• Tidak ada hasil yang ditemukan

CORFU CHANNEL CASE, ICJ REPORTS, 1949

Dalam dokumen Kumpulan Studi Kasus HI (Halaman 47-54)

Fakta-Fakta Hukum

1.Pihak yang bersengketa adalah antara Inggris dengan Albania.

2.Sengketa yang terjadi adalah tentang rusaknya kapal perang Inggris Saumarez dan Volage dimana kedua kapal perang Inggris tersebut terkena ranjau-ranjau laut yang disebar di sepanjang Selat Corfu oleh Albania ketika kapal-kapal tersebut melewatinya sehingga kapal-kapal tersebut tenggelam.

3.Kasus ini terjadi di Selat Corfu yang merupakan laut teritorial Albania.

4.Inggris kemudian melakukan protes kepada Albania dan menuntut Albania mengganti kerugian yang diderita Inggris akibat tenggelamnya kedua kapal tersebut.

5.Albania menolak gugatan Inggris dengan alasan wilayah Selat Corfu merupakan laut teritorial Albania sehingga Inggris dianggap telah melanggar kedaulatan teritorial Albania dengan mengirim kapal perangnya ke selat tersebut.

6.Inggris dan Albania kemudian sepakat untuk membawa masalah ini ke ICJ pada tahun 1949.

Masalah Hukum

Masalah hukum yang kemudian terjadi dalam kasus ini adalah apakah Albania diharuskan menurut hukum internasional untuk bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh kapal asing yang melewati perairan teritorialnya?

Putusan Mahkamah Internasional

Mahkamah Internasional pada tahun 1949 kemudian memutuskan mengabulkan gugatan Inggris dan menyatakan bahwa Albania bersalah telah menyebarkan ranjau-ranjau laut sisa Perang Dunia II di Selat Corfu dan tidak memberitahukan sebelumnya kepada kapal-kapal asing yang akan melewati selat tersebut dimana selat tersebut termasuk selat internasional sehingga menyebabkan tenggelamnya dua kapal perang Inggris.

Dasar Pertimbangan Mahkamah Internasional

Dasar pertimbangan Mahkamah Internasional dalam mengeluarkan putusannya adalah bahwa kerusakan, kerugian serta meninggalnya beberapa awak kapal Inggris ketika melintasi selat tersebut disebabkan karena kelalaian yang nyata pemerintah Albania yang tidak memberitahukan adanya ranjau-ranjau laut di sepanjang perairannya. Oleh karena itu, Albania harus bertanggung jawab atas terjadinya insiden tersebut. Pendapat Mahkamah tersebut berbunyi: “These grave omissions involve the international responsibility of Albania. The court

therefore reaches the conclusion that Albania is responsible under international law fro the damage and loss of human life which resulted from…, and that there is a duty upon Albania to pay compensation to the United Kingdom”. Putusan Mahkamah Internasional ini kemudian

melahirkan suatu prinsip tanggung jawab negara dimana suatu negara (Albania) yang mengetahui adanya ranjau di perairan teritorialnya (di Selat Corfu) berkewajiban untuk memberitahukan dan mengingatkan kapal-kapal yang lewat. Apabila kewajiban ini tidak dilaksanakan dan mengakibatkan kerugian terhadap kapal asing, maka negara yang bersangkutan wajib mengganti kerugian terhadap akibat yang ditimbulkannya. Dalam kaitannya dengan hubungan bertetangga antar negara, prinsip yang lahir yaitu bahwa sudah menjadi prinsip hukum internasional yang diakui umum bahwa setiap negara berkewajiban untuk tidak membiarkan wilayahnya digunakan untuk tindakan-tindakan yang mengganggu hak negara lainnya (‘not to allow knowingly its territory to be used for acts contrary to the rights of other

states’).

Analisis Kasus

Albania berdasarkan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) dimana tanggung jawab negara adalah selalu mutlak (strict); manakala suatu pejabat atau agen negara telah melakukan tindakan yang merugikan orang (asing) lain, maka negara bertanggung jawab menurut hukum internasional tanpa dibuktikan apakah tindakan tersebut terdapat unsur kesalahan atau kelalaian, bertanggung jawab atas tenggelamnya dua kapal perang Inggris akibat ranjau laut yang ditebarkan pihak Albania di Selat Corfu tanpa perlu dibuktikan kesalahannya.

LA GRAND CASE, GERMANY v. USA., ICJ REPORTS., 2001

Fakta Hukum

• Para pihak dalam kasus ini adalah Jerman dan Amerika Serikat.

