• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dasar Pertimbangan Mahkamah Internasional

Dalam dokumen Kumpulan Studi Kasus HI (Halaman 27-33)

Mahkamah menilai bahwa dalam sengketa antara Indonesia dengan Malaysia mengenai kepemilikan pulau Sipadan dan Ligitan, Malaysia dimenangkan atas dasar pertimbangan effectivity, yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif berupa penerbitan undang-undang mengenai perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu semenjak tahun 1930 dan operasi mercusuar tahun 1960. Malaysia juga telah dianggap telah melakukan effective occupation dan sovereignty exercise

terhadap pulau Sipadan dan Ligitan dengan cara membangun berbagai resort dan objek pariwisata serta menerapkan berbagai aturan-aturan pajak di pulau tersebut.

Analisis Kasus

Dalam kasus ini, Malaysia dimenangkan oleh Mahkamah karena pada dasarnya, jika suatu negara ingin memiliki suatu kedaulatan terhadap suatu wilayah, maka Negara tersebut harus melakukan yang namanya dua hal, yaitu:

• Effective occupation,

• Exercise of sovereignty.

Indonesia dianggap tidak pernah melakukan dua hal itu terhadap pulau Sipadan dan Ligitan semenjak dari Indonesia dijajah oleh Belanda, hingga sampai Indonesia merdeka dari Belanda. Indonesia baru menyadari bahwa Sipadan dan Ligitan termasuk ke dalam wilayah kedaulatan Indonesia pada saat pertemuan dengan Malaysia mengenai teknis hukum laut. Sementara Malaysia, melalui pemerintahan kolonialnya Inggris, telah memulai menduduki wilayah Sipadan dan Ligitan semenjak tahun 1930 hingga sampai Malaysia merdeka dari Inggris.

Perbandingan dengan kasus Island of Palmas 1928, bahwa dahulu Island of Palmas atau Miangas telah diduduki oleh Pemerintahan Kolonial Belanda semenjak 2 abad yang lalu. Walaupun Spanyol (penjajah Filipina) telah menyerahkan daerah jajahannya kepada Amerika Serikat melalui sebuah perjanjian damai. Tetapi Amerika Serikat baru menyadari adanya Miangas semenjak tahun 1927. PCIJ memutus bahwa Island of Palmas diberikan kepada pemerintahan Kolonial Belanda karena adanya penerimaan kedaulatan oleh masyarakat setempat dalam waktu yang lama tanpa adanya keberatan dari penduduk Miangas.

Jadi antara Sipadan dan Ligitan dengan Island of Palamas ada suatu kesamaan dalam memiliki sebuah kedaulatan, yaitu adanya effective occupation, dan kedaulatan itu dalam waktu yang lama telah diterima tanpa adanya keberatan dari penduduk di daerah tersebut.

SOVEREIGNTY OF PEDRA BRANCA/ PULAU BATU PUTEH, MIDDLE

ROCKS & SOUTH LEDGE, MALAYSIA/ SINGAPORE, 2008

Fakta-Fakta Hukum

1.Pedra Branca atau Pulau Batu Puteh merupakan sebuah pulau kecil yang terletak di perbatasan antara Malaysia dengan Singapura, tepatnya sekitar 24 mil sebelah timur Selat Singapura. Sementara Middle Rocks adalah dua buah pulau karang yang terletak di 0,6 mil selatan Pedra Branca dan South Ledge adalah sebuah dermaga kecil yang terletak 2,1 mil selatan Pedra Branca.

2.Sengketa ini melibatkan pihak Singapura yang pada tanggal 14 Februari 1980 memprotes tindakan Malaysia yang menyatakan bahwa Pulau Batu Puteh merupakan bagian dari kedaulatan teritorial Malaysia. Sementara, Middle Rocks dan South Ledge menjadi sengketa pada tanggal 6 Februari 1993 dan dimasukkan kedalam objek sengketa bersama dengan Pedra Branca sebagai satu kesatuan, namun Singapura tidak memasukkan Middle Rocks dan South Ledge dalam Notification tanggal 14 Februari 1980.

3.Pada tanggal 24 Juli 2003, Malaysia dan Singapura sepakat untuk membawa masalah ini ke ICJ melalui Special Agreement dengan agenda pembahasan kedaulatan antara Malaysia dengan Singapura terhadap Pedra Branca, Middle Rocks, dan South Ledge. 4.Singapura beralasan bahwa Pedra Branca merupakan terra nullius dan memiliki

peranan penting dalam lalu lintas pelayaran internasional di Selat Singapura dimana Singapura telah melakukan tindakan effective occupation untuk membuktikan kedaulatannya sejak tahun 1847 hingga 1979 dibuktikan dengan adanya pembangunan mercusuar Horsburgh dan instalasi komunikasi militer di pulau itu dan juga menyatakan bahwa status kedaulatan yang muncul dalam Pulau Batu Puteh juga berlaku sama terhadap Middle Rocks, dan South Ledge.

5.Malaysia tidak pernah melakukan tindakan apapun untuk membuktikan kedaulatannya di Pedra Branca, namun pada tahun 1953, Malaysia mengklaim diri sebagai pemilik Pedra Branca. Malaysia juga beralasan bahwa Pedra Branca dan sekitarnya dahulu merupakan bagian dari Kesultanan Johor sehingga anggapan bahwa Pedra Branca merupakan terra nullius adalah salah.

6.Alasan Malaysia tersebut juga diperkuat dengan Crawfurd Treaty tahun 1874 tentang penyerahan kedaulatan terhadap Pulau Singapura dan sekitarnya dari Kesultanan Johor ke East India Company (Inggris) dimana Pulau Batu Puteh letaknya justru lebih dekat ke Malaysia dibanding Singapura.

