• Tidak ada hasil yang ditemukan

KATA PENGANTAR

DAFTAR LAMPIRAN

E. Cookies Non Terigu

Terigu merupakan tepung yang paling banyak digunakan dari semua jenis tepung pada produk pangan. Tepung terigu sudah menduduki posisi teratas bahan pangan non beras di Indonesia. Tingginya penggunaan tepung ini disebabkan protein yang dimiliki terbuat dari gluten sehingga dapat memberi penampilan yang baik produk (Sibuea 2001).

Meski tepung substitusi terigu masih belum ditemukan, tetapi titik cerah sudah mulai tampak. Indonesia memiliki sejumlah tepung yang memiliki potensi untuk dikembangkan. Sumbernya berasal dari serealia, umbi dan sagu. Serealia yang bisa digunakan adalah jagung, padi, sorgum, dan jali, sedangkan umbi bisa berasal dari singkong, ubi jalar, talas, garut, dan kentang (Sibuea 2001). Tepung- tepung yang terbuat dari serealia dan umbi tersebut telah cukup banyak diteliti dalam pengembangan produk untuk mensubstitusi terigu. Salah satu produk yang

sering dikembangkan adalah produk cookies. Produk cookiestelah dikembangkan dari tepung hotong, pati garut, iles-iles dan ubi jalar.

Tepung hotong kukus dan pati sagu menjadi bahan dasar cookies hotong (Pratiwi 2008). Formulasi cookies hotong tersebut bertujuan untuk memperoleh formula cookieshotong yang optimum, yaitu formula yang memiliki basis bahan tepung hotong terbanyak. Tepung yang digunakan tidak menggunakan terigu sama sekali. Rasio tepung hotong kukus terhadap pati sagu yang digunakan adalah 100:0, 60:20, 65:35, dan 50:50.

Pembuatan cookies hotong diawali dengan pencampuran gula, margarin, mentega selama 1 menit hingga terbentuk krim. Kemudian ditambahkan telur dan diaduk kembali selama 1 menit. Lalu, garam, baking powder, tepung campuran, dan air dimasukkan ke dalam adonan dan diaduk hingga terbentuk adonan. Setelah adonan dicetak, maka hasil cetakan cookieshotong dimasukkan ke dalam oven untuk pemanggangan selama 125⁰C selama 18 menit dan cookies hotong didinginkan setelahnya.

Perbedaan perbedaan tepung hotong dan pati sagu berpengaruh nyata pada cookiesyang dihasilkan. Penambahan pati sagu ke dalam adonan mempengaruhi warna yang dihasilkan. Semakin besar konsentrasi pati sagu yang dihasilkan, semakin cerah warna cookies yang dihasilkan dan semakin disukai panelis. perbedaan pati sagu dan hotong pun berpengaruh nyata terhadap rasa cookiesyang dihasilkan. Penggunaan tepung hotong ke dalam adonan cookies menimbulkan rasa hotong yang khas dan hal tersebut tidak disukai oleh panelis. Semakin banyak komposisi tepung hotong, maka rasa cookies yang dihasilkan semakin tidak tertutupi oleh komponen lainnya.

Perbedaan konsentrasi pati sagu yang digunakan berpengaruh nyata pada tekstur cookies. Hal ini disebabkan oleh sifat pati sagu yang lebih halus dibandingkan dengan tepung hotong yang banyak mengandung serat. Semakin banyak pati sagu yang digunakan, semakin tinggi kesukaan panelis. Perubahan pada tekstur cookies tersebut disebabkan oleh berkurangnya tekstur berpasir (sandiness) pada produk seiring dengan meningkatnya jumlah pati sagu yang ditambahkan. Penambahan pati sagu ke dalam adonan menyebabkan tekstur

cookies menjadi lebih lembut karena tekstur pati sagu yang lebih halus dibandingkan dengan tekstur hotong yang lebih banyak mengandung serat.

Kadar air dan aw cookies hotong berturut-turut sebesar 3.48% dan 0.327. Kadar air kritis cookies hotong sebesar 4.75% b/k. Perhitungan umur simpan menunjukkan bahwa umur simpan cookieshotong dengan menggunakan kemasan polipropilena sebesar 2.36 bulan.

