Barito dan pesisir pantai. Masyarakat disini masih menaruh harapan besar untuk perbaikan infrastruktur seperti jalan dan jembatan sebagai akses dan mobilitas penduduk. Untuk sarana pendidikan di Kecamatan Aluh-Aluh terdapat SD dan Paud, SMP persiapan kurang lebih sudah ada 9 buah. Kalau di Podok sudah ada SMP Seatap. Untuk transportasi di pesisir menggunakan kelotok (perahu bermesin). Luas wilayah Kecamatan Aluh-Aluh kurang lebih 82,48 km2 (sambil mengambil data dan memperlihatkannya) kepada tim peneliti.

Kegiatan tim peneliti dilanjutkan dengan berangkat ke Desa Podok dengan menggunakan kelotok milik dari Bapak SRB. Sangat menantang dengan suara mesin di kelotok yang terdengar merdu bersisik. sepanjang perjalanan kami di suguhi dengan pemandangan perbatasan laut dan sungai yang indah di pandang mata mengobati terik panas matahari yang menusuk ke pori-pori kulit.

Wilayah Desa podok secara geografis terbagi atas 3 RT. Yang dikelilingi oleh aliran Sungai Barito. Terlihat aktifitas masyarakat sehari-hari dengan beraneka ragam kegiatannya masing-masing. Perjalanan kurang lebih 30 menit dari Aluh-Aluh Besar (Pusat Kecamatan). Akhirnya tim peneliti sampai juga di tempat tinggal dan disambut dengan hangatnya oleh masyarakat setempat. Membawa barang bawaan yang di bantu oleh beberapa warga, sangat membuat suasana disaat

Gambar 1

Muara Desa Podok, Aliran Sungai Barito Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015

Di tempat tinggal kami berbincang dengan ibu hj. RML selaku pemilik rumah yang kami tempati. Ada beberapa warga yang datang melihat kami bersamaan juga dengan datangnya pak Pembakal (kepala desa) yang menambah suasana semakin nyaman dan tentram. Sambil berbincang kami membangun raport dengan beberapa warga (ibu-ibu) yang ada dan memperkenalkan diri dan maksud kedatangan tim peneliti ke Desa Podok. Dengan rasa syukur yang tak terhingga kami diterima dengan senang hati oleh Pak Pembakal dan masyarakat setempat.

Hidup bersama mereka (Orang Bahari) di Desa Podok Pengalaman yang tak terlupakan, menyatu dengan alam, belajar budaya dan kesehatan bersama mereka, masyarakat Suku Banjar yang menghuni Desa Podok, Kecamatan Aluh-Aluh, Kabupaten Banjar. Setiap pertemuan pasti ada perpisahan, tak terasa 33 hari berada di Negeri

Borneo bagian selatan dengan julukan khasnya yakni kota seribu sungai, hal ini pula yang dapat tergambarkan di sebuah Desa bagian selatan dari kabupaten Banjar. Mereka menamakan dirinya adalah orang bahari atau orang sungai yang sudah hidup berpuluh-puluh tahun lamanya, menyatu dengan kehidupan sungai sebagai nyawa mereka.

Gambar 2

Kebersamaan tim peneliti bersama masyarakat Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015

Tak pelak hal ini menjadikan kami, hidup bersama mereka, sembari bercengkrama, belajar bahasa daerah setempat, sampai mereka tertawa melihat geliat kami yang sedang membahasakan bahasa Banjar. Tetapi suasana yang demikian mulai membangun keakraban yang hangat dengan masyarakat setempat yang akhirnya kami diterima dengan senyum dan sebuah pengharapan untuk desa mereka. Tali silaturahmi pun terjalin, seminggu kami di desa ini sudah dianggap bagian dari keluarga kecil mereka.

