• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA

Lampiran 7 Catatan Tematik

Industrialisasi di Tiga Desa

Proses konflik yang panjang ini terjadi do tiga desa yaitu Wanasari, Wanakerta, dan Margamulya. Ketiga desa tersebut berada di Kecamatan Telukjambe Barat, Karawang. Lokasinya berdekatan dengan keluar dan masuk tol Karawang dan kawasan industri yang besar di Karawang. Sengketa lahan yang berangsur lebih dari 20 tahun ini menyita perhatian banyak pihak. Tentunya masyarakat dan perusahaan sebagai subyek utama dalam kasus ini. Beberapa responden yang saya datangi yaitu Bapak UD mengaku bosan ketika kasusnya menjadi obyek penelitian karena banyak yang datang ke sana tetapi tidak memberikan solusi. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat sudah sangat terkuras emosi dan tenaga menghadapi kasus ini. Bahkan disarankan untuk bertanya saja kepada perusahaan.

Berawal dari kasus sewa menyewa lahan yang dilakukan PT Dasa Bagja melalui kepala desa saat itu, masyarakat menyewakan lahannya. Penuturan tersebut yang dikatakan oleh salah satu anggota LSM yang telah mengamati kasus ini beberapa tahun.

”....masyarakat memang udah lama Mbak tinggal di sini, kasusnya pun mulai itu saat tahun 70’an karena sewa menyewa lahan. Bukan dijual loh ya, jadi masyarakat mah ya tetep memiliki toh istilahnya cuma kontrak. Masyarakat juga ada girik atau surat kepemilikan zaman itu....” (OD, 30 Tahun, Anggota LSM)

Lama kontrak saat itu adalah tiga tahun. PT Dasa Bagja meminjam girik atau surat kepemilikan lahan warga di tiga desa yaitu Wanasari, Wanakerta, dan Margamulya pada tahun 1974. mula tanah dari bekas Partikelir Eigendom Verponding Nomor 53 NV. Tegalwaroe Landen seluas 55 173 hektar. Batasan sebelah utara yaitu dengan Sungai Citarum, sebelah selatan dengan Kabupaten Cianjur, sebelah barat dengan Kabupaten Bekasi dan Bogor, dan sebelah timur dengan Kabupaten Purwakarta. Tanggal 17 Mei 1949 tanah tersebut milik pemerintahan Republik Indonesia sehingga masyarakat mulai menggarap secara bebas. Tanah tersebut selema masa kolonial adalah dikuasai Belanda. Kemudian berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958, tanah-tanah partikelir tersebut dilegalkan oleh negara dan tanah tersebut termasuk ke dalam tanah usaha. Maksudnya adalah tanah yang di atasnya sudah ditempati oleh penduduk dan berhak diberikan kepada masyarakat yang mendiami tanah tersebut.

Berlakunya undang-undang tersebut membuat lahan akan diredistribusi kepada masyarakat untuk memiliki hak dan akses yang sama. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 yang mengatur pembatasan penguasaan tanah, kesempatan sama bagi setiap warga negara untuk memperoleh hak atas tanah, pengakuan hukum adat, sampai pelarangan warga asing untuk memiliki hak milik tanah. Kemudian lahir SK Panitia land reform Dt. II Karawang Nomor 29/PLD/VIII/52 pada 17 Juni 1965 dan SK Kinag Jabar Nomor 228/C/VIII/52/1965 memberikan hak milik kepada rakyat atas tanah sawah, tanah kering, tambak dari tanah bekas partikelir Tegalwaroe Landen. Tetapi hal ini tidak

berlangsung lama karena pemerintahan yang mengagendakan land reform yaitu Bapak Soekarno turun.