Pati garut pun dimanfaatkan dalam pembuatan cookies. Pati garut mudah dicerna sehingga di beberapa tempat telah dimanfaatkan sebagai makanan bayi atau orang yang mengalami gangguan pencernaan. Gustiar (2009) melaporkan pembuatan cookiesdari pati garut diawali dengan pencampuran bahan gula halus, margarin, susu skim, kuning telur selama 10 menit dan ditambahkan garam, soda kue, dan pati termodifikasi. Sebelum pembentukan adonan, waktu pencampuran adonan harus diperhatikan untuk mendapatkan adonan yang homogen dengan pengembangan gluten yang diinginkan. Setelah semua bahan dicampur, adonan dicetak dengan ketebalan 8 mm dan dilakukan pemanggangan pada suhu 160- 170⁰C selama 10-12 menit. Setelah matang, cookies didinginkan agar terjadi penguapan air. Cookies pati garut dibandingkan dengan cookies terigu dengan formula yang sama dan hanya berbeda pada tepung yang digunakan.

Cookiespati garut memiliki kadar air sebesar 3.82% (b/b), sedangkan nilai aw sebesar 0.398. Kadar air yang rendah pada cookies pati garut kemungkinan disebabkan oleh terjadinya pembentukan granula pati karena pembengkakan yang irreversible. Pembengkakan ini mempengaruhi sifat penyerapan maupun pengikatan granula terhadap air (Gustiar 2009). Nilai kadar air tersebut masih memenuhi syarat mutu kadar air cookies (5%) dan nilai aw cookies pati garut masih berada di bawah awkritis produk pangan. Penelitian yang dilakukan Gustiar (2009) tidak melakukan pendugaan umur simpan produk, tetapi dilihat dari nilai kadar air dan aw produk tersebut, cookies pati garut cukup aman dari kerusakan mikrobiologis.

Perubahan bahan terigu menjadi pati jagung berpengaruh nyata terhadap tekstur cookies pada selang kepercayaan 95%. Penerimaan konsumen terhadap cookiespati garut lebih rendah dibandingkan dengan cookiesterigu. Cookiespati garut memiliki kekerasan yang lebih rendah dibandingkan dengan cookiesterigu.

Hal tersebut disebabkan oleh rendahnya kandungan protein dalam cookies pati garut. Tekstur pada cookiespati garut yang dihasilkan menjadi mudah hancur dan lebih renyah. Wepner et al (1999) yang diacu dalam Gustiar (2009) menyatakan bahwa penambahan pati termodifikasi akan meningkatkan kerenyahan pada wafer. Penambahan pati garut menyebabkan warna cookies yang dihasilkan semakin kecoklatan.

Lasmini (2002) melakukan penelitian dengan memanfaatkan tepung iles- iles (Amorphophallus onchophyllus) kuning pada pembuatan cookies berserat tinggi. Iles-iles mengandung glukomannan. Glukomannan merupakan serat yang larut air (soluble dietary fiber). Cookiesiles-iles terbuat dari bahan dasar tepung, margarin, gula, halus, telur ayam, baking powder, garam, dan vanili. Tepung yang digunakan adalah campuran tepung glukomannan dan terigu. Substitusi tepung glukomannan sebesar 0, 10, 20, 30, dan 40% dari total tepung yang digunakan. Pembuatan cookiesiles-iles diawali dengan pencampuran bahan (tepung terakhir kali), pengadukan, pencetakan, lalu pemanggangan dalam oven 180⁰C selama 2 menit.

Peningkatan substitusi tepung iles-iles memberikan pengaruh yang nyata terhadap kekerasan cookiesyang dihasilkan. Semakin tinggi tepung iles-iles yang ditambahkan, semakin tinggi nilai kekerasan produk. Hal ini disebabkan oleh derajat pengembangan yang semakin menurun. Penambahan tepung iles-iles berpengaruh nyata terhadap rasio pengembangan cookies. Selain itu, penambahan iles-iles mempengaruhi warna cookies. Semakin tinggi penambahan tepung iles- iles, semakin rendah nilai kecerahan cookies. Hal ini disebabkan tepung iles-iles bewarna kecoklatan.

