• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma

2.2.10 Celebrity Endorser

Menurut Shimp, (2003:459), endorser adalah pendukung iklan atau yang dikenal juga sebagai bintang iklan untuk mendukung suatu produk.Sedangkan selebriti adalah tokoh (aktor, penghibur atau atlet) yang dikenal karena prestasinya di dalam bidang-bidang yang berbeda dari produk yang đidukungnya (Shimp, 2003:460). Selebriti dipandang sebagai individu yang disenangi oleh masyarakat dan memiliki keunggulan atraktif yang membedakannya dari individu lain. Shimp (2003:460) berpendapat bahwa celebrity endorser adalah menggunakan artis sebagai bintang iklan di media-media, mulai dari media cetak, media sosial, maupun media telivisi.

Selain itu selebriti digunakan karena atribut kesohorannya termasuk ketampanan, keberanian, talenta, keanggunan, kekuatan, dan daya tarik seksualnya yang sering mewakili daya tarik yang diinginkan oleh merek yang mereka iklankan.Shimp menyatakan bahwa sekarang ini banyak konsumen yang mudah mengidentifikasi diri dengan para bintang ini, seringkali dengan

memandang mereka sebagai pahlawan atas prestasi, kepribadian, dan daya tarik fisik mereka.Kemungkinan sebanyak 1/4 dari semua iklan menggunakan selebriti (Shimp, 2003: 460). Menurut Sumarwan (2004: 258) pembelian produk dan jasa serta pemilihan merek, para selebriti bisa memiliki pengaruh kuat kepada konsumen. Selebriti bisa menjadi alat pemasaran suatu produk yang sangat penting, daya tariknya yang luar biasa dan memiliki penggemar yang banyak bisa menjadi hal yang tidak dimiliki orang lain. Selebriti memiliki inner beauty, kharisma dan kredibilitas.

Selebriti memiliki daya tarik yang dapat dijadikan strategi yang efektif bila digunakan oleh pengiklan dalam mempromosikan produk maupun jasa. Schiffman dan Kanuk (2008: 243) membagi daya tarik penggunaan selebriti oleh pemasar menjadi empat tipe,yaitu:

1. Pernyataan: didasarkan pada pemakaian pribadi, seorang selebriti membuktikan kualitas produk atau jasa.

2. Dukungan: selebriti meminjamkan namanya dan muncul atas nama suatu produk atau jasa dimana selebriti dapat berperan sebagai ahli ataupun bukan 3. Aktor: selebriti menyajikan produk atau jasa sebagai bagian dari dukungan

karakter.

4. Juru bicara: selebriti mewakili merek atau perusahaan selama jangka waktu tertentu. Perusahaan dapat memilih selebriti berdasarkan daya tarik ini untuk mempromosikan produk dan jasanya melalui dukungan dari orang terkenal seperti selebriti.

Celebrity endorser didefinisikan sebagai figur seorang tokoh yang dikenal baik oleh publik dan memperagakan sebagai konsumen dalam iklan (Belch &

Belch, 2004). Termasuk kelompok selebriti ini adalah bintang televisi maupun bintang film, bintang olah raga, politikus, bisnisman, artis, dan orang-orang tertentu yang berasal dari militer.

Menurut Royan (2004) ada tiga faktor yang dimiliki oleh selebriti dalam menarik minat beli konsumen yaitu daya tarik (attractiveness), dapat dipercaya (trustworthiness), dan keahlian (expertise).

a. Attractiveness

Daya tarik meliputi keramahan, menyenangkan, fisik, dan pekerjaan sebagai beberapa dimensi penting dari konsep daya tarik (Shimp, 2003).

Ada dua hal penting dalam penggunaan selebriti jika dihubungkan dengan daya tarik, pertama adalah tingkat disukai audience (likeability) dan yang kedua adalah tingkat kesamaan dengan personality yang diinginkan oleh pengguna produk (similarity), dimana keduannya tidak dapat dipisahkan dan harus saling berdampingan (Royan, 2004).

b. Trustworthiness

Trustworthiness atau kepercayaan mengacu pada kejujuran, integras dan dapat dipercayainnya seorang pendukung. Seringkali seorang pendukung tertentu dianggap dapat sangat dipercaya padahal bukan orang ahli dibidangnya. Keadaan dipercayanya seorang pendukung tergantung pada persepsi khalayak akan motivasi dukungannya. Para pemasang iklan memanfaatkan nilai kepercayaan dengan memilih para pendukung yang secara luas dipandang jujur, dapat dipercaya, dan dapat diandalkan (Shimp, 2003).

c. Expertise

Keahlian mengacu pada pengetahuan, pengalaman, atau keterampilan yang dimiliki seorang pendukung yang berhubungan dengan topik iklannya.

