1. PENDAHULUAN
2.2 Model-model Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Sumberdaya pesisir dan lautan harus dikelola atau ditata karena sumberdaya tersebut sangat sensitif terhadap tindakan atau aksi manusia. Apapun cara pendekatan yang dilakukan manusia dalam memanfaatkan sumberdaya, jika pemanfaatannya dilakukan berlebihan maka akan menyebabkan sumberdaya tersebut mengalami tekanan ekologi dan selanjutnya menurunkan kualitasnya (Nikijuluw 2002).
Dalam pengelolaannya perlu diperhatikan beberapa tahap, antara lain (i)
preliminary appraisal, (ii) baseline assessment, (iii) monitoring dan (iv) evaluasi.
Preliminary appraisal menyajikan informasi tentang target lokasi yang akan dikelola dengan potensi dan permasalahannya. Baseline assessment menyajikan informasi yang nantinya menjadi indikator yang harus dilihat dalam monitoring dan evaluasi pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. Monitoring merupakan salah satu aspek penting dalam implementasi project untuk mengetahui suatu pengelolaan berjalan baik atau tidak. Jika tidak berjalan, dapat diambil pembelajaran yang sudah ada untuk pengelolaan yang lebih baik ke depannya. Evaluasi meliputi dua jenis yang sangat penting, yaitu post evaluation yang dilakukan setelah project selesai dan ex-post evaluation yang dilakukan setelah beberapa tahun dilaksanakan evaluasi pertama (Berkes et al. 2001).
Salah satu aspek penting dalam kajian sosial tentang pengelolaan sumberdaya adalah pelaku-pelaku yang terlibat dalam proses pengelolaan. Pelaku- pelaku tersebut dapat meliputi pemerintah (government-based management),
masyarakat (community-based management) atau kerjasama antara pemerintah dan masyarakat (co-management) (Satria 2002).
2.2.1 Government-based management
Sistem pengelolaan ini bersifat sentralistik, dimana pemerintah memiliki otoritas penuh dalam mengelola sumberdaya perikanan dalam semua tahapan dan komponen pengelolaan sumberdaya perikanan mulai dari pengumpulan informasi, perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pemantauan dan evaluasi. Pengelolaan oleh pemerintah ini dilaksanakan lembaga atau instansi pemerintah yang ada di tingkat pemerintah pusat maupun di daerah (Nikijuluw 2002).
Menurut Lawson (1984) in Nikijuluw (2002), terdapat beberapa kelemahan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan oleh pemerintah antara lain: 1. Kegagalan dalam mencegah eksploitasi sumberdaya perikanan karena
keterlambatan dalam pelaksanaan peraturan yang sudah ditetapkan. Hal ini dapat terjadi karena keputusan yang dibuat pemerintah pusat membutuhkan waktu lama untuk disosialisasikan, diketahui dan dilaksanakan pemerintah dan masyarakat di daerah.
2. Kesulitan dalam penegakan hukum karena kurangnya personel dan fasilitas untuk melakukan pengawasan dan pengendalian di lapangan. Jika pelanggaran hukum dapat diidentifikasi, masalah berikutnya yang timbul adalah lambatnya proses hukum serta peradilan untuk membuktikan apakah hukum telah dilanggar dan sanksi yang harus diberikan.
3. Kemampuan dan keberhasilan masyarakat untuk menghindar dari peraturan. Ini sering terjadi karena peraturan yang dibuat pemerintah pusat seringkali berhadapan dengan peraturan setempat, peraturan lokal yang informal atau adat dan budaya yang seringkali lebih kuat pengaruhnya sehingga lebih diutamakan.
4. Kebijakan yang tidak tepat dan jelas atau adanya kebijakan yang saling bertentangan.
5. Administrasi yang tidak efisien dalam bentuk biaya transaksi yang relatif tinggi untuk kegiatan yang tidak terkait langsung dengan pengelolaan sumberdaya perikanan, seperti biaya administrasi.
