• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. PENDAHULUAN

2.3 Daerah Perlindungan Laut

2.3.1 Pengertian, Maksud dan Tujuan Pembentukan DPL

Daerah perlindungan laut (DPL) merupakan salah satu bentuk pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. DPL didefinisikan sebagai no take zone area yang

dikelola oleh masyarakat lokal (Crawford et al. 2000), juga dapat difungsikan sebagai marine sanctuary atau fish sanctuary.

Pembentukan DPL dimaksudkan untuk (i) mengurangi kegiatan bersifat destruktif terhadap sumberdaya laut dan pesisir, khususnya terumbu karang dan mangrove, (ii) melindungi spesies langka dan habitatnya, (iii) dapat merehabilitasi sumberdaya laut akibat aktifitas yang merusak, dan (iv) mengembangkan kegiatan yang dapat meningkatkan perekonomian bagi masyarakat lokal (Salm et al. 2000). DPL atau no take marine protected areas didirikan sebagai bentuk pengelolaan perikanan dan untuk perlindungan biodiversity (Jones et al. 2007).

DPL secara khusus dapat ditetapkan di suatu kawasan yang aktifitas perikanannya sudah berlangsung lama dan habitat terumbu karangnya mungkin mulai rusak oleh aktifitas manusia. Perlindungan terhadap kawasan terumbu karang dari kegiatan penangkapan ikan dan aktifitas manusia lainnya akan memberikan kesempatan bagi terumbu karang dan organisme dasar laut lain yang sudah rusak atau binasa untuk kembali hidup dan berkembang biak. Kawasan terumbu karang yang kaya nutrisi menyediakan tempat hidup dan makanan bagi ikan untuk hidup, makan, tumbuh dan berkembang biak. Gambar 3 memperlihatkan contoh sketsa penerapan DPL.

Gambar 3. Contoh sketsa DPL di sekitar pulau kecil (Tulungen et al. 2002)

2.3.2 Indikator Keberhasilan Pengelolaan DPL

Langkah-langkah umum dari penetapan dan implementasi DPL-BM adalah: (i) tahap masuk ke masyarakat, persiapan dan penilaian; (ii) perencanaan

yang termasuk pembentukan kelompok inti, pemilihan lokasi perlindungan, pembentukan aturan, penentuan mekanisme pengelolaan dan pengaturan keuangan; (iii) peresmian melalui persetujuan sebuah aturan municipal, perencanaan dan penganggaran dan (iv) implementasi (Berkes et al. 2001).

Indikator keberhasilan pengelolaan DPL dapat dilihat dari (i) peningkatan sumberdaya dan diversitas dari ikan dan luasan tutupan karang, (ii) peningkatan persepsi/kesadaran masyarakat tentang pentingnya DPL yang akan merubah kebiasaan masyarakat yang bersifat merusak sumberdaya yang ada, (iii) pembentukan dan pengelolaan secara fisik dari fungsi DPL seperti pemasangan

marker buoys sepanjang batasan, tanda batas, management plan, kelembagaan, dll, (iv) tingkat kesadaran untuk berperan dan (v) kesepakatan untuk memberdayakan masyarakat dalam mengelola sumberdaya laut mereka (Pollnac dan Crawford 2001).

Lebih lanjut, Pollnac dan Crawford (2001) menyampaikan dua faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengelolaan DPL, yaitu faktor kontekstual dan faktor

project. Faktor kontekstual dibagi menjadi tiga kategori, yaitu (i) lingkungan dan demografi, (ii) sosial ekonomi dan (iii) perekonomian secara umum dan kualitas hidup penduduk. Sedangkan faktor project dibagi menjadi dua kategori, yaitu (i) aspek fisik dari no take zone dan aktifitas project dan (ii) aspek partisipasi masyarakat dalam pengembangan no take zone. Sedangkan Alhanif (2007) menggunakan tiga kriteria yang merupakan gabungan dari berbagai sumber dan dimodifikasi, yaitu (i) lingkungan dan demografi, (ii) sosial-ekonomi dan (iii) faktor eksternal. Faktor eksternal ini meliputi komitmen dan dukungan dari pemerintah lokal serta dukungan data yang bersifat scientifik.