2.2.11 Androgini

Androgini adalah istilah seseorang dimana menunjukkan pembagian peran dalam karakter maskulin dan feminin pada saat yang bersamaan. Pemikiran bahwa aspek maskulin dan feminin mampu saling melengkapi dan bukan bertentangan memunculkan konsep androgenitas yang memadukan kedua peran gender laki-laki dan perempuan yakni maskulin dan feminin dalam diri individu sama tinggi (Setyaningsih, 2009). Fenomena androgini menimbulkan pro dan kontra di masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan sebagian besar masyarakat di Indonesia masih menganut segala peraturan yang mengikat hak dan kewajiban seseorang yang diatur berdasarkan seks biologisnya. Mengingat hal ini, tidak mungkin untuk tidak menghubungkan androgini dengan keragaman orientasi

seksual, masyarakat keliru menyamakan androgini dengan homoseksualitas dan transgender (Felicia Goenawan. 2007).

Konsep androgini merupakan perkembangan peran gender, yaitu konsep dimana diri maskulin terintegrasi ke dalam ciri feminin. Block mengemukakan bahwa tidak ada polarisasi feminin dan maskulin karena keduanya independen dan merupakan dua dimensi yang terpisah. Hal ini memungkinkan seorang individu dapat memiliki skor yang sama-sama tinggi dalam dua karakteristik, individu tersebut adalah androgini. Seorang androgini adalah individu yang skor maskulinnya tinggi dan skor afektif dalam menghadapi atau mengatasi situasi yang berbeda (Matteson, 1993 dalam Agustang dkk, 2015). Androgini dapat dikenali melalui psikologis dan gaya atau penampilan. Bem, menyatakan bahwa psikologis androgini memungkin bahwa seseorang mampu memiliki dua peran gender kuat yaitu maskulin dan feminin yang dapat muncul secara bersamaan.

Menurut Alferd Herzog, gaya androgini adalah seorang laki-laki tampil dengan cara seperti perempuan (Tracy, 2005:28).

Sandra Bem (1974) menjelaskan androgini adalah sebuah identitas gender dimana seorang individu memiliki sisi maskulinitas dan sisi feminitas yang setara.

Bentuk dimana pada diri seorang individu memperlihatkan batas-batas feminitas dan maskulinitas dalam dirinya melebur menjadi tidak jelas dan samar sehingga seolah-olah diri individu memperlihatkan kedua identitas tersebut secara bersamaan dalam dirinya. Androgini sendiri berasal dari bahasa Yunani andro yang berarti pria dan gyne yang berarti wanita.

Seorang psikolog Universitas Stanford yaitu Sandra Bem (1977) mengeluarkan sebuah inventory pengukuran gender yang diberi nama The Bem Sex Role Inventory. Melalui penelitian yang dilakukan Bem, berdasarkan respon yang dihasilkan dari inventori pada The Bem Sex Role ini akhirnya dapat dijelaskan bahwa individu dapat diklasifikasikan melalui peran gender yang dibagi menjadi empat peran gender, yaitu peran gender maskulin, peran gender feminin, peran gender androgini, dan peran gender undifferentiated.

Salah satu orientasi gender yang disebutkan oleh Sandra Bem adalah sebuah orientasi gender androgini. Pada Psikoterapis.com, dijelaskan juga bahwa kata Androgini berasal dari bahasa Yunani yang artinya “andros-” berarti laki-laki dan “gyné -“ berarti perempuan. Gender androgini sendiri adalah istilah dalam identitas gender dimana seseorang tidak termasuk dengan jelas ke dalam peran maskulin dan feminin yang ada di masyarakat. Gender androgini juga bisa dikatakan bagi mereka yang memiliki orientasi gender androgini dapat menampilkan kedua sifat tersebut secara bersamaan dalam satu tubuhnya.

