• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelaahan komunikasi antarpribadi tak pernah ada “matinya”, banyak konsep yang bisa dikembangkan. Sekilas, komunikasi antar pribadi bermakna sederhana, namun da- lam pelaksanaannya banyak hal yang mesti dipertimbang- kan.

Pada masyarakat Minangkabau Sumatera Barat, terda- pat pertimbangan nilai adat “Kato Nan Ampek” (kata yang empat) dalam komunikasi antarpribadi. Dalam kehidupan masyarakat Minangkabau, khususnya komunikasi antar-

pribadi mereka memperhatikan ilosoi adat yang terdiri dari

kato mandaki, kato mandata, kato manurun dan kato mal- ereang. Keempat butiran itu merupakan dasar sopan santun dalam komunikasi antarpribadi di Minangkabau dan meru- pakan bagian adat istiadat yang masih diperhatikan hingga saat ini.

Kata kunci : komunikasi, komunikasi antarpribadi, kato nan ampek

Rita Gani

Dosen Ilmu Jurnalistik Fikom Universitas Islam Bandung e-mail : ritagani911@yahoo.com

Pendahuluan

We can’nt not communicate, demikian ungkapan Paul Watzlawick yang sangat terkenal di kalangan akademisi komunikasi hingga saat ini. Apa yang disampaikan oleh pakar teori komunikasi asal Amerika ini menegaskan bahwa manusia adalah mahluk sosial, mahluk yang selalu membutuhkan orang lain. Hal ini menyebabkan manusia membutuhkan komunikasi untuk mengelola ke- hidupan sosial tersebut, baik dalam bentuk verbal maupun nonverbal. Dengan berkomunikasi, manusia membina hubungan satu sama lain, belajar, dan me- nyelami segala dinamika kehidupan, sehingga ia bisa memberi arti bagi hidup- nya.

Di antara berbagai bentuk komunikasi, komunikasi antar pribadi merupa- kan bentuk yang menurut penulis cukup rumit pelaksanaannya dan cenderung

KOMUNIKASI TRADISIONAL DALAM KULTUR MASYARAKAT INDONeSIA

rawan konlik, bila di banding dengan komunikasi kelompok, dan massa. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor dan gangguan dalam prosesnya. Seringkali permasalahan yang timbul di sebabkan oleh “cara” berkomunikasi, padahal pe- san serumit apapun bila disampaikan dengan cara yang tepat akan mudah di pahami, demikian pula sebaliknya. Pesan yang sederhana seringkali di persepsi salah bisa di sampaikan dengan cara yang tidak tepat, selain itu juga disebabkan karena pesan mengandung banyak simbol dan kode.

Cangara (1998: 103) tegas menyatakan bahwa pemberian arti pada simbol adalah suatu proses komunikasi yang dipengaruhi oleh kondisi sosial budaya yang berkembang pada suatu masyarakat. Terkait dengan hal di atas, sebagai bangsa yang majemuk, Indonesia sangat kaya dengan ragam budaya. Masing- masing daerah memiliki kekhasannya sendiri yang membuat makna simbol tersebut menjadi yang sangat berbeda di antara berbagai daerah.

Provinsi Sumatera Barat dengan budaya Minangkabau misalnya, mem- punyai sebuah sistem yang unik dalam proses komunikasi antar budaya. Bila di Pulau Jawa tutur kata berkomunikasi dibedakan atas tingkatan, kasar, ha- lus, sedang, dan di Bali proses komunikasi dibedakan berdasarkan kastanya, maka masyarakat Minangkabau mempergunakan adat “kato nan ampek” (kata nan empat) dalam proses komunikasi terutama dalam bentuk komunikasi antar pribadi. Konsep ini telah menjadi aturan dasar atau pedoman masyarakat Mi- nangkabau dalam melakukan komunikasi.

Komunikasi antarpribadi

Secara sederhana, komunikasi antar pribadi sering dideiniskan sebagai komunikasi yang dilakukan antara dua orang dan dengan pola yang timbal ba- lik. Karena itu, konsep ini juga dikenal dengan dengan komunikasi diadik, yang melibatkan hanya dua orang secara tatap-muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal ataupun nonverbal, seperti suami-isteri, dua sejawat, dua sahabat dekat, se- orang guru dengan seorang muridnya, dan sebagainya.

