• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hal

1 Kandungan senyawa kimia pasak bumi 66

2 Foto Hasil Amplifikasi Primer OPY-6, OPY-8, OPY-19, OPY- 20 dan OPC-7

67

3 Skoring pita hasil amplifikasi 68

4 Hasil analisis media tanam dari Lab. Tanah dan Sumberdaya lahan, Faperta IPB

70

5 Jarak genetik (Nei’s 1972) 71

6 Sidik ragam terhadap parameter pertumbuhan semai pasak bumi selama 20 minggu

72 7 Sidik ragam terhadap parameter pertumbuhan stek pasak bumi

selama 20 minggu

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perubahan kebijaksanaan kehutanan dari timber management menjadi

resource base management telah mendorong peningkatan usaha pengembangan

berbagai komoditi hutan non kayu yang berpeluang sangat besar untuk kesejahteraan masyarakat. Salah satu usaha yang dilakukan adalah menggali beberapa produk unggulan melalui pengayaan jenis-jenis tumbuhan yang memiliki nilai ekonomi tinggi seperti tumbuhan obat yang bermanfaat untuk industri farmasi. Berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia (WHO) diketahui bahwa sampai saat ini 80% lebih penduduk dunia masih menggantungkan diri terhadap pengobatan tradisional termasuk penggunaan obat yang berasal dari tumbuhan.

Indonesia sebagai salah satu negara megabiodiversity diperkirakan memiliki sekitar 30.000 jenis tumbuhan yang dapat ditemukan di dalam hutan hujan tropika, dan sekitar 1260 spesies di antaranya berkhasiat sebagai obat. Namun sampai saat ini baru sekitar 180 spesies yang telah digunakan untuk berbagai keperluan industri obat dan jamu, tetapi baru beberapa spesies saja yang telah di budidayakan secara intensif (Supriadi 2001).

Pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack) merupakan salah satu tumbuhan obat asal hutan yang memiliki banyak khasiat. Berdasarkan kajian farmakologis diperoleh informasi bahwa senyawa canthin pada tumbuhan pasak bumi mampu menghambat pertumbuhan sel kanker (Nurhanan et al. 2005), senyawa turunan eurycomanone sebagai anti malaria (Chan et al. 2005), senyawa quassinoid berfungsi sebagai anti leukimia, dan prospektif untuk anti HIV (Sindelar et al. 2005), senyawa etanol berfungsi sebagai afrodisiak (Nainggolan & Simanjuntak 2005).

Manfaat yang beragam tersebut menyebabkan pasak bumi banyak diekspor ke luar negeri untuk keperluan pembuatan obat herbal. Produk pasak bumi kering memiliki harga cukup mahal, produk berupa cacahan akar (chipped root) harganya 60 USD/kg sedangkan produk berupa ekstrak harganya 80 USD/kg (Sumatera Pasak Bumi 2007).

Tingginya permintaan dan mahalnya harga produk, menyebabkan eksploitasi pasak bumi di hutan alam meningkat, karena selama ini pemungutan dan pengolahan pasak bumi hanya mengandalkan pasak bumi liar, bukan berasal dari tanaman budidaya. Hal ini terjadi pula sebagai akibat dari tidak adanya peraturan baik daerah maupun pusat yang berkaitan dengan pengelolaan dan perlindungan pasak bumi. Habitatnya yang hanya di daerah tertentu (sebagian Sumatera dan Kalimantan Timur) menyebabkan pasak bumi diambang kepunahan sehingga perlu adanya upaya konservasi dan teknik budidaya agar keberadaannya tetap terjaga (Sitepu & Sutigno 2001). Bahkan Rifai (1992) menyatakan kondisi populasi pasak bumi asal Indonesia sudah dikategorikan sebagai tumbuhan langka dengan status ’terkikis’.

Pengambilan pasak bumi secara liar di hutan alam telah menyebabkan kelangkaan populasinya, bahkan mulai tahun 2001 di Malaysia tumbuhan ini sudah dinyatakan sebagai tumbuhan yang dilindungi. Akibatnya tekanan eksploitasi terhadap populasi pasak bumi di Indonesia menjadi semakin meningkat, hal tersebut berpotensi mengakibatkan hilangnya keragaman genetik. Padahal sampai saat ini informasi mengenai keragaman genetik pasak bumi di Indonesia belum diketahui.