Berobat pada Keluarga, itulah pilihan kami

Masyarakat Banjar, Desa Podok memilih untuk berobat ke sarana fasilitas kesehatan yakni Puskesmas dan Puskesmas Pembantu yang sudah tersedia. Di Desa Podok sendiri hanya ada satu-satunya sarana fasilitas kesehatan yakni Pustu yang sudah lama berdiri sejak tahun 2004. Pelayanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat tak luput dari pelayanan kesehatan ibu dan anak, dan pengobatan bagi mereka yang sakit. Tenaga kesehatan yang ditempatkan sejak tahun 2011 seorang bidan bernama Nahwati, usia 28 tahun, sudah berkeluarga dan dikaruniayi 2 putra kembarnya.

Ibu NHW yang merupakan bidan desa Podok, menyampaikan kepada kami bahwa rata-rata masyarakat di Desa ini, berobat ke fasilitas kesehatan terkadang nanti pada saat kondisi sudah parah, tak berdaya, tak bisa apa-apa. Akhirnya proses rujukan yang dibantu oleh beberapa orang TKS atau tenaga kesehatan sukarela yang juga orang asli desa setempat harus diampuh untuk segera memperoleh pengobatan.

Desa Podok, memiliki sumber daya manusia dibidang kesehatan, ada beberapa dari mereka sudah bekerja di luar dari wilayah Desa atau Kecamatan dan sebahagian lagi memilih untuk mengabdikan diri di kampung sendiri. Terhitung kurang lebih ada sekitar 7 orang dengan bidang keahlian yang berbeda seperti tenaga perawat, bidan dan gizi.

Ikatan kekeluargaan yang kuat membuat masyarakat Banjar di Desa Podok memilih untuk berobat kepada mereka, dengan alasan bahwa selain sebagai keluarga, akses kesehatanpun secepatnya bisa dijangkau dengan biaya yang murah dan mampu dijangkau oleh masyarakat. Memilih untuk berobat kepada keluarga sendiri sudah menjadi budaya bagi masyarakat setempat selain mencari obat di warung, pasar dan pengobatan alternatif lainnya.

Gambar 2

Pelayanan kesehatan oleh TKS di rumah praktek Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015

Sebut saja matri IJ (tenaga perawat) dan bidan ID (tenaga bidan) yang sering kali dikunjungi masyarakat untuk memberikan pelayanan kesehatan. Melayani masyarakat dirumah dengan membuka tempat praktek seadanya, pelayanan kesehatanpun dijalankan oleh mereka. Menolong sesama keluarga dan tanpa mengharapkan imbalan yang lebih hanya sekambarinya atau seikhlasnya sudah cukup bagi mereka yang terpenting adalah kami bisa membantu masyarakat setempat agar lekas sembuh.

Maulid Burdah, Kesehatan Religi Masyarakat

Kekeluargaan yang terjalin erat membuat mayoritas masyarakat yang bekerja sebagai petani dan nelayan, di Desa ini mengisi kegiatan rutin di setiap minggunya dengan melaksanakan acara maulid burdah. Sudah mentradisi sejak dahulu kala di desa ini, dan masih terpelihara sampai sekarang. Semua golongan umur ikut terlibat mulai dari anak-anak, remaja, dewasa sampai orang tua. Dilaksanakan di waktu yang berbeda setiap minggunya. Masyarakat Banjar di Desa Podok mempercayai bahwa dengan diadakannya kegiatan seperti ini akan membawa rahmat bagi mereka. Baik untuk kesehatan warganya, menjaga kampung dan pendidikan agama kepada anak-anak mereka yang sudah ditanamkan sejak dini.

Gambar 3

Maulid Burdah, Kesehatan Religi Masyarakat Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015

Maulid Burdah, diisi dengan membacakan kitab kuning yang sudah disediakan oleh pelaksana acara, sembari melantunkan salawat nabi, zikir dan tahlilan dengan irama yang sama nan syahdu menjadikan setiap suasananya

nyaman dan tentram. Setelah menjalani proses ini manfaat yang diperoleh yakni ketenangan hati dan juga sebagai penyejuk jiwa bagi masyarakat setempat. Sisi positif yang ikut terbentuk yakni ikatan silaturahmi antar sesama warga selalu dan senantiasa terjalin. Di sesi akhir kegiatan ini. Hal kecil yang terlihat adalah ketika orang muda menghormati orang tua dengan menyalami dan berjabatan tangan pada saat sampai hingga pada waktu pulang.