Tepung ubi jalar pun telah dikembangkan menjadi bahan dasar cookies. Penggunaan ubi jalar sebagai bahan baku pembuatan biskuit didasarkan pada potensinya yang besar sebagai bahan pangan lokal yang hampir tersedia di Indonesia (Hartoyo dan Sunandar 2006). Ubi jalar merupakan sumber provitamin A yang potensial dan memiliki kandungan karbohidrat dalam jumlah yang cukup banyak (91.94%). Rianti (2008) melakukan pembuatan cookies dengan karakteristik tekstur menyerupai cookies keladi. Cookies keladi adalah cookies

dan pewarna buatan. Tepung ubi jalar menimbulkan aftertaste pahit pada produk akhir sehingga dapat mengganggu cita rasa produk.

Formula cookiesubi jalar adalah tepung ubi jalar 80 mesh, margarin, air, gula halus, susu skim, kacang, room butter, natrium bikarbonat, vanili, dan garam. Terigu tidak digunakan sama sekali dalam pembuatan cookiesubi jalar. Margarin dan gula halus dicampur selama 10 menit. Lalu ditambahkan room butter dan susu skim ke dalam krim dan dicampur selama 5 menit. Lalu kacang ditambahkan dan kembali diaduk selama 2 menit. Terakhir, air, vanili, garam, natrium bikarbonat, dan tepung dimasukkan ke dalam adonan dan diaduk selama 8 menit. Adonan kemudian dicetak dan dioles dengan putih telur sebelum dipanggang dalam oven pada suhu 120⁰C selama 1 jam. Penggunaan suhu rendah dan waktu lama dilakukan sehubungan dengan ukuran cookies yang cukup tebal. Setelah mengalami pemanggangan, cookiesdidinginkan.

Evaluasi kesesuaian cookies ubi jalar dengan kontrol (cookies keladi) dilakukan dengan uji pembedaan dengan kontrol. Metode yang digunakan dalam pengujian tersebut adalah metode penggigitan sampel dan penekanan sampel menggunakan telunjuk dan ibu jari. Semakin banyak margarin yang ditambahkan, tekstur cookies ubi jalar semakin mendekati cookies keladi yang terbuat dari terigu. Metode penggigitan menunjukkan bahwa bahwa tesktur cookies ubi jalar berbeda nyata dengan cookies keladi. Hasil metode penekanan menunjukkan bahwa tekstur cookiesubi jalar tidak berbeda nyata dengan cookieskeladi. Secara keseluruhan, tingkat fluktuasi grafik cookies ubi jalar hampir serupa dengan cookieskeladi.

Penggunaan tepung terigu sebagai bahan dasar cookieskeladi bertanggung jawab terhadap tekstur cookieskeladi. Cookieskeladi mengalami fluktuasi tingkat kerenyahan produk yang cukup besar sehingga menyebabkan munculnya perbedaan sensasi tekstur cookies pada saat gigitan dan dirasakan oleh indera perasa. Fluktuasi grafik tekstur tersebut mengindikasikan bahwa produk pangan yang diukur memiliki tingkat kerenyahan tinggi. Kadar air cookies ubi jalar sebesar 2.37% (b/k). Nilai kadar air tersebut jauh lebih rendah dari batas maksimal kadar air cookies (5%). Aw cookies ubi jalar adalah 0.45 dan masih berada di bawah aw0.65 yang merupakan awkritis produk pangan. Nilai kadar air

dan aw cookies jagung menunjukkan bahwa cookies ubi jalar cukup aman dari kerusakan mikrobiologi.

Hartoyo dan Sunandar (2006) menyatakan bahwa penggunaan terigu tidak dapat digantikan seluruhnya oleh tepung ubi jalar pada pengolahan biskuit. Penggunaan terigu yang semakin sedikit akan menyebabkan pembentukan adonan biskuit yang lebih sukar dibentuk karena adonan yang dibentuk bersifat tidak elastis dan cenderung lebih mudah pecah. Hal ini disebabkan karena jumlah protein gluten yang terkandung dalam adonan menjadi lebih sedikit.

