• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sebuah Catatan Perjalanan Etnografi di Miangas

Ade Aryanti Fahriani

Miangas, 4 Juni 2015

Bercerita tentang Miangas, maka kita akan teringat akan sebuah jingle mie instan, “.. dari sabang sampai merauke, dari miangas hingga pulau rote.. Indonesia Tanah air ku... Ind**ie selera ku...”. Ya, Miangas memang merupakan sebuah pulau perbatasan Indonesia yang paling utara, berbatasan dengan negara Philipina yang berada di Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Luas pulau ini kurang lebih luas sekitar 3,15 km² dengan keliling pulau kurang lebih 7 km. Sebenarnya pulau ini kalau dilihat dari google maps hanyalah sebuah titik di tengah Samudra Pasifik. Sebuah pulau yang menyendiri dan tak ada pulau terdekat yang mengelilinginya. Meskipun luasnya hanya 1 pixel di Google maps, tapi pulau ini sangat penting bagi

Nanusa kurang lebih 148 mil, sedangkan jaraknya dengan Philipina hanya sekitar 48 mil. Maka tak heran pulau ini menjadi sebuah wilayah yang sensitif dengan isu kesetiaan nasionalisme-nya.

Gambar 1. Peta Miangas Sumber: Google

Perjalanan untuk menuju Miangas dari kota Manado setidaknya dapat ditempuh dengan 2 rute. Rute pertama full menggunakan kapal Perintis Meliku Nusa atau Sabuk Nusantara, dari Pelabuhan Bitung-Lirung-Melonguane-Esang-Kakorotan-Karatung-Miangas yang akan memakan waktu 3 hari 2 malam di lautan. Rute kedua dengan pesawat dan juga kapal laut, yaitu naik pesawat dari Manado menuju Melonguane. Kemudian dari Melonguane naik kapal Perintis menuju Esang-Kakorotan-Karatung-Miangas dengan kurang lebih melewati 30 jam perjalanan di laut.

Kapal yang menuju Miangas biasanya beroperasi 2 minggu sekali, hal ini dikarenakan kapal perintis yang ada selalu berkeliling dari pulau ke pulau, sehingga memakan waktu 2 minggu untuk sekali putarannya. Namun, dengan banyaknya kapal yang beroperasi, setidaknya setiap seminggu sekali di cuaca yang teduh kapal perintis dapat berlabuh di Miangas. Selain menaiki kapal reguler perintis, bisa juga menyewa kapal boat. Kapal boat dari Melonguane sampai Miangas dapat ditempuh dengan waktu paling cepat 6 jam. Untuk sewanya bisa dikenakan tarif 18 juta, selain dapat memangkas waktu perjalanan juga dapat memangkas habis-habisan isi dompet.

Gambar 2.

Saatnya Berpetualang!!!

Sejak siang hingga menjelang dini hari, Pelabuhan Melonguane dipadati oleh masyarakat, baik calon penumpang kapal, para pedagang yang menunggu kiriman dagangan, hingga masyarakat yang sekedar mencuci mata melihat-lihat kedatangan Kapal Perintis Meliku Nusa. Pekatnya malam di Pelabuhan Melonguane ternyata tak menyurutkan Kapal untuk segera melayarkan diri ke pulau-pulau sebelah utara Indonesia. Tepat jam 00.00 dini hari, terdengar jelas peluit kapal memanggil para penumpangnya untuk segera menaiki kapal. Rencanyanya saya bersama satu rekan peneliti akan melayarkan diri menuju Pulau Miangas dalam rangka penelitian Riset Etnografi Kesehatan disana. Jadi, selama kurang lebih 40 hari, kami akan berbaur dan menjadi bagian dari masyarakat Miangas.

Kapal pun mulai berlayar dengan santainya, meskipun deru ombak sangat tenang, tetap saja mampu untuk membuat kepala saya terasa pusing. Ini adalah pertama kalinya saya naik kapal laut, meskipun saya telah terbiasa “tegar” dengan semua transportasi yang ada, baru pertama kali ini saya “tumbang”, mabok perjalanan oleh kapal laut. Saya pun berharap perjalanan ini segera berakhir atau minimal segera menemukan daratan untuk menstabilkan tubuh yang mulai sempoyongan. Meskipun tengah malam, masih terlihat beberapa para penumpang sedang asik bercengkrama dan ngobrol-ngobrol dengan sesama penumpang lainnya di anjungan kapal. Saya pun mencoba untuk ikut membaur, sembari berharap bisa menghilangkan

pusing yang terasa, yaa hitung-hitung latihan bersosialisasi sebelum membaur di masyarakat nanti.