• Karl dan Walter LaGrand merupakan warga negara Jerman yang menetap di Amerika Serikat sejak kecil. Pada 1982 mereka ditangkap di Arizona karena terlibat dalam perampokan bank dan pembunuhan.

• Pada 1984 pengadilan Arizona menyatakan mereka bersalah atas pembunuhan dan serangkaian kejahatan lainnya, dan menjatuhkan hukuman mati pada keduanya.

• Karena Karl dan Walter LaGrand merupakan warga negara Jerman maka sesuai Konvensi Wina mengenai Hubungan Konsuler pejabat berwenang AS wajib memberitahukan tanpa menunda, hak LaGrand bersaudara untuk berkomunikasi dengan konsulat Jerman. Pihak AS menyadari hal ini namun tidak melaksanakan kewajibannya tersebut.

• Konsulat Jerman baru mengetahui kasus ini pada 1992 dari LaGrand bersaudara sendiri yang menyadari hak mereka dari pihak lain selain pejabat AS.

• LaGrand bersaudara berusaha untuk mengajukan upaya hukum terhadap putusan mati mereka atas dasar pelanggaran terhadap hak mereka yang dilindungi oleh Konvensi Wina. Namun usaha tersebut terhadalang oleh doktrin “procedural default” dalam sistem hukum AS.

• Karl LaGrand dieksekusi pada 24 Februari 1999. Pada 2 Maret 1999, sehari sebelum jadwal eksekusi terhadap Walter LaGrand, Jerman mengajukan kasus ini ke Mahkamah Internasional.

• Pada 3 Maret 1999 Mahkamah mengeluarkan perintah agar AS melakukan segala upaya yang dimungkinkan untuk menunda pelaksanaan eksekusi terhadap Walter LaGrand hingga Mahkamah mengeluarkan putusan terhadap kasus ini. Akan tetapi pada hari yang sama Walter

tetap dieksekusi.

Permasalahan Hukum

Ada beberapa permasalahan hukum yang diajukan oleh Jerman kepada Mahkamah:

• Bahwa AS telah melanggar kewajiban internasionalnya kepada Jerman dalam hal hak negara Jerman dan hak perlindungan diplomatik kepada warga negara Jerman sesuai pasal 5 dan 36 ayat 1 Konvensi Wina mengenai Hubungan Konsuler.

• Bahwa AS dengan menerapkan hukum domestiknya, khususnya doktrin procedural default, telah melanggar kewajiban internasionalnya kepada Jerman.

• Bahwa AS telah melanggar kewajibannya untuk menaati perintah Mahkamah dengan kegagalannya melakukan tindakan-tindakan tertentu yang diperlukan untuk memastikan penundaan eksekusi Karl LaGrand.

• Bahwa AS harus memberikan jaminan kepada Jerman bahwa AS tidak akan mengulangi tindakan melawan hukumnya tersebut, dan apabila di kemudian hari ada penahanan atau proses hukum terhadap warga negara Jerman, AS akan menjamin pelaksanaan hak dalam pasal 36 Konvensi Wina tentang Hubungan Konsuler.

Putusan Mahkamah

• Dengan suara 14 berbanding 1, Mahkamah menyatakan bahwa dengan tidak memberitahukan kepada Walter dan Karl LaGrand seketika saat penangkapan mereka mengenai hak mereka dalam pasal 36 ayat 1 (b) Konvensi Wina tentang Hubungan Konsuler, dan karena itu menyebabkan Jerman tidak dapat memberikan bantuan kepada mereka sesuai Konvensi, AS telah melanggar kewajibannya kepada Jerman dan LaGrand bersaudara dalam Konvensi Wina pasal 36 ayat 1.

• Dengan suara 14 berbanding 1, Mahkamah menyatakan bahwa dengan menolak peninjauan dan pertimbangan kembali, berdasarkan hak dalam Konvensi, terhadap tuntutan dan putusan yang dijatuhkan kepada LaGrand bersaudara AS telah melanggar kewajibannya kepada Jerman dan LaGrand bersaudara dalam pasal 36 ayat 2 Konvensi Wina.

• Dengan suara 13 berbanding 2, Mahkamah menyatakan bahwa dengan kegagalannya mengambil tindakan untuk memastikan Walter LaGrand tidak dieksekusi hingga didapatkan putusan final dari Mahkamah mengenai kasus ini, AS telah melanggar kewajibannya untuk menaati perintah Mahkamah (court order).

