• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori 1.Teori Stakeholder 1.Teori Stakeholder

4. Good Corporate Governance

a. Definisi Good Corporate Governance

Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) dalam Yudha Pranata (2007), mendefinisikan Good Corporate Governance sebagai sebagai seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan.

Sementara itu, World Bank dalam (Anggraeni dan Silviana, 2012) mendefinisikan bahwa Good Corporate Governance merupakan suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggungjawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun

24

administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha.

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Good Corporate Governance merupakan suatu sistem tata kelola perusahaan yang berisi peraturan-peraturan serta etika yang wajib dipenuhi untuk meningkatkan kinerja perusahaan sebagai bentuk pertanggungjawaban perusahaan terhadap pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan esktern lainnya.

b. Implementasi Good Corporate Governance

Perbankan Syariah memiliki peraturan tersendiri mengenai pelaksanaan Good Corporate Governance, yaitu Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 11/33/PBI/2009. Terbitnya peraturan ini diharapkan mampu memperkuat industriperbankan syariah menjadi industri yang sehat dan tangguh. Kemudian peraturan ini juga memperjelas bahwa pelaksanaan GCG di dalam industri perbankan syariah berbeda dengan pelaksanaan GCG di perbankan konnvensional, dimana pelaksanaan GCG perbankan syariah harus memenuhi prinsip syariah (Sharia compliance).

Sharia Compliance merupakan ketaatan bank syariah terhadap prinsip-prinsip syariah. Bank syariah merupakan lembaga keuangan yang yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam, artinya bank dalam beroperasinya mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam khususnya menyangkut tata cara bermuamalat secara Islam (Antonio, 1999).

25

Prinsip Good Corporate Governance dalam Islam juga sesuai dengan yang dirumuskan oleh OECD maupun KNKG. Prinsip-prinsip tersebut adalah transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, dan keadilan.

1) Transparansi

Keakuratan juga menjadi prinsip penting dalam pelaksanaan Corporate Governance yang Islami. Informasi yang akurat dapat diperoleh jika sistem yang ada di perusahaan dapat menjamin terciptanya keadilan dan kejujuran semua pihak. Kondisi ini dapat dicapai jika setiap perusahaan menjalankan etika bisnis yang Islami dan didukung dengan sistem akuntansi yang baik dalam pengungkapan yang wajar dan transparan atas semua kegiatan bisnis. (Widiyanti, 2009).

2) Akuntabilitas

Akuntabilitas tidak hanya terbatas pada pelaporan keuangan yang jujur dan wajar, tetapi yang lebih mengedapankan esensi hidup manusia yang yaitu merupakan bentuk pertanggungjawaban manusia kepada Allah sebagai zat pemilik seluruh alam semesta. Konsep Islam yang fundametal meyakini bahwa alam dan seluruh isinya sepenuhnya milik Allah dan manusia dipercaya untuk mengelola sebaik-baiknya demi kemaslahatan umat (Widiyanti, 2009).

3) Pertanggungjawaban

Pertanggungjawaban keuangan perusahaan juga perlu disampaikan dalam bentuk pengungkapan yang jujur dan wajar atas kondisi keuangan perusahaan.

26

Sehingga pemegang saham dan stakeholder dapat mengambil keputusan yang tepat. Pelaporan keuangan yang benar dan akurat, juga akan mengahasilkan keakuratan dalam pembayaran zakat. Karena dari setiap keuntungan yang diperoleh muslim dalam kegiatan bisnisnya, setidaknya ada 2,5% yang menjadi hak kaum fakir miskin. Masalah zakat menjadi penting dalam perspektif Islam karena merupakan ciri diimplementasikannya Good Corporate Governance. Pengelolaan perusahaan yang baik tidak hanya bertujuan untuk memakmurkan manajemen dan pemegang saham, tetapi juga masyarakat di sekitar perusahaan tersebut khususnya kaum fakir dan miskin (Widiyanti, 2009).

4) Independensi

Independensi terkait dengan konsistensi atau sikap istiqomah yaitu tetap berpegang teguh pada kebenaran meskipun harus menghadapi risiko.

5) Keadilan

Prinsip pencatatan yang jujur, akurat dan adil juga telah diatur dalam Al Quran (2: 282). Al-Quran 2: 283 dan Al Quran 21: 47 juga menekankan bahwa pencatatan atas transaksi keuangan harus dilakukan dengan baik dan benar. Orang yang bertanggungjawab atas pencatatan harus dipilih mereka yang jujur dan adil. Sekali lagi, ini menunjukkan Islam menghendaki diselenggarakannya bisnis secara adil dan jujur bagi semua pihak (Widiyanti, 2009).