Fungsi gluten dalam pembuatan biskuit masih dibutuhkan sebagai bahan pengikat, walaupun fungsinya dalam pembuatan tekstur pada biskuit tidak terlalu mendominasi seperti pada pembuatan bakery. Oleh karena itu, peran pembentukan tekstur dalam formulasi biskuit dengan penggunaan tepung non terigu dapat dilakukan dengan mengatur penggunaan bahan formulasi lainnya berupa lemak (Djuanda 2003 diacu dalam Hartoyo dan Sunandar 2006). Lemak yang digunakan akan berperan sebagai matriks perekat antara bahan-bahan dalam adonan, sehingga adonan yang dihasilkan akan lebih kompak dan tidak mudah pecah (Hartoyo dan Sunandar 2006).

F. Tekstur Cookiesdan Penurunan Mutu Cookies

Tekstur pada biskuit (termasuk cookies) meliputi kekerasan, kemudahan untuk dipatahkan, dan konsistensi pada gigitan pertamanya (Fellows 2000). Lebih lanjut Fellows menerangkan bahwa tekstur pada makanan sangat ditentukan oleh kadar air, kandungan lemak, dan jumlah serta jenis karbohidrat dan protein yang menyusunnya. Dalam hal ini, tekstur biskuit dipengaruhi oleh semua bahan baku yang digunakan meliputi tepung jagung, gula, lemak, susu, telur, dan bahan pengembang.

Beberapa sifat cookies yang berhubungan dengan tekstur cookies adalah hardnessatau firmness, brittleness, crumbly, dan sticky. Kekerasan (hardnessatau firmness) menunjukkan kemampuan cookies untuk mempertahankan bentuk bila dikenai suatu gaya. Kerapuhan (brittleness) yaitu suatu sifat cookiesyang mudah pecah bila dikenai suatu gaya, sedangkan crumbly adalah sifat cookies yang

mudah hancur menjadi partikel-partikel kecil. Istilah sticky menunjukkan sifat partikel-partikel cookiesyang lengket di mulut (Gaines 1994).

de Man (1997) membagi kekerasan menjadi tiga yaitu kerenyahan (termasuk kerapuhan dan keserbukan), kelembaban (termasuk kering dan kelengketan), dan keliatan (termasuk lunak). Kekerasan dimiliki oleh produk kue, coklat, es krim beku, sayur keras, keripik jagung, buah keras, dan es air beku (de Man 1997). Kerenyahan merupakan mutu utama produk cookies (Manley 2001). Cookies memiliki kadar air 1-5% dan aw yang rendah (Pareyt et al. 2009) sehingga teksturnya dapat menjadi renyah. Menurut Arpah (2001), kerusakan produk jenis biskuit seperti cookies, lebih sering dihubungkan dengan kerusakan tekstur.

Produk pangan akan mengalami perubahan mutu selama proses penanganan, pengolahan, penyimpanan, dan distribusi produk pangan. Produk- produk kering pada dasarnya mempunyai sifat sensitif terhadap perubahan kadar air. Kerusakan produk pangan kering merupakan akibat dari interaksi antara produk pangan dengan berbagai faktor, terutama interaksi antara lingkungan, bahan pengemas, dan bahan pangan (Hariyadi 2006).

Penyimpangan suatu produk pangan dari mutu awalnya disebut deteriorasi (Arpah 2001). Reaksi deterriorasi dimulai dengan persentuhan produk dengan udara, oksigen, uap air, cahaya, dan akibat perubahan suhu. Data tentang interaksi-interaksi yang mungkin terjadi tersebut sebaiknya diketahui dengan baik sehingga dapat dilakukan perhitungan umur simpan, kebutuhan pelabelan, serta usaha-usaha meminimalisasi kerusakan dan memaksimumkan masa simpan (Nugroho 2007). Robertson (1993) menyatakan bahwa secara umum deteorisasi yang terjadi pada produk pangan kering pada penyimpanan adalah penyerapan uap air yang menyebabkan produk menjadi lembab atau kehilangan kerenyahan, oksidasi lipid yang menyebabkan ketengikan, kehilangan vitamin sehingga produk tidak disukai dan kehilangan aroma.