”....saat itu masyarakat sudah senang mau ngurus surat itu, tapi wkatu zaman Pak Harto semuanya jadi terhambat. Mereka jadi kesulitan untuk ngurusin surat. Padahal secara UUPA ya masyarakat yang mendiami itu yang punya tanah. Bukan lagi milik kolonial atau swasta....” (NG, 35 Tahun, Anggota LSM)

Semenjak mulai perubahan era yaitu dari orde lama ke orde baru yang dipimpin oleh Soeharto mengakibatkkan usaha land reform dari amanah UUPA dipetieskan. Sehingga proses pengurusan surat milik tanah atau girik dihentikan. Program land reform tidak dapat terlaksana sampai selesai. Akhirnya sistem kepemilikan tanah seperti mekanisme Sertifikat Hak Milik (SHM) tidak dapat terinformasikan dengan baik. Tetapi proses-proses seperti penyertifikatan, transmigrasi, dan perkebunan ini rakyat masih memberikan akses tanah kepada masyarakat kecil. Tanah tersebut mulai dirincik dan diklasir oleh Panitia Rincit dan Klasir dari Cirebon. Tujuannya adalah mengeluarkan girik dan Buku C Desa untuk pemerintahan desa.

Pemerintan Soeharto yang berfokus pada pembangunan berbasis industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya menjadi cikal bakal datangya PT Dasa Bagja ke tanah Telukjambe Barat seluas 350 hektar. Padahal sebelumnya land reform membatasi penguasaan lahan maksimal seluas 20 hektar. Rangkaian kasus konflik perebutan lahan di tiga desa seluas 582 hektar diawali dengan PT Dasa Bagja untuk menyewa lahan guna penanaman tanaman kapuk pada tahun 1974.

”....setelah kontraknya selese tetep lanjut tuh perusahaan. Saya amati ya Mbak sama warga dulu ada kecurigaan dari perusahaan PT Dasa itu untuk tetep mau kuasai lahan warga...” (NG, 35 Tahun, Anggota LSM)

Menurut penuturan anggota LSM PT Dasa Bagja yang statusnya adalah sebagai penyewa berniat untuk melanjutkan penguasaan lahan. Sebelumnya usaha PT Dasa Bagja untuk memproses HGU telah ditolak. Saat kontrak berahir, PT Dasa Bagja ingin mengambil status tanah warga kembali. Girik milik masyarakat yang dibawa oleh PT Dasa Bagja disinyalir telah diproses untuk dijadikan HGU. Sehingga pada akhir kontrak keluar surat Letter C ketiga desa atas nama PT Dasa Bagja berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi Negeri Jawa Barat tahun 1977. Secara praktis kepemilikan tanah ini bergeser menjadi milik PT Dasa Bagja sepenuhnya. Tahun 1986 PT Dasa Bagja melakukan pengalihan tanah yang bukan miliknya kepada PT Makmur Jaya Utama (PT MJU) dengan akta notaris. PT MJU bergerak cepat melakukan penguasaan dan pengukuran fisik atas seluas lahan 582 hektar yang berada di tiga desa. Mereka menawarkan pelepasan hak sebesar 13 miliar rupiah namun warga tidak menerima tawaran tersebut. Kemudian PT MJU yang tidak punya hak atas tanah tersebut juga mengalihkannya ke PT Sumber Air Mas Pratama (PT SAMP). Kali ini PT SAMP melakukan permohonan izin lokasi kepada Gubernur Jawa Barat, dan keluar pada tahun 1991. Masyarakat menolak hasil tersebut karena mereka masih memiliki bukti kepemilikan tanahnya. Surat

Letter C atas tanah 350 hektar yang dibuat oleh PT Dasa Bagja yang membuat pengalihan tanah-tanah tersebut kepada perusahaan lain. Hingga pada akhirnya setelah PT SAMP mendapatkan izin untuk pembebasan lahan yang mana masyarakat tidak pernah melakukan transaksi apapun. Muncul persoalan ketika PT SAMP sempat memerintahkan oknum untuk membebaskan tanah di lapangan. Tetapi yang dibebaskan bukan pemilik girik tetapi orang yang mengaku menggarap bahkan disuruh mengaku menggarap untuk menandatangani Surat Pelepasan Hak (SPH). Kemudian mereka dibayar sebagai upah tanda tangan SPH, bahkan bayaran tersebut ada yang diminta kembali. Luasan yang ditandatangani pun dibuat seluas mungkin. PT SAMP telah diakuisisi sahamnya sebagian besar oleh Agung Podomoro Land. Sebagaimana yang disampaikan oleh informan bahwa.