Sedangkan menurut Berkes et al. (2001), beberapa variabel yang mempengaruhi pengelolaan sumberdaya pesisir dan perikanan antara lain (i)

project variables, (ii) context variables (supra community dan community) dan (iii) impact variables (intermediate dan ultimate impacts).

Project variables yang dapat digunakan dalam evaluasi dari implementasi

project antara lain (i) partisipasi masyarakat dalam perencanaan, (ii) keberlanjutan partisipasi dalam perencanaan dan implementasi, (iii) fleksibilitas dalam menjalankan project sebagaimana mestinya, (iv) tenaga fulltime sebagai pengelola

project dalam masyarakat, (v) identifikasi terhadap grup inti untuk pengembangan kepemimpinan, (vi) pengembangan pendidikan masyarakat yang terkait dengan tujuan project, (vii) koordinasi antarpihak yang terlibat, (viii) komunikasi untuk memperjelas tujuan atau maksud dari project dan (ix) pendanaan yang cukup.

Context variables merupakan non-project variables yang dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori atau level, yaitu supracommunity level,

level community dan household dan individual levels. Beberapa komponen paling umum yang termasuk dalam supracommunity level antara lain pihak pusat, peraturan dan dukungan administratif dari pemerintah. Disamping hal tersebut,

supracommunity level ini dapat didukung antara lain institusi baik yang berasal dari pemerintah maupun non pemerintah. Kadang kala, beberapa supracommunity

tidak terkait langsung dengan nelayan, tetapi mereka memberikan pelayanan seperti pelatihan, informasi, pemasaran untuk masyarakat pesisir.

Supracommunity level lainnya yang dapat memberikan dukungan dalam

keberhasilan pengelolaan sumberdaya pesisir adalah aspek dari pemasaran tingkat regional, nasional dan internasional termasuk di dalamnya potensi untuk komersialisasi produk. Isu seperti permintaan dan harga dapat mempengaruhi penggunaan sumberdaya dan penegakan aturan. Sedangkan dilihat dari community level, lebih banyak mengacu pada kondisi sosial dan lingkungan masyarakat. Berkes et al. (2001) juga merangkum dari berbagai sumber terkait faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengelolaan sumberdaya pesisir dan perikanan pada

community level, antara lain: (i) krisis pemanfaatan sumberdaya, (ii) komposisi, distribusi dan kegunaan dari spesies target, (iii) feature lingkungan yang mempengaruhi definisi batasan, (iv) teknologi yang digunakan untuk mengolah sumberdaya, (v) tingkat pengembangan masyarakat, (vi) tingkat sosial ekonomi dan cultural homogeneity masyarakat, (vii) tradisi kerjasama dan perkumpulan masyarakat, (viii) populasi dan perubahannya, (ix) tingkat integrasi dalam sistem ekonomi dan politik, (x) mata pencaharian dan tingkat komersialisasi serta ketergantungan terhadap sumberdaya, (xi) organisasi politik lokal, (xii) dukungan kepemimpinan lokal, (xiii) kualitas kepemimpinan lokal, (xiv) hak pemanfaatan sumberdaya dan sistem pengelolaannya baik formal maupun informal dan (xv) kearifan lokal. Pada tingkat individu dan rumah tangga (individual and household

level) mempunyai tanggung jawab dalam pengambilan keputusan untuk melaksanakan kegiatan dalam pengelolaan sumberdaya. Berkes et al. (2001) merangkum dari beberapa sumber tentang beberapa faktor pada tingkat individu dan rumah tangga yang dapat mempengaruhi keberhasilan project pengelolaan pesisir dan perikanan antara lain (i) pendidikan, (ii) pengalaman, (iii) ukuran dan luasan operasi, (iv) penggunaan teknologi, (v) nilai budaya, (vi) kepuasan pekerjaan, (vii) pengetahuan ekologi dan (viii) jenis mata pencaharian.