• Dengan suara bulat, Mahkamah menyatakan bahwa komitmen AS untuk menjamin implementasi tindakan-tindakan yang spesifik dalam rangka menaati kewajibannya dalam pasal 36 ayat 1 (b) Konvensi Wina, telah memenuhi permintaan Jerman untuk suatu jaminan tidak terulangnya kejadian ini.

• Dengan suara 14 berbanding 1, Mahkamah menyatakan bahwa apabila warga negara Jerman dijatuhi hukuman berat, tanpa ada pemberitahuan kepada warga negara tersebut mengenai haknya dalam Konvensi Wina, maka AS dengan cara yang dipilihnya harus mengizinkan dilakukannya peninjauan dan pertimbangan kembali atas tuntutan dan putusan yang dijatuhkan secara melanggar hak yang tercantum dalam Konvensi Wina.

Dasar Pertimbangan Putusan

• Mahkamah berpendapat bahwa pelanggaran terhadap ayat 1 (b) dari pasal 36 Konvensi Wina tidak harus selalu menyebabkan pelanggaran terhadap ketentuan lainnya dalam pasal ini. Akan tetapi dalam kasus ini, pelanggaran AS terhadap ketentuan ayat 1 (b) ternyata berakibat pada pelanggaran terhadap ketentuan ayat 1 (a) dan (c). Ayat 1 pasal 36 tersebut memuat ketentuan yang menjadi dasar implementasi sistem perlindungan konsuler. Apabila suatu negara tidak mengetahui ada warga negaranya yang menjalani proses hukum karena tidak diberitahukan oleh negara penerima maka negara pengirim tidak dapat melaksanakan haknya sesuai pasal 36.

• Kemudian Mahkamah memeriksa argumen para pihak mengenai hak yang timbul dari ketentuan pasal 36. Jerman menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan tersebut mengakibatkan pelanggaran terhadap hak invividu LaGrand bersaudara. Sementara AS menyatakan bahwa hak pemberitahuan dan akses kepada pejabat konsuler adalah hak negara dan bukan hak individu. Berdasarkan teks pasal 36 ayat 1 Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan pasal tersebut menciptakan suatu hak individu yang dapat diterapkan oleh negara asal warga negara yang ditahan. Hak-hak ini telah dilanggar dalam kasus ini.

• Mahkamah mengutip pasal 36 ayat 2 yang menyatakan bahwa hak yang tercantum dalam ayat 1 harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum nasional dari negara penerima. Mahkamah tidak dapat menerima argumen AS bahwa ketentuan ayat 2 tersebut hanya berlaku untuk hak negara dan tidak untuk hak individu (warga negara pengirim yang ditahan). Sebagaimana telah disebutkan

bahwa ketentuan ayat 1 menciptakan pula suatu hak individu maka ketentuan dalam ayat 2 tidak hanya berlaku untuk hak negara tetapi juga hak individu.

Mahkamah menyatakan bahwa ketentuan procedural default yang diterapkan di AS itu sendiri tidak bertentangan dengan pasal 36 Konvensi Wina. Akan tetapi masalah muncul ketika ketentuan tersebut menghalangi warga negara yang ditahan untuk mengajukan upaya hukum terhadap putusan tersebut atas dasar pelanggaran haknya dalam Konvensi Wina. Mahkamah menyimpulkan bahwa dengan keadaan-keadaan yang mengiringi terjadinya kasus ini menyebabkan doktrin procedural default memberikan efek yang menghalangi pelaksanaan hak-hak yang terkandung dalam pasal 36. Oleh karena itu maka ketentuan ayat 2 dari pasal 36 telah dilanggar.

• Mahkamah kemudian memeriksa masalah lainnya dalam kasus ini mengenai perintah yang dikeluarkan oleh Mahkamah pada 3 Maret 1999 yang memerintahkan kepada AS untuk menunda pelaksanaan eksekusi Karl LaGrand hingga Mahkamah mengeluarkan putusan akhir. Untuk mengetahui apakah AS memang telah melanggar perintah Mahkamah, maka perlu diketahui terlebih dahulu apakah perintah Mahkamah tersebut memang memiliki kekuatan mengikat? Dalam hal ini Mahkamah melihat persoalan utamanya adalah mengenai interpretasi terhadap pasal 41 Statuta Mahkamah Internasional.