Mereka yang terlibat dalam komunikasi ini menurut Fajar (2009: 78) ber- fungsi ganda, masing-masing menjadi pembicara dan pendengar secara ber- gantian. Dengan demikian, masing-masing individu memberikan kesempatan satu sama lain untuk membicara dirinya masing-masing yang tentu saja ber- tujuan agar diri sendiri mendapatkan perspektif yang baru tentang dirinya dan memahami lebih mendalam tentang sikap dan perilakunya.

Sedangkan De Vito (1997: 236) menjelaskan bahwa komunikasi antar prib- adi atau komunikasi interpersonal adalah: “The Process of sending and receiving between two person or among a small group of person, with some effect and some

juga dilakukan dalam sebuah komunikasi kelompok dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika. Tentu saja efek dan umpan balik yang didapat- kan oleh pelaku komunikasi antar pribadi dipengaruhi oleh beberapa faktor.

Rakhmat (1994: 80) menjelaskan bahwa komunikasi antarpribadi dipengar- uhi oleh beberapa hal, yakni persepsi interpersonal; konsep diri; atraksi interper- sonal; dan hubungan interpersonal.

1. Persepsi interpersonal adalah memberikan makna terhadap stimuli inder- awi yang berasal dari seseorang (komunikan), yang berupa pesan verbal dan nonverbal. Kecermatan dalam persepsi interpersonal akan berpengaruh terhadap keberhasilan komunikasi, seorang peserta komunikasi yang salah memberi makna terhadap pesan akan mengakibat kegagalan komunikasi. 2. Konsep diri adalah pandangan dan perasaan kita tentang diri kita. Konsep

diri yang positif, ditandai dengan lima hal, yaitu: (a). Yakin akan kemampuan mengatasi masalah; (b). Merasa setara dengan orang lain; (c). Menerima pu- jian tanpa rasa malu; (d). Menyadari, bahwa setiap orang mempunyai ber- bagai perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui oleh masyarakat; (e). Mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengung- kapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha mengubah.

Konsep diri merupakan faktor yang sangat menentukan dalam komunikasi antarpribadi, yaitu:

a. Nubuat yang dipenuhi sendiri. Karena setiap orang bertingkah laku seda- pat mungkin sesuai dengan konsep dirinya. Bila seseorang mahasiswa menganggap dirinya sebagai orang yang rajin, ia akan berusaha meng- hadiri kuliah secara teratur, membuat catatan yang baik, mempelajari ma- teri kuliah dengan sungguh-sungguh, sehingga memperoleh nilai akade- mis yang baik.

b. Membuka diri. Pengetahuan tentang diri kita akan meningkatkan komu- nikasi, dan pada saat yang sama, berkomunikasi dengan orang lain men- ingkatkan pengetahuan tentang diri kita. Dengan membuka diri, konsep diri menjadi dekat pada kenyataan. Bila konsep diri sesuai dengan pen- galaman kita, kita akan lebih terbuka untuk menerima pengalaman-pen- galaman dan gagasan baru.

c. Percaya diri. Ketakutan untuk melakukan komunikasi dikenal sebagai communication apprehension. Orang yang aprehensif dalam komunikasi disebabkan oleh kurangnya rasa percaya diri. Untuk menumbuhkan per- caya diri, menumbuhkan konsep diri yang sehat menjadi perlu.

d. Selektivitas. Konsep diri mempengaruhi perilaku komunikasi kita karena konsep diri mempengaruhi kepada pesan apa kita bersedia membuka diri

KOMUNIKASI TRADISIONAL DALAM KULTUR MASYARAKAT INDONeSIA

(terpaan selektif), bagaimana kita mempersepsi pesan (persepsi selektif), dan apa yang kita ingat (ingatan selektif). Selain itu konsep diri juga ber- pengaruh dalam penyandian pesan (penyandian selektif).

