• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAlAM PERDAGANGAN DI PASAR BARU

Studi fenomenologis terhadap Penggunaan Bahasa Pergaulan dalam Interaksi Perdagangan di ITC Pasar Baru, Bandung

Ida Ri’aeni dan Lei Hendamaulina

Universitas Muhammadiyah Cirebon dan Institut Manajemen Telkom Bandung e-mail:

Fokus utama kajian ini adalah untuk mengeksplorasi per- tukaran pesan dalam interaksi di pusat perdagangan. Lingua

franca yang dimaksudkan adalah bahasa yang digunakan un- tuk berkomunikasi di antara penutur yang bahasa pertama mereka berbeda satu sama lain berdasarkan teori pilihan ba- hasa, atau dengan kata lain disebut sebagai bahasa pergaulan. Bahasa untuk berkomunikasi ini biasanya adalah bahasa yang paling banyak dan kerap digunakan dalam kehidupan keseha- rian. Metodologi yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan tradisi fenomenologi.

Katakunci: lingua franca, pilihan bahasa, suku, bahasa daerah.

Tujuan dan rancangan Penelitian

Tujuan utama kajian ini adalah untuk mengeksplorasi pertukaran pesan dalam interaksi di pusat perdagangan. Kisah para saudagar Bandung tempo dulu yang tinggal dan menjalankan usaha dagangnya di kawasan ini. Mereka adalah para saudagar yang berasal dari Sunda, Jawa, Palembang, bahkan India dan Arab. Pada umumnya masyarakat menyebut para saudagar Pasar Baru ini dengan sebutan “Orang Pasar”. Salah satu kelompok keluarga besar para saudagar ini mengaku merupakan turunan dari istri ke-4 Pangeran Diponegoro yang dibuktikan dengan pohon silsilah yang masih disimpan oleh salah satu keluarga.

Peristiwa Perang Diponegoro (1825-1830) juga menyisakan sebuah cerita lain. Konon akibat dari peperangan itu banyak orang Tionghoa yang berpindah

ke berbagai tempat, di antaranya ke Bandung. Konon pula Daendels lah yang memaksa mereka datang ke Bandung melalui Cirebon sebagai tukang perkayuan (ingat Kisah Babah Tan Long yang memunculkan nama jalan Tamblong) dan dalam upaya menghidupkan perekonomian di pusat kota dekat Grotepostweg. Daerah hunian para pendatang baru ini berada di Kampung Suniaraja (sekitar Jalan Pecinan Lama sekarang) yang berada di depan Pasar Baru. Dengan begitu kampung ini menjadi lokasi pemukiman Tionghoa pertama di Bandung.

Hingga tahun 1840, tercatat hanya 13 orang Tinghoa saja yang bermukim di Bandung. Pada tahun yang sama terdapat 15 orang Tionghoa yang bermukim di Ujungberung. Seiring dengan perkembangan masyarakat dan kawasan pemukiman kaum Tionghoa yang lebih banyak diarahkan ke sebelah barat pemukiman lama, yaitu di belakang Pasar Baru. Karena itu lokasi pemukiman Tionghoa pertama ini kemudian mendapatkan sebutan Pecinan Lama atau Chinesen Voorstraat (http://mahanagari.com).

Secara khususnya, naskah ini merupakan kajian penelitian di lapangan yang menggunakan observasi dan wawancara. Hasil kajian menunjukkan pola bahasa Indonesia sebagai bahasa umum pembuka transaksi perdagangan, selanjutnya bahasa daerah tertentu dipilih sebagai tanda kedekatan dan kesamaan budaya. Bahasa Sunda, Minang, Jawa adalah bahasa daerah yang sering digunakan dalam situasi tidak formal pada intensitas perdagangan yang cukup intens dan menunjukkan kedekatan antara penjual dan pembeli.

