terbentang di hadapan yang mengantarkan saya untuk menekuni sebuah profesi yang kelak menjadi sebuah panggilan hidup (life calling).
Pembelajaran dan pengalaman mempraktekkan hipnosis-hipnoterapi jugalah yang menyajikan saya berbagai jawaban atas polemik free will dalam diri manusia, betapa sebuah kehendak bebas bisa disabotase oleh ‘kehendak bebas lain’ dalam diri yang tidak disadari.
Bagaimana bisa begitu? Jawabannya ada pada lapisan atau level kesadaran dalam diri manusia, betapa Tuhan menciptakan manusia dengan lapisan-lapisan kesadaran dalam diri dimana setiap lapisan kesadaran tersebut memiliki fungsi dan kehendak bebasnya masing-masing. Konflik antara satu lapisan kesadaran dengan lapisan lainnya dengan free will-nya masing-masing inilah yang kemudian menjadi polemik internal.
Hipnosis-hipnoterapi telah menjadi sebuah keilmuan fenomenal yang menjadi saksi atas evolusi peradaban dan pemikiran manusia. Dari yang semula dianggap sebagai keilmuan magis dan mistis sampai kemudian dipahaminya keilmuan ini sebagai sebuah fenomena ilmiah dan kemudian diakuinya keilmuan ini oleh berbagai institusi internasional sebagai sebuah keilmuan yang valid dan bisa dipertanggungjawabkan dan sampai saat ini telah berkontribusi besar membantu jutaan orang di berbagai penjuru dunia untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidupnya.
Pada tahun 1970, Alfred A. Barrios, Ph.D., dalam literaturnya yang berjudul ‘Hypnotherapy: A Reappraisal - Psychotherapy: Theory, Research
and Practice’, menuangkan survey yang dilakukannya untuk mengetahui
persentase perbaikan dari beberapa modalitas terapi, didapatlah persentase bahwa hipnoterapi teruji memberikan kemajuan 93% dalam 6 sesi dibandingkan beberapa modalitas lain yang menunjukkan kemajuan kurang dari 50%, dengan jumlah penanganan yang bisa mencapai puluhan sesi.
Hal ini tentu perlu kita sikapi dengan bijak, meski dinyatakan efektif tetap saja ketajaman hipnoterapi bergantung pada penggunanya dalam memahami penggunaan teknik yang tepat untuk masalah yang tepat. Lebih jauh lagi, dalam lingkup profesional kita pun perlu menyadari bahwa hipnoterapi tetap memiliki batasan ruang gerak yang tidak boleh dilanggarnya untuk penanganan kasus-kasus tertentu.
The Big Book of Professional Hypnotherapist merupakan buku
pertama yang dimaksudkan membahas hipnosis-hipnoterapi secara komprehensif dan terstruktur. Apa yang ada dalam buku ini diintisarikan dari pengalaman pribadi saya dalam mempelajari dan mempraktekkan hipnosis-hipnoterapi selama bertahun-tahun lamanya.
Saya mendapati semakin terbukanya hati, pikiran dan animo masyarakat akan keilmuan ini belumlah berimbang dengan ketersediaan literatur yang memadai, yang mengupas keilmuan ini sedari awal secara progresif dan aplikatif. Mereka yang sibuk berpraktik belum tentu sempat menuliskannya dalam bentuk buku. Sebaliknya, mereka yang pandai menulis dan - sekedar - memahami hipnosis-hipnoterapi pun belum tentu memiliki jam praktek yang memadai yang menjadi bekal bagi mereka untuk menuliskan buku yang aplikatif berdasarkan kasus nyata.
Puji syukur, di tengah sibuknya waktu untuk berpraktik dan mengisi pelatihan saya masih diberi-Nya kesempatan untuk bisa fokus menulis dan menyelesaikan buku ini, semoga apa yang tertulis di dalamnya menjadi manfaat tersendiri bagi Anda untuk turut ‘menyelami’ keilmuan ini.