• Inti dari pasal tersebut adalah Mahkamah memiliki kewenangan untuk menetapkan tindakan-tindakan tertentu yang harus diambil suatu pihak untuk melindungi hak dari pihak lainnya yang berperkara. Tindakan tertentu tersebut ditetapkan melalui suatu perintah Mahkamah. Menurut AS bahasa yang digunakan dalam pasal tersebut tidak menandakan adanya suatu kewajiban yang terkandung di dalamnya. Artinya, court order yang dikeluarkan oleh Mahkamah, menurut AS tidak memiliki kekuatan mengikat.

• Mahkamah kemudian meninjau bahasa yang digunakan dalam pasal tersebut, baik versi bahasa Inggris maupun Prancisnya. Mahkamah menemukan bahwa istilah yang digunakan dalam kedua versi bahasa tersebut memiliki konotasi yang berbeda dalam masing-masing bahasa. Versi bahasa Inggris tidak menunjukkan adanya suatu keharusan sedangkan versi bahasa Prancis menunjukkan adanya suatu keharusan. Karena kedua versi bahasa ini tidak mengandung keselarasan makna, maka Mahkamah merujuk pada pasal 92 Statuta Mahkamah Internasional dan pasal 111 Piagam PBB.

• Dalam pasal 92 Statuta disebutkan bahwa Statuta merupakan bagian kesatuan dari Piagam PBB. Kemudian dalam Piagam disebutkan bahwa naskah versi bahasa Inggris dan Prancis adalah sama dan memiliki kekuatan yang setara (equally authentic). Hal ini berlaku pula untuk naskah Statuta. oleh karena kedua versi bahasa memiliki kekuatan yang sama namun tidak menunjukkan kesamaan makna, maka kemudian Mahkamah merujuk pada pasal 33 ayat 4 Konvensi Wina mengenai Hukum Perjanjian Internasional. Berdasarkan ketentuan pasal ini apabila perbandingan naskah otentik menunjukkan adanya perbedaan makna padahal naskah otentik tersebut memiliki kekuatan yang sama, maka untuk menafsirkan maknanya perlu dilihat tujuan dan keperluan dari perjanjian yang bersangkutan.

• Fungsi dari Statuta adalah memungkinkan Mahkamah menjalankan fungsinya dalam melakukan penyelesaian sengketa internasional secara hukum. Oleh karena itu putusan yang dihasilkan oleh Mahkamah haruslah memiliki suatu kekuatan mengikat. Mahkamah melihat bahwa pengertian putusan tidak hanya mencakup putusan akhir tetapi juga perintah-perintah yang dikeluarkan Mahkamah mengenai tindakan tertentu yang harus diambil para pihak. Sehingga perintah Mahkamah tersebut memiliki kekuatan mengikat. Kemudian setelah melihat tindakan-tindakan yang telah dilakukan pejabat berwenang AS, Mahkamah menilai pejabat AS telah gagal menjalankan perintah Mahkamah pada 3 Maret 1999. Akan tetapi Mahkamah juga tidak mengesampingkan fakta bahwa AS hanya memiliki waktu yang sangat singkat antara dikeluarkannya perintah penundaan eksekusi dengan jadwal pelaksanaan eksekusi yang telah ditetapkan.

• Mahkamah melihat bahwa AS telah mengakui adanya pelanggaran terhadap kewajiban internasionalnya. Oleh karena itu AS meminta maaf dan menyatakan komitmennya melakukan tindakan dan program tertentu untuk mencegah terulangnya pelanggaran yang sama. Akan tetapi Mahkamah berpendapat bahwa dalam kasus ini, di mana warga negara yang bersangkutan telah menjalani masa penahanan yang cukup lama dan menghadapi hukuman yang berat, maka permintaan maaf saja tidak cukup. Dalam keadaan seperti itu maka adalah kewajiban AS untuk mengizinkan dilakukannya peninjauan dan pertimbangan kembali terhadap tuntutan dan putusan tersebut dengan memperhatikan ketentuan dalam Konvensi Wina. Kewajiban ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, yang ditentukan sendiri oleh AS.

Analisis Putusan

• Dalam Konvensi Wina tentang Hubungan Konsuler dikenal istilah negara pengirim (Sending State) dan negara penerima (Receiving State). Negara pengirim adalah negara asal pejabat konsuler. Dalam kasus ini negara pengirim adalah Jerman. Sedangkan negara penerima adalah negara tempat kedudukan pejabat konsuler tersebut. Dalam kasus ini sebagai negara penerima adalah AS.

Dalam dokumen Kumpulan Studi Kasus HI (Halaman 47-54)