Dulunya, bahasa Indonesia yang digunakan saat ini adalah bahasa melayu. Bahasa melayu yang sudah disesuaikan dengan aturan atau ejaan yang disempurnakan kini sudah menjadi bahasa Indonesia, sesuai penggunaannya di masa lalu, yaitu sebagai bahasa pergaulan. Pada interaksi perdagangan antar bangsa, misalnya warga Malaysia yang beberapa tahun belakangan ini seringkali berkunjung ke Pasar Baru, bahasa yang digunakan cenderung beragam. Ada pembeli yang tetap menggunakan bahasa Melayu, dan pedagang melakukan konvergensi dengan mencari tahu bahasa-bahasa Melayu yang bisa dipahami. Selain itu, ada pula pembeli yang mulai melakukan konvergensi dengan menggunakan bahasa Indonesia yang mudah diadopsi dalam transaksi perdagangan.

Reid (1988 dalam Collins, 2005: 32) menyimpulkan posisi khusus dari bahasa Melayu pada abad perdagangan sebagai berikut:

Bahasa Melayu menjadi bahasa perdagangan di Asia Tenggara. Penduduk dari kota besar perdagangan diklasiikasikan sebagai orang Melayu karena mereka berbicara dalam bahasa itu dan memeluk Islam, walaupun keturunannya berasal dari Jawa, Mongolia, India, Cina dan Filipina.setidak-tidaknya mereka yang berjualan dan berdagang di pelabuhan-pelabuhan besar berbicara dalam bahasa Melayu, se-perti berbicara dalam bahasa mereka sendiri.

KOMUNIKASI TRADISIONAL DALAM KULTUR MASYARAKAT INDONeSIA

Pada awalnya Pasar Baru berada di Jalan Ciguriang, kalau sekarang kawasan tersebut telah berdiri sebuah pusat perbelanjaan yang bernama King’s Shopping Centre. Pada tahun 1842 di Pasar Ciguriang terjadi kerusuhan yang berakhir dengan ludesnya pasar tersebut. Dari literatur sejarah, Pasar Ciguriang sengaja dibakar oleh Munada, seorang Cina mualaf. Dia kecewa terhadap kebijakan pemerintah kolonial. Setelah ludes, maka pasar pun dipindahkan ke Residen Weg atau sekarang jalan Otto Iskandar Dinata (http://www.republika.co.id/ berita/jurnalisme-warga).

Kemegahan Pasar Baru Bandung terlihat jelas dari foto-foto masa lalu, sehingga wajar kalau pasar ini digelari sebagai pasar terbaik dan terbersih pada masanya. Cuma sayang, setelah direnovasi tahun 1970, pasar baru terlihat kumuh dan tidak terawat. Akhirnya pasar tersebut dirubuhkan dan diganti dengan sebuah pasar yang modern yang megah berdiri sejak tahun 2007. Namun, keberadaan pasar tradisional yang menjadi bagian Pasar Baru kini hilang sei-ring terlalu mahalnya lapak yang disewakan atau pun dijual pengembang. Sempat para pedagang tradisional mengeluhkan harga jual kios yang sangat mahal dan beberapa kali mereka melakukan demonstrasi menentang kebijakan ini.

Di sekitar Pasar Baru juga masih tersebar banyak sisa bangunan lama yang menjadi saksi perkembangan Pasar Baru. Kebanyakan bangunan kurang terawat walaupun masih dipakai oleh pemiliknya sebagai rumah tinggal atau toko. Sebagian lainnya malah tampak sangat kumuh seperti menunggu waktu untuk rubuh. Sedikit saja bangunan yang masih terpelihara dengan baik. Bila jeli memperhatikan keadaan sekitar, kita masih bisa menemukan banyak keunikan di kawasan ini seperti, tanda tahun pendirian rumah, plakat nama pemilik rumah ataupun bentuk bangunan yang menyiratkan keadaan masa lalu. Beberapa tinggalan bangunan bahkan memiliki gaya campuran antara kolonial, Tonghoa dan Islam (http://mahanagari.com).