Penelitian mengenai tumbuhan pasak bumi di Indonesia, masih sedikit dilaporkan. Beberapa penelitian tersebut diantaranya: manfaat ekstrak etanol pasak bumi untuk afrodisiak (Nainggolan & Simanjuntak 2005), produksi alkaloid pasak bumi dengan kultur in vitro dan kultur suspensi (Siregar et al. 2005), kajian potensi dan ekologi pasak bumi di Bengkulu (Heriyanto et al. 2006) dan kajian potensi pasak bumi di TNGL (Setyowati 2007). Belum ada satupun laporan mengenai teknik perbanyakan pasak bumi di Indonesia dan keragaman genetiknya padahal informasi tersebut penting dalam rangka kegiatan pemuliaan dan konservasi maupun usaha pemenuhan kebutuhan bahan baku obat, padahal menurut Hadiah (2000) adanya industri jamu yang semakin banyak dan potensi pasak bumi sebagai tumbuhan obat yang bernilai komersil memerlukan pembudidayaan untuk pemanfaatan terus menerus dan dalam jumlah besar Berdasarkan beberapa alasan tersebut maka penelitian mengenai budidaya pasak

3

bumi ini dilakukan untuk mendapatkan informasi awal bagi budidaya tumbuhan ini.

Perumusan Masalah

Pasak bumi memiliki daerah penyebaran di Semenanjung Malaysia, Sumatera dan Kalimantan. Penyebarannya yang hanya di daerah tertentu, serta pembukaan hutan alam yang terus-menerus untuk keperluan komersil, menyebabkan tumbuhan ini mengalami kepunahan di beberapa lokasi penyebarannya. Selain berakibat kepunahan, eksploitasi besar-besaran juga akan menyebabkan hilangnya sumberdaya genetik tumbuhan tersebut. Di Pulau Sumatera hanya beberapa daerah yang diduga masih ditemui tumbuhan pasak bumi yaitu kawasan Leuser, sebagian Provinsi Riau dan kawasan Kerinci Seblat.

Menurut Hussein et al. (2005), selama ini perbanyakan pasak bumi hanya mengandalkan biji di alam. Padahal sebagai tumbuhan yang memiliki tipe benih rekalsitran, persentase kecambahnya cenderung rendah dan memerlukan waktu yang cukup lama akibat embrio zigotik yang belum matang pada saat pemencaran. Selain itu perilaku berbunga yang tidak tentu dan pertumbuhannya yang lambat mengakibatkan tumbuhan ini semakin jarang ditemui.

Pengambilan tumbuhan pasak bumi secara liar di hutan alam telah menyebabkan kelangkaan populasinya, hal ini berpotensi mengakibatkan hilangnya keragaman genetik. Studi keragaman genetik sangat penting dalam rangka menyediakan informasi untuk kegiatan perbanyakan, domestikasi, program pemuliaan dan sekaligus konservasi sumberdaya genetik (Osman et al. 2003).

Berdasarkan permasalahan tersebut maka penelitian ini perlu dilakukan untuk menjawab pertanyaan berikut:

1. Adakah alternatif untuk memperoleh tumbuhan pasak bumi selain melalui cabutan alam?

2. Bagaimanakah kekerabatan genetik tumbuhan pasak bumi hasil perbanyakan secara generatif?

Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mendapatkan informasi mengenai perbanyakan tumbuhan pasak bumi secara generatif dan secara vegetatif melalui stek pucuk dengan media pertumbuhan yang sesuai.

2. Mendapatkan informasi mengenai status kekerabatan genetik pasak bumi asal Jambi hasil perbanyakan secara generatif.

Kerangka Pemikiran

Dari rumusan permasalahan tersebut dapat dibuat kerangka pemikiran budidaya tumbuhan pasak bumi disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian perbanyakan tumbuhan pasak bumi.