27

Good Corporate Governance dalam prinsip syariah dijalankan tidak hanya sebagai bentuk pertanggungjawaban manajemen terhadap pemilik modal, tetapi lebih pada kebutuhan dasar setiap muslim untuk menjalankan syariat Islam secara utuh dan sempurna. Dengan dasar keyakinan kepada Allah maka Good Corporate Governance akan memotivasi transaksi bisnis yang jujur, adil dan akuntabel.

Isfandayani (2012) menyatakan bahwa GCG mempunyai pilar-pilar mekanisme supaya sistem GCG efektif. Pilar-pilar tersebut adalah:

1) Peran dan tanggung jawab DPS harus dioptimalkan untuk memberikan keyakinan bahwa seluruh transaksi yang dilakukan oleh perusahaan tidak melanggar kaidah-kaidah syariah.

2) Bank syariah harus memiliki sistem pengawasan internal dan manajemen resiko yang tangguh untuk mendeteksi dan menghindari terjadinya salahkelola dan penipuan maupun kegagalan sistem dan prosedur pada bank syariah. 3) Dalam konteks syariah, auditor eksternal tidak saja berperan untuk

memberikan opini bahwa laporan keuangan bank telah disajikan secara wajar sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku. Auditor eksternal juga harus bekerjasama dan mengorelasikan pekerjaannya dengan DPS dan auditor internal untuk mendapatkan keyakinan bahwa penyajian laporan keuangan telah memiliki tingkat pengungkapan dan transparansi yang memadai.

4) Transformasi budaya korporasi yang Islami dan peningkatan kualitas SDM harus menjadi komitmen bagi manajemen bank syariah.

28

5) Perangkat hukum dan peraturan Bank Indonesia dan pasar modal yang sesuai dengan karakteristik bank syariah menjadi prasyarat guna terciptanya iklim pengawasan dan GCG yang sehat bagi perbankan syariah.

c. Struktur Good Corporate Governance

1) Dewan Komisaris

Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG, 2006) menyebutkan bahwa kepengurusan Perseroan Terbatas di Indonesia menganut sistem dua badan yaitu Dewan Komisaris dan Direksi yang mempunyai wewenang dan tanggung jawab yang jelas sesuai dengan fungsinya masing-masing sebagaimana diamanahkan dalam anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk hal ini adalah Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyebutkan bahwa organ perusahaan terdiri dari RUPS, Direksi, dan Dewan Komisaris.

Menurut Egon Zehnder (2000) dalam FCGI (2001), Dewan Komisaris merupakan inti dari corporate governance, yang ditugaskan untuk menjamin pelaksanaan strategi perusahaan, mengawasi manajemen dalam mengelola perusahaan, dan mewajibkan terlaksananya akuntabilitas. Komisaris bersifat independen, mereka tidak terlibat dalam pengelolaan perusahaan dan diharapkan mampu melaksanakan tugasnya secara obyektif (Andayani. 2010).

Dewan Komisaris memiliki wewenang untuk mengawasi dan memberikan petunjuk dan arahan pada pengelola perusahaan. Dengan wewenang yang dimiliki, Dewan Komisaris dapat memberikan pengaruh yang cukup kuat dalam menekan

29

manajemen untuk mengungkapkan CSR (Gray et al. dalam Anggraini, 2006). Undang-Undang Perseroan Terbatas No. 40 tahun 2007 memiliki ketentuan bahwa suatu Perseroan Terbatas paling sedikit memiliki dua anggota Dewan Komisaris.

Terdapat dua sistem manajemen yang membedakan mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Komisaris yaitu (FCGI, 2001):

a) Sistem satu tingkat atau One Tier System

Sistem ini berasal dari sistem hukum anglo saxon, dalam sistem ini perusahaan hanya mempunyai satu Dewan Direksi yang pada umumnya merupakan kombinasi antara manajer atau pengurus senior (Direktur Eksekutif) dan Direktur Independen yang bekerja dengan paruh waktu (Non Direktur Eksekutif). Negara-negara yang menganut One Tier System adalah Amerika Serikat dan Inggris.