Kami Orang Sungai, dari Dulu Hingga Sekarang

Secara kasat mata, kehidupan masyarakat Banjar di Desa Podok bisa dikatakan 100% menggunakan air sungai untuk kehidupan sehari-harinya. Mulai dari aktifitas mandi, mencuci, memasak, dan buang hajat kesemuanya di sungai. Tak ada tempat lain selain memanfaatkan sungai sebagai sumber kehidupan mereka. Rumah-rumah penduduk yang bertebaran di pinggiran sungai dan terbagi diantara tiga wilayah Desa Podok yakni, Podok Darat atau RT 1, Podok Tengah atau RT 2 dan Sakajarak/Sakamangkok atau RT 3.

Kurang lebih 2.500 jiwa penduduk yang menghuni dan mendiami Desa ini, mengharuskan mereka untuk setiap hari menyatu dengan alam. Air sungai yang setiap harinya mengalami proses pasang-surut tak membuat masyarakat enggan untuk tetap menggunakan dan memanfaatkan air tersebut sebagai kebutuhan. Menyediakan tempat penampungan air sederhana dengan tawas penjernih yang

syarat akan kesehatan atau telah menghilangkan kuman-kuman penyakit air bersih yang sudah tersediapun bisa langsung dikonsumsi. Baik dimasak maupun tak dimasak.

Dalam wawancara peneliti dengan beberapa orang bapak-bapak Banjar yang sedang asyik duduk di selasar rumah mengatakan bahwa,

“Kami orang sungai, dari dulu hingga sekarang. Kalau bukan di sungai dimana lagi? Bahkan waktu dulu orang sini bisa langsung mengkonsumsi airnya. atau air yang dari sawah tanpa melihat bersih tidaknya air tersebut tidak ada juga kena sakit. Buktinya masyarakat disini sehat semua sampai umur 100 tahun masih ada yang hidup. Kami sudah kebal dengan air disini beda dengan orang yang dikota, semuanya harus bersih. Sakit itu hanya datang dari sang maha pencipta dan kami percaya bahwa air yang kami konsumsi sudah baik untuk kami tanpa mengakibatkan sakit”.

Terdiam, terkejut itulah ekspresi saya ketika mendengarkan curahan hati dari masyarakat setempat akan kebiasaan mereka pada saat mengkonsumsi air sungai yang di ceritrakan informan. Bahkan untuk membuktikan hal tersebut tim peneliti ditantang untuk mencoba mengkonsumsi air yang dikonsumsi pula oleh warga setempat. Kepercayaan bahwa ketika orang yang meminum air ditempat ini akan selalu ingat dengan tempat ini disampaikan pula oleh informan. Atas dasar ingin hidup bersama masyarakat tim penelitipun membuktikan tantangan tersebut. Beragam kebiasaan masyarakat yang sering kali dilakukan pula oleh tim peneliti. Tak pelak

menjadikan kami semakin menyatu dengan kehidupan warga setempat. Benar-benar pengalaman tak terlupakan…

Kami orang sungai, dari dulu hingga sekarang, suatu pengutaraan yang mendebarkan hati. Melihat Indonesia dari sudut selatan pulau Kalimantan merupakan gambaran kecil masyarakat yang menamakan diri mereka seperti itu dan tak memandang sisi dampak negatif yang akan di timbulkan. Baik sakit karena konsumsi air sungai atau kebiasaan mereka yang setiap harinya berada di sungai. Yang terpenting adalah mereka hidup dan menyatu dengan alamnya.

