• Tidak ada hasil yang ditemukan

Industrialisasi

Kronologi Lahan Tiga Desa

Tahun 2014 tepatnya 24 Juni telah terjadi bentrokan yang cukup besar antara 7000 pasukan BRIMOB dengan masyarakat yang terdiri dari petani, LSM, mahasiswa, dan warga setempat yang jumlahnya tidak sampai 500 orang. Kabar berita eksekusi lahan di Desa Wanakerta, Kecamatan Telukjambe Barat, Kabupaten Karawang menjadi alasan bentrokan ini. Masyarakat tidak menerima jika tanahnya harus digusur oleh aparat. Sebelum masyarakat bersih keras untuk mempertahankan tanahnya telah terjadi sengketa lahan dengan PT Sumber Air Mas Pratama (PT SAMP). Perusahaan mengklaim lahan di tiga desa yaitu Desa Wanasari, Desa Wanakerta, dan Desa Margamulya. PT SAMP yang bernaung dengan Agung Podomoro Land, perusahaan properti ini telah lama bersengketa dengan masyarakat. Para warga merasa sudah lama mendiami tanah-tanah tersebut dan dipaksa pindah oleh perusahaan.

Silang sengketa lahan ini ternyata memang sudah menjadi permasalahan semenjak era orde baru. Hal ini sesuai dengan pernyataan salah satua anggota LSM bahwa.

”....masyarakat memang udah lama Mbak tinggal di sini, kasusnya pun mulai itu saat tahun 70’an karena sewa menyewa lahan. Bukan dijual loh ya, jadi masyarakat mah ya tetep memiliki toh istilahnya cuma kontrak. Masyarakat juga ada girik atau surat kepemilikan zaman itu....” (OD, 30 Tahun, Anggota LSM)

Berdasarkan data yang diperoleh awal mulanya sengketa lahan yaitu datangnya PT Dasa Bagja ke Telukjambe Barat untuk meminjam surat tanah. Warga setempat menyebutnya girik atau surat pembayaran pajak tanah. PT Dasa Bagja menginginkan girik tiga desa yaitu Desa Wanasari, Desa Wanakerta, dan Desa Margamulya pada tahun 1974. Diketahui dari data sejarah yang diperoleh dari LSM yang memfasilitasi kasus ini, tanah-tanah tersebut adalah bekas tanah partikelir bernama Tegalwaroe Landen. Asal mula tanah dari bekas Partikelir Eigendom Verponding Nomor 53 NV. Tegalwaroe Landen seluas 55 173 hektar. Batasan sebelah utara yaitu dengan Sungai Citarum, sebelah selatan dengan Kabupaten Cianjur, sebelah barat dengan Kabupaten Bekasi dan Bogor, dan sebelah timur dengan Kabupaten Purwakarta. Tanggal 17 Mei 1949 tanah tersebut milik pemerintahan Republik Indonesia sehingga masyarakat mulai menggarap secara bebas. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958, tanah-tanah partikelir tersebut dilegalkan oleh negara dan tanah tersebut termasuk ke dalam tanah usaha. Maksudnya adalah tanah yang di atasnya sudah ditempati oleh penduduk dan berhak diberikan kepada masyarakat yang mendiami tanah tersebut. Tanah negara bebas ini kemudian dimohon menjadi milik melalui redistribusi maka turunlah SK Menteri Agraria Nomor 30/Ka/62 tanggal 8

November 1962 sebagai obyek land reform. Selain itu dengan diberlakukannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 yang mengatur pembatasan penguasaan tanah, kesempatan sama bagi setiap warga negara untuk memperoleh hak atas tanah, pengakuan hukum adat, sampai pelarangan warga asing untuk memiliki hak milik tanah. Kemudian lahir SK Panitia land reform Dt. II Karawang Nomor 29/PLD/VIII/52 pada 17 Juni 1965 dan SK Kinag Jabar Nomor 228/C/VIII/52/1965 memberikan hak milik kepada rakyat atas tanah sawah, tanah kering, tambak dari tanah bekas partikelir Tegalwaroe Landen.

Namun semenjak mulai perubahan era yaitu dari orde lama ke orde baru yang dipimpin oleh Soeharto mengakibatkkan usaha land reform dari amanah UUPA dipetieskan. Sehingga proses pengurusan surat milik tanah atau girik dihentikan. Program land reform tidak dapat terlaksana sampai selesai. Akhirnya sistem kepemilikan tanah seperti mekanisme Sertifikat Hak Milik (SHM) tidak dapat terinformasikan dengan baik.