Konflik kembali muncul pada tahun 2000 ketika masyarakat mengajukan Surat MA Nomor 160/PK/Pdt/2011 yang tidak diterima oleh Pengadilan Negeri Karawang. Sementara itu, PT SAMP mendapatkan izin eksekusi lahan. Pada tahun 2005 Agung Podomoro Land menurunkan pasukan untuk pengamanan lahan dengan membawa bukti izin mendirikan bangunan tanpa surat hak atas tanah warga. Secara fisik lapangan, masyarakat sudah menempati lebih dari 50 tahun dan membayar pajak setiap tahun.

”....PT SAMP itu ngga sendiri, mana bisa dia? Bangunan kantor marketingnya saja terlalu memaksa, siapa dia, apa yang dia punya? Makanya itu akuisisinya Podomoro yang punya....” (NG, 35 Tahun, Anggota LSM)

”....PT SAMP itu tidak jelas perusahaanya, lihat saja kantor marketingnya. Tanpa izin mereka mendirikan bangunan di atas tanah sengketa, tanah masyarakat. Makanya bangunanya semi permanen. Saya kira mereka ingin diakui dengan membangun kantor pemasaran di sana, baru kok Bu itu....” (BC, 50 Tahun, Tokoh Masyarakat)

Beberapa kejanggalan yang telah dianalisis beberapa pihak yang pro terhadap masyarakat menyatakan bahwa:

1. Girik asli tanah diambil oleh kepala desa pada tahun 1974 dengan alasan bahwa tanah masyarakat akan disewa oleh PT Dasa Bagja selama tiga tahun. Kecurigaan muncul ketika kepala desa mengambil girik tersebut.

2. Tanah masyarakat disewa tetapi diakui oleh perusahaan telah dibebaskan. Padahal masyarakat tidak mengetahui dan tidak menandatangani apapun. 3. Pihak yang mengaku membebaskan tanah garapan tidak menyebutkan batas-

batas tanah.

4. Pihak yang mengakui pembebasan mengaku bahwa PT Dasa Bagja telah melakukan pembebasan. Padahal PT Dasa Bagja tidak menandatangani sebagai pihak yang melepaskan.

Direktorat Jenderal Pajak Bumi dan Bangunan Bekasi mengeluarkan surat yang menyatakan bahwa berdasarkan hasil pencocokan para wajib pajak yang tanahnya berlokasi di Desa Margamulya cocok tercantum pada Buku Letter C pada tahun 1992. Setelah itu, keluar buku DHKP sebagai pengganti Buku Letter C Desa dan keluar tagihan pajak berupa SPPT/PBB sebagai ganti girik. Pihak pemerintah pun turut terlibat, terutama BPN Karawang Jawa Barat untuk

menenrbitkan hak guna bangunan (HGB) atas nama PT SAMP. Masyarakat, BPK, Muspida, dan PT SAMP kemudian diundang oleh Kapolres Karawang sebanyak tiga kali. Masyarakat menolak tidak berkeinginan tanahnya diukur karena belum menerima ganti rugi, dan konsistensi surat yaitu isi dan perihal terdapat saling bertentangan dan ketidaksesuaian. Lalu surat tersebut diubah dan beberapa hari kemudian BPN Karawang mengeluarkan surat Nomor 610-533 Perihal Rencana Pegukuran Tanah Bermasalah antara PT SAMP dengan masyarakat.

Masyarakat mengajukan permohonan untuk mengetahui hasil rincik. Tidak lama mengetahui hasil rincik tersebut dinyatakan bahwa PT SAMP menerima peta hasil rincik juga. PT SAMP mengajukan perkara data kepada Pengadilan Negeri Karawang dengan membawa bukti peta rincik hasil ukur tahun 2005.