Dari sedikit saja bangunan lama yang masih terpelihara baik, terdapat satu bangunan yang cukup khas karena semua pintunya berwarna hijau sehingga cukup menyolok pandangan. Bangunan bercorak unik ini ternyata juga me- nyimpan cerita mengenai para perintis perdagangan di Pasar Baru. Perempuan pedagang dari keluarga Achsan yang menghuni rumah ini dulu merupakan perempuan Bandung pertama yang menumpang pesawat (Fokker KLM) dengan trayek Bandung-Batavia.

Beberapa toko lain juga menyimpan sejarah panjang perkembangan Pasar Baru. Seperti Toko Jamu Babah Kuya. Toko Jamu ini didirikan oleh Tan Sioe How di Jalan Pasar Barat, tahun 1910 (ada kemungkinan juga lebih awal, tahun 1800- an). Belakangan, salah satu keturunan Tan Sioe How membuka toko lain dengan nama sama di dekatnya (Jl. Pasar Selatan). Bersama-sama dengan dengan keluarga Achsan, Tan merintis usaha perdagangan di kawasan yang kemudian

hari menjadi Pasar Baru. Julukan Babah Kuya didapatkan Tan dari piaraannya yaitu sejumlah kura-kura yang sekarang ini terpajang di tembok ruang tokonya (http://mahanagari.com)

Pembahasan

Pola Interaksi perdagangan di Pasar Baru dapat ditengarai melalui tiga tahap: yaitu penawaran, transaksi, dan penyelesaian. Tahap pertama, biasanya dilakukan oleh pedagang atau pelayan terhadap calon pembeli atau pengunjung. Tidak semua pengunjung akan menjadi pembeli, karena transaksi jual-beli belum tentu terjadi. Pada pusat perdagangan yang tinggi persaingannnya, beberapa pelayan toko berupaya melakukan cara-cara agresif dan dinamis dalam menarik calon pembeli. Tahap penawaran yang dilakukan dengan ‘menjemput bola’, ternyata tidak semuanya dilakukan oleh penjual. Peneliti melihat, beberapa penjual dengan yang tampak terdengar dialek tertentu cenderung lebih ramah, berani, agresif, dan atraktif menarik pembeli. Mereka umumnya memulai dengan kata sapaan, “Boleh, kak…mukenanya Kak.. Jaketnya Kak” atau “Belanja Lagi, Kak…” atau “Silahkan teh, cari apa..?” atau bentuk-bentuk serupa sebagai penawaran.

Dialek non-Sunda tampak kental, dan suara mereka pun lebih lantang. Dari hasil wawancara sepintas secara acak, mereka biasanya pelayan dari Palembang atau Padang. Terlihat pula dari bahasa mereka saat bercakap-cakap dengan pemilik toko, yang menggunakan bahasa daerah mereka (Minang). Beberapa pelayan berbahasa Sunda, cenderung asyik bergerombol atau mengobrol de- ngan pelayan sesama pengguna bahasa Sunda dan cenderung hanya tersenyum saat pengunjung melintas. Dari kejadian ini peneliti berasumsi bahwa pelayan pribumi (Sunda) cenderung bersifat menunggu dan terkesan malu-malu menunjukkan agresiitas dalam memikat pelanggan.

Penggunaan kata sapaan “kak” atau “teh” bagi wanita adalah bagian dari ekspektasi pelayan terhadap pengunjung. Sebagai pengurang ketidakpastian, mereka cenderung menggunakan kata yang netral seperti “kak” atau kata “teh” sebagai bentuk konvergensi terhadap daerah setempat. Konvergensi dilakukan sebagai ”strategi dimana individu beradaptasi terhadap perilaku komunikatif satu sama lain”. Orang akan beradaptasi terhadap kecepatan bicara, jeda, senyuman, tatapan mata, perilaku verbal dan nonverbal lainnya.