Gambar 4

Sungai, Sumber Kehidupan Masyarakat Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015

Informasi yang diperoleh dari Puskesmas bahwa setiap tahun angka kesakitan diare meningkat di Desa ini, hal ini disebabkan oleh karena musim pergantian air dimana

mengkonsumsi air dan tetap bertahan hidup di sungai walaupun dengan konsekuensi menderita diare tanpa mengenal usia. Situasi seperti ini tak bisa hanya dengan cara yang instan untuk mengantisipasinya. Puskesmas dan petugas kesehatan setempat berjibaku untuk meminimalisir dampak negatif bagi kesehatan mayarakat di Desa ini. Tak pelang, upaya-upaya kesehatanpun dilakukan walau dengan serba keterbatasan.

Kepala Puskesmas mengatakan bahwa masyarakat di Desa Podok masih menggunakan air sungai yang sering diberi kaporit ataupun tawas dengan hasil penyaringan air yang serupa tapi tak sama masih dikonsumsi dan menjadi suatu kebutuhan yang selalu terpenuhi bagi masyarakat setempat. Tak jarang juga masyarakat yang sudah sekian lama mengkonsumsi air tersebut yang kadangkala sudah tidak dimasak lagi harus mengalami sakit seperti diantaranya diare. Apalagi pada saat musim air payau yaitu suatu musim dimana ada pergantian antara air laut dan air sungai. Biasanya terjadi pada bulan juli di setiap tahunnya. Pada saat itulah masyarakat Podok datang ke Puskesmas dengan keluhan prioritas adalah diare. Dengan keadaan ini penyakit diare bisa saja meningkat kalau tidak dengan cepat dan tanggap di minimalisir untuk meningkatkan kewaspadaan dini atas penyakit diare yang ada di Desa Podok. Tapi rata-rata di hampir seluruh wilayah pesisir PKM Aluh-Aluh kondisinya hampir sama.

Keberadaan air sungai pun dirasa relatif mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat terlebih pada angka kejadian penyakit yang disebabkan oleh bawaan air

diantaranya diare tadi. Sangat sulit dan butuh waktu untuk mensosialisasikan akan ketersediaan air bersih dan juga bahaya akan pencemaran air yang ada, karena rata-rata masyarakat tinggal bertahun-tahun dan sudah terbiasa dengan lingkungan setempat. Kepercayaan inilah yang sulit untuk dihilangkan. Sungai sudah menjadi sebuah kebutuhan masyarakat. Baik untuk keperluan sehari-hari atau bagi mata pencaharian seperti nelayan dan distribusi air untuk persawahan. Air sungai sudah menjadi bagian yang melekat dan tak terpisahkan dengan keberadaan masyarakat setempat. Walaupun secara kasat mata sangat berpengaruh terhadap status kesehatan masyarakat setempat. Kami hanya bisa berusaha sekuat tenaga untuk mengupayakan masyarakat melestarikan dan membudidayakan perilaku hidup bersih dan sehat.

Sarana Pelayanan Kesehatan dan Keberadaannya

Masyarakat Banjar di Kecamatan Aluh-Aluh, memperoleh pelayanan kesehatan di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Aluh-Aluh. Dengan statusnya rawat inap dan merupakan salah satu Puskesmas PONED dengan wilayah kerja 19 Desa. Keberadaan bangunan Puskesmas yang berada di Pusat Kecamatan, dengan jarak 15 m letaknya dengan Kantor Camat Aluh-Aluh menjadikan sarana fasilitas kesehatan berada di posisi yang strategis walaupun masih sulit untuk menjangkau Desa yang jaraknya jauh dari PKM.

melakukan kunjungan pelayanan kesehatan agar merata. Alat transportasi menggunakan spedd, kendaraan sungai satu-satunya yang dimanfaatkan untuk beberapa kegiatan Puskesmas, di antaranya Posyandu dan pengobatan. Untuk desa yang berada di daratan Puskesmas memiliki 2 kendaraan beroda empat (mobil ambulance) dan beberapa kendaraan beroda dua (motor). Kendaraan darat yang digunakan membantu petugas kesehatan dalam hal proses rujukan pasien ke sarana pelayanan kesehatan tingkat ke dua yakni Rumah Sakit pemerintah maupun swasta yang berada di Kabupaten Banjar. Memakan waktu kurang lebih 90 menit untuk menuju ke rumah sakit.

