• Tidak ada hasil yang ditemukan

Stres adalah tekanan internal maupun eksternal serta kondisi ber masalah lainnya dalam kehidupan (an internal and eksternal pressure and other troublesome condition in life). Dalam Kamus Lengkap Psikologi (Chaplin, 2002), stres merupakan suatu keadaan tertekan, baik isik maupun psikologis. Stres (Ardani, 2008) bersumber dari frustasi dan konlik yang dialami individu yang dapat berasal dari ber bagai bidang kehidupan manusia.

Stres yang berkepanjangan (Siswanto, 2007: 59) dapat menye- bab kan terjadinya kelelahan, baik isik maupun mental, yang pada akhir nya melahirkan berbagai macam keluhan atau gangguan, sehingga individu menjadi sakit. Seringkali penyebab sakitnya tidak di ketahui secara jelas karena individu yang bersangkutan tidak menya dari tekanan atau stres yang dialaminya. Tanpa disadari, indi- vidu menggunakan jenis penyesuaian diri yang kurang tepat dalam menghadapi stres.

87 Kecerdasan Emosional ... ~ Zitny Dilain keesempatan, jika individu mampu menggunakan cara- cara penyesuaian diri yang sehat, baik, dan sesuai dengan stres yang dihadapi, meskipun stres atau tekanan tersebut tetap ada, individu yang bersangkutan tetap dapat hidup secara sehat. Tekanan-tekanan tersebut akhirnya justru akan memungkinkan individu untuk memunculkan potensi-potensi manusiawinya dengan optimal. Penyesuaian diri saat menghadapi stres, dalam konsep kesehatan mental dikenal dengan istilah coping.

Lazarus dan Folkman (Yusuf, 2004: 115) berpendapat bahwa coping adalah proses mengelola tuntutan (internal atau eksternal) yang ditaksir sebagai beban di luar kemampuan individu. Coping terdiri atas upaya-upaya yang berorientasi pada kegiatan dan intrapsikis untuk mengelola (seperti menuntaskan, tabah, mengurangi, atau meminimalkan) tuntutan internal dan eksternal, serta konlik diantaranya.

Lebih lanjut, Lazarus dan Folkman (1984, dalam Thoits, 1986) menyatakan bahwa terdapat cara atau usaha yang dilakukan oleh individu, baik secara kognitif maupun perilaku, dengan tujuan untuk menghadapi dan mengatasi tuntutan-tuntutan internal maupun eksternal yang dianggap sebagai tantangan atau permasalahan bagi individu yang merupakan bentuk dari strategi coping.

Coping dipandang sebagai suatu usaha untuk menguasai situasi tertekan, tanpa memperhatikan akibat dari tekanan tersebut. Coping bukan merupakan suatu usaha untuk menguasai seluruh situasi menekan karena tidak semua situasi tersebut dapat benar- benar dikuasai. Oleh karena itu, coping yang efektif adalah coping yang membantu seseorang untuk menoleransi dan menerima situasi menekan dan tidak merisaukan tekanan yang tidak dapat dikuasainya. Pada Kamus Lengkap Psikologi (Chaplin, 2004), coping behavior diartikan sebagai sembarang perbuatan, dimana individu melakukan interaksi dengan lingkungan sekitarnya, dengan tujuan menyelesaikan sesuatu (tugas atau masalah).

Lazarus dan Folkman (Nevid dkk., 2003) menyatakan bahwa coping stress mempunyai dua cara, yaitu coping yang berfokus pada emosi dan coping yang berfokus pada masalah. Coping yang berfokus pada emosi membuat individu berusaha menjaga jarak antara diri mereka dengan sumber stres melalui penyangkalan atau penghindaran. Sedangkan coping yang berfokus pada masalah membantu orang menghadapi sumber stres. Pada saat menghadapi masalah medis yang serius, strategi berfokus pada masalah seperti mencari informasi dan tetap menunjukkan semangat dan menjaga harapan kemungkinan, bersifat adaptif dan meningkatkan kesempatan untuk sembuh.

Carlson (2007) mengatakan bahwa antara emotional focused coping dan problem focused coping memiliki teknik yang berbeda- beda dalam mengontrol stres.

1. Emotional focused coping

Emotional focused coping memiliki empat teknik, diantaranya:

a. Aerobik

b. Menilai ulang kognitif dengan mengganti respon-respon yang bertentangan, seperti mengganti statement negatif dengan komentar yang positif.

c. Pelatihan relaksasi d. Dukungan sosial

2. Problem focused coping

Problem focused coping dilakukan dengan sebuah metode yang bernama Stress Inoculation Training yang diperkenalkan oleh seorang psikolog bernama Donald Meichenbaum. Donald mengatakan bahwa jalan terbaik untuk mengatur stres adalah dengan mengerahkan tenaga untuk mengadakan serangan dan memiliki rencana dalam pikiran yang berhubungan dengan stresor-stresor sebelum seseorang benar-benar mengalami

89 Kecerdasan Emosional ... ~ Zitny stresor tersebut. Seseorang tidak harus menunggu sampai meng hadapi stresor tersebut untuk mengatasinya dan me- lakukan antisipasi terhadap beberapa macam stresor yang mungkin dihadapi dengan membangun rencana coping yang paling mungkin dan efektif.