“Saya sudah putus asa pak, beragam obat sudah saya coba, entah kenapa sampai sekarang rasa panik itu terus menyerang tanpa sebab yang jelas. Sekali rasa panik itu datang macam-macam rasanya, pusing, mual, badan dingin, tensi darah naik, jantung berdegup kencang, pokoknya tidak karuan rasanya, saya tidak kuat lagi menahan semua ini, seolah ingin mati saja!”
Untaian kalimat tadi menjadi pembuka obrolan saya dengan Ibu Rani (bukan nama sebenarnya) di sesi konsultasi pra-terapi yang menjadi ketentuan sebelum menjalani konseling atau terapi di kantor saya. Gerakan tangannya yang tidak beraturan dan ekspresi mukanya yang berkerut sambil menahan sesak-tangis semakin menyiratkan bahwa masalah itu nampaknya sudah mengganggunya untuk sekian lama.
Begitulah, Ibu Rani, seorang wanita berusia lima puluhan tahun, menjalani hari-hari yang dipenuhi rasa cemas dan takut kalau-kalau rasa panik menyerangnya. Digeletakkannya berbagai jenis obat di meja konsultasi sambil diterangkannya bermacam-macam fungsi dari obat itu. Kurang lebih tujuh tahun silam ia dinyatakan menderita pannick attack (serangan panik) dan dimulailah hari-hari yang penuh penderitaan baginya, beragam obat harus disiapkan di tasnya kemana pun ia pergi karena serangan panik itu bisa terjadi dimana pun, bahkan di tempat ibadah yang bagi kebanyakan orang justru memberikan rasa tenang.
Bu Rani tidak sendirian, masih ada rentetan kisah-kisah lain yang tidak kalah mengherankannya. Seperti beberapa yang akan kita temukan di bawah ini (semua nama adalah nama samaran).
Tina, seorang mahasiswi tingkat awal di sebuah universitas bergengsi mengalami krisis kepercayaan diri. Dari SD sampai SMA ia selalu menempati peringkat tiga besar di kelas, tak dinyana memasuki jenjang perkuliahan memberikan goncangan tersendiri yang tidak diketahui asal-muasalnya. Ia sulit berkonsentrasi, dihantui kecemasan, tugas-tugasnya berantakan, prestasi belajarnya menurun dan semangat hidupnya meredup, semua itu tanpa sebab yang jelas baginya.
Lain lagi dengan Budi, seorang pemegang jabatan di sebuah instansi pemerintahan, ia memiliki ketakutan yang tak kalah menyiksanya, prestasi kerjanya diakui oleh orang-orang di instansinya, di balik cemerlangnya kinerjanya siapa yang menyangka bahwa tampil dan berbicara di depan umum merupakan sebuah siksaan yang sangat tak tertahankan baginya.
Atasan Budi menyarankannya mengikuti pelatihan public speaking karena menurut mereka karirnya akan semakin melejit andai saja ia mampu tampil dengan lebih percaya diri di depan umum. Budi pun melakukannya, ia belajar public speaking dengan tekun, ia sekarang tahu apa yang harus dikatakan ketika berdiri di hadapan orang banyak, hanya saja semua itu seolah sirna ketika ia melihat mata-mata penonton yang seolah menelanjanginya. Hasilnya? Jangan ditanya, Budi tidak pernah puas dengan semua itu, ia malah jadi membenci dirinya sendiri.
Menuliskan semua ini membuat saya pun teringat kembali perjumpaan dengan seorang klien pria, sebut saja namanya Andi. Tidak akan ada yang menyangka di balik penampilannya yang alim dan polos dirinya sebetulnya mengalami kecanduan pornografi luar biasa yang membuatnya setiap malam harus menonton minimal dua film porno, jika tidak maka ia akan
gelisah setengah mati dan sulit tidur. Di satu sisi, ketika menahan diri ia tidak bisa beristirahat dengan tenang dan kinerjanya memburuk, di sisi lain ketika ia membiarkan dirinya melakukan semua itu ia justru dihantui perasaan bersalah yang juga mengganggu hidupnya.
