• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAWAH SADAR

2. Sichort state (Ultra Depth®)

Berawal dari seorang bernama Walter A. Sichort, yang merupakan seorang pesulap dan praktisi hipnosis yang biasa menampilkan atraksi memukau bersama asistennya yang bernama Mary Borgessi, yang dipandunya memasuki kondisi Esdaile state.

Suatu hari Sichort memberikan sugesti pada Mary untuk memasuki level yang lebih dalam dari pada level mana pun yang ia pernah masuki, saat itu juga Mary memasuki level kesadaran yang belum pernah ditemukan sebelumnya, Sichort sendiri tidak bisa membangunkannya ke kesadaran normal dengan cara biasa, melainkan lebih lama dari biasanya.

Rasa penasaran Sichort membawanya meneliti level kedalaman ini lebih lanjut sampai kemudian ia menemukan cara khusus memandu orang lain untuk mengaksesnya dengan efektif dan mencaritahu manfaatnya lebih jauh, ia pun memberi nama level ini Ultra Depth®.

Penelitiannya lebih jauh menyadarkannya bahwa level ini memungkinkan penyembuhan penyakit fisik terjadi dengan lebih cepat

6 sampai 10 kali lipat dalam diri seseorang, penelitian ini turut didokumentasikan oleh dokter dari Philadelphia: Dolman dan Markow.

Walter A. Sichort meninggal pada bulan Agustus, tahun 2000. Penelitiannya diteruskan dan dikembangkan oleh muridnya, James R. Ramey yang kemudian menyebarkan keilmuan ini sampai sekarang.

Memahami trance memang memerlukan keilmuan dan pemahaman, terutama untuk memahami manfaat spesifik dari setiap levelnya, namun dalam pelaksanaannya kita memerlukan lebih dari sekedar ilmu, melainkan seni, yaitu cara mengemasnya menjadi sebuah keindahan.

Dikatakan oleh Roy Hunter bahwa hipnosis adalah keilmuan dan seni (science and art), saya pribadi menemukan hal itu adalah benar adanya. Sebagai landasan dari sesi terapi yang efektif, perjalanan memahami manfaat dari level-level trance memberikan banyak pencerahan bagi saya secara pribadi.

Terberkati dengan kesempatan untuk belajar berbagai macam keilmuan mulai dari psikoterapi konvensional seperti psikoanalisa dan psikodinamika sampai ke berbagai keilmuan modern seperti NLP, EFT,

Time Line Therapy®, Ego State Therapy dan banyak lagi, semua itu

menyadarkan saya bahwa esensi terpenting dari semua keilmuan itu adalah untuk mengupayakan perubahan di level pikiran bawah sadar.

Meski penerapan tekniknya mungkin berbeda, satu esensi yang sama adalah di setiap metode itu terdapat kondisi trance sebagai jembatan menuju ‘perbaikan’ di pikiran bawah sadar, disinilah kecakapan kita diuji

untuk menciptakan seni berkomunikasi yang bisa memunculkan kondisi

trance ini sesuai dengan kebutuhan.

Apa pasal disebut seni? Karena tak lain dan tak bukan ada keindahan di dalamnya. Terlepas dari seberapa jauh kita memahami teorinya, tetap saja praktek adalah penentunya, meski kita memahami prinsipnya, yang kita hadapi adalah manusia, yang harus diperlakukan dengan telaten, dengan karakter dasarnya masing-masing agar karakter dasar trance itu bisa tereksplorasi dengan baik.

Sebagai seorang life coach, saya dihadapkan dengan banyaknya sesi percakapan coaching interaktif dengan klien di luar sesi terapi, nyata sekali adanya bahwa dalam percakapan itu pun klien acap kali berada dalam kondisi trance dengan ciri khasnya masing-masing. Kepekaan untuk mengenali dan memberdayakan respon trance itulah yang bagi saya menjadi sebuah seni tersendiri untuk bisa dieksplorasi.

Beberapa tahun terakhir ini saya mengaplikasikan pendekatan multi

modal, mengaplikasikan berbagai macam metode, baik klasik dan modern

dalam sesi coaching dan konseling klien sebelum memandunya memasuki proses terapi. Setiap proses trance yang dialami klien dari mulai yang paling ringan sampai yang paling dalam menjadi sebuah pembelajaran tersendiri, betapa bukan soal semata dalamnya kondisi trance yang menentukan proses perubahan, melainkan daya dan kepekaan kita untuk menyesuaikan setiap kondisi trance klien dengan teknik yang tepat, itulah seni dan keindahannya.