Impact variables dibedakan menjadi dua, yaitu pencapaian intermediate objectives dan ultimate objectives. Intermediate objectives meliputi pertimbangan terhadap objek material (seperti perubahan ukuran jala dan organization building) dan nonmaterial (pelatihan, penguatan kelembagaan). Sedangkan untuk dampak yang kedua mempertimbangkan adanya perbaikan kondisi ekosistem sekitar. Beberapa contoh dari ultimate objectives ini antara lain peningkatan pendapatan penduduk, perubahan akses terhadap sumberdaya dan keberadaan sumberdaya. Keberlanjutan project dan biaya serta keuntungan yang didapat adanya project ini dapat dijadikan pertimbangan juga untuk penentuan kesuksesan suatu project.

2.3.3 Manfaat DPL

Bohnsack (1990) memberikan gambaran beberapa potensi keuntungan DPL yang meliputi (i) perlindungan terhadap biomassa stok ikan bertelur, (ii) menyediakan sumber perekrutan di sekitarnya, (iii) tambahan restocking daerah luar melalui emigrasi, (iv) pemeliharaan struktur umur, (v) pemeliharaan terhadap habitat yang terganggu/rusak, (vi) perlindungan keanekaragaman genetik intraspesifik, (vii) memberikan jaminan terhadap kekurangan dalam pengelolaan perikanan (viii) mengurangi kebutuhan pengumpulan data, (ix) penegakan hukum yang disederhanakan, dan (x) kemudahan pemahaman dan penerimaan publik terhadap pengelolaan, di antara sejumlah keuntungan insidental lainnya.

Terkait dengan pengelolaan DPL, terdapat pembelajaran dari pengelolaan DPL di Philiphina. Beberapa faktor keberhasilan pengelolaan DPL antara lain implementasi dari model yang tepat, keputusan kegiatan yang baik, partisipasi masyarakat dan dukungan yang cukup, pengembangan kemampuan masyarakat yang memadai, pemilihan lokasi yang benar, petunjuk yang jelas dan sah, adanya

dukungan dari pemimpin setempat, hubungan yang berlanjut antara masyarakat, dukungan sistem-sistem dan lembaga di tingkat lokal dan regional (Crawford et al. 2000).

Ketika suatu area ditetapkan sebagai no take zone, akan melindungi terumbu karang dari destructive extraction dan berfungsi baik sebagai spawning ground, breeding dan nursery ground untuk ikan dan secara berkelanjutan dapat meningkatkan ketersediaan juvenil dalam populasi. Pembelajaran dari Balicasag’s

sanctuary di Philiphina (8 ha), tutupan karang meningkat 119% dalam 5 tahun setelah ditetapkan sebagai no take zone (Christie et al. 2002).

Adanya DPL juga dapat meningkatkan biomassa ikan di luar DPL dan hasil tangkapan penduduk. Russ et al. (2004) menemukan adanya peningkatan biomassa ikan Acanthuridae (surgeonfish) dan Carangidae (jacks) pada jarak 200-250 m dari batasan DPL Pulau Apo, Philiphina. Peningkatan tersebut terlihat sejak 8 tahun DPL dibentuk. Berdasarkan wawancara dengan penduduk, hasil tangkapan meningkat setelah adanya DPL (1985 – 2001) dibandingkan sebelumnya (1981).

Observasi Wantiez (1997) menunjukkan adanya peningkatan jumlah spesies, kepadatan dan biomassa ikan di 5 pulau di New Caledonia masing- masing sebesar 67%, 160% dan 246% setelah 5 tahun DPL dibentuk. Terdapat sembilan famili dari ikan major yang mengalami peningkatan densitas dan biomassa antara lain Plectropomus leopardus (Serranidae), Lutjanus fulviflamma

(Lutjanidae), Lethrinus atkinsoni (Lethrinidae), Parupeneus ciliates (Mullidae),

Choerodon graphicus dan Hemigymnus melapterus (Labridae), Scarus schlegeli

dan Scarus sordidus (Scaridae), Naso unicornis (Acanthuridae) dan Siganus doliatus (Siganidae).

Kepadatan ikan di Taman Nasional Tsitsikamma di Afrika Selatan (didirikan pada tahun 1964) diperkirakan 42 kali lebih tinggi dibandingkan dengan daerah penangkapan (Buxton dan Smale 1989). Sebuah penelitian di kawasan tersebut diperoleh data bahwa CPUE untuk empat spesies shorefish

adalah 5-21 kali lebih besar daripada di daerah yang telah dieksploitasi (Cowley et al. 2002). Di Cagar Alam Scandola - Corsica, kepadatan ikan dari 11 spesies lima kali lebih tinggi ditemui pada lokasi yang dilindungi setelah 13 tahun

cagar alam tersebut didirikan (Francour 1991). CPUE untuk lobster di DPL Pulau

Columbretes Spanyol adalah 6-58 kali lebih besar daripada di area penangkapan (Goni et al. 2001).