Ketika orang melakukan konvergensi, mereka bergantung pada persepsi mereka mengenai tuturan atau perilaku orang lainnya. Selain persepsi mengenai komunikasi orang lain, konvergensi juga didasarkan pada ketertarikan. Biasanya, ketika para komunikator saling tertarik, mereka akan melakukan konvergensi dalam percakapan. Dalam hal ini, konvergensi menunjukkan penghargaan dan antusiasme pedagang atau pelayan terhadap pengunjung yang hadir di sana. Tahap ini bisa berlanjut pada tahap selanjutnya, atau terputus begitu saja

KOMUNIKASI TRADISIONAL DALAM KULTUR MASYARAKAT INDONeSIA

karena pengunjung tidak memberikan feedback apapun terhadap stimuli yang diberikan oleh pelayan.

Teori Akomodasi Komunikasi berawal pada tahun 1973, ketika Giles pertama kali memperkenalkan pemikiran mengenai model ”mobilitas aksen” Yang didasarkan pada berbagai aksen yang dapat didengar dalam situasi wawancara. Teori akomodasi didapatkan dari sebuah penelitian yang awalnya dilakukan dalam bidang ilmu lain, dalam hal ini psikologi sosial. Akomodasi dideinisikan sebagai kemampuan menyesuaikan, memodiikasi atau mengatur perilaku seseorang dalam responnya terhadap orang lain. Akomodasi biasanya dilakukan secara tidak sadar. Kita cenderung memiliki naskah kognitif internal yang kita gunakan ketika kita berbicara dengan orang lain (West dan Lynn Turner, 2007: 217).

Teori akomodasi menyatakan bahwa dalam percakapan orang memiliki pilihan. Mereka mungkin menciptakan komunitas percakapan yang melibatkan penggunaan bahasa atau sistem nonverbal yang sama, mereka mungkin akan membedakan diri mereka dari orang lain, dan mereka akan berusaha terlalu keras untuk beradaptasi. Pilihan-pilihan ini akan diberi label konvergensi, divergensi, dan akomodasi berlebihan.

Proses pertama yang dhubungkan dengan teori akomodasi adalah konvergensi. Jesse Delia, Nikolas Coupland, dan Justin Coupland dalam West dan Lynn Turner (2007: 222) mendeinisikan konvergensi sebagai ”strategi dimana individu beradaptasi terhadap perilaku komunikatif satu sama lain”. Orang akan beradaptasi terhadap kecepatan bicara, jeda, senyuman, tatapan mata, perilaku verbal dan nonverbal lainnya. Ketika orang melakukan konvergensi, mereka bergantung pada persepsi mereka mengenai tuturan atau perilaku orang lainnya. Selain persepsi mengenai komunikasi orang lain, konvergensi juga didasarkan pada ketertarikan. Biasanya, ketika para komunikator saling tertarik, mereka akan melakukan konvergensi dalam percakapan.

Proses kedua yang dihubungkan dengan teori akomodasi adalah divergensi yaitu strategi yang digunakan untuk menonjolkan perbedaan verbal dan nonverbal di antara para komunikator. Divergensi terjadi ketika tidak terdapat usaha untuk menunjukkan persamaan antara para pembicara. Terdapat beberapa alasan mengapa orang melakukan divergensi, pertama untuk mempertahankan identitas sosial. Contoh, individu mungkin tidak ingin melakukan konvergensi dalam rangka mempertahankan warisan budaya mereka. Contoh, ketika kita sedang bepergian ke Paris, kita tidak mungkin mengharapkan orang Prancis agar melakukan konvergensi terhadap bahasa kita. Alasan kedua mengapa orang lain melakukan divergensi adalah berkaitan dengan kekuasaan dan perbedaan peranan dalam percakapan. Divergensi seringkali terjadi dalam percakapan ketika terdapat perbedaan peranan yang jelas dalam percakapan

(dokter-pasien, orangtua-anak, pewawancara-terwawancara, dan seterusnya. Terakhir, divergensi cenderung terjadi karena lawan bicara dalam percakapan dipandang sebagai anggota dari kelompok yang tidak diinginkan, dianggap memiliki sikap-sikap yang tidak menyenangkan, atau menunjukkan penampilan yang jelek.