Jam menunjukan pukul 10.00 pagi, hari pun semakin siang, terik matahari pun semakin mengganyang, demikian pula dengan rasa mabok laut yang saya rasakan. Puncaknya, semua isi perut ini pun akhirnya termuntahkan. Saya pun kemudian berusaha menstabilkan tubuh dengan meminum beberapa pil anti mabok, dan berharap Miangas segera tiba dipelupuk mata. Tepat jam 12 Siang, kapal pun mulai melabuhkan diri di pelabuhan pulau Kakorotan. Saya pun segera beranjak dari kamar ABK menuju bagian atas kapal, dan saya pun langsung speechless. Saya tak bisa berkata-kata, sungguh betapa indahnya Pulau Kakorotan ini, Subhanallah... Wajar saja tempat ini dijadikan spot festival adat berskala nasional, yaitu festival Mene’e. Rasa mual dan mabok yang saya rasakan pun seakan terbayarkan setelah saya melihat betapa indahnya karya Allah, sebaik-baiknya Maha Pencipta.

Subuh pun mulai menggantikan malam, samar-sama dibalik pekatnya langit subuh, terlihat sebuah pulau dari kejauhan, ya itulah Miangas. Saya pun segera mengambil beberapa shot foto dan video meskipun masih amatiran. Akhirnya, sesampainya di pelabuhan, kami pun disambut oleh warga-warga Miangas yang berdatangan. Tapi sayangnya mereka bukan untuk menyambut kami, tetapi menyambut barang-barang kebutuhan pokok yang satu-satunya diangkut oleh kapal perintis ini. Akhirnya sayapun bisa berujar, Assalamu’alaikum Miangas...

Gambar 4.

Pulau Miangas dari Kejauhan Sumber: Dokumentasi Peneliti

Miangas, Sebuah Tanah Adat yang Kini Mulai Dimanjakan

Selain karena kedekatan secara geografis, ternyata hubungan antara Miangas dan Philipina sangat erat kaitannya sejak dahulu kala. Jika kita merunut sejarah

terbentuknya kehidupan masyarakat di Miangas, maka kita akan menemukan fakta bahwa leluhur masyarakat Miangas merupakan orang Bangsa Phillipina. Namun, dikarenakan mereka sering berhubungan dengan orang-orang dari Kepulauan Talaud, akulturasi dan perkawinan antar suku di nusantara pun tak bisa dihindarkan.

Tak dapat dipungkiri, Philipina pernah membawa sengketa kepemilikan Pulau Miangas ke kancah Internasional. Namun, ketika dilakukan penyidikan oleh PBB, ternyata identitas kebangsaan masyarakat Miangas mengacu pada suku Talaud yang ada di Indonesia. Mereka berbahasa daerah Talaud bukan Tagalog, menggunakan mata uang rupiah bukan peso, serta yang paling penting bahasa nasional yang mereka gunakan adalah Bahasa Indonesia. Jadi,dengan identitas kebangsaan itu, maka PBB memutuskan bahwa pualu Miangas merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Republik Indonesia.

Masyarakat Miangas pada umumnya memeluk agama kristen protestan dengan berprofesi sebagai nelayan dan petani. Setidaknya ada 3 hal yang menopang sendi kehidupan masyarakat Miangas, yaitu adat, rohani, dan pemerintah. Adat memang sangat berperan penting dalam mengatur hubungan kemasyarakatan di Miangas disamping aspek rohani. Maka tak jarang para pemangku adat lebih sering dipercaya masyarakat dalam memutuskan sengketa kemasyarakatan dibandingkan dengan aparat pemerintahan.

Sebagai sebuah pulau adat yang terdepan di utara Indonesia, membuat Miangas mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Pertama, Pulau Miangas berdiri sebagai sebuah kecamatan khusus, meski secara administratif tidak memenuhi persyaratan berdiri sebagai kecamatan biasanya. Kedua, untuk mendukung Pulau Miangas sebagai pulau pertahanan Indonesia, maka sekarang di Miangas telah mulai dibangun sebuah bandara udara. Ketiga, untuk menjamin kelayakan hidup masyarakat di Miangas, bantuan-bantuan dari pemerintah khususnya dari pusatpun banyak diberikan di Miangas, terutama untuk pembangunan infrastruktur dan beras pra-sejahtera.