Secara generatif

Cabutan alam biji

Stek pucuk Pasak bumi Populasi di alam menurun Harga mahal Teknik budidaya Permintaan Meningkat

Tanaman beragam ?! Status kekerabatan genetik

5

Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi awal dalam rangka budidaya dan konservasi pasak bumi di Indonesia.

Pasak Bumi (Eurycoma Longifolia Jack)

Menurut Indonesian Botanic Garden (1998) Eurycoma Longifolia Jack memiliki beberapa nama lokal antara lain: penawar pahit, bedara pahit, bedara puteh, tongkat ali, lempedu pahit, payung ali, tongkat baginda, muntah bumi, petala bumi, akar jangat seinang, tungke ali, pasak bumi (Malaysia, Sumatera, Kalimantan), dan tung saw (Thailand).

Taksonomi dan deskripsi pohon

Menurut Angiosperm Phylogeny Group (2003), kedudukan taksonomi pasak bumi adalah sebagai berikut:

Dunia : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Sapindales Famili : Simaroubaceae Genus : Eurycoma

Jenis : Eurycoma longifolia Jack

Indonesian Botanic Garden (1998) menyatakan pasak bumi umumnya berbentuk semak, atau pohon kecil yang tingginya jarang mencapai 10 meter, tetapi ada juga yang tingginya mencapai lebih dari 15 meter dan diameter mencapai 15 cm.

Batang : Umumnya tidak bercabang, tetapi ada juga yang bercabang sedikit menyerupai payung dengan kedudukan daunnya melingkar (rosette), batangnya kokoh berwarna coklat keabu-abuan, licin.

Daun : Daunnya majemuk menyirip, jumlahnya ganjil, panjang 0,3-1 meter dengan anak daun berjumlah 20-30 pasang, berbentuk oblong, bergelombang, warna anak daunnya hijau tua berukuran 5-25 cm x 1,25-3 cm, pinggirnya bergelombang, tangkai daunya berwarna coklat kehitaman.

7

Bunga : Bersifat monoceous atau dioceous, tetapi biasanya dijumpai sebagai

dioceous. Berwarna merah jingga, lebar bunga 0,6 cm, berbulu halus

dengan benjolan kelenjar di ujungnya, ada 2 (dua) kelompok tumbuhan yaitu tumbuhan berbunga jantan (tidak menghasilkan buah) dan berbunga betina (mampu menghasilkan buah).

Buah : Panjang 1,25 cm, berbentuk oblong, ketika masak warnanya menjadi kuning kemudian memerah.

Berdasarkan sifat-sifatnya pasak bumi dikelompokkan bersama dengan marga

quassia, picrasma, brucea dan soulamea dalam suku Simarubaceae yang terdiri

dari tumbuhan yang mengandung substansi pahit (bitter plant).

Morfologi daun, buah serta akar tumbuhan pasak bumi terlihat pada Gambar 2 dan Gambar 3.

Gambar 2 Morfologi daun dan buah pasak bumi.

Gambar 3 Pasak bumi umur 6 bulan dan akarnya.

Habitat dan kegunaan

Menurut Wong et al. (1995) tumbuhan pasak bumi dijumpai pada tanah masam, berpasir dan beraerasi baik pada ketinggian dibawah 1200 m.dpl. Biasanya ditemukan pada hutan primer dan sekunder dengan jenis Dipterocarpaceae dan juga pada hutan kerangas dan sub montana.

Heyne (1987) mengatakan pasak bumi merupakan pohon pantai yang bagus menarik, tingginya hingga 6 m, berasal dari bagian barat nusantara, tidak ditemukan di Jawa.

Tumbuhan pasak bumi telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat tradisional untuk keperluan penyembuhan berbagai penyakit. Hampir seluruh bagian tumbuhan ini mengandung substansi pahit yang dapat digunakan untuk obat. Beberapa kajian etnobotanis yang telah dilakukan terhadap tumbuhan pasak bumi dapat disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Beberapa hasil kajian etnobotanis terhadap tumbuhan pasak bumi

Bagian tumbuhan Manfaat

Akar Akar tumbuhan ini dicampur dengan tumbuhan obat lain seperti kayu manis dan digunakan untuk tonik penyehat di Sabah. Selain itu di Malaysia kulit akarnya digunakan juga sebagai penawar demam, penyembuh luka-luka di gusi atau gangguan cacing serta tonikum setelah melahirkan (Wong KM & E. Supadmo 1995).