F. Umur Simpan

Makanan rusak adalah makanan yang sudah kadaluarsa atau melampaui masa simpan (shelf life). Umur simpan merupakan jangka waktu suatu tempat,

atau material dalam suatu tempat yang masih dapat diterima oleh konsumen, di bawah kondisi penyimpanan tertentu. Umur simpan suatu produk bergantung pada serangkaian parameter yaitu karakteristik produk (fisik, kimia, biologi), kondisi selama proses pembuatan, karakteristik dan keefektifan kemasan serta lingkungan yang dapat menyebabkan produk terpapar selama pengangkutan dan penyimpanan (Rachtanapun 2007). Penyimpanan bertujuan untuk mempertahankan dan menjaga komoditas yang disimpan dengan cara menghindari, menghilangkan berbagai faktor yang dapat menurunkan kualitas dan kuantitas produk tersebut. Kandungan air dalam bahan pangan menentukan acceptability, kesegaran, dan daya tahan bahan pangan. Hubungan kandungan air dalam bahan pangan dengan daya tahan bahan tersebut dinyatakan dengan aktivitas air (aw). Labuza (1982) mengemukakan hubungan antara aktivitas air dan mutu makanan adalah sebagai berikut: produk dikatakan tidak aman pada selang aktivitas air sekitar 0.7- 0.75 dan di atas selang aw tersebut, mikroorganisme berbahaya dapat mulai tumbuh dan produk menjadi beracun. Selang aktivitas air 0.6-0.7, jamur dapat mulai tumbuh dan pada aktivitas air sekitar 0.3-0.5 dapat menyebabkan makanan ringan hilang kerenyahannya. Gambar 2 menunjukkan diagram stabilitas bahan pangan yang menunjukkan stabilitas fungsi aw.

Labuza (2002) menyatakan aktivitas air suatu bahan pangan dapat dihitung dengan membandingkan tekanan uap air bahan (P) dengan tekanan uap murni (Po) pada kondisi yang sama, atau dengan jalan membagi ERH lingkungan dengan nilai 100.

………. (1)

Dimana: aw = aktivitas air

P = tekanan parsial uap air bahan

Po = tekanan parsial uap air murni pada suhu yang sama ERH = kelembaban relatif seimbang.

Aktivitas air (aw) menunjukkan sifat bahan sedangkan ERH menggambarkan sifat lingkungan sekitar yang berada dalam keadaan setimbang dengan bahan tersebut. Peranan air dalam bahan pangan biasanya dinyatakan dalam kadar air atau aw sedangkan peranan air di udara dinyatakan dalam kelembaban relatif dan kelembaban mutlak (Sianipar 2008).

Migrasi dan difusi udara diperkirakan menjadi salah satu faktor yang penting pada produk yang sensitif terhadap kelembaban. Penentuan umur simpan produk yang relatif mudah rusak akibat penyerapan air dari lingkungan dapat menggunakan metode kadar air kritis (Kusnandar 2006). Pada metode ini kondisi lingkungan penyimpanan memiliki kelembaban relatif (relative humidity) yang ekstrim dengan alat bantu persamaan matematika yang disebut model Labuza.

Pada dasarnya model Labuza adalah deskripsi kuantitatif yang terdiri dari produk, bahan pengemas, dan lingkungan (Arpah 2001). Model Labuza ini menggunakan pendekatan sorpsi isotermik. Moisture sorpsi isotermik atau isotherm sorption air (ISA) merupakan hubungan antara kadar air pada saat kesetimbangan dan kelembaban pada temperatur tertentu. Bentuk sorpsi isotermik pada umumnya akan menentukan stabilitas penyimpanan (Supriadi et al. 2004). Model Labuza cocok digunakan untuk menentukan umur simpan produk pangan yang memiliki kurva isotermik yang baik yaitu membentuk sigmoid, misalnya produk makanan kering (Nugroho 2007).