Gambar 5.

Salah Satu Sumber Pembangkit Tenaga Listrik di Miangas Sumber: Dokumentasi Peneliti

Ketersediaan fasilitas publik di Miangas setidaknya dapat dikatakan lebih bagus daripada kebanyakan pulau-pulau kecil lainnya yang berada di Kepulau-pulauan Talaud.

Bangunan fisik pelayanan pemerintahan sudah berdiri dengan layak, listrik dapat beroperasi selama 7 x 24 jam dalam seminggu dengan menggukan PLTS dan PLTD, fasilitas komunikasi dapat berjalan lancar, akses air bersih dapat terjangkau, serta terdapat rumah pintar bagi anak-anak di Miangas.

Ketersediaan sarana dan prasarana tersebut ternyata tak sepenuhnya termanfaatkan oleh pemerintah. Contohnya saja kantor kepala desa yang meski dibangun permanen hingga sampai ini tak dipakai bahkan sampai dibiarkan rusak, padahal tak sedikit dana yang dikucurkan oleh pemerintah untuk membangunnya. Fasilitas Puskesmas pun jarang dikunjungi oleh masyarakat, keberadaan rumah pintar yang selama beberapa tahun hingga sekarang hanya pernah 1 kali digunakan. Banyaknya bantuan-bantuan dari pemerintah ternyata tak selamanya membawa dampak yang positif bagi masyarakat. Mental “manja” yang hanya berharap dari bantuan-bantuan pun tak dapat dielakkan, sehingga inisiatif untuk memberdayakan desa sendiri kurang terlihat di Miangas.

Gambar 6.

Salah Satu Fasilitas Publik yang Terabaikan dan Tak Difungsikan Sumber: Dokumentasi Peneliti

Bertahan di Tengah Keterbatasan

Karakteristik pulau yang “menyendiri” tak jarang menyebabkan keterbatasan akses di Miangas, salah satunya akses transportasi dari pusat ibukota dan pemerintahan. Cuaca yang ekstrim di Samudra Pasifik yang lepas terkadang menghambat distribusi kebutuhan pokok yang ada. Biasanya pada bulan Desember sampai Februari cuaca di Miangas sangat tidak bersahabat. Angin yang kencang dan ombak yang tinggi tak jarang membuat ciut kapal-kapal untuk melabuhkan diri di Miangas. Bahkan, salah satu kejadian sebuah kapal tongkang yang mengangkut meterial pembangunan bandara “tepar” tak berdaya di pelabuhan akibat rusak parah diterjang ombak besar Samudra Pasifik.

Gambar 7.

Kapal Tongkang yang “tepar” Akibat Gelombang Besar Sumber: Dokumentasi Peneliti

Ektrimnya cuaca di Miangas tersebut tak jarang membuat masyarakat Miangas tak dapat melaut mencari ikan serta mendapatkan pemasukan bahan pokok bahkan sampai berbulan-bulan. Akibatnya, mereka harus bertahan bersama alam untuk melanjutkan kehidupan. Untuk memenuhi bahan pokok mereka mengkonsumsi umbi-umbian seperti laluga (sebuah tanaman talas raksasa yang hanya tumbuh di Miangas), sagu, maupun ubi jalar. Sedangkan untuk lauk pauk, mereka mencari ketam kenari (kepiting) atau bahkan hanya memakan sayur-sayur yang ada tumbuh di Miangas.

Gambar 8.

Laluga, Sejenis Tanaman Talas Raksasa Sumber: Dokumentasi Peneliti

Selain keterbatasan dalam hal kebutuhan pokok, Miangas juga terbelenggu dengan keterbatasan akses kesehatan medis. Meskipun Puskesmas Miangas sudah berdiri sebagai Puskesmas setingkat kecamatan, tetapi keadaan dan kelengkapannya masih belum mumpuni. Contoh kecilnya saja, Puskesmas sendiri tidak memiliki tensimeter dan termometer. Jadi para petugas yang ada terpaksa merogoh kocek sendiri untuk membeli tensimeter. Contoh lain lagi, untuk peralatan pertolongan persalinan sudah mulai rusak, hilang, dan tumpul. Tak jarang para petugas meminjam peralatan pada bidan kampung. Itu hanya secuil contoh kecil keterbatasan Puskesmas, apalagi jika ditinjau dari standar fasilitas pemeriksaan seperti Puskesmas-Puskesmas di ibukota, sungguh tak adapat dibandingkan.