Dalam beberapa kesempatan, klien saya tersembuhkan atau mengalami perubahan signifikan hanya di level light trance, sekali lagi bukan soal dalamnya, melainkan memahami bahwa dalam kondisi trance pikiran bawah sadar sudah mulai berperan lebih aktif, tugas kita hanya

menjembatani komunikasinya dengan pikiran sadar agar segala-sesuatunya terintegrasi dan menghasilkan perubahan.

Namun ada kalanya juga klien memerlukan level kedalaman yang lebih dalam dari biasanya, contohnya ketika dulu seorang klien datang dengan keinginan mengatasi rasa sakit yang dialaminya. Klien ini baru saja menjalani operasi pembedahan dan bekas pembedahan itu meninggalkan rasa sakit yang lumayan mengganggunya, berbekal konsultasi dengan dokternya yang cukup berwawasan terbuka, ia direkomendasikan menjalani sesi hipnosis untuk pengelolaan rasa sakit.

Saya sendiri tidak memberikan sesi hipnosis yang berhubungan dengan medis, kecuali ada rekomendasi dari praktisi kesehatan yang berwenang atas diri klien. Berbekal rekomendasi dari dokter yang menanganinya, maka dalam kasus ini saya pun membantu klien memasuki level trance dimana ia bisa mengendalikan rasa sakitnya sehingga tidak mengganggunya secara berlebih.

Perhatikan bahwa bukan soal ringan atau dalamnya level trance, melainkan menyesuaikannya dengan kebutuhan klien itu sendiri. Dalam beberapa kesempatan saya juga berjumpa dengan orang-orang yang karena satu dan lain hal sulit berkonsentrasi mendengar sugesti untuk waktu yang lama sehingga proses memandu mereka ke level trance yang sesuai pun menjadi tantangan tersendiri, dalam beberapa kesempatan di kasus ini saya lebih banyak menggunakan teknik terapi yang memang didesain untuk dilakukan dalam kondisi light trance. Meskipun demikian, sebagaimana topik buku ini adalah mengurai hipnosis-hipnoterapi, Anda tetap wajib memahami esensi memandu seseorang ke level kesadaran yang sesuai untuk sesi terapi, dalam hal ini yaitu profound somnambulism, karena itulah level ideal untuk mempraktekkan segenap teknik yang dibahas dalam buku ini, Anda akan menemukan caranya pada waktunya nanti.

Jelas kiranya dalam posisinya sebagai sebuah ‘kondisi’, Hipnosis adalah fenomena yang umum terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan menjadi perlambang kondisi perpindahan kesadaran (trance). Dalam bahasannya yang lebih fundamental, bisa kita temukan juga bahwa terdapat apa yang kita sebut sebagai non-formal trance dan formal trance.

Namun demikian, dimana sajakah konteks penggunaan hipnosis ini bisa kita temukan sekarang ini? Mari memulainya dengan konteks yang paling umum dan mudah ditemukan, bahkan konteks yang satu ini juga yang menjadikan banyaknya miskonsepsi hipnosis terjadi, yaitu stage

hypnosis atau hipnosis panggung.

Bayangkan sejenak, seseorang yang dikenal sebagai ‘ahli hipnotis’ memasuki panggung dengan kostum bernuansa misterius, diiringi lagu dan efek panggung yang memukau, ia lalu memanggil beberapa orang dari penonton untuk naik ke panggung, menjentikkan jari di depan wajah mereka sambil mengatakan “tidur!”

Tak butuh waktu lama bagi orang-orang itu terkulai lemas tak berdaya, disusul dengan sang ‘ahli hipnotis’ yang memberikan beberapa sugesti yang membuat orang-orang itu menampilkan tingkah laku yang aneh dan menjadi bahan tertawaan, seolah tidak memiliki kendali untuk menolak sugesti yang diberikan sang ‘ahli hipnotis’ yang ‘sakti’ tersebut.

Apakah Anda familiar dengan situasi di atas? Jika Anda termasuk mereka yang rajin menonton acara hiburan di televisi, sangat mungkin latar cerita itu adalah salah satu yang pernah Anda temukan dan membuat Anda terheran-heran karenanya ketika masih awam dulu.