6. Wewenang yang terbagi-bagi kepada beberapa lembaga atau departemen. 7. Data dan informasi tidak (kurang) benar dan akurat.
8. Kegagalan dalam merumuskan keputusan pengelolaan.
2.2.2 Community-based Management dan Co-management
Co-management dapat didefinisikan sebagai kemitraan antara pemerintah, masyarakat lokal, stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan serta institusi lainnya seperti NGO, peneliti, universitas yang melakukan pembagian atau pendistribusian tanggung jawab dan wewenang dalam mengelola sumberdaya pesisir dan lautan (Berkes et al. 2001). Menurut Pomeroy dan Berkes (1997), terdapat 10 tingkatan atau bentuk co-management yang dapat disusun dalam bentuk paling sedikit partisipasi masyarakat hingga yang paling tinggi partisipasi masyarakat. Bila suatu tanggung jawab dan wewenang masyarakat rendah pada suatu bentuk co-management maka tanggung jawab dan wewenang pemerintah akan tinggi dan begitupun sebaliknya. Adapun kesepuluh bentuk co-management tersebut antara lain:
1. Masyarakat hanya memberikan informasi kepada pemerintah dan informasi tersebut digunakan sebagai bahan perumusan pengelolaan.
2. Masyarakat dikonsultasi oleh pemerintah. 3. Masyarakat dan pemerintah saling bekerja sama. 4. Masyarakat dan pemerintah saling berkomunikasi. 5. Masyarakat dan pemerintah saling bertukar informasi.
6. Masyarakat dan pemerintah saling memberi nasihat dan saran. 7. Masyarakat dan pemerintah melakukan kegiatan atau aksi bersama. 8. Masyarakat dan pemerintah bermitra.
9. Masyarakat melakukan pengawasan terhadap peraturan yang dibuat oleh pemerintah.
10. Masyarakat lebih berperan dalam melakukan koordinasi antarlokasi atau antardaerah dan hal tersebut didukung oleh pemerintah.
Berkes et al. (2001) menjelaskan bahwa community-based management
merupakan elemen inti dari co-management. Perbedaan mendasar antara
keterlibatan pemerintah dalam proses pengelolaan. Community-based management berorientasi pada masyarakat, sedangkan co-management lebih fokus pada sistem kemitraan antara pemerintah, masyarakat dan stakeholder
lainnya. Pemerintah mempunyai peranan kecil dalam community-based management sedangkan dalam co-management menuntut peran pemerintah yang aktif. Peranan pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan perikanan antara lain memberikan dukungan kebijakan dan peraturan/perundang-undangan, seperti desentralisasi wewenang dan kekuasaan management, pembinaan partisipasi dan dialog, legitimasi hak-hak masyarakat, inisiatif dan intervensi, penegakan hukum, menangani masalah, koordinasi di berbagai tingkatan, dan pemberian bantuan keuangan dan teknis. Pemerintah memberikan legitimasi dan akuntabilitas untuk community-based management melalui co-management, dengan menetapkan hak dan kondisi sepadan sehingga tercipta strategi yang efektif dalam pengelolaan sumberdaya. Hanya pemerintah yang dapat melegalkan dan menjaga hak-hak pengguna sumberdaya di tingkat masyarakat.
Beberapa kelebihan co-management antara lain:
1. Lebih terbuka, transparan dan otonom dalam proses pengelolaan.
2. Lebih hemat dibandingkan dengan centralized system yang membutuhkan banyak administrasi dan penegakan hukum.
3. Bersifat adaptif, pelaksanaan kegiatan disesuaikan dengan kondisi yang ada dan pembelajaran sebelumnya.
4. Lebih dapat memaksimalkan kegunaan kearifan lokal sebagai informasi tentang sumberdaya dan pelengkap dalam scientific information untuk pengelolaan.
5. Dapat menumbuhkan rasa kepemilikan terhadap sumberdaya.
6. Dapat meminimalkan konflik dan mempertahankan atau meningkatkan kohesi sosial dalam masyarakat.