Batang Kulit batang digunakan untuk koagulan darah setelah melahirkan, sedangkan di Kalimantan dan Sabah kulit batang digunakan untuk mengobati nyeri pada tulang (Hadiah 2000 ).

Daun Daun pasak bumi yang muda dapat dimakan untuk pengobatan sakit perut.

Bunga dan buah Di Vietnam bunga dan buah pasak bumi digunakan untuk obat desentri.

Kayu Menurut sifat fisis, mekanis dan keawetan, kayu pasak bumi memiliki berat jenis 0,65, kelas awet 4-5, dan kelas kuat II. Kayu golongan ini dapat digunakan untuk keperluan konstruksi dan mebel (Oey Djoen Seng 1990).

Beberapa penelitian farmakologis yang telah dilakukan untuk mengetahui manfaat pasak bumi dapat disajikan pada Tabel 2.

9

Tabel 2 Beberapa penelitian farmakologis terhadap manfaat tumbuhan pasak bumi

No Manfaat Sumber

1 afrodisiak Ang et al. 1999

2 antihyperglycaemic Husen et al. 2004

3 anti malaria Chan et al. 2005 dan

Ridzuan et al. 2005

4 anti kanker Nurhanan et al. 2005

5 anti HIV,anti leukimia Sindelar et al. 2005

6 anti proliferatif Ueda J et al. 2002

Kandungan kimia

Pasak bumi memiliki kandungan senyawa kimia yang banyak digunakan untuk keperluan obat-obatan. Terdapat 65 jenis senyawa kimia yang terkandung pada tumbuhan pasak bumi. Adapun kandungan pasak bumi secara lengkap dapat disajikan pada Lampiran 1. Rumus bangun beberapa kandungan senyawa penting pasak bumi disajikan pada Gambar 4.

Biologi reproduksi dan tipe benih pasak bumi

Pasak bumi terdiri dari 2 tipe tumbuhan yaitu dioceous dan monoceous. Jenis dioceous tergolong unik karena terdiri dari pohon jantan dan pohon betina. Pohon jantan dapat menghasilkan buah namun gugur pada saat muda selain itu memliki bunga yang dapat tumbuh namun putiknya steril, sedangkan pohon betina mampu menghasilkan benih dan memiliki benang sari namun steril, oleh karena itu proses penyerbukannya kemungkinan dibantu oleh serangga dan penyerbukan silang (Padua et al. 1999). Bunga jantan dan betina pada pasak bumi dapat dibedakan secara mudah berdasarkan ukuran benangsarinya. Bunga betina memiliki benangsari yang besar, sedangkan bunga jantan memiliki benangsari yang tipis dan kecil (Gambar 5).

(a) (b)

Gambar 5 Bentuk bunga pasak bumi. (a) bunga jantan, (b) bunga betina. (sumber Wong K.M & Soepadmo 1995)

Pada beberapa kasus proses penyerbukan dan pembuahan terjadi pada saat bunga masih belum membuka (penyerbukan tertutup/ kleistogami). Letak benang sari yang lebih rendah daripada kepala putik menyebabkan proses penyerbukan pada tipe ini sulit dilakukan, proses penyerbukan hanya terjadi ketika ada vektor yang dapat menggerakkan bunga sehingga putik dan benangsari bertemu (Hadiah 2000).

Pasak bumi memiliki tipe benih rekalsitran. Persentase perkecambahan pasak bumi yang terjadi di habitat alamnya sangat rendah serta membutuhkan waktu yang cukup lama, hal ini disebabkan karena adanya embrio yang belum cukup masak pada saat pemencaran (Hussein et al. 2005).

Budidaya pasak bumi belum pernah dilaporkan, sehingga belum ada informasi mengenai persentase kecambahnya, kualitas bibit yang dihasilkan dan parameter lainnya.