Kadar air kesetimbangan adalah kadar air dari suatu produk yang berkesetimbangan pada suhu dan kelembaban tertentu dalam periode waktu tertentu (Brooker et al1982 diacu dalam Nugroho 2007). Jika kelembaban relatif udara lebih tinggi dibandingkan bahan maka bahan akan menyerap air (adsorpsi). Sebaliknya, jika kelembaban relatif udara lebih rendah dibandingkan bahan maka bahan akan menguapkan kadar airnya (desorpsi) (Sianipar 2008). Kadar air kesetimbangan suatu bahan pangan adalah kadar air bahan pangan ketika tekanan uap air dari bahan tersebut dalam kondisi setimbang dengan lingkungan dimana produk sudah tidak mengalami penambahan atau pengurangan bobot produk (Gambar 3).

Gambar 3 Grafik kenaikan kadar air menuju ke kadar air kesetimbangan selama penyimpanan pada berbagai kondisi RH (Kusnandar, 2006)

Kadar air kesetimbangan produk pangan digunakan untuk menentukan dan menggambarkan kurva sorpsi isotermik. Penentuan kadar air kesetimbangan memerlukan termodinamika udara (suhu dan kelembaban relatif) dalam keadaan tetap (konstan). Kondisi setimbang diperoleh jika produk sudah tidak lagi mengalami penambahan atau pengurangan bobot produk (Rachtanapun 2007).

Kenaikan kadar air produk merupakan fungsi dari aktivitas air. Aktivitas air dapat diketahui dari model sorpsi isotermik yang dipilih. Model matematika

matematika tersebut tidak ada yang dapat menggambarkan secara tepat model sorpsi isotermik pada selang aw dan pada jenis produk yang berbeda (Oktania 2004).

Bahan pangan memiliki kepekaan terhadap penyerapan dan pengeluaran gas (udara dan uap air) yang berbeda-beda. Produk kering terutama yang bersifat hidrofilik harus dilindungi terhadap masuknya uap air dan oksigen. Umumnya produk tersebut memiliki ERH yang rendah sehingga harus dikemas dengan kemasan yang memiliki permeabilitas air yang rendah.

Plastik merupakan salah satu kemasan yang sering digunakan dalam industri pangan. Kelebihan plastik diantaranya adalah harga relatif rendah, dapat dibentuk menjadi berbagai macam bentuk, dan mengurangi biaya transportasi. Sebagai bahan pembungkus, plastik dapat digunakan dalam bentuk tunggal, komposit, atau multi lapis (berupa lapisan-lapisan).

Salah satu plastik yang biasa digunakan sebagai pengemas adalah polipropilena (PP). PP termasuk jenis plastik orefin dan merupakan polimer dari propilen. Plastik ini mudah diperoleh dan memiliki kekuatan yang cukup baik terhadap perlindungan keluar masuknya gas dan uap air. Beberapa sifat PP adalah ringan, mudah dibentuk, permeabilitas uap air rendah, permeabilitas air sedang dan tidak baik untuk makanan yang peka terhadap oksigen, dan tahan terhadap suhu tinggi (150⁰C) (Syarif et at. 1989 diacu dalam Sianipar 2008).

Kemasan laminasi yang sering digunakan tidak hanya plastik melainkan kombinasi plastik dengan aluminium yang disebut metalized plastic. Metalized plastic bersifat tidak meneruskan cahaya, menghambat masuknya oksigen, menahan bau, memberikan efek mengkilap, dan mampu menahan gas. Selain itu, metalized plastic mudah disobek sehingga memudahkan konsumen membuka kemasan.

Penurunan mutu produk yang dikemas dapat terjadi karena adanya transfer panas dan masa melalui kemasan. Perbedaan tekanan parsial sekitar kemasan mengontrol laju permeabilitas, selain itu adanya lubang serta retaknya kemasan akan mempercepat reaksi kerusakan produk (Roberts 1999 diacu dalam Lopulalan 2008).