7.Malaysia juga menyatakan bahwa mercusuar Horsburgh yang ada di Pedra Branca dibangun oleh East India Company pada tahun 1851 sebagai bagian dari sistem navigasi di Selat Singapura.

Masalah Hukum

Masalah hukum yang kemudian terjadi adalah :

1.Bagaimana putusan ICJ terhadap masalah ini mengingat Singapura telah melakukan tindakan effective occupation terhadap Pedra Branca sejak lama untuk membuktikan kedaulatannya, sedangkan Malaysia menggunakan pendekatan sejarah Kesultanan Johor sebagai pemilik terdahulu dari Pedra Branca?

2.Apakah status hukum dari Pulau Batu Puteh, Middle Rocks, dan South Ledge dapat diklaim secara bersamaan menjadi satu kesatuan atau ketiganya berdiri secara terpisah?

Putusan Mahkamah Internasional

Pada tanggal 23 Mei 2008, Mahkamah Internasional akhirnya memutuskan bahwa Singapura adalah pemilik kedaulatan di Pedra Branca, Middle Rocks menjadi milik Malaysia, dan South Ledge menjadi milik negara yang memiliki laut teritorial tempat South Ledge berada.

Dasar Pertimbangan Mahkamah Internasional

Mahkamah Internasional memutuskan Pedra Branca menjadi miliki Singapura karena Malaysia tidak melakukan tindakan apapun untuk membuktikan kedaulatannya di Pedra Branca meskipun ICJ sependapat dengan argumen Malaysia mengenai latar belakang sejarah kepemilikan Pedra Branca yang merupakan bagian dari Kesultanan Johor dan bukan terra nullius seperti yang dinyatakan oleh Singapura, namun alasan sejarah saja tidak dapat memperkuat argumen Malaysia. Mahkamah juga mengatakan bahwa tindakan effective

occupation yang dilakukan oleh Singapura merupakan exercised continous sovereignty over the island untuk membuktikan adanya tindakan untuk memperoleh kedaulatan terhadap wilayah

tersebut, sementara Malaysia tidak pernah melakukan tindakan apapun untuk membuktikan kedaulatannya di Pedra Branca.

Analisis Kasus

Menurut kelompok kami, dalam kasus ini Mahkamah Internasional memenangkan pihak Singapura atas kedaulatan di Pedra Branca/ Pulau Batu Puteh karena Singapura melakukan dua tindakan yang yang diperlukan bagi suatu negara untuk memperoleh wilayah secara preskripsi yaitu effective occupation dan exercises continous sovereignty over the island. Dalam kasus ini, pihak Malaysia tidak pernah melakukan kedua tindakan tersebut dalam bentuk apapun walaupun secara historis pendapat Malaysia dapat dibenarkan, namun pendekatan historis saja tidak dapat dijadikan argumen yang kuat dalam masalah hukum internasional,

terutama yang menyangkut kedaulatan teritorial.

Kasus ini memiliki kesamaan dengan kasus Island of Palmas tahun 1928 dimana dahulu Island of Palmas atau Miangas telah diduduki oleh Pemerintahan Kolonial Belanda semenjak 2 abad yang lalu. Spanyol sebagai penjajah Filipina telah menyerahkan daerah jajahannya kepada Amerika Serikat melalui sebuah perjanjian damai, namun Amerika Serikat baru menyadari adanya Miangas semenjak tahun 1927. PCIJ kemudian memutus bahwa Island of Palmas diberikan kepada pemerintahan Kolonial Belanda karena adanya penerimaan kedaulatan oleh masyarakat setempat dalam waktu yang lama tanpa adanya keberatan dari penduduk Miangas (preskripsi). Dalam kasus ini, Malaysia baru memasukkan Pedra Branca kedalam wilayah teritorialnya pada tahun 1953 tanpa melakukan effective occupation sebelumnya, sementara Singapura telah melakukan effective occupation atas Pedra Branca sejak tahun 1847 tanpa ada protes dari pihak Malaysia (Kesultanan Johor).

LINGKUNGAN

TRAIL SMELTER ARBITRATION, ARBITRAL TRIBUNAL, 3 R.I.A.A.,

1938 & 1941

Fakta-Fakta Hukum

1. Para pihak dari kasus ini adalah Amerika Serikat melawan Kanada pada tahun 1937. 2. Pada tahun 1937, pabrik smelter / biji besi di kota Trail propinsi British Columbia,

Kanada, memproduksi asap beracun yang mengandung sulfur dioksida.

3. Cerobong dari pabrik biji besi tersebut sangat tinggi sehingga asap dari aktifitas pabrik yang mengandung sulfur dioksida tersebut terbang ke udara dan sampai ke negara

bagian Washington State di Amerika Serikat.

4. Asap tersebut menimbulkan kerugian di kota Seattle berupa korosi atap rumah, dan berbagai kerugian pada tumbuhan yang ada di kota tersebut, sehingga petani-petani setempat menderita kerugian.

5. Oleh karena kejadian tersebut, Amerika Serikat menggugat Kanada di Permanent Court of Arbitration.

Masalah Hukum

Apakah tindakan yang dilakukan oleh pabrik biji besi yang terletak di kota Trail, Propinsi British Columbia, Kanada tersebut adalah tindakan yang merugikan lingkungan hidup yang bersifat transboundary, sehingga Kanada harus membayar ganti rugi kepada Amerika?

Dalam dokumen Kumpulan Studi Kasus HI (Halaman 27-33)