11

Perbanyakan Tanaman Secara Generatif

Perkecambahan benih

Perkecambahan benih adalah proses pembentukan organ tumbuhan yang berasal dari benih yang ditandai dengan munculnya radikula untuk menjadi bibit, atau pengaktifan kembali aktifitas pertumbuhan embrionik di dalam biji untuk kemudian membentuk bibit (seedling). Secara morfologis suatu biji yang sedang berkecambah (germinate) umumnya ditandai dengan terlihatnya akar (radikula) atau daun (plumula) yang menonjol keluar dari biji.

Media tumbuh

Media tumbuh merupaka elemen penting bagi tumbuhan karena merupakan tempat berjangkarnya akar, penompang batang agar dapat berdiri kokoh dan juga sebagai sumber hara dan mineral yang diperlukan bagi kelangsungan hidupnya. Media tumbuh yang baik harus memenuhi persyaratan fisik (tekstur, struktur, porositas dan konsistensi) dan kimia (pH, unsur hara mikro dan makro).

a. Tanah

Tanah yang baik untuk usaha penanaman adalah tanah yang mampu berfungsi baik untuk penopang mekanis, mampu menahan air sesuai keperluan tumbuhan, mampu menyerap kelebihan air (porous), menjamin terjadinya pertukaran gas (aerasi) yang baik serta mampu menyediakan unsur hara yang diperlukan untuk pertumbuhan tumbuhan. Tanah harus subur, tidak asam atau basa, dalam, dan berdrainase baik agar terhindar dari terendam air, tetapi cukup menyimpan air sehingga tidak terjadi kekeringan.

b. Pasir

Pasir merupakan media yang mudah tersedia bersih dan daya rekatnya rendah. Pasir tidak menyimpan kelembaban sehingga membutuhkan frekuensi penyimpanan yang lebih. Penggunaan tunggal tanpa adanya campuran media lain akan membuat pasir bersifat kasar sehingga memberikan hasil yang baik (Hartmann et al. 1997).

c. Kompos

Kompos merupakan bahan organik yang berfungsi sebagai pupuk. Selain itu dapat memperbaiki sifat fisik tanah karena tanah remah dan mikroba-mikroba tanah yang bermanfaat dapat hidup dengan subur (Wudianto 1998).

Murbandono (2001) menjelaskan bahwa bahan organik yang telah terkompos dengan baik mempunyai banyak peranan antara lain memperbesar daya ikat tanah yang berpasir sehingga struktur tanah akan lebih baik, mempertinggi kemampuan tanah untuk menyerap air dan menyediakannya untuk kepentingan tumbuhan, memperbaiki drainase dan tata udara tanah serta mempertinggi daya ikat tanah terhadap hara sehingga tidak mudah larut oleh air hujan atau pengairan.

Kompos dapat mempengaruhi kesuburan tanah terutama sifat fisik tanah, sifat kimia dan biologi tanah. Kompos juga mampu menyediakan unsur hara seperti N, P, K, Mg, Fe, S, Mn dan Cu, sehingga dapat memperbaiki sifat kimia tanah. Jumlah populasi mikroorganisme tanah juga akan meningkat akibat pemberian kompos.

d. Arang sekam

Sekam dan arang sekam padi sering digunakan di persemaian. Arang yang berwarna hitam dapat menyerap panas sehingga suhu tanah naik dan mempercepat pertumbuhan semai. Sekam padi sangat baik sebagai pendukung media atau pengganti tanah pertanian. Apabila sekam padi mengalami penguraian, maka sekam akan membebaskan unsur P dan K dengan kadar yang cukup berarti.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Harsono (2002) menunjukkan bahwa arang sekam memiliki kandungan silika yang tinggi (94-96%) serta kandungan unsur lain yang mendukung pertumbuhan tumbuhan. Adanya kandungan silika yang tinggi tersebut mampu menyerap kadar unsur yang berlebih. Komposisi arang sekam padi dapat disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Komposisi arang sekam padi

Unsur Persentase (%) Na 0,0065 Fe 0,0043 Ca 0,0006 K 0,0059 Mg 0,0010 Si 56,8081 P 0,0041 Cl 0,0924

13

Kekerabatan Genetik

Perkembangbiakan secara generatif mempunyai arti yang penting bagi genetika, karena pada pembiakan ini terjadi terlebih dahulu pembuahan antara gamet jantan (n, haploid) dan betina (n, haploid) sehingga keturunan yang dihasilkan akan memiliki sifat yang dimiliki oleh salah satu atau kedua induknya (Suryo 1986).