Di Bab 2 kita sudah membahas miskonsepsi tentang hipnosis, bahwa hipnosis tidak bisa dilakukan pada sembarang orang, begitu juga orang yang dihipnosis tetap memegang kendali atas dirinya, lantas mengapa kesemua hal yang ditayangkan justru seolah berlawanan dengan apa yang diuraikan dalam buku ini?

Waktunya kita ungkap rahasia di balik itu semua!

Untuk mengawalinya, mari sadari bahwa di balik penampilan yang memukau itu tersimpan persiapan yang sangat matang dan terencana, sang

stage hypnotist memasuki panggung dan memanggil beberapa sukarelawan

untuk naik. Sejauh ini saja sang stage hypnotist sudah memahami dua hal sederhana:

Pertama, mereka yang bersedia naik ke panggung sudah tahu bahwa isi acara itu adalah hipnosis, hal ini saja sudah meminimalisir keberatan dan mengkondisikan mereka bahwa mereka akan ‘dihipnosis’.

Kedua, para sukarelawan ini dalam tingkatan yang berbeda menyukai untuk ‘tampil’ di depan orang lain, dengan kata lain suka menjadi pusat perhatian, kalau pun mereka melakukan hal-hal yang aneh dan menjadi bahan tertawaan mereka bisa menyalahkan hipnosis sebagai penyebabnya.

Yang perlu diantisipasi adalah adanya orang-orang yang ‘tidak kondusif’ yang bisa merusak jalannya acara, maka yang dilakukan Stage

hypnotist adalah ‘menyeleksi’ para sukarelawan ini dengan berbagai

mendapatkan kepastian siapa saja sukarelawan yang kondusif untuk menjadi ‘bintang’ selama acara berlangsung.

Apa yang terjadi ketika para ‘bintang’ ini mendapatkan perhatian lebih, baik dari stage hypnotist dan para penonton? Ya, ‘tekanan panggung’ untuk bisa menampilkan yang terbaik, di titik ini secara psikologis mereka sudah terkondisikan untuk ‘bertingkah aneh’ di depan para penonton agar acara berlangsung seru dan meriah.

Riset menunjukkan bahwa orang-orang lebih berani mengambil resiko jika mereka tidak harus bertanggungjawab atas apa yang dilakukannya dan memiliki alasan untuk dituduhkan, misalnya saja dalam pengaruh alkohol, obat-obatan dan…yes…hipnosis menjadi salah satunya!

Dimulailah acara yang penuh kelucuan dan kemeriahan, para ‘bintang’ di panggung menampilkan aksinya, pikiran bawah sadar mereka pun menikmati sorotan perhatian dari teman-temannya, mereka tahu kalau pun mereka menjadi bahan tertawaan, ada hipnosis sebagai biang keladinya.

Mempelajari stage hypnosis bukan perkara sulit, melalui pelatihan singkat Anda pun akan bisa mempraktekkanya, yang menantang adalah mengadaptasinya sebagai sebuah sikap tampil, karena hal ini berhubungan dengan kepercayaan diri dalam menampilkan sosok diri yang representatif.

Tidak bisa dipungkiri, populernya hipnosis melalui acara-acara hiburan panggung memang meningkatkan minat dan keingintahuan masyarakat untuk lebih membuka mata dalam memerhatikannya, namun belum tentu serta-merta mereka akan membuka hati dan pikirannya!

Inilah yang saya maksudkan sebagai pisau bermata dua, di satu sisi popularitas acara ini meningkatkan nama hipnosis di kalangan masyarakat namun memicu lahirnya dua miskonsepsi.

Pertama, munculnya anggapan bahwa hipnosis bisa dilakukan sembarangan dan membuat seseorang kehilangan kendali atas dirinya ketika ia berada dalam kondisi hipnosis, pemaparan ini sudah kita ulas secara komprehensif di akhir Bab 2 sebelumnya. Hal ini menjadikan klien terkadang memiliki ketakutan tersendiri untuk memasuki proses hipnosis.

Kedua, munculnya miskonsepsi bahwa hipnosis bisa menjadi sebuah solusi instan dalam mengatasi masalahnya. Sering kali kata ‘instan’ dalam hal ini mengacu pada suatu tenggat waktu yang acap kali tidak realistis. Hal ini membuat beberapa klien mencari sesi terapi sebagai penyelesaian instan atas masalah yang dihadapinya.