Jika kita coba telaah lebih jauh bukankah rasa-rasanya petikan-petikan kisah di atas tadi seolah menjadi hal yang familiar untuk kita temukan dewasa ini? Berbagai impuls emosi yang tak bisa dipahami yang berujung pada permasalahan perilaku? Konflik internal yang bermuara pada rasa frustrasi? Terbatasnya kesadaran diri untuk mengenali dan mengelola semua ini yang - jika tidak ditangani dengan tepat - berpotensi membawa seseorang ke titik keterpurukan mental-emosional dalam hidupnya?
Tak lupa, mari sejenak kita sadari merebaknya berita bunuh diri yang akhir-akhir ini terjadi di begitu banyak kalangan, mulai dari selebriti kelas dunia sampai ke orang-orang di sekitar kita, bukankah semua ini seolah menyiratkan adanya sebuah bahaya besar yang tersimpan di balik sebuah ‘lapisan kesadaran’ lain yang tidak kita pahami dalam diri, yang bisa jadi menyimpan sebuah bom waktu yang siap meledak kapan saja?
Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk yang paling sempurna karena adanya akal-pikiran, yang hendaknya membuat kita memiliki tingkat kesadaran yang lebih tinggi atas perasaan dan pikiran kita sendiri. Lantas apa yang membuat manusia sebagai makhluk yang ‘terpilih’ ini justru sering kali tidak kuasa mengendalikan pikiran dan perasaan dalam dirinya, yang menjelma menjadi beragam jenis permasalahan emosi dan perilaku?
Pertama-tama, mari sadari sebuah pemahaman yang melatarbelakangi berbagai petikan kisah-kisah di atas tadi dan juga melandasi terjadinya
banyak fenomena lain di sekitar kita yang berhubungan dengan munculnya berbagai jenis permasalahan perilaku, perasaan dan pikiran manusia yang berlawanan dengan keinginannya secara sadar.
Apa maksudnya ‘berlawanan dengan keinginan secara sadar’ pada kalimat di atas? Begini, dari perjumpaan saya dengan banyak klien yang menjalani sesi konsultasi, konseling dan terapi, baik itu untuk memperbaiki kondisi emosional atau perilakunya yang dianggap bermasalah, bisa dikatakan bahwa saya selalu menjumpai dua jenis klien.
Pertama, mereka yang menyadari bahwa sebetulnya mereka memang mengalami permasalahan emosi dan/atau perilaku yang merugikan diri mereka sendiri serta orang di sekitarnya, secara logis mereka sadar bahwa mereka tidak seharusnya berperilaku demikian dan mereka pun tahu apa perilaku berkebalikan yang sebenarnya harus dilakukannya, hanya saja sulit sekali melakukan perubahan yang mereka inginkan.
“Saya tahu rokok tidak baik bagi kesehatan saya dan keluarga, tapi entah kenapa sulit sekali menghentikan kebiasaan ini.”
“Makan makanan berlebih tidak baik untuk kesehatan dan saya pun tahu itu, namun sulit sekali mengendalikan nafsu makan ini.”
“Tidak baik marah-marah pada anak, saya sadar itu. Namun justru itu masalah saya, sulit mengendalikan emosi terhadap perilaku mereka, tanpa sebab yang jelas pun akhirnya saya sering memarahi mereka, hubungan kami pun memburuk jadinya.”
“Nasihat-nasihat yang saya terima dan proses perenungan membuat saya sadar bahwa saya harus menghentikan semua kebiasaan buruk saya, tapi tidak tahu kenapa hal itu terasa sulit sekali.”
“Secara logika, saya tahu kucing peliharaan adalah binatang yang tidak membahayakan, tapi melihatnya saja saya sudah gemetaran dan tidak bisa mengendalikan diri saya. Berulang kali saya mencoba memberanikan diri, tetap saja saya tidak bisa melakukannya.”