”....pas waktu itu, masyarakat tahu kalo peta yang dikeluarkan oleh BPN ada dua. Satu untuk masyarakat, satu untuk PT SAMP. Petugas, obyek, tanggal semuanya sama tapi hasil dari dua peta sungguh berbeda....” (NG, 35 Tahun, Anggota LSM)

Hasil peta rincik yang dikeluarkan BPN Karawang terdapat dua dengan berita acara yang sama tetapi dua gambar peta yang berbeda. BPN memberikan untuk masyarakat dan PT SAMP. Peta yang diberikan kepada PT SAMP menggambarkan tidak ada lagi pemilik tanah yang ada artinya semua tanah telah dibebaskan. Peta tersebut dijadikan bahan pertimbangan majelis hakim untuk mengalahkan masyarakat. Oleh karena itu masyarakat saat ini merasa hukum tidak membuat masalah ini terselesaikan

Melihat fenomena di lapang, kawasan tiga desa tersebut memang dekat dengan kawasan industri Karawang. Berdasarkan pengamatan lahan pertanian berupa kebun yang ditanami tanaman keras telah digusur oleh perusahaan. Selain itu, alasan Karawang sebagai pusat industri karena mobilitasnya yang dekat dengan ibu kota negara dan pelabuhan. Hal ini sesuai dengan pernyataan salah satu anggota LSM dan responden bahwa.

”....Karawang sebagai daerah penghasil padi mbak, tapi di satu sisi juga industri tinggi. Sebenarnya mau ke mana fokus kita. Lahan yang dulu sawah banyak dijadikan bangunan sekarang....” (HM, 24 Tahun, Anggota LSM)

”....di sini semua dulu tanaman kayu sengon mbak, tapi lihat sekarang udah gersang karena digusur dan dijaga ketat oleh perusahaan. Semuanya ini lahan milik warga. Kalo yang nanam padi ada di sana, beda tempat lagi. Sekarang kita engga punya apapa. Dulu bisa panen kayu sengon nunggu berapa tahun buat pendapatan tambahan mbak....” (UD, 65 Tahun, Anggota Masyarakat)

Menurut beberapa warga baik responden ataupun informan menyatakan tanah-tanah di sini adalah hasil turun temurun atau warisan dari orang tua mereka. Berdasarkan pengamatan, selama mewawancara responden secara keseluruhan tanah milik mereka adalah warisan dari orang tua. Selanjutnya tetap diteruskan ke

anak-anak mereka pada nantinya. Di sisi lain harga tanah di tiga desa tersebut juga memiliki harga jual yang tinggi seperti penuturan aparat Desa Wanakerta bahwa.

”....khususya yang saya tahu tanah di desa ini cukup tinggi, mungkin karena banyak industri atau apa saya kurang tahu. Tapi harga tawarannya lumayan dibanding di desa lain....” (UC, 40 Tahun, Aparatur Desa)

Penuturan aparatur desa juga didukung oleh beberapa responden yang mengetahui kondisi harga tanah. Bahkan ada yang mengatakan lebih baik berinvestasi tanah di sana. Meski demikian masyarakat tidak menjualbelikan tanahya. Penyerapan tenaga kerja di sana menurut salah satu responden yang memberikan penjelasan bahwa memang pasti ada banyak kesempatan kerja di pabrik atau industri di sini. Tetapi tidak mengetahui pasti jumlah berapa penawaran dan permintaan, tetapi pasti ada peluang untuk bekerja di industri. Dibandingkan dengan pertanian di sini sudah tidak bisa lagi bercocok tanam karena sudah dieksekusi oleh PT SAMP. Sehingga para masyarakat tidak bisa bekerja di lahan mereka kembali. Sesuai dengan pernyataan anggota masyarakat menjelaskan bahwa.

”... kalo kerjaan di pabrik pasti ada, sepertinya banyak. Bahkan banyak orang Jawa dan Sumatera yang merantau ke sini. Tetapi saya tidak mengetahui pasti kalau jumlahnya dan perusahaan mana yang menawarkan pekerjaan. Kalo kami sekarang akan berusaha merebut tanah yang dulunya kami garap untuk kehidupan kami...”(UD, 65 tahun, Anggota Masyarakat)

Secara umum telah terjadi perubahan kepemilikan berdasarkan penilaian masyarakat. Responden mengalami penurunan penilaian terhadap hak atas tanahnya karena beberapa hal seperti tidak dapat menanam, membangun, dan menjadi jaminan di atas tanah mereka. Seperti yang dikatakan oleh responden bahwa.