Gambar 5

Puskesmas Aluh-Aluh dan sarana transportasi darat dan sungai Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015

Mengedepankan upaya kuratif tanpa mengke-sampingkan upaya preventif, suatu gambaran yang terlihat di Puskesmas Aluh-Aluh. Dalam 2 tahun terakhir yakni di tahun 2013-2014 jumlah tenaga kesehatan yang ada kurang lebih 40 orang yang terbagi atas dokter umum 2, dokter gigi 1, tenaga gizi 2, tenaga perawat 12, tenaga bidan 22, tenaga

analisis lab 2 dan hanya ada 1 tenaga kesmas di tahun 2011. Realita keberadaan tenaga kesehatan yang ada di Puskesmas Aluh-Aluh. Promosi kesehatan yang seharusnya menjadi salah satu garda terdepan di puskesmas harus tertelan dengan aktifitas petugas kesehatan yang mengedepankan upaya kuratifnya. Puskesmas masih sangat membutuhkan tenaga kesehatan masyarakat, terlebih menjawab gambaran dan situasi pola hidup masyarakat yang berkaitan dengan PHBS.

Keberadaan Puskesmas menjadi alternatif pengobatan medis bagi masyarakat, pelayanan di buka pukul 09.00 WITA di setiap harinya. Masyarakat paling banyak berobat di hari Jum’at karena hari pasar di pusat kecamatan. Masyarakat datang berbondong-bondong untuk mendatangi puskesmas di pagi hari. rata-rata bisa sampai 50 orang yang berobat dengan berbagai macam keluhan penyakit yang di derita. Ada yang datang sendiri dan ada pula yang datang bersama sanak keluarga. Memadati ruangan pelayanan yang hanya ditopang oleh kayu ulin dibawahnya sebagai tiang penyanggah, cahaya yang kurang, akses udara yang terbatas, tempat duduk seadanya. Orang muda dan orang tua dengan prosedur pelayanan yang diawali dari jendela register pasien dan berakhir di meja apotik. Suasana ramai, saling bertegur sapa dan pelayanan kesehatan yang diberikanpun dijalanakan oleh tenaga kesehatan yang sudah standby di ruangan mereka masing-masing.

Cerita kecil, dibalik asa masyarakat

1. Seberkas usaha kesehatan ibu antara bidan desa dan dukun kampung

Usaha kemitraan antara penolong persalinan baik secara medis maupun tradisional, masih mengalami jalan buntu dan belum selaras. Dari hasil pengamatan peneliti di lokasi, temuan dilapangan yang menggambarkan bahwa masih adanya kepercayaan ibu akan jasa yang diberikan oleh dukun kampung lebih besar dibanding dengan bidan desa. Sembari duduk, dan menunggu anak mereka yang bersekolah di TK, para ibu mengatakan melahirkan di DK lebih murah, dan proses persalinan didampingi sampai kepada membersihkan ibu dan bayinya. Di bidan desa, sulit dijangkau semacam perlu biaya tambahan untuk satu paket pertolongan persalinan. Ada tambahan pemberian susu untuk ibu pasca melahirkan dan juga obat-obatan, akan tetapi belum sampai kepada membersihkan ibu dan bayinya hingga proses persalinan selesai, terkadang bidan desa tidak melakukan itu. Hingga akhirnya kami memilih untuk ditolong oleh DK.