“Entah kenapa saya takut sekali berada di tempat mana pun sendirian, saya tahu bahwa sebetulnya situasinya tidak membahayakan dan tidak ada apa pun disana yang mengancam, namun entah kenapa rasa takut ini muncul tanpa bisa dikendalikan.”
“Orang-orang memuji hasil pekerjaan saya, saya pun tahu bagaimana mempresentasikan hal itu dan sudah melatihnya, tetap saja ketika dihadapkan dengan orang banyak saya gugup dan semua hilang.”
Beberapa petikan kalimat lain di atas adalah contoh dari klien yang saya maksudkan, yaitu mereka yang menyadari bahwa mereka terjebak di perilaku serta emosi yang bermasalah dan mereka pun sadar bahwa tidak sepatutnya mereka melakukan hal-hal tersebut, namun seolah ada ‘konflik’ tersendiri antara kesadaran yang menginginkan perubahan dengan ‘kesadaran lain’ yang menyabotase perubahan yang mereka upayakan.
Klien jenis kedua adalah mereka yang terjebak dengan permasalahan (biasanya emosi) yang mereka sendiri tidak sadari dinamikanya, namun hal itu kelak berimbas pada kualitas hidup mereka.
Dalam kasus kesehatan misalnya, dalam dunia medis kita mengenal istilah psikosomatis, atau masalah sakit fisik yang sebenarnya bersumber dari pikiran dan emosi. Sering kali pengidap penyakit ini menjalani pemeriksaaan dan perawatan medis yang membingungkan diri mereka sendiri, karena berbagai hal yang mereka jalani menyatakan mereka baik-baik saja namun mereka terus tersiksa dengan masalah yang dialaminya.
Ada juga orang-orang yang mengalami permasalahan tertentu dalam aspek kehidupannya berulang-ulang dan seolah menjadi sebuah ‘pola’ dalam hidupnya, misalnya mereka yang ketika menjalin hubungan selalu dikhianati pasangannya atau mengalami permasalahan dalam karir dan bisnis yang berulang-ulang terjadi tanpa sebab yang jelas.
Sebagian orang mungkin beranggapan bahwa fenomena ini adalah bagian dari nasib. Terlepas dari hal ini benar adanya, pengalaman saya memfasilitasi sesi konseling dan terapi mengungkap hal lain, ‘sabotase’ yang muncul berulang dalam aspek kehidupan seseorang ternyata sering kali juga turut disebabkan oleh sebuah lapisan kesadaran dalam dirinya yang memang menjadikan hal itu terjadi padanya.
Baik itu klien jenis pertama atau kedua, sesungguhnya keduanya menyiratkan pesan yang sama, yaitu betapa sebagai manusia kita sering dibingungkan dengan adanya konflik antara satu kesadaran dalam diri kita yang menginginkan perubahan positif, yang seolah dihalangi oleh satu kesadaran lain yang tidak menghendaki itu terjadi.
Jika sebuah poci mengeluarkan teh ketika dituangkan maka kita tentu bisa menebak bahwa isinya adalah teh, begitu juga jika ketika dituang dan mengeluarkan air putih, kita pun sudah tentu bisa menebak bahwa isinya adalah air putih, yang bisa kita lakukan untuk memastikannya adalah dengan membuka tutupnya dan mengintip ke dalamnya.
Begitu juga dengan perilaku atau respon emosional, sesungguhnya menyimbolkan segala-sesuatu yang ada dalam pikiran kita karena pikiran adalah tempat dimana segala-sesuatu berawal, namun mengetahui isi
pikiran tidak sesederhana mengetahui isi dari sebuah poci yang bisa diketahui hanya dengan membuka tutupnya dan mengintip isinya.
Pikiran adalah sebuah dunia misteri tanpa batas yang hanya bisa dipahami sepenuhnya oleh Tuhan YME, selaku yang menciptakan dunia beserta isinya, termasuk manusia dan pikirannya. Apa yang sudah para ilmuwan lakukan sejauh ini melalui berbagai penelitian tentang otak, syaraf dan psikologi modern pun baru bisa menyingkap sedikit saja tentang cara kerja pikiran, masih lebih banyak hal yang kiranya belum kita ketahui.