Gambar 2.1Struktur Board of Directors dalam One Tier System

b) Sistem Dua Tingkat atau Two Tier System

Sistem ini berasal dari sistem hukum kontinental Eropa. Dalam sistem ini perusahaan mempunyai dua badan terpisah, yaitu Dewan Pengawas (Dewan Komisaris) dan Dewan Manajemen (Dewan Direksi). Anggota Dewan Direksi diangkat dan setiap waktu dapat diganti oleh badan pengawas (Dewan Komisaris). Dewan Komisaris terutama bertanggungjawab untuk mengawasi tugas-tugas

30

manajemen. Negara negara yang menganut sistem ini adalah Denmark, Jerman, Belanda, Jepang dan Indonesia.

Gambar 2.2 Struktur Two Tiers System yang berkembang di Indonesia

Secara umum Dewan Komisaris ditugaskan dan diberi tanggung jawab atas pengawasan kualitas informasi yang terkandung dalam laporan keuangan. Hal ini penting mengingat adanya kepentingan dari manajemen untuk melakukan manajemen laba yang berdampak pada berkurangnya kepercayaan investor. Untuk mengatasinya Dewan Komisaris diperbolehkan untuk memiliki akses pada informasi perusahaan. Dewan Komisaris tidak memiliki otoritas dalam perusahaan, maka Dewan Direksi bertanggungjawab untuk menyampaikan informasi terkait dengan perusahaan kepada Dewan Komisaris (KNKG 2006).

Dewan komisaris ada dua jenis yaitu Komisaris independen dan Komisaris non-independen. Komisaris independen merupakan Komisaris yang tidak berasal dari pihak terafiliasi, sedangkan Komisaris non-independen merupakan Komisaris yang terafiliasi yang dimaksud dengan terafiliasi adalah pihak yang mempunyai hubungan bisnis dan kekeluargaan dengan pemegang saham pengendali, anggota Direksi dan

31

Dewan Komisaris lain, serta dengan perusahaan itu sendiri. Mantan anggota Direksi dan Dewan Komisaris yang terafiliasi serta karyawan perusahaan, untuk jangka waktu tertentu termasuk dalam kategori terafiliasi (KNKG 2006).

Sembiring (2005) menyatakan bahwa semakin besar jumlah anggota Dewan Komisaris, maka semakin mudah untuk mengendalikan CEO dan pengawasan yang dilakukan akan semakin efektif. Dikaitkan dengan pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan, maka tekanan terhadap manajemen juga akan semakin besar untuk mengungkapkannya.

2) Komite Audit

Dewan Komisaris dapat membentuk komite-komite yang dapat membantu pelaksanaan tugasnya. Salah satunya adalah Komite Audit, yang memiliki tugas terpisah dalam membantu Dewan Komisaris untuk memenuhi tanggung jawabnya dalam memberikan pengawasan secara menyeluruh (FCGI, 2002). Dalam Pedoman GCG Indonesia (KNKG, 2006) dijelaskan bahwa Komite Audit mempunyai tanggung jawab pada tiga bidang, yaitu:

a) Laporan Keuangan (Financial Reporting), adalah untuk memastikan bahwa laporan keuangan yang dibuat oleh manajemen telah memberikan ganbaran yang sebenarnya tentang kondisi keuangan, hasil usahanya, serta rencana dan komitmen jangka panjang.

b) Tata Kelola Perusahaan (Corporate Governance), adalah untuk memastikan bahwa perusahaan telah dijalankan sesuai undang-undang dan peraturan yang berlaku, melaksanakan usahanya dengan beretika, melaksanakan pengawasannya

32

secara efektif terhadap benturan kepentingan dan kecurangan yang dilakukan oleh karyawan perusahaan.

c) Pengawasan perusahaan (Coprorate Control)

Tanggung jawab Komite Audit untuk pengawasan perusahaan termasuk di dalamnya pemahaman tentang masalah serta hal-hal yang berpotensi mengandung risiko dan sistem pengendalian intern serta memonitor proses pengawasan yang dilakukan oleh auditor internal. Ruang lingkup audit internal harus meliputi pemeriksaan dan penilaian tentang kecukupan dan efektifitas sistem pengwasan intern.

Selain itu, menurut KNKG (2006), jumlah anggota Komite Audit harus disesuaikan dengan kompleksitas perusahaan dengan tetap memperhatikan efektifitas dalam pengambilan keputusan. Komite Audit diketuai oleh Komisaris Independen dan anggotanya terdiri dari Komisaris dan atau pelaku profesi dari luar perusahaan. Salah seorang anggota memiliki latar belakang dan kemampuan akuntansi dan atau keuangan.

d. Syariah Governance (Dewan Pengawas Syariah)

Menurut Peraturan Bank Indonesia No.11/33/PBI/2009, Dewan Pengawas Syariah (DPS) adalah dewan yang bertugas memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan Bank agar sesuai dengan prinsip syariah.