Gambar 9.

Peralatan Persalinan yang terdapat di Miangas Sumber: Dokumentasi Peneliti

Selain itu, Puskesmas Miangas hanya memiliki 8 petugas kesehatan. Empat orang pegawai tetap dan 4 orang pegawai tidak tetap alias PTT. Kualifikasi tenaga kesehatan yang ada terdiri dari 4 orang perawat tetap, 1 perawat kontrak, 2 bidan PTT, dan 1 dokter kontrak daerah. Sebenarnya dulu ada beberapa pegawai tetap di Miangas, tetapi setelah mereka bertugas beberapa bulan mereka meminta pindah untuk ditempatkan di ibukota kabupaten.

Miangas dalam Kacamata Kesehatan

Kabupaten di Indonesia. Secara khusus, kabupaten ini berada di peringkat 12 dari 15 kabupaten yang ada di Sulawesi Utara. Adapun aspek kesehatan yang menjadi lampu kuning di Kabupaten ini adalah aspek pelayanan kesehatan, perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), serta kesehatan lingkungan yang belum memadai. Selain itu, Kabupaten Kepulauan Talaud juga termasuk dalam daerah DTPK (Daerah Tertinggal Perbatasan Kepulauan) yang berbatasan langsung dengan negara tetangga Philipina khususnya di Kecamatan Miangas dan Kecamatan Nanusa (buku daerah perbatasan sulut).

Miangas memiliki 1 kecamatan induk dan 1 Puskesmas pembantu (Pustu) yang kini menjadi rumah dinas bagi tenaga kesehatan yang berasal dari luar Miangas. Lokasi Puskesmas induk berada di daerah perkebunan warga dengan jarak 300 meter dari pusat pemukiman warga. Untuk pustu sendiri memang berada di tengah-tengah pemukiman warga, tetapi dikarenakan luas lokasi yang dianggap sempit, maka pustu ini jarang digunakan untuk melayani pasien terkecuali ketika diadakan posyandu.

Jam telah menunjukan pukul 9 pagi, rencananya pagi ini saya akan berkunjung melihat Puskesmas Miangas. Untuk mencapai Puskesmas saya harus terlebih dahulu melewati jalur perkebunan warga. Meskipun masih pagi, nuansa kebun yang sunyi dan lembab, terkadang mampu untuk membuat bulu kuduk berdiri. Meskipun jam masih menunjukan pukul 9 pagi pintu Puskesmas masih terkunci, padahal hari ini adalah hari kerja. Setelah hampir satu jam menunggu, datanglah beberapa petugas Puskesmas. Awalnya saya menyangka pasien dikarenakan mereka hanya memakai baju biasa

seperti warga biasanya, tetapi semuanya tampak jelas ketika mereka mulai mengeluarkan tensimeter dan mulai memeriksa 1-2 pasien yang datang. Akhirnya Jam menunjukan pukul 12 siang, tak terlihat ada pasien yang datang, maka merekapun memutuskan untuk pulang dan menutup Puskesmas.

Gambar 10.

Jalan Menuju Puskesmas Induk Miangas Sumber: Dokumentasi Peneliti

Menurut petugas Puskesmas yang saya temui, memang animo masyarakat untuk memeriksa diri sangat kurang. Mereka lebih suka menitip obat-obatan kepada bidan atau petugas Puskesmas ketika mereka kembali. Selain itu, masyarakat juga lebih suka didatangi daripada mendatangi

Ditengah keterbatasannya, setidaknya di Miangas terdapat 4 metode penyembuhan yang biasa dimanfaatkan masyarakat. Pertama metode penyembuhan medis yaitu memeriksakan diri pada petugas Puskesmas atau sekedar membeli obat-obat bebas di warung. Kedua, metode pengobatan makatana. Makatana sendiri merupakan sebutan masyarakat untuk ramuan-ramuan herbal tradisional yang telah diajarkan secara turun temurun. Ketiga, metode penyembuhan dengan kuasa dunia ataupun kuasa kegelapan. Dan terakhir menggunakan metode penyembuhan dengan kuasa Tuhan.