”...kami adalah yang punya tanah itu Bu. Jadi kami masih bisa lakukan apapun di sana harusnya, sayang karena penjagaan yang ketat ketika saya mau menanami sesuatu di atas tanah saya dicabut. Tapi bukti kepemilikan yang kami punya sdah cukup kuat bahwa itu adalah tanah masyarakat....” (CM, 32 Tahun, Anggota Masyarakat)

Meskipun masyarakat mengakui tidak bisa melakukan aktivitas di atas tanah mereka tetapi mereka tetap bertahan bahwa tanah tersebut adalah tanah masyarakat. Dari zaman pasca kemerdekaan mereka telah menempati tanah di sana. Bahkan terdaftar dalam buku kepemilikan tanah di desa dan tetap membayar pajak setiap tahunnya. LSM yang kontra dengan nilai-nilai kapitalis yaitu penanaman modal dengan mengubah lahan pertanian mengeluhkan praktik tersebut banyak terjadi, khususnya di kawasan tiga desa tersebut. Meski penting untuk pertumbuhan ekonomi tetap saja mereka mengkhawatirkan rakyat kecil khususnya para petani ketika perusahaan masuk desa melakukan ekspansi industrinya.

Gerakan Petani

Mengamati kasus tiga desa termasuk ke dalam suatu gerakan sosial karena memiliki sekumpulan masyarakat khususnya para petani yang lahannya terkena sengketa dengan PT SAMP untuk mencapai tujuan mereka. Mempertahankan kepemilikan lahan adalah tujuan bersama mereka. Secara aksi-aksi yang mereka lakukan telah mensyaratkan untuk dikatakan sebagai gerakan. Berbagai aksi yang terlihat menonjol adalah proses menghadang eksekusi lahan tahun 2014 dengan aparat. Tindakan mereka juga bukan dasar organisasi formal yang memiliki struktur hirarki. Mereka bertindak atas spontanitas perampasan lahan oleh PT SAMP. Secara umum masyarakat menagkui bahwa mereka menyiapkan strategi untuk melakukan gerakan. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan informan bahwa.

“...kami semua siapin dan ikut beberapa organisasi jadi lebih teratur dalam aksi, kejadian kemarin saja yang tahun 2014 kami 500 orang aksi ya tentu ada pengorganisasian. Hal lain juga misalnya ada kumpulan- kumpulan kecil untuk diskusi. Semua usaha pun sudah kami lakukan baik ke pemerintah” (BC, 50 Tahun, Tokoh Masyarakat)

Mengenai bentuk dan sifat gerakan masyarakat telah melakukan berbagai upaya baik aksi massa maupun hukum. Bahkan secara hukum mereka mendapatkan bantuan dari lembaga hukum berupa pengacara. Gerakan ini sungguh-sungguh dilakukan masyarakat untuk mencapai tujuan bersama. Berbagai upaya seperti mengadukan ke pemerintah daerah hingga pusat telah dilakukan. Saat isu ini tidak lagi menjadi perhatian pemerintah mereka akan tetap bertahan dan tidak ingin selanjutnya proses ini berlangsung kepada anak-anak mereka. Agenda ke depan setelah pengacara Bapak Johnsons bergabung dengan masyarakat adalah mengajukan surat kuasa khusus yang diwakili oleh bebrapa ahli hukum untuk membuktikan tanah-tanah dan kepemilikan mereka. Masyarakat mengakui tanpa bantuan hukum dan organisasi mungkin tidak akan dapat mengajukan ke tingkatan yang lebih tinggi dalam proses pengaduan. Bahkan banyak muncul sukarelawan yang ingin membanu kasus ini baik dari organisasi masyarakat, mahasiwa Universitas Negeri Karawang, LSM dan ahli hukum. Berikut pernyataan dukungan dari beberapa pihak.