Pendekatan dengan kelas ibu hamil yang menghadirkan 10 orang bumil di setiap minggu 1 bulan berjalan dilakukan oleh bidan desa yang memiliki target 30 bumil untuk tahun 2015. Masih tak sejalan dengan target yang ditetapkan oleh dinas kesehatan Kabupaten Banjar yang disampaikan oleh bidan sendiri yakni 53 orang. Dengan alasan beragam seperti diantaranya ibu hamil yang susah diajak, pendidikan ibu hamil masih di bawah rata-rata

setingkat SD yang sedikitnya menghambat proses keberlangsungan kelas ibu hamil agar efektif. Hal lain yang dilakukan oleh DK dengan mengunjungi dan melakukan pendampingan secara intens kepada ibu hamil melalui perawatan dan pelayanan tradisionalnya seperti diantaranya urut bumil, dan betapung tawar pasca melahirkan masih dibudayakan. Sampai-sampai dari 2 DK aktif di Desa Podok satu diantaranya membuat catatan ibu melahirkan yang ditolong. Hal yang diluar dugaan.

Dari segi pendekatan emosional sangatlah berbeda, terkadang masyarakat berfikir bahwa lebih dekat dengan DK ketimbang bidan desa. Lebih nyaman dengan DK ketimbang bidan desa, merasa bahwa DK lebih mengedepankan keikhlasannya untuk membantu ketimbang bidan desa, menerima apa adanya, tak mengenal waktu, situasi, cepat hadir ditengah-tengah mereka ketimbang bidan desa. Suatu pemikiran yang sebenarnya terdapat sisi positif yang mungkin pula bisa di aplikasikan oleh bidan desa untuk membangun sebuah kemitraan baik dengan dk sendiri maupun keluarga dari si ibu hamil. Akankah itu bisa dilakukan…??? Sepintas berfikir bahwa dimata masyarakat para ibu-ibu Banjar, dk adalah orang terpilih dari jasa yang diberikan, bidan desapun menjadi orang terpilih datang ke desa untuk menyatu. Dan berusaha menjadi orang terpilih dimata para ibu-ibu selaknya pandangan mereka kepada dk. Proses dan waktu yang berjalan akan menjawab semua ini.

Gambar 7

Kelas ibu hamil (kiri) (kanan) Betapung Tawar Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015

2. Inikah yang disebut “Suami Siaga”?

Tepat pada tanggal 5 mei 2015, tim peneliti melanjutkan langkah perjuangan untuk melakukan observasi kegiatan Posyandu yang bertepatan pula dengan hari pasar di Desa Podok. Undangan kepada masyarakat yang terdengar dari pengeras suara dalam mesjid Baiturahman di sampaikan langsung oleh bidan desa untuk kiranya menghadiri pelaksanaan kegiatan Posyandu yang akan dimulai pukul 09.00 wita. Upaya ini dilakukan setiap kali jadwal Posyandu, namun terkadang masyarakat masih enggan untuk datang ke Posyandu sebab kepercayaan yang berkembang di masyarakat bahwa ketika ada pelayanan imunisasi yang diberikan oleh petugas kesehatan, tidak mendapatkan kesehatan malah sakit yang diperoleh, yaitu panas sehabis disuntik. Hal lain yang diutarakan oleh ibu-ibu kader Posyandu bahwa waktu pagi bertepatan dengan kegiatan kerja masyarakat. Lebih baik kerja daripada ke Posyandu. Dari dua alasan diatas sepenuhnya menjadi suatu keputusan dari sang suami kepada istri dan anaknya. Sangat

disayangkan… kata yang terlontar dari peneliti ketika mendengar hal tersebut. sambil mengamati kegiatan Posyandu yang ada seperti pelayanan kesehatan ibu hamil, pemeriksaan KB, pengobatan lansia, penimbangan, imunisasi, pemberian vitamin A, dan pemberian makanan tambahan bagi ibu dan anak yang datang ke Posyandu ragam kegiatan