• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAWAH SADAR

13. William Saul Kroger, M.D

Mengawali perjalanannya sebagai seorang dokter, Kroger mempelajari Psikoanalisis dari seorang murid Freud yang bernama Franz Alexander. Namun ketertarikan Kroger pada Hipnosis sebenarnya dimulai dari kecil ketika ayahnya menyewa layanan seorang penghipnosis panggung (stage hypnotist) untuk mempopulerkan toko yang dikelola ayahnya secara sensasional.

Stage hypnotist tersebut menghipnosis salah seorang staf ayahnya

lalu membawanya ke level kedalaman yang sangat dalam, lalu menguburnya selama dua hari dalam sebuah kotak dan membangunkannya kembali sesudahnya. Fenomena ini sangat membuatnya tertarik dan ia pun mulai mempelajari keilmuan ini, mempraktekkannya pada teman-temannya sejak usianya 13 tahun.

Bersama-sama Milton H. Erickson, Kroger kelak mengembangkan

American Society of Clinical Hypnosis (ASCH), sebuah organisasi

dan psikologis formal. Ia juga adalah tokoh di balik berdirinya organisasi The Society for Experimental & Clinical Hypnosis (SECH) serta Academy of Psychosomatic Medicine.

Kroger merupakan sosok yang juga dikenal karena turut mempopulerkan pengembangan hipnosis dalam dunia forensik, atau sekarang ini dikenal sebagai forensic hypnosis, yaitu penggunaan hipnosis dalam dunia investigasi penegakan hukum.

Dalam salah satu kasus, FBI meminta bantuan Kroger untuk melakukan hipnosis pada supir bus sekolah yang diculik bersama 26 anak yang dibawanya, supir bus ini mengalami kesulitan mengingat plat nomor penculiknya, peristiwa ini dikenal dengan nama

Chowchilla Kidnapping. Kroger melakukan hipnosis pada supir bus

ini dan mengakses kembali ingatannya akan plat nomor para penculik tersebut, proses selanjutnya berjalan efektif sampai kemudian para penculik itu berhasil ditemukan dan ditangkap satu-persatu.

Kroger mengajar teknik hipnosis pada para agen FBI dan membantu lebih dari 30 kasus penyidikan. Dia juga menjadi konsultan bagi Los Angeles Police Department dan beberapa agensi penegakan hukum lainnya dalam proses investigasi.

Masih ada banyak nama-nama lain yang mewakili perkembangan hipnosis modern, seperti Pierre Janet, J. Milne Bramwell, Boris Sidis, Emile Coue, Harry Arons, Ernest Hilgard, A.M Krasner, George Estabrooks, Herbert Spiegel, Bernie Siegel, Ormond McGill dan nama-nama besar lainnya, namun sejauh ini kiranya penjelasan akan sejarah singkat di atas cukup untuk mengantar kita ke dasar pembelajaran akan hipnosis modern yang akan kita selami dalam buku ini.

Jika kisah perkembangan hipnosis sedemikian menariknya, yaitu betapa evolusi dari keilmuan ini menyajikan sebuah pencerahan yang begitu mendalam akan pentingnya eksplorasi level kesadaran manusia, maka begitu juga posisi hipnosis-hipnoterapi dewasa ini, tak kalah menariknya.

Seiring dengan perkembangan jaman dan berkembangnya pemahaman dunia medis akan manfaat hipnosis dalam berbagai tindakan penanganan medis dan psikologis, hipnosis pun mulai mendapatkan tempat tersendiri dalam asosiasi medis internasional.

Satu yang menjadi titik awal dari hal ini adalah ketika hipnosis diterima sebagai sebuah fenomena ilmiah oleh British Medical Association (BMA) pada tahun 1955. Diawali dengan ditugaskannya Prof. T. Ferguson Rodger untuk meneliti fenomena yang lebih mendalam tentang hipnosis, ia kemudian mewawancarai beberapa ahli yang familiar dan menggunakan keilmuan ini, seperti seorang neurologis terkenal, Prof. W. Russel Brain dan seorang psikoanalis, Wilfred Bion. Penelitian Rodger melahirkan definisi hipnosis yang kemudian digunakan di BMA, sebagai berikut:

“Sebuah kondisi perpindahan kesadaran yang bersifat sementara yang bisa distimulus oleh orang lain, dimana beragam fenomena bisa terjadi secara sponan sebagai respon atas stimulus verbal dan stimulus lainnya (yang menyebabkan itu terjadi). Fenomena ini mencakup perubahan dalam hal kesadaran dan ingatan, meningkatnya penerimaan terhadap sugesti dan munculnya respon serta ide yang mungkin tidak akan muncul dalam kondisi kesadaran biasa. Lebih jauh lagi, fenomena lain seperti anestesi, paralisis, kekakuan otot dan perubahan vasomotor bisa terjadi dan juga bisa distimulus dalam kondisi kesadaran hipnosis.”

Diakuinya hipnosis oleh BMA ini menjadi sebuah momentum yang luar biasa karena dari titik inilah berbagai organisasi medis-psikologis lain turut membuka matanya untuk mengevaluasi dan pada akhirnya menerima hipnosis sebagai bagian dari proses penanganan yang ilmiah.

Pada tahun 1958 contohnya, dimana hipnosis diakui oleh Canadian

Medical Association dan Canadian Psychological Association, disusul

dengan tahun 1960 dimana American Psychological Association pun melakukan hal yang sama. Pada tahun 1961, American Psychiatric

Association juga mengakui hipnosis sebagai salah satu metode terapi.

Semua fase evolusi ini sampai saat ini mengantarkan kita ke sebuah pemahaman yang sangat esensial, hipnosis bukanlah keilmuan ‘asal-asalan’ yang dikemas sedemikian rupa, ada sebuah perjalanan panjang dalam dunia hipnosis dari awal mula berkembangnya sebagai sebuah fenomena yang dianggap mistis, sampai saat ini dimana hipnosis menjadi sebuah fenomena yang ilmiah dan bisa dipertanggungjawabkan.

Abad pun berlalu, hipnosis dan hipnoterapi telah memberikan kontribusi yang begitu besar bagi dunia kesehatan dan pengembangan diri. Di berbagai penjuru dunia bermunculan berbagai kisah fenomenal dalam berbagai versi tentang bagaimana keilmuan yang mengeksplorasi pikiran bawah sadar ini menjadi alat bantu bagi begitu banyak orang untuk sembuh dari fobia, trauma, kebiasaan buruk dan masalah emosional lainnya, belum lagi kontribusinya bagi dunia medis dimana ada begitu banyak penyakit medis dan psikosomatis menahun yang turut terbantu terselesaikan dengan hipnosis-hipnoterapi.

Meskipun demikian, perlu kita pahami bersama keberadaan hipnosis dan hipnoterapi sampai saat ini adalah sebuah bentuk penanganan atau penyembuhan komplementer, artinya penggunaannya adalah untuk

melengkapi penanganan medis dan psikologis formal lain yang sudah ada dan bukan menggantikannya.

Adalah sebuah salah kaprah jika seorang praktisi hipnosis-hipnoterapi melebih-lebihkan jasa layanannya sampai mengesampingkan penanganan medis-psikologis formal. Ada acuan yang lebih detail tentang hal ini dalam bahasan tentang kode etik yang akan kita bahas nanti, termasuk memahami aturan kebijakan dan ruang lingkup yang harus dipatuhi seorang hipnoterapis profesional dalam berpraktek.

Mengikuti semua kode etik ini juga yang akan membawa Anda ke pemahaman dan sikap yang tepat dalam menjalankan profesi.

Perjalanan yang panjang bukan? Namun bukan hanya itu, dalam perkembangannya hipnosis-hipnoterapi pun memiliki kisah tersendiri yang berhubungan dengan polemik dalam aturan penggunaannya.

Munculnya semakin banyak praktisi hipnosis-hipnoterapi di jamannya dulu memberi stimulus untuk didirikannya organisasi-organisasi yang menaungi para praktisi hipnosis-hipnoterapi di dalamnya. Salah satu organisasi yang tertua yang muncul di Amerika adalah The National Guild

of Hypnotists (NGH) yang didirikan oleh Dr. Rexford L. North pada tahun

1951 dan disusul dengan organisasi-organisasi sejenis lainnya.