III. METODE PENELITIAN

A. Bahan dan Alat

1. Bahan

Bahan yang digunakan untuk proses pembuatan cookies jagung adalah jagung varietas BPPT-IPB 1, terigu protein rendah merek Kunci Biru, gula merek Kenari, margarin merek Forvita, susu skim merek Sunlac, telur, dan soda kue merek Koepoe-Koepoe.

Bahan yang digunakan untuk analisa yaitu K2SO4, HgO, H2SO4 pekat, NaOH pekat, H2BO3, metilen blue, HCl, heksana, H2SO4, NaOH, K2SO4, petroleum eter, alkohol 95%, etanol, larutan asam asetat, I2, KI, glukosa murni, serta garam-garam untuk pengujian umur simpan seperti, LiCl, MgCl2, K2CO3, NaBr, KI, NaCl, KCl, dan BaCl2.

2. Alat

Alat yang digunakan dalam pembuatan tepung jagung adalah polisher, disc mill, ayakan 120 mesh, sealer, dan timbangan. Peralatan pembuatan cookiesyaitu timbangan, oven pemanggang, hand mixer, loyang, cetakan, plastik, dan peralatan masak lainnya.

Alat utama yang digunakan dalam analisa adalah chromameter, texture analyzer, jangka sorong, brabender amilograph, aw-meter, chamber, higrometer, spektrofotometer, vorteks, labu soxhlet, labu kjeldahl, labu lemak, tanur, alat destilasi, oven pengering, desikator, gegep, cawan aluminium, cawan porselin, aluminium foil, loyang, tabung reaksi bertutup, dan alat gelas lainnya.

B. Tahapan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap yaitu persiapan bahan, formulasicookies dan pendugaan umur simpannya. Diagram alir tahap penelitian dapat dilihat pada Gambar 4. Tahap persiapan bahan merupakan tahapan analisis jagung pipil, pembuatan tepung jagung, analisis tepung jagung.

Gambar 4 Diagram alir tahap penelitian Penentuan kemiringan kurva sorpsi

Pembuatan tepung jagung

Pengujian karakteristik tepung jagung

Formulasi ketigacookiesjagung Formulasi keduacookiesjagung

Formulasi kesatu cookiesjagung

Penentuan atribut kerusakan

Penentuan kadar air kritis

Penentuan kadar air kesetimbangan Analisis jagung pipil

Analisis cookies jagung terpilih Uji perbandingan cookies

jagung dengan reference

Uji Kimia (proksimat, kadar serat kasar, total

pati, amilosa) Uji Fisik (Rendemen, derajat pengembangan, kerenyahan dan kekerasan, warna, densitas kamba) Penggunaan model persamaan

Penentuan variabel pendukung

Umur simpan (bulan)

Analisis kimia

Analisis fisik

1. Tahap persiapan penelitian 1.1 Analisis jagung pipil

Analisis jagung pipil bertujuan untuk mengetahui karakteristik awal bahan baku jagung yang digunakan dalam pembuatan tepung jagung. Analisis jagung pipil yang dilakukan adalah analisis proksimat meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, dan kadar karbohidrat. Jagung pipil perlu dihaluskan terlebih dahulu sebelum dianalisis.

1.2 Pembuatan tepung jagung

Tahapan pembuatan tepung jagung dapat dilihat pada Gambar 5. Pembuatan tepung jagung dimulai dengan pemipilan biji jagung dari tongkolnya. Kemudian, jagung pipil direndam setiap 2.5 kg selama 20 menit dan ditiriskan selama 10 menit.

Pemimipilan jagung tongkol Perendaman 2,5 kg (20 menit)

Penirisan (10 menit)

Pembuangan kulit ari (polisher) (25 menit) Pengecilan ukuran dengan disc milltanpa saringan (10 menit)

Pembuangan perikarp dan germ (30 menit) Penirisan jagung bersih (30 menit)

Pengeringan jagung bersih dengan oven 60 oC selama 2 jam Penepungan dengan disc mill dengan saringan 120 mesh (15 menit)

Pengeringan tepung jagung dalam oven 60 oC (3 jam) Pengayakan dengan pengayak 120 mesh

Tepung jagung lolos ayakan 120 mesh