“…Sepetak di sini berusaha mengadvokasi masyarakat yang lahannya terampas oleh perusahaan. Bahkan kami seringkali menjadi sasaran balasan dari pihak yang menentang kami. Sekret kami pernah dilempari peledak kecil di atas genteng. Tapi ya itu masalah kecil, toh nanti tinggal lapor kalo kayak gitu siapa coba yang berusaha menyerang. Kami semua tergabung di Sepetak ingin membantu fasilitasi masalah ini sesuai visi dan misi kami...” (NG, 32 Tahun, Anggota Sepetak)

“…semua pihak desa mendukung maasyarakat termasuk lurahnya. Apalagi lurah Wanakerta. Mereka mendukung dalam mengakui kepemilikan lahan oleh warga dengan bukti buku bayar pajak. Mereka mengetahui secara pasti daftar nama...” (KS, 63 Tahun, Anggota Masyarakat)

Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik ini yaitu petani, PT SAMP, Agung Podomoro Land, Amandus beserta biong, Amen, Sepetak, dan masyarakat sekitar. Kasus ini bukan hanya persoalan konflik lahan biasa, sudah berlangsung sejak lama dan banyak pihak yang terlibat. Para petani mengalami kondisi terjebak dengan perlawanan PT SAMP. Akhirnya Amandus dkk berusaha membantu petani melawan PT SAMP, namun di baliknya ada Amen yang disinyalir menginginkan lahan petani untuk dibelinya. Sepetak berusaha tetap di pihak para petani untuk mempertahankan lahan miliknya dari para pemilik modal (borjuis).

Hal tersebut yang menggambarkan kuatnya dukungan beberapa pihak dalam kasus pembelaan masyarakat. Bahkan selain organisasi terdapat pihak-pihak pengacara ahli yang terlibat.

“…akhir tahun kemarin Pak Johsons pengacara kondang terlibat dan ingin membantu masyarakat. Secara pribadi Pak Johnsons merasa kasihan kenapa kasus ini tidak selesai dan apa yang membuatnya. Pak Johsons itu pengacara terkenal yang dulu pernah nyelesain masalah Rawagede bahkan tarifnya miliaran. Sekarang beliau bergabung dan mulai mendalami satu per satu kejadian kasus ini...” (BC, 50 Tahun, Tokoh Masyarakat)

Selain Bapak Johnsons masih terdapat juga bebrapa pengacara yang terlibat mendukung petani yaitu Moris, Amandus, dan pengacara-pengacara dari LBH. Masyarakat merasa terbantu dengan adanya dukungan ini. Seringkali mereka melakukan pertemuan dengan pengacara-pengacara tersebut yang mengatur rencana ke depan untuk tetap mempertahankan lahan masyarakat. Kalangan dari mereka berusaha membantu atas dasar pribadi masing-masing untuk menolong para masyarakat. Jika membayar pengacara tentunya masyarakat mampu saja tetapi untuk kontrak berapa lama pasti akan tidak sanggup masyarakat apalagi saat ini materi yang diandalkan.

Proses perlawanan masyarakat tidak bisa dikatakan sebentar. Hampir 20 tahun lebih bergelut dengan masalah ini tentu menguras emosi dan amarah yang mendalam hingga pada puncaknya tahun 2014 telah terjadi eksekusi. Proses tersebut dirasa masyarakat telah merugikannya. Berbagai tuntutan masih berjalan yaitu saat hari tani 24 September 2015 mengadakan aksi ke Kantor Pemerintah Daerah dan ke Senayan. Mereka membawa kasus ini ke dalam panggung aksi demo. Aksi masyarakat tersebut didukung beberapa pihak yaitu Sepetak, pengacara, dan mahasiswa. Perlawanan ini dirasa masyarakat terorganisir dengan baik dan memiliki sifat-sifat tanpa pamrih antar satu sama lain. Maksud terorganisir adalah adanya pertemuan, rapat, silaturahim antar berbagai masyarakat dan pihak yang pro masyarakat. Tujuannya adalah untuk mengatur strategi ke depan yang akan dilakukan. Selain itu juga mengevaluasi dan mengetahui perkembangan saat itu. Tetapi mereka tidak berada dalam payung organisasi atau kelembagaan formal. Bagi para petani atau masyarakat yang ingin bersama dipersilakan untuk bergabung. Hubungan dalam gerakan juga tidak mengenal pamrih artinya masyarakat dan pihak pro masyarakat bergerak bersama untuk memperjuangkan kembali kepemilikan lahan masyarakat.

Dokumen terkait