”....saat itu masyarakat sudah senang mau ngurus surat itu, tapi wkatu zaman Pak Harto semuanya jadi terhambat. Mereka jadi kesulitan untuk ngurusin surat. Padahal secara UUPA ya masyarakat yang mendiami itu yang punya tanah. Bukan lagi milik kolonial atau swasta....” (NG, 35 Tahun, Anggota LSM)

Sekalipun kebijakan land reform dihentikan ketika memasuki era 1970-an pemerintah masih memiliki kebijakan seperti penyertifikatan, transmigrasi, dan perkebunan inti rakyat guna memberikan akses tanah kepada masyarakat kecil. Pada tahun 1970 sampai 1971 pemerintah memerintahkan tanah yang sudah digarap oleh masyarakat untuk dirincik dan diklasir. Pihak yang terlibat adalah Panitia Rincik dan Klasir dari Cirebon dengan dibantu pihak desa. Tujuannya adalah mengeluarkan girik untuk masyarakat dan Buku C Desa untuk pemerintahan desa.

Di sisi lain pemerintahan orde baru yang mengutamakan industrialisasi memperuntukan tanah-tanah di Indonesia menjadi industri. Hal ini yang menjadi cikal bakal datangya PT Dasa Bagja ke tanah Telukjambe Barat seluas 350 hektar. Padahal sebelumnya land reform membatasi penguasaan lahan maksimal seluas 20 hektar. Rangkaian kasus konflik perebutan lahan di tiga desa seluas 582 hektar diawali dengan PT Dasa Bagja untuk menyewa lahan guna penanaman tanaman kapuk pada tahun 1974. Sebelumnya PT Dasa Bagja mengajukan hak guna usaha (HGU) namun tidak diterima. Kemudian PT Dasa Bagja berinisiatif menyewa 350 hektar untuk kepentingan usahanya kepada Kepala Desa Margamulya saat itu, Bapak HE. Lahan tersebut berupa tegalan yang tidak ditanami oleh masyarakat. Melalui kepala desa, PT Dasa Bagja berhasil melobi masyarakat dan akhirnya mendapat kesepakatan harga sewa tanah sebesar Rp 10 000 per hektar. Durasi sewa menyewa berlangsung selama tiga tahun, berarti berakhir pada tahun 1977.

”....setelah kontraknya selese tetep lanjut tuh perusahaan. Saya amati ya Mbak sama warga dulu ada kecurigaan dari perusahaan PT Dasa itu untuk tetep mau kuasai lahan warga...” (NG, 35 Tahun, Anggota LSM)

Saat kontrak berahir, PT Dasa Bagja ingin mengambil status tanah warga kembali. Girik milik masyarakat yang dibawa oleh PT Dasa Bagja disinyalir telah diproses untuk dijadikan HGU. Sehingga pada akhir kontrak keluar surat Letter C ketiga desa atas nama PT Dasa Bagja berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi Negeri Jawa Barat tahun 1977. Secara praktis kepemilikan tanah ini bergeser menjadi milik PT Dasa Bagja sepenuhnya. Padahal saat awal perjanjian hanya sewa menyewa. Bapak HE berhasil meyakinkan warga yang telah memberikan girik kepadanya untuk dibawa perusahaan. Bahkan Bapak HE menenangkan warganya untuk tetap menggarap tanahnya saat kontrak sudah selesai. Berdasarkan informasi yang diperoleh, Bapak HE juga menjajikan girik tersebut akan diproses menjadi SHM. Tetapi saat itu juga muncul SHM atas nama Tarmidi atas tanah seluas 18 hektar yang masih dalam area 350 hektar. Kondisi ini semakin memicu sengketa lahan pada kemudian hari.