Menurut Anggraini (2013:2-3) dalam penelitiannya yang menyebutkan mengenai visualisasi yang biasa dilakukan oleh seseorang yang beridentitas androgini. Dituliskan dalam penelitiannya bahwasanya identitas androgini tidak hanya dikaitkan dengan permasalah gender dan peran, akan tetapi identitas androgini sudah masuk ke dalam gaya hidup di masyarakat. Kemunculannya menjadi sebuah identitas baru dalam pilihan gaya. Kemudian berkembang pesat di industri mode. Melalui dasar pemikiran yang diambil dari penelitian tersebut dapat dikatakan bahwasanya identitas diri gender biasanya direpresentasikan bentuknya dalam sebuah gambar atau model fesyen. Sehingga seseorang yang memiliki identitas gender androgini dapat memperlihatkan bagaimana gambaran identitas mereka secara jelas kepada publik.

2.2.12 Gender

Konsep penting yang perlu dipahami dalam rangka membahas kaum perempuan adalah membedakan antara konsep seks (jenis kelamin) dan konsep gender. Pemahaman dan pembedaan antara konsep seks dan gender sangatlah diperlukan dalam melakukan analisis untuk memahami persoalan-persoalan ketidakadilan sosial yang menimpa kaum perempuan (Fakih, 2013 : 3).

Untuk memahami konsep gender harus dibedakan ka jenis kelamin tertentu. Laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, memiliki jakala dan memproduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memroduksi telur, memiliki vagina dan mempunyai alat menyusui. Secara biologi alat-alat tersebut tidak bisa

dipertukarkan. Secara permanen tidak berubah dan merupakan biologis atau sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan (Fakih, 2013 : 8). Meski perkembangan teknologi meruntuhkan pengertian di atas, kita harus mengabaikannya sejenak.

Sedangkan konsep lainnya adalah konsep gender, yakni suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural (Fakih, 2013 : 8). Konsep gender juga dikaitkan dengan konsep sebelumnya, jenis kelamin. Dikenal bahwa manusia dengan jenis kelamin perempuan umumnya memiliki sifat yang lemah lembut, emosional atau keibuan.

Sementara laki-laki umumnya memiliki sifat kuat, rasional, jantan, perkasa.

Tidak seperti jenis kelamin, sifat-sifat yang menandai perbedaan gender dapat ditukarkan. Misalnya, ada laki-laki yang memiliki sifat lemah lembut, emosional atau keibuan seperti yang umumnya dimiliki perempuan. Begitu pula sebaliknya, ada perempuan yang memiliki sifat-sifat umum laki-laki. Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara manusia jenis laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang panjang. Terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal, di antaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara. Melalui proses panjang, sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan – seolah-olah bersifat biologis yang tidak bisa diubah lagi (Fakih, 2013 : 9).

Melalui dialektika, konstruksi sosial gender yang tersosialisasikan secara evolusional dan perlahan-lahan mempengaruhi biologis masing-masing jenis kelamin. Misalnya, karena konstruksi sosial gender, kaum laki-laki terlatih dan tersosialisasi serta termotivasi untuk menjadi atau menuju ke sifat gender yang ditentukan oleh suatu masyarakat, yakni secara fisik lebih kuat dan lebih besar.

Sebaliknya, karena kaum perempuan harus lemah lembut, maka sejak bayi proses sosialisasi tersebut tidak saja berpengaruh kepada perkembangan emosi dan visi serta ideologi kaum perempuan, tetapi juga mempengaruhi perkembangan fisik dan biologis selanjutnya. Karena proses sosialisasi dan rekonstruksi berlangsung secara mapan dan lama, akhirnya menjadi sulit dibedakan apakah sifat-sifat

gender itu dikonstruksi atau dibentuk oleh masyarakat atau kodrat biologis yang ditetapkan oleh Tuhan (Fakih, 2013 : 9-10).

Dalam menjernihkan perbedaan antara seks dan gender ini yang menjadi masalah adalah terjadi kerancuan dan pemutarbalikan makna tentang apa yang disebut seks dan gender. Dewasaini terjadi peneguhan pemahaman yang tidak pada tempatnya di masyarakat, di mana apa yang sesungguhnya gender justru dianggap sebagai kodrat yang berarti ketentuan biologis atau ketetntuan Tuhan.

