• Tidak ada hasil yang ditemukan

Cognitive and perceptual flexibility (fleksibilitas kognitif dan penginderaan)

BAWAH SADAR

5. Cognitive and perceptual flexibility (fleksibilitas kognitif dan penginderaan)

Merupakan salah satu hal yang menjadikan proses terapi berbasis hipnosis efektif. Fleksibilitas kognitif yang dimaksudkan dalam hal ini yaitu untuk bisa mengoperasikan fungsi kognitif (proses mental

berpikir) secara lebih fleksibel, hal ini yang membuat seseorang dalam sesi terapi di kondisi trance bisa distimulus untuk meninjau ulang permasalahannya dari berbagai persepsi kognitif yang berbeda dan mengubah orientasi berpikirnya, yang awalnya berorientasi pada masalah menjadi pada solusi misalnya, atau dari masalah menjadi pembelajaran, dengan kata lain kita bisa mengajak seseorang menata ulang proses kognitifnya atas masalah atau situasi yang dihadapinya secara lebih mendalam di level pikiran bawah sadar dan dengan stimulus sugesti yang tepat klien bisa menjadikannya sebuah perubahan yang bersifat permanen.

Kesemua hal di atas tadi adalah hal-hal yang menjadikan hipnosis dan hipnoterapi efektif. Pada dasarnya setiap bentuk terapi psikologi didesain untuk bisa menghasilkan perubahan di level pikiran bawah sadar, namun kebanyakan dilakukan di level pikiran sadar, yang membuat area kritis aktif dan ‘menantang’ prosesnya sehingga bisa jadi prosesnya memakan waktu dan tenaga, yang dalam banyak kasus menjadi berkepanjangan.

Dalam kondisi trance formal, kita berurusan langsung dengan pikiran bawah sadar, hal ini membuat area kritis menjadi tidak aktif dan berbagai keistimewaan di atas bisa diakses, yang menjadikan proses terapi efektif.

Menarik bukan? Jika demikian bukankah bisa kita simpulkan bahwa trance adalah kunci dari proses hipnosis-hipnoterapi? Betul sekali, namun pertanyaan berikutnya adalah: trance yang bagaimana?

Kalimat di atas tadi adalah untuk menegaskan, meski sedari tadi kita sudah membicarakan trance dan segala keistimewaannya, perlu kita pahami juga bahwa mengeksplorasi trance ini memiliki lika-likunya tersendiri,

semua fenomena dan keistimewaan yang dibahas sebelumnya memang menjadi bagian dari trance, namun trance dengan kriteria atau tepatnya kedalaman tertentu.

Mari sekali lagi pertama-tama mengurai trance dari perspektif gelombang otak. Ingatlah bahwa dalam posisinya sebagai sebuah fenomena perpindahan kesadaran, trance sangat berhubungan erat dengan perubahan gelombang otak, naik-turunnya gelombang otak (karena stimulus tertentu) inilah yang akan berpengaruh pada kondisi trance yang dialami.

Buku ini tidak akan mengurai pemahaman gelombang otak secara lebih spesifik dari tinjauan akademis, melainkan menguraikan pemahaman bahwa fenomena trance memiliki lapisan gelombang dan ‘kedalaman’ dengan kriterianya masing-masing, inilah yang perlu kita pahami ketika memandu seseorang memasuki kondisi trance agar penanganan yang diberikan sejalan dengan kedalaman yang diperlukan.

Kita sudah mendapati beberapa keistimewaan trance di bagian sebelumnya, namun kembali pada kriteria kedalaman yang diperlukan, keistimewaan itu baru bisa muncul optimal di level kedalaman tertentu, itulah mengapa pemahaman akan kedalaman trance ini menjadi vital fungsinya bagi para hipnoterapis. Penerapan teknik yang tidak sejalan dengan kondisi kedalaman trance yang sedang dialami akan membuat keefektifan proses terapi berkurang jadinya.

Jadi bagaimana mengetahui kedalaman trance ini? Ada berbagai landasan teori yang muncul dari para peneliti yang berbeda yang mengurai level-level kedalaman trance ini, yang disebut skala kedalaman (scale), sebut saja misalnya Arons Depth Scale yang mengurainya menjadi 6 level atau Davis Husband Scale yang mengurai skala kedalaman ini menjadi 30 level, masih ada lagi banyak teori skala kedalaman lain dari peneliti lain dengan uraiannya masing-masing.

Penetapan level kedalaman trance ini biasanya mengacu kepada respon perilaku yang muncul dalam menerima dan menjalankan sugesti spesifik yang diberikan, hal ini menjadi acuan bagi hipnoterapis untuk mengetahui/memperkirakan sejauh mana area kritis serta pikiran sadar sudah memasuki mode pasif dan di level kedalaman mana kliennya berada sebelum menerapkan teknik terapi yang akan difasilitasinya.

