• Tidak ada hasil yang ditemukan

Semiotika Roland Barthes

KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma

2.2.8 Semiotika Roland Barthes

Kancah semiotika tidak bisa terlepas dari nama Roland Barthes. Roland Barthes lahir tahun 1915 dari keluarga menengah Protestan di Cherbourg dan dibesarkan di Bayonne, kota kecil dekat pantai Atlantik di sebelah barat daya Prancis. Barthes adalah seorang ahli semiotika yang mengembangkan kajian yang sebelumnya punya warna kental strukturalisme kepada semiotika teks. Dia dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang getol mempraktekkan model linguistik dan semiologi Saussuren (Sobur, 2004: 63). Ia menghabiskan waktu untuk menguraikan dan menunjukkan bahwa konotasi yang terkandung dalam mitologi biasanya merupakan hasil konstruksi yang cermat. Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat yang sama bisa menyampaikan makna yang berbeda kepada orang yang berbeda situasinya.

Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dan dikenal dengan istilah “order of signification” (Kriyantono, 2008: 268).

Semiotika, atau dalam istilah Barthes disebut semiologi pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal

(things). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Barthes merupakan orang terpenting dalam tradisi semiotika Eropa pasca Saussure. Pemikirannya bukan saja melanjutkan pemikiran Saussure tentang hubungan bahasa dan makna, namun ia justru melampaui Saussure terutama ketika ia menggambarkan tentang makna ideologis dari representasi jenis lain yang ia sebut sebagai mitos. Barthes menekankan pada cara tanda-tanda di dalam teks berinteraksi dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya dan memperhatikan konvensi pada teks yag berinteraksi dengan konvensi pada teks yang berinteraksi dengan konveksi yang dialami (Kriyantono, 2008:268).

Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang gencar mempraktekkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Ia juga intelektual dan kritikus sastra Perancis yang ternama. Roland Barthes adalah tokoh strukturalis terkemuka dan juga termasuk ke dalam salah satu tokoh pengembang utama konsep semiologi dari Saussure. Bertolak dari prinsip-prinsip Saussure, Barthes menggunakan konsep sintagmatik dan paradigmatik untuk menjelaskan gejala budaya, seperti sistem busana, menu makan, arsitektur, lukisan, film, iklan, dan karya sastra. Ia memandang semua itu sebagai suatu bahasa yang memiliki sistem relasi dan oposisi. Beberapa kreasi Barthes yang merupakan warisannya untuk dunia intelektual adalah konsep konotasi yang merupakan kunci semiotik dalam menganalisis budaya, dan konsep mitos yang merupakan hasil penerapan konotasi dalam berbagai bidang dalam kehidupan sehari-hari (Sobur, 2004: 46).

Barthes membagi signifikasi kepada dua tahap yaitu denotasi dan konotasi.

Denotasi adalah sistem signifikasi tingkat pertama dan konotasi adalah sistem signifikasi tingkat kedua. Denotasi merupakan makna paling nyata dari tanda yang dibangun oleh relasi antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap kenyataan eksternalnya. Konotasi ini ditujukan Barthes untuk menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca. Ringkasnya, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda

terhadap sebuah objek, sedangkan konotasi adalah bagaimana menggambarkannya (Sobur, 2004: 128).

Konsep Roland Barthes menunjukkan bahwa tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan tapi juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya (Sobur, 2004: 69). Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes memperjelas sistem signifikasi dua tahap dalam peta berikut ini:

Gambar 2.3 Peta Tanda Roland Barthes

Sumber: Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hal: 69

Dari gambar peta tanda Barthes di atas jelas terlihat bagaimana signifikasi dua tahap yang dimaksudkan oleh Barthes. Dimana tanda denotasi yang merupakan hubungan antara penanda dan petanda melandasi keberadaan tanda konotasi dibawahnya. Dapat dipahami bahwa tanda konotasi bukanlah sekedar makna tambahan, namun makna yang hadir seiring dengan keberadaan tanda denotasi. Konotasi identik dengan operasi ideologi yang disebut oleh Barthes sebagai mitos dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu (Sobur, 2004:

71).

Pada signifikasi tahap kedua, proses analisis tanda konotasi yang merupakan makna tersirat yang ada pada teks nantinya akan digunakan untuk

membongkar mitos yang ada di balik teks. Analisis tanda konotasi ini berlangsung dalam tingkat subjektif (Sobur, 2004: 128). Roland Barthes dalam konsepnya memang menekankan peran pembaca. Peran dalam artian meskipun sebuah tanda telah memiliki makna denotasi dan konotasi tetap saja dibutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Kode-kode komunikasi dalam teks nantinya akan dicari makna harfiahnya (denotasi), lalu hubungan antara satu tanda dengan tanda lain akan dikaji makna apa yang tersirat di dalamnya (konotasi).

2.2.9 Representasi

Representasi berasal dari bahasa Inggris, representation, yang berarti perwakilan, gambaran atau penggambaran. Secara sederhana, representasi dapat diartikan sebagai gambaran mengenai suatu hal yang terdapat dalam kehidupan yang digambarkan melalui suatu media.

Representasi merupakan kegunaan dari tanda. Representasi menurut Chris Barker adalah konstruksi sosial mengharuskan kita mengeksplorasi pembentukan makna tekstual dan menghendaki penyelidikan tentang cara dihasilkannya makna pada beragam konteks. Yasraf Amir juga menjelaskan representasi pada dasarnya adalah sesuatu yang hadir, namun menunjukkan sesuatu di luar dirinyalah yang dia coba hadirkan (Vera,2014:97).