Proses ketiga yang dapat dihubungkan dengan teori akomodasi adalah Akomodasi Berlebihan: Miskomunikasi dengan tujuan. Jane Zuengler (1991) dan West dan Lynn Turner (2007: 227) mengamati bahwa akomodasi berlebihan adalah ”label yang diberikan kepada pembicara yang dianggap pendengar terlalu berlebihan.” Istilah ini diberikan kepada orang yang walaupun bertindak berdasarkan pada niat baik, malah dianggap merendahkan.

Sebagian besar proses komunikasi dalam interaksi perdagangan ini adalah konvergensi, karena adanya harapan untuk tercapainya transaksi. Baik pedagang maupun pembeli berupaya melakukan adaptasi dan penyamaan bahasa agar mampu manjalin komunikasi dengan baik.

Pada tahap kedua, transaksi. Pada tahap ini, ada proses tawar menawar. Pada tahap ini, ada komunikasi dialogis di mana pedagang dan pembeli saling bertukar pesan. Tidak hanya soal barang yang diperjualbelikan, tapi terkadang melebar ke masalah lainnya. Peneliti mendapati beberapa obrolan, seperti pada Kios Rizky Busana, lantai 5, di mana seorang pedagang sedang melayani tiga wanita (seorang wanita paruh baya berbaju kurung, dan dua wanita muda berbaju kaos dan celana berbahan denim).

Ibu: “Satu yang sejuk ni, jangan mahal.” Begitu kira-kira ibu berbaju kurung menawar sebuah kaos muslimah panjang.

Pedagang: “Memang di Malaysia panas ya..?”

Ibu: “hehe..” tersenyum simpul, membatasi percakapan.

Pedagang: “nggak.. nggak dimahalin kok,” ucapnya meneguhkan.

Tidak jarang, setelah proses tawar menawar terjadi, transaksi malah tidak terjadi. Baisanya ada ketidaksesuaian harga ataupun tidak tersedianya barang yang diinginkan pembeli karena suatu cacat atau kekurangan tertentu. Transaksi yang berhasil, manakala pembeli memutuskan untuk mengambil barang tersebut dan sepakat dengan harga yang ditentukan.

Uncertainty Reduction Theory atau Teori Pengurangan Ketidakpastian, terkadang juga disebut Initial Interction Theory diciptakan oleh Charles Berger dan Richard Calabrese tahun 1975. Tujuan mereka mengkonstruksikan teori ini adalah menjelaskan bagaimana komunikasi digunakan untuk mengurangi ketidakpastian antarorang asing yang terikat dalam percakapan mereka bersama.

Teori mengurangi ketidakpastian ini membahas proses dasar bagaimana kita memeperoleh pengetahuan mengenai orang lain. Ketika kita bertemu de-

KOMUNIKASI TRADISIONAL DALAM KULTUR MASYARAKAT INDONeSIA

ngan orang yang belum kita kenal maka biasanya banyak pertanyaan yang muncul di kepala kita: Siapa dia? Mau apa? Bagaimana sifatnya? Dan seterusnya. Kita tidak memiliki jawaban pasti dan kita mengalami ketidakpastian, dan kita mencoba untuk mengurangi ketidakpastian ini (Morrisan, 2009: 131).

Menurut Berger, orang mengalami periode yang sulit ketika menerima ketidakpastian sehingga ia cenderung memperkirakan perilaku orang lain, dan karena itu ia akan termotivasi untuk mencari informasi mengenai orang lain itu. Namun sebenarnya, upaya untuk mengurangi ketidakpastian inilah yang menjadi salah satu dimensi penting dalam membangun hubungan (relationship) dengan orang lain.