“Bukannya hanya jentikkan jari terus masalahnya selesai ya?”

Demikian beberapa orang awam membatin. Logikanya, jika demikian bukankah tidak akan ada masalah-masalah emosional di muka bumi ini? Jika demikian bukankah satu keilmuan ini bisa menggantikan berbagai macam keilmuan lain di muka bumi?

Well, faktanya tidak demikian adanya. Ada sebuah proses yang harus

dijalani dalam proses terapi sampai seseorang bisa benar-benar terbebaskan dari masalahnya sampai tuntas, memang ada beberapa masalah yang bisa terselesaikan dalam waktu 1 atau 2 sesi saja, tapi itu bukanlah jaminan bahwa setiap kasus akan semudah itu.

Itulah mengapa saya dan tim tidak pernah serta-merta memberikan layanan terapi begitu saja, selalu harus diawali dengan sesi konsultasi terlebih dahulu untuk bisa mengetahui cakupan permasalahan klien dan mengetahui ekspektasi klien atas jalannya sesi terapi bagi dirinya.

Meskipun demikian, populernya keilmuan hipnosis di panggung hiburan tetap harus diapresiasi karena berkatnyalah mata masyarakat terbuka atas sebuah keilmuan yang unik ini. Tugas para praktisi hipnoterapilah kelak untuk mengedukasi masyarakat lebih jauh perihal realita dan manfaat lebih detail dari keilmuan ini. Dengan kata lain, setelah mata mereka terbuka atas keberadaan keilmuan ini, waktunya kita membuka hati dan pikiran mereka untuk menerima keberadaan keilmuan ini sebagai sebuah fenomena ilmiah yang memiliki proses tersendiri.

Di balik terlaksananya proses hipnosis yang sukses dan konsisten tersimpan sebuah ‘formula’ penyusun. Roy Hunter menguraikan formula penyusun ini sebagai berikut:

1. Belief (keyakinan)

Pada dasarnya hipnosis terjadi karena adanya keyakinan yang kuat sebagai landasannya. Keyakinan pertama bermula dari kepercayaan diri sang penghipnosis bahwa ia mampu untuk menghipnosis subjek dan keyakinan kedua bermula dari keyakinan subjek bahwa sang penghipnosis mampu menghipnosis dirinya.

Itulah mengapa dalam stage hypnosis, sang stage hypnotist akan berdandan sedemikian rupa dan mengatur suasana agar nampak mistis dan menunjukkan dirinya adalah orang yang ‘sakti’. Didukung oleh ketidaktahuan penonton akan fenomena hipnosis yang sebenarnya lantas meyakini bahwa sang stage hypnotist adalah orang yang memiliki daya magis atas dirinya, maka proses hipnosis pun terjadi dengan lebih mudah.

Di sisi lain, kepercayaan diri sang penghipnosis pun memegang peranan penting, keraguan dalam dirinya bahwa ia mampu menghipnosis subjek akan terefleksikan keluar dan pikiran bawah kadar klien akan menyadarinya, yang terjadi biasanya hal ini membuat prosesnya menjadi lebih bertele-tele.

Kepercayaan subjek bahwa sang penghipnosis merupakan tokoh sakti adalah salah satu hal yang banyak digunakan di model-model penyembuhan tradisional dimana seorang penyembuh dengan ‘kuasa magisnya’ membuat pasiennya memasuki kondisi trance dan menstimulus terjadinya kesembuhan dalam kondisi tersebut.

2. Expectancy (harapan)

Subjek mungkin saja sudah meyakini bahwa sang penghipnosis mampu menghipnosis dirinya, namun jika ia sendiri pada dasarnya tidak menghendakinya maka hal itu tidak akan berjalan optimal, bahkan tidak akan terjadi.

Perhatikan bahwa kata yang digunakan untuk mewakili orang yang terhipnosis adalah ‘subjek’ dan bukan ‘objek’, artinya proses hipnosis sebenarnya terjadi karena adanya harapan dari pihak subjek yang ‘menginginkan’ proses hipnosis dan ‘mengijinkan’ itu terjadi.