Dewan Pengawas Syariah merupakan komponen yang hanya dimiliki oleh perusahaan yang dijalankan sesuai syariah Islam. Laporan DPS dibuat untuk meyakinkan stakeholder bahwa perusahaan telah menjalankan aktivitas operasinya

33

sesuai dengan prinsip syariah. Keberadaan pengawasan syariah dalam Bank Syariah merupakan penentu dalam pelaksanaan seluruh transaksi dan produk yang ditawarkan sesuai dengan peraturan dan prinsip Islam. Pentingnya keberadaan pengawasan syariah dalam bank syariah ini sama pentingnya dengan keberadaan corporate governance dalam suatu perusahaan. Menurut Bhatti dan Bhatti (2010) dalam Rahman dan Abdullah (2013), struktur corporate governance Islam dalam bank syariah serupa dengan struktur corporate governance konvensional. Dalam corporate governance Islam, praktik corporate governance dilakukan dengan pengawasan yang dilakukan oleh suatu dewan yang disebut dengan Dewan Pengawas Syariah (DPS).

Tugas dan Tanggung Jawab DPS diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No.11/33/PBI/2009 pada pasal 46 dan 47. Pada pasal 46, Dewan Pengawas Syariah wajib melaksanakan tugas dan tanggung jawab sesuai dengan prinsip-prinsip GCG. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah sebagaimana pada Pasal 47 meliputi antara lain :

1) Menilai dan memastikan pemenuhan Prinsip Syariah atas pedomanoperasional dan produk yang dikeluarkan Bank.

2) Mengawasi proses pengembangan produk baru Bank agar sesuai denganfatwa Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia.

3) Meminta fatwa kepada Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesiauntuk produk baru Bank yang belum ada fatwanya.

34

4) Melakukan review secara berkala atas pemenuhan Prinsip Syariah terhadapmekanisme penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa bank.

5) Meminta data dan informasi terkait dengan aspek syariah dari satuan kerja bank dalam rangka pelaksanaan tugasnya.

Farook et al. (2011) dalam penelitiannya mengenai faktor-faktor penentu pengungkapan CSR di bank-bank Islam memilih proxy keberadaan Sharia Supervisory Board (SSB) atau Dewan Pengawas Syariah sebagai atribut pengujian yang mewakili struktur shariah governance. Menurut pendapatnya, sejumlah bank Islam membentuk lembaga khusus pengawasan untuk membatasi perbedaan kepentingan antara investor Islam dengan pengelolaan bank syariah. Dewan Pengawas Syariah berfungsi untuk meyakinkan investor bahwa bank-bank Islam patuh pada hukum dan prinsip-prinsip syariah. Faroek et al. (2011) menambahkan dalam penelitiannya bahwa idealnya masyarakat mengharapkan Dewan Pengawas Syariah dapat mewakili hukum dan prinsip-prinsip Islam lebih dari manajemen. Sejauh mana keberadaan Dewan Pengawas Syariah mempengaruhi pengungkapan CSR tergantung pada fungsi Dewan Pengawas Syariah dalam melakukan pengawasan dari sudut pandang investor. Faktor penentu dari tingkat pengawasan tersebut yaitu: 1) Keberadaan Dewan Pengawas Syariah

Fungsi Dewan Pengawas Syariah sebagaimana yang dinyatakan oleh AAOIFI yaitu peran Dewan Pengawas Syariah dalam hal memberikan keyakinan kepada investor maupun stakeholder bahwa bank Islam dalam menjalankan kegiatannya telah

35

patuh pada hukum-hukum dan prinsip-prinsip syariah seperti yang tercantum dalam Alquran dan hadits. Sifat kepatuhan terhadap hukum dan prinsip Islam tidak hanya dilihat dari kepatuhan dalam menerbitkan laporan syariah saja, namun juga lebih banyak terlibat dalam kegiatan CSR, termasuk pengungkapan CSR (Farook et al. 2011).