Representasi adalah konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan sistem penandaan yang tersedia: dialog, tulisan, video, film, fotografi, dan seterusnya. Secara singkat, representasi adalah produksi makna melalui bahasa. Lewat bahasa (simbol-simbol dan tanda tertulis, lisan atau gambar) itulah seseorang dapat mengungkapkan pikiran konsep dan ide (Christandi, 2013: 15).

Istilah representasi itu sendiri menunjuk pada bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam produk media.

Pertama, apakah seseorang atau kelompok atau gagasan tersebut ditampilkan sebagaimana mestinya. Kata “semestinya” ini mengacu pada apakah seseorang atau kelompok itu diberitakan apa adanya atau diburukkan.

John Fiske menjelaskan bahwa untuk menampilkan representasi tersebut paling tidak ada tiga proses yang meliputinya. Level pertama, peristiwa yang ditandakan yaitu saat kita menganggap dan mengkonstruksi peristiwa tersebut sebagai sebuah realitas. Level kedua, saat kita memandang sesuatu sebagai realitas, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana realitas itu digambarkan.

Dalam level ini digunakanlah alat berupa kata, kalimat, grafik dan sebagainya.

Pemakaian kata, kalimat, atau grafik tertentu akan membawa makna tertentu pula ketika diterima khalayak. Level ketiga, bagaimana kode-kode representasi dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam koherensi sosial seperti kelas social, kepercayaan dominan dan sebagainya yang ada dalam masyarakat (Eriyanto, 2001:14).

Stuart Hall memetakan sistem representasi ke dalam dua bagian utama, yakni mental representations dan bahasa. Mental representations menandai keniscayaan subyektif alias pengakuan makna yang bergantung kemampuan individu; masing-masing orang memiliki perbedaan dalam mengorganisasikan dan mengklasifikasikan konsep-konsep sekaligus menetapkan hubungan di antara semua itu. Konsep ini masih ada dalam pikiran masing-masing individu tersebut, representasi mental masih merupakan sesuatu yang abstrak. Sedangkan bahasa menjadi bagian sistem representasi karena pertukaran makna tidak mungkin terjadi ketika tidak ada akses terhadap bahasa bersama. Istilah umum yang seringkali digunakan untuk kata, suara atau kesan yang membawa makna adalah tanda (Hermawan, 2011: 234).

Bahasa berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam pikiran kita harus diterjemahkan dalam bahasa yang lazim, agar dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dengan tanda dari simbol-simbol tertentu.

Isi media bukan hanya pemberitaan tetapi juga iklan dan hal-hal lain di luar pemberitaan. Intinya bahwa sama dengan berita, iklan juga merepresentasikan orang-orang, kelompok atau gagasan tertentu. John Fiske merumuskan tiga proses yang terjadi dalam representasi melalui tabel berikut:

Tabel II.1

Proses Representasi Fiske

PERTAMA REALITAS

(Dalam bahasa tulis, seperti dokumen wawancara transkrip dan sebagainya. Dalam televisi seperti perilaku, make up, pakaian, ucapan, gerak-gerik dan sebagainya.

KEDUA REPRESENTASI

Elemen tadi ditandakan secara teknis. Dalam bahasa tulis seperti kata, proposis, kalimat, foto, caption, grafik dan sebagainya. Dalam TV seperti kamera, musik, tata cahaya dan lain-lain). Elemen-elemen tersebut ditransmisikan ke dalam kode representasional yang memasukkan di antaranya bagaimana objek digambarkan (karakter, narasi setting, dialog dan lain-lain).

KETIGA IDEOLOGI

Semua elemen diorganisasikan dalam koherensi dan kode-kode ideologi, seperti individualisme, liberalisme, sosialisme, patriarki, ras, kelas, materialisme, dan sebagainya.

Sumber: Wibowo, Semiotika Komunikasi aplikasi praktis bagi penelitian dan skripsi komunikasi (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2011), hal: 123

Pertama, realitas, dalam proses ini peristiwa atau ide dikonstruksi sebagai realitas oleh media dalam bentuk bahasa gambar ini umumnya berhubungan dengan aspek seperti pakaian, lingkungan, ucapan ekspresi dan lain-lain. Di sini realitas selalu siap ditandakan. Kedua, representasi, dalam proses ini realitas digambarkan dalam perangkat perangkat teknis, seperti bahasa tulis, gambar, grafik, animasi dan lainlain. Ketiga, tahap ideologis, dalam proses ini peristiwa-peristiwa dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam konvensi-konvensi yang diterima secara ideologis. Bagaimana kode-kode representasi dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam koherensi sosial atau kepercayaan dominan yang ada dalam masyarakat.

Konsep representasi digunakan untuk menggambarkan ekspresi hubungan antara teks iklan (media) dengan realitas. Representasi merupakan proses dimana para anggota sebuah budaya menggunakan bahasa untuk memproduksi makna.

Bahasa dalam hal ini didefinisikan secara lebih luas, yaitu sebagai sistem apapun yang menggunakan tanda-tanda. Tanda di sini dapat berbentuk verbal maupun non verbal. Representasi bukanlah suatu kegiatan atau proses yang statis tapi merupakan proses dinamis yang terus berkembang seiring dengan kemampuan intelektual dan kebutuhan para pengguna tanda yaitu manusia sendiri yang juga terus bergerak dan berubah.

Representasi merupakan suatu bentuk usaha konstruksi. Karena pandangan-pandangan baru yang menghasilkan pemaknaan baru juga merupakan hasil pertumbuhan konstruksi pemikiran manusia. Melalui representasi makna diproduksi dan dikonstruksi. Ini terjadi melalui proses penandaan, praktik yang membuat sesuatu hal bermakna sesuatu (Wibowo, 2011: 124).