Harapan ini turut ditentukan dari kepercayaan subjek atas penghipnosis, dengan kata lain adanya jaminan rasa aman baginya untuk memasuki kondisi hipnosis. Sering kali dalam sesi terapi yang menghambat seseorang untuk masuk ke pikiran bawah sadarnya adalah karena adanya rasa takut, yang muncul karena adanya miskonsepsi tentang hipnosis itu sendiri. Maka penting bagi seorang hipnoterapis untuk mengedukasi kliennya tentang hipnosis dalam sesi

3. Imagination (imajinasi)

Berhubungan dengan kemampuan fokus dan nalar klien untuk mengikuti sugesti yang diberikan, yang satu ini memerlukan kecakapan hipnoterapis untuk mencocokkan caranya memandu klien memasuki level trance dengan menggunakan sugesti yang mudah dicerna oleh imajinasi klien.

Memandu orang dewasa dan anak kecil memasuki level trance jelas memerlukan penggunaan gaya komunikasi yang berbeda, karena kemampuan nalar dan imajinasi keduanya berbeda. Seorang hipnoterapis perlu memahami cara praktis memandu klien dengan sugesti yang mudah dipahami oleh klien itu sendiri sehingga proses berpikir dalam dirinya terjadi dengan otomatis tanpa harus memikirkan ulang sugesti yang diberikan, ketika klien malah sibuk memikirkan dan mempertanyakan sugesti yang didengarnya maka area kritisnya aktif dan menghambatnya memasuki trance.

Berbeda dengan proses terapi dimana kolaborasi dan keterbukaan antara klien dan terapis memegang peranan penting, stage hypnosis cenderung menjadi ajang hiburan yang menonjolkan figur sang stage

hypnotist, maka wajar adanya jika justru kemasannya dibuat serahasia dan

semisterius mungkin agar memudahkan pengkondisian psikologis dalam diri penonton untuk menjalani proses hipnosis nantinya.

Ngomong-ngomong, keyakinan dan harapan yang dibahas di poin-poin

di atas bukan hanya yang terjadi secara sadar, melainkan juga berdasarkan yang terkondisikan di pikiran bawah sadar. Dalam sebuah kesempatan saya memberikan pelatihan komunikasi di sebuah instansi, seorang peserta menyatakan bahwa ia ingin merasakan yang disebut kondisi hipnosis, saya pun mempersilakannya maju ke depan.

Dari sesi obrolan dengannya di panggung saya menangkap tanda bahwa peserta ini sebenarnya hanya ingin iseng dan ‘mencoba-coba’, gaya berkomunikasi dan bahasa tubuhnya bahkan menyiratkan ia sebenarnya sangat berhati-hati dan mewaspadai prosesnya.

Saya tidak menjanjikan apa pun, melainkan hanya mengatakan “Mari lihat apa yang mungkin terjadi.” Dalam prosesnya ternyata ia memasuki level trance yang sangat dalam sampai-sampai terjadi ‘pertentangan’ dalam dirinya (ingat fenomena dissociation), di satu sisi ia heran dan ingin menghentikan prosesnya tapi di sisi lain kesadarannya terus terhubung dengan sugesti saya dan terus membawanya ke level yang begitu dalam.

Apakah itu membuktikan saya sakti? Sama sekali tidak, hanya saja sepanjang proses pelatihan berlangsung saya sudah menjalin hubungan lebih dalam dengan pikiran bawah sadar para peserta, memperoleh kepercayaan mereka dan mereka sendiri sudah meyakini bahwa saya mampu menghipnosis mereka, sehingga sepanjang prosesnya berlangsung pikiran bawah sadarnyalah yang memegang kendali dalam mengikuti sugesti yang saya sampaikan padanya.

Dalam dunia medis sejak lama dikenal istilah efek placebo, dimana keyakinan positif klien atas metode atau obat yang dijalaninya turut membantu proses penyembuhan, karena ia benar-benar meyakininya dengan sepenuh hati maka kesembuhan benar-benar terjadi. Sebaliknya, keyakinan negatif atas jalannya proses medikasi berpotensi memicu yang disebut efek nocebo, yang bekerja dengan cara sebaliknya.

Seorang psikolog bernama Irving Kirsch mengembangkan model sosiokognitif spesifik atas hipnosis yang dikenal sebagai response-set

theory yang menekankan pada pentingnya harapan dalam perawatan.

Bahkan Kirsch menguraikan dengan lebih mendetail bukti-bukti bahwa hipnosis sendiri memberikan efek positif karena adanya harapan positif dari pihak klien/pasien itu sendiri.