Ketika kita berkomunikasi, menurut Berger, kita membuat rencana untuk mencapai tujuan kita, kita merumuskan rencana bagi komunikasi yang akan kita lakukan denga orang lain berdasarkan atas tujuan dan informasi atau data yang telah kita miliki. Semakin besar ketika pastian maka kita akan semakin berhati-hati, kita akan semakin mengandalkan pada data yang kita miliki. Jika ketidakpastian itu semakin besar, maka kita akan semakin cermat dalam merencanakan apa yang akan kita lakukan. Pada saat kita merasa sangat tidak pasti mengenai orang lain maka kita mulai mengalami krisis kepercayaan terhadap rencana kita sendiri dan kita mulai memuat rencana cadangan atau rencana alternatif lainnya dalam hal kita memberikan respons pada orang lain (Morrisan, 2009: 131).

Berger dan Calabrese yakin bahwa ketika orang-orang asing pertama kali bertemu, mereka mula-mula meningkatkan kemampuan untuk bisa memprediksi dalam usaha untuk mengeluarkan perasaan dari pengalaman komunikasi mereka. Prediksi dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mencoba menentukan alternative perilaku yang mungkin bisa dipilih dari kemungkinan pilihan yang tersedia bagi diri sendiri atau bagi partner relasi. Explanation (keterang-an) digunakan untuk menafsirkan makna dari perbuatan masa lalu dari sebuah hubungan. Prediksi dan explanation merupakan dua konsep awal dari dua subproses utama pengurangan ketidakpastian (uncertainty reduction).

Versi umum dari teori ini menyatakan bahwa ada dua tipe dari ketidakpastian dalam perjumpaan pertama yaitu: cognitive dan behavioral. Cognitive uncertainty merupakan tingkatan ketidakpastian yang diasosiasikan dengan keyakinan dan sikap. Behavioral uncertainty, dilain pihak berkenaan dengan luasnya perilaku yang dapat diprediksikan dalam situasi yang diberikan.

Selanjutnya Berger dan Calabrese (1975 dalam West & Turner 2008: 173) berpendapat bahwa uncertainty reduction memiliki proses yang proaktif dan retroaktif. Uncertainty reduction yang proaktif yaitu ketika seseorang berpikir tentang pilihan komunikasi sebelum benar-benar terikat dengan orang lain. Uncertainty reduction yang retroaktif terdiri dari usaha-usaha untuk menerangkan

perilaku setelah pertemuan itu sendiri.

Berger dan Calabrese menyatakan bahwa ketidakpastian dihubungkan dengan tujuh konsep lainnya yang berakar pada komunikasi dan perkembangan hubungan. Tujuh konsep itu adalah: verbal output, nonverbal warmth (seperti misalnya nada bicara yang menyenangkan), pencarian informasi (menanyakan pertanyaan), self-disclosure (menyampaikan bagian dari informasi tentang diri sendiri pada orang lain), reciprocity (pertukaran) disclosure, persamaan, dan kegemaran (West & Turner, 2008: 179-181).

Di samping kelemahannya, Uncertainty Reduction Theory tetap hanya sebagai teori komunikasi yang khususnya menguji interaksi awal. Pertama: teori ini sangat bermaksud menyelidiki sendiri. Contoh URT ini telah mengintregasi pencarian ke dalam penyelidikan di dalam kelompok kecil (Booth, Butterield dan Koester, 1988) seperti yang diselidiki di dalam komunikasi massa (Dimmick, Sikand dan Pattersun, 1994) dan komunikasi media komputer (Walther dan Burgoon, 1992). Akhirnya, URT seperti teori pemikiran, dapat dipertimbangkan menjadi sementara di dalam teori yang asli, dan disana menjadi gagasan rele- van yang lain (West & Turner, 2008: 191).

Pada tahap ini, seringkali terjadi pertukaran informasi yang tiada berhubungan dengan konteks jual beli, tapi seputar latar belakang pelaku transaksi dan sebagainya. Seperti pada Kios Jesslyn, penjual kaos oblong di lantai 5, sebut saja Rahma, yang tengah melayani pembelinya yang terdiri dari 4 orang pria.

Rahma: “Ayo Bang, dipilih..”