Namun di periode ini juga tercipta kesenjangan, yaitu antara praktisi hipnosis yang berlatarbelakang medis-psikologi dan mereka yang tidak memiliki latar belakang medis-psikologi namun bisa melakukan hipnosis-hipnoterapi secara piawai dalam sesi terapi profesional, karena pernah mempelajarinya melalui pembelajaran tersendiri.

Kala itu beberapa praktisi medis dan psikologi ingin mendapatkan keistimewaaan khusus dalam menggunakan hipnosis-hipnoterapi untuk keperluan berprakteknya dan melarang praktisi non medis-psikologi untuk berpraktek menggunakan hipnosis, padahal banyak juga para hipnoterapis yang saat itu berpraktek dengan cakap dan memberikan hasil positif pada diri kliennya meski mereka tidak berlatarbelakang medis-psikologi.

Disinilah terjadi kesenjangan, di satu sisi hipnosis-hipnoterapi tidak sepenuhnya menjadi keilmuan akademis resmi di dunia medis-psikologi karena keilmuan ini juga banyak diajarkan melalui pelatihan-pelatihan publik, namun di sisi lain keilmuan ini banyak beririsan dengan pemahaman medis-psikologi formal, inilah yang membuat beberapa praktisi medis-psikologi formal beranggapan bahwa keilmuan ini hanya boleh dipergunakan oleh mereka dan bersikeras memperjuangkan hal ini sampai ke ranah hukum dan perijinan.

Selama sekian tahun lamanya hal ini dipolitisir sehingga suatu saat sempat keluarlah aturan-aturan yang membatasi hipnosis-hipnoterapi, yaitu hanya mereka yang memiliki latarbelakang medis dan psikologilah yang diijinkan menggunakannya untuk media prakteknya, hal ini tak urung memicu kontroversi yang lebih besar.

Para hipnoterapis (sebutan untuk mereka yang hanya menggunakan hipnoterapi, tanpa latar belakang medis-psikologi formal) merasa hal ini sunguh tidak adil karena mereka yang sudah berpengalaman dan terbukti cakap menggunakan teknik-teknik hipnosis sampai menghasilkan dampak positif pada kliennya tidak diijinkan berpraktek sementara mereka yang baru lulus kuliah dengan predikat akademisi diijinkan menggunakannya untuk berpraktik meskipun belajar baru setengah jalan.

Seiring waktu, beberapa orang yang jengah melihat kondisi ini mulai menjembatani celah ini. Diawali oleh Donald Gibbons, Ph.D., seorang

anggota ASCH yang juga berlatarbelakang sebagai seorang psikolog klinis. Gibbons melihat dengan objektif bahwa para hipnoterapis non medis-psikologi pun sebenarnya cakap menggunakan hipnosis sebagai media prakteknya membantu klien - di koridornya masing-masing - tanpa harus bersinggungan dengan kaidah-kaidah medis-psikologi formal, ia pun keluar dari ASCH dan bergabung dengan International Society of Professional

Hypnosis, serta kemudian menjadi direktur eksekutifnya.

Pionir lainnya, yaitu Dr. Arthur Winkler, yang menjembatani celah ini dengan mengadakan program pelatihan hipnosis-hipnoterapi tanpa membeda-bedakan latar belakang akademis para pesertanya. Dia memperoleh gelar doktornya di bidang psikologi klinis dan teologi namun kelak lebih memilih menjadi seorang hipnoterapis.

Hal ini kemudian turut diperlancar oleh aksi dari para tokoh-tokoh lain yang ingin menjembatani celah yang ada, di antaranya Dr. Bernie Siegel, yang banyak menggunakan hipnosis untuk pengobatan kanker, ia sempat mengedukasi metode hipnosis-hipnoterapi dan keberadaan hipnoterapis dalam bukunya, Love, Medicine & Miracles:

“Seorang hipnoterapis sangatlah membantu dalam awal penanganan, terutama jika klien memiliki masalah dalam memasuki kondisi relaksasi yang dalam. Tidak jadi soal apakah yang memfasilitasi sesi meditatif pertama ini adalah dokter, konselor, hipnoterapis atau pasien itu sendiri…(hal. 230)”

Kontribusi Dr. Siegel turut didukung oleh beberapa tokoh lain seperti Dr. Irene Hickman, Dr. Edith Fiore, Dr. James Russel, Dr. Maurice Kouguell dan beberapa praktisi lainnya.