Pola variasi genetik suatu jenis ditentukan oleh sistem perkawinan yang terjadi dan akan mempengaruhi struktur genetik dan dinamikan populasi dalam jenis tersebut. Dengan mengetahui proses-proses perkawinan yang terjadi pada suatu jenis akan bermanfaat bagi efektifitas konservasi sumberdaya genetik dan optimalisasi upaya pemuliaan genetik jenis tersebut.

Pasak bumi merupakan tipe tumbuhan dioceous dan hermaprodit. Pada tumbuhan tipe hermaprodit mampu melakukan selfing dan outcrossing dengan derajat yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan (Fingkeldey 2005).

Pengetahuan mengenai kekerabatan genetik antar individu genotip sangat berguna bagi pemulia tumbuhan. Kekerabatan ini diperkirakan berdasarkan analisis keturunan, karakter morfologi, kompatibilitas seksual dan klasifikasi taksonomi (Renganayaki et al. 2001).

RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA )

RAPD merupakan salah satu metode penanda genetik berbasis DNA yang telah cukup banyak digunakan untuk menilai keragaman genetik tumbuhan hutan. RAPD memiliki keunggulan dibandingkan jenis penanda lain yaitu tidak dipengaruhi oleh umur tumbuhan, mudah dilakukan, biaya relatif murah dan hasil yang cepat diperoleh, namun salah satu kekurangan dari teknik ini adalah hasilnya yang terkadang tidak konsisten, namun hal tersebut dapat diminimalisir dengan prosedur teknik yang hati-hati dan teliti.

Teknik RAPD didasarkan pada penggunaan primer sekuens Nukleotida yang berubah-ubah untuk mengamplifikasi segmen genomik DNA acak melalui pemanfaatan PCR (Polymerase Chain Reaction) sehingga menujukkan polimorfisme. Primer untuk analisis RAPD mengandung 9-10 basa panjangnya. Polimorfisme yang teramati dengan menggunakan RAPD diyakini karena adanya

perubahan basa tunggal yang mencegah perpasangan primer dan sekuens target, delesi sisi utama, insersi atau delesi yang modifikasi ukuran DNA. Keuntungan metode ini adalah set oligonukleotida yang sama dapat digunakan untuk berbagai spesies atau organisme dan setelah amplifikasi selama 2-4 jam polimorfisme ni dapat diamati secara langsung dengan agarose normal gel elektroforesis (Nasir 2002).

Beberapa alasan pemilihan teknik RAPD untuk menganalisis keragaman genetik antara lain tidak membutuhkan latar belakang pengetahuan tentang genom yang akan dianalisis, tersedianya primer yang secara universal dapat digunakan untuk organisme prokariot maupun eukariot, mampu menghasilkan karakter yang relatif tidak terbatas jumlahnya, bahan-bahan yang digunakan relatif lebih murah, mudah dalam preparasi, dan relatif cepat memberikan hasil.

Sampai saat ini studi mengenai kekerabatan genetik tumbuhan pasak bumi yang ada di Indonesia belum pernah dilaporkan.

PCR (Polymerase Chain Reaction)

PCR adalah suatu metode untuk menggandakan atau mengamplifikasi ADN yang diisolasi pada sebuah tabung reaksi kecil dengan melalui replikasi berulang (Finkeldey 2005). Secara skematis proses PCR dapat disajikan pada Gambar 6.

Menurut Bernard (1998), PCR merupakan suatu teknik untuk memperbanyak potongan DNA spesifik. Ada 4 komponen utama yang dibutuhkan untuk melakukan proses PCR yaitu 1). DNA target, 2). Primer, 3). DNA polymerase dan 4). 4 dNTP.

15

Gambar 6 Tahapan dalam proses PCR (Anonim 2007).