Pada dasarnya, DPL akan menarik ikan dari daerah yang berdekatan sebagai tempat mencari makan dan berkembang biak, ikan-ikan kecil (juvenil) yang terbawa oleh arus selanjutnya menetap di kawasan DPL. Juvenil tersebut mulai membesar sehingga jumlah ikan yang menetap di DPL menjadi semakin padat. Hal ini mengakibatkan ikan-ikan yang berkembang di wilayah DPL mulai berenang dan menetap di luar wilayah DPL yang akhirnya akan ditangkap nelayan. Konsep ekologis penerapan DPL dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. DPL sebagai terumbu karang sumber dan penampung (Tulungen et al. 2002)

2.3.4 DPL Desa Mattiro Deceng

Berdasarkan Peraturan Desa Mattiro Deceng No. 01 Tahun 2007 tentang Daerah Perlindungan Laut (Lampiran 1), tujuan pembentukan DPL Desa Mattiro Deceng antara lain untuk (i) menghentikan dan/atau menanggulangi pengrusakan terhadap biota perairan desa, (ii) menjamin dan melindungi kondisi lingkungan dan sumberdaya perairan desa dan (iii) meningkatkan kemampuan dan

kemandirian masyarakat desa dalam menjaga dan memelihara sumberdaya perairan desa. Pembentukan DPL tersebut diharapkan dapat bermanfaat untuk (i) mempertahankan produksi ikan dalam DPL, (ii) menjaga keanekaragaman sumberdaya hayati perairan desa, (iii) tempat satwa dan/atau spesies langka bertelur dan mencari makan, (iv) laboratorium alam untuk penelitian, (v) sarana pendidikan pelestarian sumberdaya perairan desa dan (vi) tujuan wisata.

DPL Desa Mattiro Deceng terletak di Pulau Badi dengan luas 3.943 Ha. Kondisi tutupan karang tahun 2008 dan 2009 di kedalaman 3 m berturut-turut yaitu 42% (kategori sedang) dan 53% (kategori baik) (Prayudha dan Petrus 2008, COREMAP II 2009). Jenis karang batu yang banyak dijumpai di lokasi tersebut adalah Montipora sp., Seriatopora spp., Stylophora pistillata dan Porites spp.

Tahun 2008, ikan karang yang dijumpai adalah 61 spesies dari 14 famili dengan kelimpahan tertinggi ikan ekor kuning, Chromis ternatensis (Prayudha dan Petrus 2008). Kelimpahan ikan di DPL Pulau Badi adalah 319 ind/250 m2 pada tahun 2009 (COREMAP II 2009).

Indikator keberhasilan pengelolaan DPL Desa Mattiro Deceng adalah peningkatan kondisi ekologi terumbu karang di DPL meliputi peningkatan persentase tutupan karang hidup, kelimpahan ikan dan megabenthos. Indikator ekonomi dan sosial masyarakat belum dilakukan kajian tersendiri untuk melihat keberhasilan DPL.

Pengelolaan DPL Mattiro Deceng diharapkan dapat berjalan secara berkelanjutan. Suatu kegiatan dinyatakan berkelanjutan, apabila kegiatan pembangunan secara ekonomis, ekologis dan sosial politik bersifat berkelanjutan. Berkelanjutan secara ekonomis berarti bahwa suatu kegiatan pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital (capital maintenance) dan penggunaan sumberdaya serta investasi secara efisien. Berkelanjutan secara ekologis mengandung arti, bahwa kegiatan dimaksud harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan dan konservasi sumberdaya alam termasuk keanekaragaman hayati (biodiversity) sehingga diharapkan pemanfaatan sumberdaya dapat berkelanjutan. Sementara itu, berkelanjutan secara sosial politik mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil-hasil

pembangunan, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, identitas sosial dan pengembangan kelembagaan (Fauzi dan Anna 2003).