Tahun 1986 PT Dasa Bagja melakukan pengalihan tanah yang bukan miliknya kepada PT Makmur Jaya Utama (PT MJU) dengan akta notaris. PT MJU bergerak cepat melakukan penguasaan dan pengukuran fisik atas seluas lahan 582 hektar yang berada di tiga desa. Mereka menawarkan pelepasan hak sebesar 13 miliar rupiah namun warga tidak menerima tawaran tersebut. Kemudian PT MJU yang tidak punya hak atas tanah tersebut juga mengalihkannya ke PT Sumber Air Mas Pratama (PT SAMP). Kali ini PT SAMP melakukan permohonan izin lokasi kepada Gubernur Jawa Barat, dan keluar pada tahun 1991. Masyarakat menolak hasil tersebut karena mereka masih memiliki bukti kepemilikan tanahnya. Surat Letter C atas tanah 350 hektar yang dibuat oleh PT Dasa Bagja yang membuat pengalihan tanah-tanah tersebut kepada perusahaan lain. Hingga pada akhirnya setelah PT SAMP mendapatkan izin untuk pembebasan lahan yang mana masyarakat tidak pernah melakukan transaksi apapun. Muncul persoalan ketika PT SAMP sempat memerintahkan oknum untuk membebaskan tanah di lapangan. Tetapi yang dibebaskan bukan pemilik girik tetapi orang yang mengaku menggarap bahkan disuruh mengaku menggarap untuk menandatangani Surat Pelepasan Hak (SPH). Kemudian mereka dibayar sebagai upah tanda tangan SPH, bahkan bayaran tersebut ada yang diminta kembali. Luasan yang ditandatangani pun dibuat seluas mungkin. PT SAMP telah diakuisisi sahamnya sebagian besar oleh Agung Podomoro Land. Sebagaimana yang disampaikan oleh informan bahwa.

”....PT SAMP itu ngga sendiri, mana bisa dia? Bangunan kantor marketingnya saja terlalu memaksa, siapa dia, apa yang dia punya? Makanya itu akuisisinya Podomoro yang punya....” (NG, 35 Tahun, Anggota LSM)

Konflik kembali muncul pada tahun 2000 ketika masyarakat mengajukan Surat MA Nomor 160/PK/Pdt/2011 yang tidak diterima oleh Pengadilan Negeri Karawang. Sementara itu, PT SAMP mendapatkan izin eksekusi lahan. Pada tahun 2005 Agung Podomoro Land menurunkan pasukan untuk pengamanan lahan dengan membawa bukti izin mendirikan bangunan tanpa surat hak atas tanah warga. Secara fisik lapangan, masyarakat sudah menempati lebih dari 50 tahun dan membayar pajak setiap tahun. Beberapa warga sempat menanyakan kepada Bapak HE terkait PT SAMP yang tidak berkeinginan membebaskan tanah milik bahkan tidak mengakui tanah milik dengan adanya Buku C Desa dan girik.

Bapak HE menunjukkan surat dari PT Makmur Jaya Utama yang berisi bahwa Dierktur Utama PT Makmur Jaya Utama menyatakan bahwa wajib menyelesaikan para pemilik tanah. Maksudnya adalah PT Makmur Jaya Utama dengan perusahaan mana saja wajib menyelesaikan kepada pemilik tanah. Bahkan PT SAMP telah diperlihatkan surat tersebut namun tetap tidak dihiraukan. PT Dasa Bagja, PT Makmur Jaya Utama, dan PT Maligi mengakui adanya pemilik tanah oleh warga.

Akhirnya beberapa analisis oleh LSM yang terdiri dari organisasi petani dan lembaga hukum, terdapat beberapa kejanggalan yang terjadi selam proses tersebut. Berikut kejanggalan tersebut:

1. Girik asli tanah diambil oleh kepala desa pada tahun 1974 dengan alasan bahwa tanah masyarakat akan disewa oleh PT Dasa Bagja selama tiga tahun. Kecurigaan muncul ketika kepala desa mengambil girik tersebut.

2. Tanah masyarakat disewa tetapi diakui oleh perusahaan telah dibebaskan. Padahal masyarakat tidak mengetahui dan tidak menandatangani apapun. 3. Pihak yang mengaku membebaskan tanah garapan tidak menyebutkan batas-

batas tanah.

4. Pihak yang mengakui pembebasan mengaku bahwa PT Dasa Bagja telah melakukan pembebasan. Padahal PT Dasa Bagja tidak menandatangani sebagai pihak yang melepaskan.

Direktorat Jenderal Pajak Bumi dan Bangunan Bekasi mengeluarkan surat yang menyatakan bahwa berdasarkan hasil pencocokan para wajib pajak yang tanahnya berlokasi di Desa Margamulya cocok tercantum pada Buku Letter C pada tahun 1992. Setelah itu, keluar buku DHKP sebagai pengganti Buku Letter C Desa dan keluar tagihan pajak berupa SPPT/PBB sebagai ganti girik.