2) Jumlah Anggota Dewan

Standar AAOIFI menyatakan bahwa jumlah minimum anggota Dewan Pengawas Syariah untuk persyaratan bank-bank syariah paling sedikit tiga anggota. Semakin besar jumlah anggota dalam sebuah Dewan Pengawas Syariah, semakin tinggi tingkat pengawasannya, maka menyiratkan semakin tinggi pula tingkat kepatuhan bank terhadap hukum dan prinsip syariah. DPS akan mampu mengalokasikan fungsinya dalam kelompok yang memiliki anggota lebih banyak, yang memungkinkan DPS untuk meninjau lebih banyak aspek dari kegiatan bank sehingga dapat memastikan tingkat kepatuhan yang lebih tinggi. Salah satu aspek kepatuhan ini adalah pengungkapan CSR yang lebih luas. Selain itu, dengan jumlah anggota yang lebih besar, penyatuan ide-ide dan perspektif yang lebih beragam dapat berdampak pada aplikasi yang lebih baik dari hukum Islam, khususnya dalam hal pengungkapan. AAOIFI merekomendasikan bahwa sebaiknya anggota yang duduk dalam DPS berasal dari latar belakang profesi (AAOIFI, 2003).

3) Kualifikasi Pendidikan

Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa latar belakang pendidikan yang dimiliki oleh direktur atau anggota dewan dalam hal ini DPS juga memengaruhi

36

tingkat pengungkapan (Farook et al. 2011). Biasanya anggota DPS terdiri dari ahli hukum Islam yang mungkin tidak berpendidikan tinggi dalam studi sekuler (Farook et al, 2011). Hal ini dapat menghambat kemampuan mereka dalam penerapan hukum-hukum dan prinsip-prinsip Islam secara menyeluruh dikarenakan kurangnya pengetahuan komersial praktis mereka. Oleh karena itu, para ahli dengan gelar doktor di bidang ekonomi dan bisnis dapat dikatakan memiliki informasi lebih baik mengenai implikasi Islam dalam lembaga keuangan, khususnya berkaitan dengan pengungkapan CSR (Farook et al, 2011).

Tugas pokok dan concern utama dari DPS adalah dalam hal sharia compliant. Jadi tidak dapat dipungkiri bahwa kompetensi yang dibutuhkan bagi DPS adalah keahlian dalam hal hukum Islam. Namun perlu disadari pula bahwa keahlian dalam bidang keuangan / perbankan juga diperlukan bagi DPS (Charles dan Chariri, 2012). Tentu akan sulit untuk menentukan (istimbat) mengenai halal atau haramnya suatu aktivitas atau bahkan produk bank, jika DPS hanya mengusai hukum Islam tanpa memahami praktik perbankan. Lebih lanjut Bakar (2002) dalam Farook et.al (2011) menyatakan bahwa idealnya penasehat syariah (anggota dewan) harus mempu memahami bukan saja isu-isu syariah tetapi juga isu-isu mengenai hukum dan ekonomi, karena isu-isu demikian saling melengkapi.

GSFI No.1 tentang “ Dewan Pengawas Syariah : Penunjukkan, Komposisi, dan laporan”, secara khusus pada paragraf kedua memberikan rekomendasi tentang komposisi keahlian DPS. Bank syariah harus menunjukkan dan mengangkat DPS dengan keahlian utama fiqh muamalah, namun hendaknya diangkat pula seseorang

37

yang ahli dalam bidang institusi keuangan Islam (ahli keuangan/perbankan) dengan pengetahuan fiqh muamalah. Dalam kaitan dengan pengungkapan CSR, diduga Bank Syariah dengan DPS yang memiliki kompetensi dalam bidang keuangan dan perbankan akan melakukan pengungkapan CSR dengan lebih baik.

3) Reputasi Para Ahli

Menurut Farook et al (2011) beberapa ahli syariah memiliki jumlah yang signifikan dalam hal pengetahuan tentang penerapan hukum Islam dalam institusi keuangan. Namun, kualifikasi yang mereka miliki mungkin belum diakui secara formal atau tidak berasal dari lembaga pendidikan sekuler. Hussain dan Mallin dalam (2003) dalam Farook et al. (2011) melaporkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penunjukan direktur pada perusahaan di Bahrain adalah kemampuan yang relevan, pengalaman bisnis dan reputasi. Berdasarkan hal tersebut, diharapkan bahwa reputasi sebagai proxy untuk pengetahuan industri dan oleh karena itu para ahli memiliki reputasi dengan tingkat pengetahuan tentang prinsip syariah dan bisnis yang relevan dan banyak menjadi perwakilan bagi Dewan Pengawas Syariah di lembaga keuangan dan perbankan syariah yang paham akan implikasinya pada perbankan syariah, khususnya berkaitan dengan pengungkapan CSR. Oleh karena itu, ahli yang memiliki reputasi lebih memungkinkan untuk meningkatkan kegiatan CSR serta pengungkapan informasi CSR kemudian.

38 B. Keterkaitan Antar Variabel