Namun demikian, paling tidak, perlu kita syukuri bahwa beberapa teori yang telah dikemukakan sampai saat ini bisa kita jadikan acuan-acuan mendasar untuk memahami seluk-beluk cara kerja pikiran dimana hal ini membantu kita menjadi pribadi yang lebih mawas diri atas mekanisme pikiran dan bagaimana pengaruhnya atas kualitas perilaku dan emosi kita.
Untuk mengawali sedikit langkah awal perjalanan kita dan mengetahui jawaban atas berbagai petikan kisah yang sempat kita ulas sedari tadi di Bab 1 ini, mari terlebih dahulu pahami cara pikiran kita bekerja sesuai dengan teori yang sudah berkembang saat ini. Bahasan ini secara tidak langsung akan turut menyingkap berbagai hasil pemikiran para tokoh yang berperan di balik lahirnya buku ini.
Meski membahas tentang pikiran dan segala hal yang terkait dengannya, perlu Anda ketahui bahwa bahasan ini tidak akan membahas secara spesifik fungsi dasar dari otak dan peranan-peranan organ yang terhubung dengannya, melainkan lebih kepada cara kerja pikiran/kesadaran manusia secara praktis.
Jika kita kembali mengulas kisah-kisah yang tertulis di kisah sebelumnya, bisa kita dapati bahwa permasalahan umum yang tersirat di dalamnya adalah adanya konflik antara satu kesadaran dalam diri kita yang
menginginkan perubahan positif, yang seolah dihalangi oleh satu ‘kesadaran lain’ - yang tidak disadari - yang tidak menghendaki itu terjadi. Perlu kita ketahui ‘kesadaran lain’ yang seolah memiliki keinginannya sendiri ini bukanlah bagian terpisah dari kesadaran kita, melainkan justru bagian yang melambangkan isi pikiran dan kesadaran kita yang terdalam dan bahkan sangat penting cara kerjanya, hanya saja cara kerjanya tidak kita sadari karena bekerja di ‘bawah’ tingkat kesadaran yang kita gunakan sehari-hari, atau biasa disebut bekerja secara ‘bawah sadar’.
Nah, kali ini Anda lebih familiar dengan istilah yang satu ini bukan?
Jika sedari tadi kita menyebutnya dengan istilah ‘kesadaran lain’, waktunya sekarang kita menyebutnya dengan sebuah istilah yang sangat mungkin sudah lebih familiar bagi Anda, yaitu ‘pikiran bawah sadar’.
Adalah Sigmund Freud, seorang dokter dan tokoh psikologi kenamaan asal Austria, yang mempopulerkan teori cara kerja pikiran sadar dan pikiran bawah sadar dalam teori Psikoanalisa yang dikembangkannya.
Dalam banyak pemaparannya Freud mengungkapkan bahwa pikiran manusia tidak ubahnya seperti sebuah gunung es (iceberg) yang mengambang di lautan. Apa yang kita lihat dan sadari hanyalah ujung kecil dari gunung es tersebut, yang nampak di atas permukaan laut. Sementara masih ada bagian lain yang lebih besar yang tidak nampak dan menjadi fondasi atas ujung kecil yang nampak di permukaan itu.
Ujung kecil yang nampak di permukaan laut itulah yang dimaksudkan sebagai pikiran sadar, sementara yang berada di bawah permukaan, bagian besar yang tidak nampak adalah pikiran bawah sadar. Meski tidak nampak di permukaan, bagian paling besar yang terendam inilah yang justru menentukan jalannya bagian kecil yang nampak di permukaan.
Kembali mengacu pada kisah-kisah sebelumnya, ujung kecil di permukaan itulah yang menjadi perlambang ‘kesadaran’ atau ‘keinginan’