Pihak pemerintah pun turut terlibat, terutama BPN Karawang Jawa Barat untuk menenrbitkan hak guna bangunan (HGB) atas nama PT SAMP. Masyarakat, BPK, Muspida, dan PT SAMP kemudian diundang oleh Kapolres Karawang sebanyak tiga kali. Masyarakat menolak tidak berkeinginan tanahnya diukur karena belum menerima ganti rugi, dan konsistensi surat yaitu isi dan perihal terdapat saling bertentangan dan ketidaksesuaian. Lalu surat tersebut diubah dan beberapa hari kemudian BPN Karawang mengeluarkan surat Nomor 610-533 Perihal Rencana Pegukuran Tanah Bermasalah antara PT SAMP dengan masyarakat. Tujuan diadakan pengukuran ini adalah:

1. menyelesaikan masalah antara PT SAMP deengan masyarakat;

2. memperoleh data awal ketika belum memberikan hak kepada siapapun;

3. mengukur semua bidang tanah yang dikuasai oleh masyarakat maupun yang diklaim PT SAMP; dan

4. mengakomodir kedua belah pihak baik untuk kepentingan PT SAMP dan masyarakat.

Merujuk surat tersebut semua pihak bersepakat termasuk masyarakat untuk melakukan pengukuran yang dikawal oleh Polres Karawang sebanyak dua unit mobil Dalmas. Proses ini juga disaksikan oleh pihak kecamatan dan pihak desa setempat. Namun hasil yang keluar masyarakat tidak diberitahu lalu disarankan untuk menanyakan langsung ke BPN Karawang. Ternyata sama saja seperti sebelumnya BPN tidak memberikan hasilnya. Usaha masyarakat pun beralih

kepada Bupati Karawang agar BPN Karawang dapat memberikan peta hasil kepada masyarakat. Akhirnya BPN Karawang memberikan peta hasil rincik atau bidang yang diinginkan masyarakat.

Tidak lama puas melihat hasil rincik, masyarakat mengetahui bahwa PT SAMP menerima peta hasil rincik juga. PT SAMP mengajukan perkara data kepada Pengadilan Negeri Karawang dengan membawa bukti peta rincik hasil ukur tahun 2005.

”....pas waktu itu, masyarakat tahu kalo peta yang dikeluarkan oleh BPN ada dua. Satu untuk masyarakat, satu untuk PT SAMP. Petugas, obyek, tanggal semuanya sama tapi hasil dari dua peta sungguh berbeda....” (NG, 35 Tahun, Anggota LSM)

Hasil peta rincik yang dikeluarkan BPN Karawang terdapat dua dengan berita acara yang sama tetapi dua gambar peta yang berbeda. BPN memberikan untuk masyarakat dan PT SAMP. Peta yang diberikan kepada PT SAMP menggambarkan tidak ada lagi pemilik tanah yang ada artinya semua tanah telah dibebaskan. Peta tersebut dijadikan bahan pertimbangan majelis hakim untuk mengalahkan masyarakat. Oleh karena itu masyarakat saat ini merasa hukum tidak membuat masalah ini terselesaikan.

Berikut ini akan dijelaskan pemahaman tentang dasar hukum yang menyatakan bahwa girik dan Buku C Desa yang keluar setelah tahun 1960 tidak berlaku. Tetapi khusus untuk tanah-tanah partikelir, girik dan Buku C Desa yang keluar pada tahun 1971 dan setelahnya dibenarkan dan sah menurut hukum. Dasar hukum sebagai tanah milik yang kekuatan hukumnya sama dengan tanah milik adat yaitu:

1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang penghapusan tanah-tanah partikelir Pasal 1 ayat 1 sub C menyatakan tanah usaha ialah bagian-bagian dari tanah partikelir yang menurut adat setempat termasuk tanah desa di atas nama penduduk yang mempunyai hak yang sifatnya turun temurun (kekuatan hukumya sama dengan tanah milik adat).

2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang penghapusan tanah-tang partikelir pasal 5 menyatakan tanah-tanah usaha tersebut pada pasal 1 ayat 1 sub C oleh Menteri Agraria atau pejabat lain yang ditunjuknya, diberika kepada penduduk yang mempunyai hak usaha atas tanah itu dengan hak milik. Pada pasal 5 ayat 2 pemberian hak milik tersebut dilakukan dengan sukarela. 3. PP Nomor 224 Tahun 1961 mengatur tentang tanag-tanah kongsi atau tanah

negara bebas yang menjadi obyek land reform bisa menjadi hak milik melalui obyek redistribusi.