Pria 1: “ Yang itu saja, Biar kawan saya pilihkan lagi, harga dia tawar..“ Rahma: “Memang abang orang mana?”

Pria 1: “Hehe..” diam, menutupi.

Rahma: “Malaysia ya? Wah, saya juga bukan orang sini. Saya orang sebrang.”

Pria 2: “Sebrang mana? Sebrang kan banyak… sebrang sungai, sebrang jembatan.” Bernada humor.

Rahma: “Iya bang, betul, saya orang Sumatra.. Melayu juga..” Pria 2: “Saya sih Jawa…” tanggapnya bangga.

Pria 3: “Ini sudah, jangan mahal-mahal ya… kami beli banyak.. biar teman saya yang jago tawar.” Tunjuknya ke pria no 2.

Pria 4: “Sudah.. sudah.. biar saye jaga di muka, songsong pengunjung nak hadir”.

Rahma: “Harga langganan, Bang.. tidak mahal. Coba cek ke tempat lain. Ini sama dengan harga grosir.”

Pada transaksi selanjutnya, Rahma memanggil pengunjung tokonya dengan panggilan ‘mas’ atau “aa”, melihat paras dan bahasa pengunjung yang cenderung tampak seperti warga Bandung atau orang Jawa.

KOMUNIKASI TRADISIONAL DALAM KULTUR MASYARAKAT INDONeSIA

mengemukakan harapan-harapannya.. pedagang umumnya berkata, “Kemari

lagi ya, kak.. nanti diajak teman-temannya..” atau “Terima kasih, Bang.. ditunggu

lagi kedatangannya..”

Apabila digambarkan, maka pola interaksi perdagangan adalah sebagai berikut:

gambar 1. Pola interaksi Perdagangan

Pada interaksi perdagangan antar bangsa, misalnya warga Malaysia yang beberapa tahun belakangan ini seringkali berkunjung ke Pasar Baru, bahasa yang digunakan cenderung beragam. Ada pembeli yang tetap menggunakan bahasa Melayu, dan pedagang melakukan konvergensi dengan mencari tahu bahasa- bahasa Melayu yang bisa dipahami. Selain itu, ada pula pembeli yang mulai melakukan konvergensi dengan menggunakan bahasa Indonesia yang mudah diadopsi dalam transaksi perdagangan. Misalnya saja, orang Malaysia biasa bertanya dengan, ”Harge berape ni?”. Kata-kata ini mudah dipahami oleh para pedagang di Indonesia. Namun, ada beberapa warga Malaysia yang sudah lama tinggal di Indonesia dan adaptif secara bahasa, terkadang menggunakan bahasa pribumi yaitu, “Ini, harganya berape?” Dialek dalam pengucapannya adalah sesuatu yang sulit ditutupi, tapi kemampuan untuk melakukan ‘penyamaan’ atau adaptasi bahasa, adalah hal yang sering dilakukan demi kedekatan antara penjual dan pembeli juga harapan demi mendapatkan keuntungan ekonomis. “Saya ajak kawan, supaye murah,” papar Mahmod.

Peneliti mendapati di Kios Jesllyn, seperti pada pecakapan di atas, pria kesatu dan keempat dalam percakapan tadi adalah warga Malaysia yang mengajak serta dua rekan Indonesianya berbelanja di Pasar Baru. Dua pria ini cenderung menjaga identitasnya, dan tidak terbuka dalam hal asal usulnya. Meski pedagang sudah bertanya dan meyakinkan bahwa dirinya juga bukan warga Jawa dan sama-sama pendatang, namun ada identitas kebangsaan yang berbeda. Pedagang adalah warga Indonesia, dan dua pris itu, Mahmod dan Billy, adalah warga Malaysia. Dua pria Malaysia ini juga melanjutkan transaksi ke kios tas dan kios kacamata dengan pola-pola sama, yaitu menjadikan dua teman Indonesianya untuk menawar barang pilihannya.

Ketika orang -orang yang sama-sama asing pertama kali bertemu, mereka