Stress Inoculation Training dilakukan dalam klinik yang terdiri dari terapis dan klien, dimana prosesnya terdiri dari tiga fase, yaitu:

a. Fase pertama, yakni konseptualisasi. Fase ini memiliki dua tujuan, yaitu:

1) Pembelajaran yang melibatkan “perjanjian” alami antara stres dan coping.

2) Melibatkan pembelajaran untuk menjadi lebih baik secara realistik menilai situasi-situasi yang penuh stres dengan cara memperbaiki kemampuan-kemampuan untuk memonitor diri sendiri dengan memperhatikan pikiran-pikiran negatif, emosi-emosi, dan tingkah laku. b. Fase kedua, yakni mendapatkan keterampilan dan me-

lakukan latihan. Fase ini memiki tiga tujuan, yaitu:

1) Melibatkan pembelajaran yang spesiik pada ke- mampuan-kemampuan memecahkan masalah yang di- gunakan untuk mengurangi stres.

2) Melibatkan pembelajaran dan melatih kembali peraturan tentang emosi dan kemampuan-kemampuan untuk mengen dalikan diri.

3) Melibatkan pembelajaran tentang bagaimana mengguna- kan respon-respon maladaptif sebagai petunjuk untuk meng gunakan strategi coping yang baru.

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi strategi coping (Charles J. dan Moss, 1987), yaitu:

1. Sosiodemograik, yang meliputi status sosial, status perkawinan, status pekerjaan, gender, dan tingkat pendidikan.

2. Peristiwa hidup yang menekan, yaitu peristiwa yang dialami individu yang dirasa menekan dan mengancam kesejahteraan hidup seperti bencana, kehilangan sesuatu yang berharga, dan lain sebagainya.

3. Sumber-sumber jaringan sosial yang meliputi dukungan sosial.

4. Kepribadian, seperti locus of control, kecenderungan neurotic,

optimism, self esteem, kepercayaan diri, dan lain sebagainya.

Menurut Smet (1994), proses pemilihan strategi coping dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:

1. Variabel dalam kondisi individu; umur, tahap kehidupan, jenis kelamin, temperamen, pendidikan, inteligensi, suku, kebudayaan, status ekonomi, dan kondisi isik.

2. Karakteristik kepribadian; introvert-ekstrovert, stabilitas emosi secara umum, kepribadian ‘ketabahan’, locus of control, kekebalan dan ketahanan.

3. Variabel sosial kognitif; dukungan sosial yang dirasakan, jaringan sosial, kontrol pribadi yang dirasakan.

4. Hubungan dengan lingkungan sosial; dukungan sosial yang diterima, integrasi dalam jaringan sosial.

Monks (Mutadin, 2002) berpendapat bahwa pada masa remaja dikenal dengan masa storm and stress, dimana terjadi pergolakan emosi yang diiringi dengan pertumbuhan isik yang pesat dan pertumbuhan secara psikis yang bervariasi. Pergolakan emosi yang terjadi pada remaja tidak terlepas dari bermacam pengaruh, seperti lingkungan tempat tinggal, keluarga, sekolah, dan teman- teman sebaya serta aktivitas-aktivitas yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari.

91 Kecerdasan Emosional ... ~ Zitny Masa remaja yang identik dengan lingkungan sosial tempat berinteraksi, membuat mereka dituntut untuk dapat menyesuaikan diri secara efektif. Bila aktivitas-aktivitas yang dijalani di sekolah (pada umumnya masa remaja lebih banyak menghabiskan waktunya di sekolah) tidak memadai untuk memenuhi tuntutan gejolak energinya, maka remaja seringkali meluapkan kelebihan energinya ke arah yang tidak positif, seperti tindakan anarkis. Hal ini menunjukkan betapa besar gejolak emosi yang ada dalam diri remaja bila berinteraksi dalam lingkungannya.

Masa remaja (Mutadin, 2002) merupakan masa yang paling banyak dipengaruhi oleh lingkungan dan teman-teman sebaya dan dalam rangka menghindari hal-hal negatif yang dapat merugikan dirinya sendiri dan orang lain, maka remaja hendaknya memahami dan memiliki kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional ini ter- lihat pada hal-hal seperti kemampuan remaja dalam memberi kesan yang baik tentang dirinya, mampu mengungkapkan dengan baik emosinya sendiri, berusaha menyetarakan diri dengan lingkungan, dapat mengendalikan perasaan, dan mampu mengungkapkan reaksi emosi sesuai dengan waktu dan kondisi yang ada, sehingga inter- aksi dengan orang lain dapat terjalin dengan lancar dan efektif.

Goleman (Mutadin, 2002) mengungkapkan bahwa koordinasi suasana hati adalah inti dari hubungan sosial yang baik. Apabila seseorang pandai menyesuaikan diri dengan suasana hati individu yang lain atau dapat berempati, maka orang tersebut akan memiliki tingkat emosionalitas yang baik dan akan lebih mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial serta lingkungannya.

Goleman (Goleman, 1997) juga menambahkan bahwa ciri- ciri lain dari kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk me motivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi; mengen dalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan ke- senangan; mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berikir; berempati dan berdo’a.

Melalui penjelasan tersebut, maka dapat diketahui bahwa terdapat hubungan antara kecerdasan emosional dengan kemampuan diri sendiri dalam menghadapi stres (coping stress).