Hingga saat ini masih berlangsung upaya-upaya untuk mengembalikan kepemilikan lahan tiga desa yang dilakukan oleh masyarakat. Apalagi kasus ini sudah berlangsung lama dan banyak menyita perhatian dari berbagai pihak. Berdasarkan kondisi lapang pemerintah desa juga masih menyimpan baik DHKP atau pembayaran pajak bagi pemilik tanah di tiga desa.

Tingkat Industrialisasi

Tingkat industrialisasi dapat dilihat dari adanya konversi lahan, komersialisasi lahan, dan penyerapan tenaga kerja. Ketiga kriteria tersebut untuk menentukan tingkat industrialisasi. Adapun indikator pertama yaitu konversi lahan yang terjadi di suatu daerah. Proses ini diketahui dengan menetapkan waktu yang ditentukan dan seberapa besar perubahan lahan yang terjadi. Dalam konteks ini adalah dari pertanian ke non pertanian. Komersialisasi lahan adalah lahan yang semula menjadi faktor penghasil komoditas pertanian berubah menjadi komoditas itu sendiri. Semakin sempit lahan garapan untuk bertani dan semakin terpusatnya penguasaan lahan di kalangan petani lapisan atas dan pemilik modal. Sementara itu, penyerapan tenaga kerja dapat dianalisiss berdasarkan kesempatan kerja yang diberikan sektor industri pada masyarakat, serta sejauh mana masyarakat dapat memanfaatkan kesempatan kerja tersebut. Secara rinci yaitu peluang, kesempatan, penawaran, dan permintaan usaha non pertanian lebih banyak dibandingkan pertanian. Pembahasan mengenai tingkat industrialisasi yang mengarahkan pada hipotesis uji bahwa terdapat industrialisasi yang tinggi oleh para perusahaan di sana. Pengambilan kutipan langsung dari data dibawah ini diperoleh dengan menggunakan alat bantu perekam recording

Mengukur tingkat industrialisasi di tiga desa yaitu Desa Wanasari, Wanankerta, dan Margamulya adalah dengan melihat variabel yang digunakan dibagi ke dalam tiga hal yaitu: 1) konversi lahan; 2) komersialisasi lahan; dan 3) penyerapan tenaga kerja. Sesuai dengan hasil penelitian di lapangan semua variabel dapat diukur dan dianalisis berdasarkan hasil perhitungan data kuesioner dan wawancara mendalam (lihat Tabel 4).

Tabel 4 Jumlah dan persentase indikator dari tingkat industrialisasi menurut responden di Desa Wanasari, Wanakerta, dan Margamulya tahun 2015 Kategori Tingkat industrialisasi a b c n % n % n % Tinggi 18 56.3 9 28.1 8 25.0 Sedang 14 43.8 22 68.8 21 65.6 Rendah 0 0.0 1 3.1 3 9.4 Jumlah 32 100.0 40 100.0 40 100.0 Keterangan : a. Konversi lahan b. Komersialisasi lahan c. Penyerapan tenaga kerja

Berdasarkan data Tabel 4 penilaian tentang tingkat industrialisasi menunjukkan 56.3 persen responden menyatakan konversi lahan di tiga desa menyatakan dalam kategori tinggi. Melihat fenomena di lapang, kawasan tiga desa tersebut memang dekat dengan kawasan industri Karawang. Berdasarkan pengamatan lahan pertanian berupa kebun yang ditanami tanaman keras telah digusur oleh perusahaan. Selain itu, alasan Karawang sebagai pusat industri karena mobilitasnya yang dekat dengan ibu kota negara dan pelabuhan. Hal ini sesuai dengan pernyataan salah satu anggota LSM bahwa.

”....Karawang sebagai daerah penghasil padi mbak, tapi di satu sisi juga industri tinggi. Sebenarnya mau ke mana fokus kita. Lahan yang dulu sawah banyak dijadikan bangunan sekarang....” (HM, 24 Tahun, Anggota LSM)

Keterangan di atas menjelaskan bahwa Karawang pada umumnya telah menjadi pusat industri, informan menjelaskan termasuk tiga desa yaitu Desa Wanasari, Desa Wanakerta, dan Desa Margamulya bertepatan dengan jalan tol. Bagi para pengusaha akses tersebut sangat mudah jika berinvestasi di Karawang apalagi terdapat suatu kawasan industri di sana. Para warga pun yang dulu memiliki lahan di tiga desa tersebut tak dapat memanfaatkan lagi. Biasanya mereka menanam tanaman keras seperti kayu sengon dan tanaman di ladang seperti singkong. Adapun juga yang menanam padi sawah tetapi jumlahnya tidak terlalu banyak. Seperti penuturan informan dari anggota masyarakat yang memiliki tanah pertanian bahwa.