Contohnya saja, dalam kasus dimana seorang klien memendam emosi yang belum terungkapkan pada orang tuanya yang sudah meninggal dan hal itu mempengaruhi kualitas kehidupannya di masa kini. Salah satu bentuk terapi dalam hal ini yaitu kita bisa memberikan sugesti pada pikiran bawah sadar klien untuk ‘menghadirkan’ orang tuanya agar bisa mengungkapkan emosinya pada mereka.

Jika proses ini dilakukan di level kedalaman yang ideal dan dengan teknik yang tepat maka hasilnya akan berdampak luar biasa bagi klien, karena faktor trance logic yang terjadi membuat pikiran bawah sadar menganggap hal ini sebagai kenyataan. Namun jika level kedalaman trance yang ada belum cukup untuk menstimulus trance logic ini, area kritis klien yang masih cukup aktif bisa saja ‘mempertanyakan’ proses ini, meski sama-sama memberikan hasil positif, perbedaan dampak yang dihasilkan di pikiran bawah sadar akan berbeda.

Salah satu instrumen yang digunakan untuk mengukur gelombang otak dan menghubungkannya dengan level kedalaman trance yang dialami yaitu alat electroencephalograph (EEG), namun demikian tidak praktis adanya menggunakan alat ini dalam sesi terapi karena adanya pergerakan tubuh klien yang berpotensi membuat alat ini terlepas, maka seorang Hipnoterapis harus mampu melakukan proses pengukuran kedalaman trance ini dengan menggunakan pengamatan pada respon perilaku klien dalam menerima dan menjalankan sugesti yang diterimanya.

Sebagai landasan pemahaman awal, dalam buku ini kita akan mengulas level kedalaman trance ini dengan membaginya ke dalam 6 level sederhana, yaitu:

Level 1, hypnoidal, yaitu level dimana kondisi trance yang ada dialami seperti dalam kondisi melamun. Biasanya tahapan ini merupakan tahapan awal seseorang dalam meniatkan diri memasuki kondisi trance dan mulai mengkondisikan kesadarannya untuk bisa lebih rileks.

Level 2, light trance (lethargic), level dimana subjek sudah menjadi lebih fokus pada instruksi/sugesti dan lebih mudah untuk memunculkan sensasi-sensasi tertentu yang distimulus.

Level 3 dan 4, medium & threshold of somnambulism, level dimana subjek mulai merasakan dirinya memasuki sensasi kesadaran yang berbeda, semakin malas untuk menganalisa dan berpikir yang berimbas pada menurunnya resistensi untuk menolak sugesti yang diberikan.

Level 5, deep trance (full somnambulism), level dimana pikiran bawah sadar semakin dominan muncul, respon terhadap sugesti semakin meningkat dan keistimewaan trance logic semakin bisa diakses optimal.

trance logic sudah mulai bisa menerima sugesti untuk memanipulasi

sensasi rasa sakit (menjadi seperti mati rasa) di bagian-bagian tubuh kecil seperti punggung telapak tangan dan sudah bisa distimulus untuk memunculkan objek-objek yang tidak ada agar dipersepsikannya ada dan dianggapnya sebagai kenyataan, dikenal sebagai positive hallucination.

Level 6, profound somnambulism, level dimana semua kriteria di 5 level sebelumnya sudah dilalui dan ditambah satu kriteria tambahan, yaitu

trance logic sudah bisa distimulus untuk menghilangkan objek yang ada

agar dipersepsikan menjadi seolah tidak ada, dikenal sebagai fenomena

Sebagai klarifikasi, istilah somnambulism dalam hipnosis mengindikasikan kedalaman trance, berbeda dengan istilah yang sama dalam keilmuan psikologi-psikiatri dimana istilah ini mengacu pada kondisi

sleepwalking atau gangguan tidur yang membuat penderitanya melakukan

aktivitas-aktivitas kompleks seperti berjalan atau aktivitas lainnya (bahkan

mengemudi!) sambil tidur.

Jika kita amati kembali beberapa fenomena hipnosis dalam keseharian kita, sungguh ajaib bahwa dalam banyak kesempatan kita bisa memasuki fenomena somnambulism, dalam bentuk negative hallucination misalnya, yaitu mendapati benda yang ada menjadi seolah tidak terlihat (luput dari penglihatan) padahal benda itu jelas-jelas ada di depan kita!

Pada dasarnya setiap bentuk terapi psikologi didesain untuk bisa menghasilkan perubahan di level pikiran bawah sadar yang kemudian berdampak pada perubahan di level pikiran sadar, baik itu dalam bentuk perilaku, perasaan atau kesembuhan dari penyakit psikosomatis, disinilah

trance menjadi jembatan penting dalam prosesnya.

Lalu, jika kita mengacu pada pemahaman akan kedalaman trance yang sudah kita bahas sedari tadi, di level kedalaman trance yang mana sesi terapi dilakukan? Pertama-tama, perlu kita pahami bahwa bukan soal seberapa dalam kondisi kedalaman trance yang menentukan efektivitas perubahan, melainkan kecocokan dari teknik yang digunakan dengan kedalaman trance yang diakses.

Mari membahas yang satu ini dengan lebih komprehensif, menggunakan level-level kedalaman trance yang sudah kita ulas tadi.