Namun apakah hipnosis benar-benar hanya sekedar placebo? Faktanya percobaan yang dilakukan Walter Sichort yang melahirkan pemahaman akan Ultra Depth® menjawab pertanyaan ini bahwa di level kesadaran tertentu, keterhubungan tubuh dan pikiran terintegrasi dengan begitu baik sampai-sampai kesembuhan bisa terjadi dengan lebih cepat.

Secara umum, hipnosis bisa menjadi bagian penting dari proses medikasi, yang terbagi atas beberapa hal: bagian pertama, sebagaimana sudah diungkapkan sebelumnya, yaitu membuka batasan berpikir klien/pasien atas kondisi yang dialaminya, dengan kata lain memunculkan lebih banyak harapan positif. Hal ini penting dalam membantu seorang pasien yang terpuruk secara emosional atas kondisi medis yang dialaminya dan merasa tidak ada harapan untuk bertahan hidup.

Bagian kedua, hipnosis mengajak klien/pasien untuk lebih memegang kendali atas pengalaman dan sensasi internal dirinya, mengajak mereka lebih menjadi ‘tuan atas kesadarannya sendiri’, apakah itu yang bersifat fisiologis atau pun psikologis, membuat mereka lebih rileks dan santai atau pun mengelola rasa sakitnya (pain management).

Cakupan hipnosis dalam mengelola rasa sakit banyak digunakan dalam

pain management, proses melahirkan dan untuk pembiusan pra-operasi

(anesthesia) dengan tanpa melibatkan obat bius, melainkan hanya menggunakan kondisi trance untuk memanipulasi rasa sakit.

Ada kalanya juga seseorang terkena masalah medis menahun yang tak kunjung sembuh, namun ketika diperiksa tidak ada indikasi masalah

medis apa pun, inilah yang dikenal sebagai psikosomatis, sensasi sakit fisik yang termanifestasikan dari emosi. Dalam hubungannya dengan penyakit psikosomatis, hipnoterapi memberikan salah satu alternatif untuk bisa mengungkap penyebab sebenarnya di dalam pikiran bawah sadar yang menjadikan penyakit psikosomatis itu muncul dan menuntaskannya.

Meski manfaatnya luar biasa dan sudah ada ribuan orang yang memetik manfaat positif dari diaplikasikannya hipnosis dalam dunia medis, ada tiga hal penting yang sedianya kita pahami dalam penggunaannya di dunia medis:

1. Hipnosis-hipnoterapi adalah sebagai salah satu bentuk terapi komplementer yang sifatnya melengkapi dan bukan dimaksud untuk menggantikan terapi atau pengobatan medis formal lainnya.

2. Penggunaan teknik hipnosis yang secara spesifik diperuntukkan untuk keperluan medis seperti pengelolaan rasa sakit, anesthesia dan hipnosis untuk membantu proses kelahiran hendaknya difasilitasi oleh praktisi kesehatan resmi seperti dokter dan perawat, yang memahami seluk-beluk medis secara mendalam.

3. Hipnoterapis yang mendapatkan klien dengan keluhan psikosomatis hendaknya memastikan terlebih dahulu latar belakang medis klien dan memintanya memastikan terlebih dahulu kondisi psikosomatisnya dengan dokter, bahkan jika memungkinkan mintakan surat referensi dari dokter yang menyatakan bahwa dokter merekomendasikan pasien yang bersangkutan untuk menjalani penanganan psikologis.

Salah satu aspek lain hipnosis dalam medis yang juga tak kalah pentingnya dan mulai berdiri sebagai sebuah seni dan keimuan tersendiri adalah penerapan hipnosis dalam ilmu kedokteran gigi (dentistry), yang dikenal dengan nama resmi hypnodontics.

Dokter gigi yang cakap mengaplikasikan hypnodontics dalam prakteknya bisa menggunakan hipnosis untuk meredakan kecemasan yang dialami pasiennya dan membuat pengalaman pasien menjalani perawatan gigi menjadi terasa rileks dan lebih menyenangkan.

Masih berhubungan dengan pain management, seorang dokter gigi yang memahami seluk-beluk hypnodontics juga akan mampu membantu pasiennya mengelola rasa sakit yang dialaminya, sehingga pasien bisa menjalani sesi penanganannya tanpa menjalani pembiusan formal dengan obat-obatan, seperti novocaine misalnya.

Dalam pencabutan gigi yang menyebabkan pendarahan, hypnodontics juga bisa diaplikasikan untuk membantu pengaturan aliran darah, hal ini