Di kemudian hari celah ini semakin terjembatani oleh munculnya kesadaran dan kedewasaan berpikir dari para praktisi bahwa yang

terpenting adalah masing-masing tetap menjaga kode etik profesi tanpa melanggar batasannya masing-masing, seorang hipnoterapis boleh berapraktek secara profesional dengan mengikuti aturan dan kode etik yang berlaku, namun sebagai seorang yang tidak berlatar belakang medis atau psikologi formal maka mereka pun tetap harus merekomendasikan kliennya menemui praktisi yang berwenang jika mendapati kasus yang ditanganinya berkaitan dengan analisa medis-psikologi formal.

Hal ini juga turut diwarnai dengan berkembangnya aturan-aturan yang memperketat standar kelulusan seorang hipnoterapis agar tetap bisa mempertanggungjawabkan keilmuannya pada masyarakat, salah satunya dengan menetapkan standar minimal durasi pembelajaran dan standar penguasaan kompetensi yang lebih ketat.

Dr. John Kappas, pendiri Hypnosis Motivation Institute, adalah salah seorang tokoh yang mempelopori perijinan dan standarisasi kurikulum pembelajaran sekolah hipnosis-hipnoterapi, kemudian disusul dengan berkembangnya Council of Professional Hypnosis Organization (COPHO) yang juga bekerjasama dengan badan resmi kenegaraan lainnya untuk menetapkan standar yang lebih ketat untuk pembelajaran hipnoterapis.

Bagaimana dengan Indonesia? Sebagaimana sudah diungkapkan sebelumnya, hipnosis-hipnoterapi adalah bagian dari metode pengobatan komplementer, begitu juga di negara kita, maka pengurusan ijin praktik pengobatan komplementer ini diproses melalui Dinas Kesehatan setempat di kota tempat kita berpraktek. Setiap daerah memiliki penggolongan yang berbeda tentang perijinan hipnoterapi, bagi daerah yang masih menggolongkannya sebagai pengobatan spiritual maka akan melibatkan Kejaksaan dalam perurusan perijinannya.

Tidak semua praktisi hipnoterapi di Indonesia berpraktek dengan ijin Dinas Kesehatan, saya pribadi tidak berkeinginan berkomentar lebih jauh

dalam hal ini, namun dalam perspektif saya sendiri aspek profesional dan legalitas sangatlah penting adanya, itulah mengapa saya selalu mewajibkan para tim associate hypnotherapist di lembaga saya untuk mengurus perijinan praktek resminya ke Dinas Kesehatan.

Tergantung dengan siapa Anda membicarakannya, hipnosis selalu menjadi sebuah bahasan yang sangat menarik, ada begitu banyak anggapan miring dan miskonsepsi yang beredar tentang keilmuan ini, bahkan di kalangan terpelajar sekali pun. Seolah kata ‘hipnosis’ - yang lebih dikenal sebagai

‘hipnotis’ di masyarakat - adalah sebuah kata yang tabu dan membawa

banyak masalah, terutama jika dihubungkan dengan tindak kejahatan. Hal ini juga yang dulu membuat hipnosis-hipnoterapi memerlukan waktu tersendiri untuk kemudian bisa diterima oleh organisasi medis-psikologi internasional sebagai sebuah keilmuan ilmiah.

Sebagai sebuah keilmuan yang ilmiah, rasanya menjadi sebuah ironi bahwa hipnosis masih ‘tersudutkan’ dengan berbagai stigma miring yang dilekatkan padanya, hanya karena kurangnya pengetahuan dan wawasan yang memadai akan keilmuan ini.

Adalah sebuah tanggungjawab profesi bagi saya sebagai hipnoterapis untuk turut mengedukasi masyarakat akan keilmuan ini, begitu juga Anda jika kelak memutuskan terjun dan berpraktek sebagai seorang hipnoterapis. Untuk itu, mari pahami bersama beberapa miskonsepsi yang beredar di masyarakat tentang hipnosis dan bagaimana meluruskannya.