”....di sini semua dulu tanaman kayu sengon mbak, tapi lihat sekarang udah gersang karena digusur dan dijaga ketat oleh perusahaan. Semuanya ini lahan milik warga. Kalo yang nanam padi ada di sana, beda tempat lagi. Sekarang kita engga punya apapa. Dulu bisa panen kayu sengon nunggu berapa tahun buat pendapatan tambahan mbak....” (UD, 65 Tahun, Anggota Masyarakat)

Eksekusi yang berlangsung pada tahun 2014 silam membuat masyarakat tidak dapat lagi bercocok tanam di atas lahan mereka. Beberapa warga sempat memberontak dengan tetap menanam di lahan tersebut. Akan tetapi, keesokan harinya tanaman tersebut dicabut oleh penjaga yang dibayar perusahaan. Saat terjadi penggusuran informan Bapak UD mengatakan bahwa saat itu tanaman sengon mereka telah digusur ketika sudah tiga tahun ditanam.

Berdasarkan kategori gambaran komersialisasi lahan, sebesar 68.8 persen masyarakat menilai komersialisasi lahan di tiga desa dalam kategori sedang. Menurut beberapa warga baik responden ataupun informan menyatakan tanah- tanah di sini adalah hasil turun temurun atau warisan dari orang tua mereka. Berdasarkan pengamatan, selama mewawancara responden secara keseluruhan tanah milik mereka adalah warisan dari orang tua. Selanjutnya tetap diteruskan ke anak-anak mereka pada nantinya. Di sisi lain harga tanah di tiga desa tersebut juga memiliki harga jual yang tinggi seperti penuturan aparat Desa Wanakerta bahwa.

”....khususya yang saya tahu tanah di desa ini cukup tinggi, mungkin karena banyak industri atau apa saya kurang tahu. Tapi harga tawarannya lumayan dibanding di desa lain....” (UC, 40 Tahun, Aparatur Desa)

Penuturan aparatur desa juga didukung oleh beberapa responden yang mengetahui kondisi harga tanah. Bahkan ada yang mengatakan lebih baik berinvestasi tanah di sana. Meski demikian masyarakat tidak menjualbelikan tanahya. Terkait warisan memang sebagian besar pemilik sudah tidak berada di tiga desa tersebut. Saat melakukan wawancara, para pemilik lahan berada di

sekitar Desa Wanasari, Wanakerta, dan Margamulya yaitu Karang Ligar, Karang Mulya, Margakarya, dan lain-lain. Meski masih ada beberapa yang masih menetap di desa tersebut.

Berdasarkan penyerapan tenaga kerja non pertanian berada pada kategori sedang dengan persentase keseluruhan sebesar 65.6 persen. Hal ini ditunjukan dengan pernyataan dari salah satu responden yang memberikan penjelasan bahwa memang pasti ada banyak kesempatan kerja di pabrik atau industri di sini. Tetapi tidak mengetahui pasti jumlah berapa penawaran dan permintaan, tetapi pasti ada peluang untuk bekerja di industri. Dibandingkan dengan pertanian di sini sudah tidak bisa lagi bercocok tanam karena sudah dieksekusi oleh PT SAMP. Sehingga para masyarakat tidak bisa bekerja di lahan mereka kembali. Sesuai dengan pernyataan anggota masyarakat menjelaskan bahwa.

”... kalo kerjaan di pabrik pasti ada, sepertinya banyak. Bahkan banyak orang Jawa dan Sumatera yang merantau ke sini. Tetapi saya tidak mengetahui pasti kalau jumlahnya dan perusahaan mana yang menawarkan pekerjaan. Kalo kami sekarang akan berusaha merebut tanah yang dulunya kami garap untuk kehidupan kami...”(UD, 65 tahun, Anggota Masyarakat)

Secara keseluruhan dari indikator-indikator tersebut yang dinilai berdasarkan standar deviasi dari hasil wawancara dengan kuesioner diperoleh tingkat industrialisasi di tiga desa berikut ini. (lihat Tabel 5).

Tabel 5 Jumlah dan persentase tingkat industrialisasi di Desa Wanasari, Wanakerta, dan Margamulya tahun 2015

Berdasarkan pengertian industrialisasi yaitu kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, produk setengah jadi, dan/ atau produk jadi menjadi produk dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri. Meski perusahaan PT SAMP sebagai subyek utama pihak yang dilawan masyarakat belum mendirikan untuk

Dokumen terkait