Produk PCR dari individu pohon yang berbeda akan menghasilkan panjang sekuen yang berbeda pula. Perbedaan ini akan dapat dideteksi dengan elektroforesis dengan gel agarose.

Perbanyakan Secara Vegetatif dengan Stek Pucuk

Pembiakan vegetatif merupakan pembiakan tumbuhan yang menggunakan salah satu bagian vegetatif tumbuhan itu sendiri misalnya akar, batang, daun, pucuk, jaringan bunga, jaringan meristem dan sel tanpa melibatkan proses perkawinan atau pembuahan.

Zobel dan Talbert (1984) menyatakan bahwa pembiakan vegetatif memiliki beberapa kegunaan khususnya dibidang kehutanan, yaitu untuk :

1. Memperbanyak genotipe-genotipe unggul yang diinginkan. 2. Menilai genotipe dan interaksinya dengan lingkungan. 3. Memperoleh keuntungan genetik maksimum.

Menurut Sorianegara dan Djamhuri (1979) tumbuhan dapat dikembangbiakan secara vegetatif karena memiliki sifat totipotensi dan dedeferensiasi sel.

Pada dasarnya perbanyakan tumbuhan secara stek merupakan teknik perbanyakan dengan cara memindahkan bagian tumbuhan dari induk kemudian menumbuhkannya kembali menjadi tumbuhan utuh. Teknik stek ini dibedakan berdasarkan bagian tumbuhan induk yang digunakan untuk perbanyakan antara lain batang, pucuk, daun, maupun akar (Bir 2006).

Faktor yang mempengaruhi keberhasilan stek pucuk.

Keberhasilan stek ditentukan oleh kondisi lingkungan yang ideal bagi berlangsungnya proses fotosintesis secara optimal dan transpirasi yang seimbang. Kedua proses fisiologis tersebut sangat berperan terhadap metabolisme stek untuk pembentukan akar. Dari serangkaian penelitian diketahui bahwa tiga faktor lingkungan yang sangat berperan dalam pembentukan akar stek adalah kelembaban, temperatur dan intensitas cahaya. Ketiga faktor tersebut mempengaruhi besaran perbedaan tekanan uap daun dan udara (leaf to air

pressure deficit/VPD) pada stek (Sakai et al. 2002).

Menurut Toenyan et al. (2006), keberhasilan teknik stek dapat dilihat dari pembentukan akar. Beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan perakaran stek antara lain: nutrisi/karbohidrat/nitrogen, juvenility, pemilihan waktu/timing, wounding & girlding, serta hormon.

Teknik stek pucuk KOFFCO (Komatsu-FORDA Fogging Cooling System) merupakan teknologi yang dikembangkan untuk perbanyakan massal jenis-jenis meranti dan jenis indigenous lainnya. Pengembangan teknik KOFFCO melalui teknik pendinginan rumah kaca meliputi pengkabutan, proses pembuatan stek, pembuatan media, proses perawatan bibit stek pada tahap pembentukan akar dan tahap adaptasi stek di persemaian.

Zat pengatur tumbuh (ZPT)

ZPT adalah salah satu bahan sintesis atau hormon tumbuh yang mempengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan melalui pembelahan sel, pembesaran sel dan deferensiasi. Pengaturan pertumbuhan ini dilaksanakan dengan cara pembentukan hormon-hormon, mempengaruhi sistem

17

hormon, pengrusakan, translokasi, atau dengan perubahan tempat pertumbuhan hormon.

Wattimena et al. (1992) membedakan 6 (enam) kelompok zat pengatur tumbuh yaitu: auksin, giberalin, sitokinin, asam absisik (ABA), etilen dan retardan. Auksin adalah jenis senyawa yang mengatur segala bentuk gejala pembentukan organ atau jaringan tumbuhan dan dapat aktif diluar titik tumbuhnya dalam jumlah yang sangat sedikit.

Menurut Hartmann et al. (1997), pemberian auksin bertujuan untuk meningkatkan persentase stek berakar, meningkatkan jumlah dan kualitas akar serta menyeragamkan kualitas akar

Yasman dan Hernawan (2002) mengemukakan bahwa sebenarnya hormon