Caplan menguraikan bahwa perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan tidaklah sekedar biologi, namun melalui proses sosial dan kultural. Oleh karena itu gender berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat bahkan dari kelas ke kelas, sedangkan jenis kelamin biologis (sex) akan tetap tidak berubah (Fakih, 2013 : 11).

Perbedaan gender (gender differences) pada proses berikutnya melahirkan peran gender (gender role) dan dianggap tidak menimbulak masalah, maka tak pernah digugat. Jadi kalau secara biologi kaum perempuan dengn organ reproduksinya bisa hamil, melahirkan dan menyusui dan kemudian mempunyai peran gender sebagai perawat, pengasuh dan pendidik anak, sesungguhnya tidak ada masalah dan tidak perlu digugat. Akan tetapi yang menjadi masalah dan perlu digugat oleh mereka yang menggunakan analisis gender adalah struktur ketidakadilan yang ditimbulkan oleh peran gender dan perbedaan gender tersebut.

Dari studi yang dilakukan dengan menggunakan analisis gender ini ternyata banyak ditemukan pelbagai manifestasi ketidakadilan seperti berikut (Fakih, 2013: 72-75):

Terjadinya marginalisasi (pemiskinan ekonomi) terhadap kaum perempuan. Meskipun tidak setiap marginalisasi perempuan disebabkan oleh ketidakadilan gender, namun yang dipersoalkan dalam analisis gender adalah marginalisasi yang disebabkan oleh perbedaan gender. Misalnya dalam hal pekerjaan. Banyak sekali pekerjaan yang dianggap pekerjaan serta ideologi kaum perempuan, tetapi juga mempengaruhi perkembangan fisik dan biologis selanjutnya. Karena proses sosialisasi dan rekonstruksi berlangsung secara mapan dan lama, akhirnya menjadi sulit dibedakan apakah sifat-sifat gender itu

dikonstruksi atau dibentuk oleh masyarakat atau kodrat biologis yang ditetapkan oleh Tuhan (Fakih, 2013: 9-10).

Dalam menjernihkan perbedaan antara seks dan gender ini yang menjadi masalah adalah terjadi kerancuan dan pemutarbalikan makna tentang apa yang disebut seks dan gender. Dewasaini terjadi peneguhan pemahaman yang tidak pada tempatnya di masyarakat, di mana apa yang sesungguhnya gender justru dianggap sebagai kodrat yang berarti ketentuan biologis atau ketetntuan Tuhan.

Caplan menguraikan bahwa perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan tidaklah sekedar biologi, namun melalui proses sosial dan kultural. Oleh karena itu gender berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat bahkan dari kelas ke kelas, sedangkan jenis kelamin biologis (sex) akan tetap tidak berubah (Fakih, 2013 : 11).

2.2.13 Fashion

Fashion berasal dari bahasa latin yaitu, factio yang artinya membuat atau melakukan. Tapi seiring perkembangan jaman kata fashion mengalami pergeseran makna yaitu fashion sebagai sesuatu yang dikenakan seseorang beserta aksesorisnya. Dalam masyarakat kontemporer barat fashion kerap digunakan sebagai sinonim dari istilah dandanan, gaya dan busana (Polhemus dan Procter, 1978: 9).

Menurut (Kusumaningtyas, 2014) fashion memiliki dua macam jenis yang berbeda, yaitu:

1. Masculine Fashion (fashion lelaki)

Masculine Fashion mulai berkembang menyusul berkembangan pesat feminine fashion. Walaupun kurang diminati oleh kaum pria namun tidak jarang juga ada beberapa orang yang memikirkan cara berpakaian mereka untuk menjadi orang yang fashionable dan menunjukan jatidiri mereka.

Melalui penampilan kaum pria dapat mengekspresikan dirinya dan menunjukkan status sosialnya di masyarakat.

2. Feminine Fashion (fashion perempuan)

Feminine Fashion merupakan salah satu jenis fashion yang mengalami perkembangan model yang sangat cepat, terutama dalam hal fashion baju.

Pergantian model baju lebih cepat dan baju merupakan item yang paling banyak dibeli oleh masyarakat di bandingkan dengan tas dan sepatu.

Dengan adanya dukungan dari berbagai media yang memperlihatkan mode-mode yang upto-date membuat perilaku kaum hawa selaku penikmat mode fashion berubah semakin konsumtif.

BAB III