3. Atraksi interpersonal adalah kesukaan pada orang lain, sikap positif dan daya tarik seseorang. Komunkasi antarpribadi dipengaruhi atraksi interpersonal dalam hal:

a. Penafsiran pesan dan penilaian. Pendapat dan penilaian kita terhadap orang lain tidak semata-mata berdasarkan pertimbangan rasional, kita juga makhluk emosional. Karena itu, ketika kita menyenangi seseorang, kita juga cenderung melihat segala hal yang berkaitan dengan dia secara positif. Sebaliknya, jika membencinya, kita cenderung melihat karakteris- tiknya secara negatif.

b. efektivitas komunikasi. Komunikasi antarpribadi dinyatakan efektif bila pertemuan komunikasi merupakan hal yang menyenangkan bagi komu- nikan. Bila kita berkumpul dalam satu kelompok yang memiliki kesamaan dengan kita, kita akan gembira dan terbuka. Bila berkumpul dengan de- ngan orang-orang yang kita benci akan membuat kita tegang, resah, dan tidak enak. Kita akan menutup diri dan menghindari komunikasi.

4. Hubungan interpersonal dapat diartikan sebagai hubungan antara seseorang dengan orang lain. Hubungan interpersonal yang baik akan menumbuhkan derajad keterbukaan orang untuk mengungkapkan dirinya, makin cermat persepsinya tentang orang lain dan persepsi dirinya, sehingga makin efektif komunikasi yang berlangsung di antara peserta komunikasi. Miller (1976) dalam Explorations in Interpersonal Communication, menyatakan bahwa ”Memahami proses komunikasi interpersonal menuntut hubungan simbiosis antara komunikasi dan perkembangan relasional, dan pada gilirannya (secara serentak), perkembangan relasional mempengaruhi sifat komunikasi antara pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan tersebut.”

Lebih jauh, Rakhmat juga memberi catatan bahwa terdapat tiga faktor dalam komunikasi antarpribadi yang menumbuhkan hubungan interpersonal yang baik, yaitu: percaya; sikap suportif; dan terbuka.

Kato Nan Ampek

Seperti kebanyakan orang Sumatera pada umumnya, dalam berkomunika- si, orang Minangkabau dikenal dengan gaya bahasa yang lugas, apa adanya, dan cenderung tidak berbasa-basi. Selain itu juga disertai dengan intonasi yang keras dengan penekanan beberapa huruf vokal (terutama huruf e keras) yang memberikan kesan “marah”atau “kasar” bahkan “mengerikan”. Tentu saja ini sangat berbeda dengan suku jawa yang cenderung lemah lembut atau suku

Sunda yang memiliki cengkok yang halus. Kondisi ini menunjukkan bahwa ba- hasa adalah sebuah representasi budaya, atau suatu”peta kasar” yang meng- gambarkan budaya termasuk pandangan dunia, kepercayaan, nilai, pengeta- huan, dan pengalaman yang dianut komunitas bersangkutan (Mulyana, 2004: 73).

Karena merupakan representasi budaya, maka tata cara bahasa dalam berkomunikasi pun berbeda-beda di berbagai daerah. Suku Jawa dan Sunda misalnya, mempunyai strata pemakaian bahasa dalam komunikasi berdasarkan halus, sedang dan kasar. Sementara di Bali, pemakaian bahasa disesuaikan den- gan kasta yang hendak di tuju. Tetapi di Minangkabau, tidak ada batasan untuk tingkatan bahasa namun dalam berkomunikasi, masyarakat Minangkabau ter- ikat dalam aturan adat “tau di kato nan Ampek” (tahu dengan kata yang empat).

Kato nan ampek merupakan norma-norma, peraturan-peraturan, ketentuan- ketentuan yang diungkapkan dalam bentuk ungkapan-ungkapan, mamangan, petitih, petatah, peribahasa dan lain-lain.

Tubbs dan Moss (1996: 3) menjelaskan bahwa norma-norma muncul da- lam sejumlah tingkat sosial dan seringkali dialihkan sebagai suatu hubungan ke hubungan lainnya_ dengan ukuran keberhasilan yang tidak selalu sama. Se- bagai sebuah norma, tidak semua masyarakat Minangkabau mengerti tentang “Kato Nan Ampek”, dan menerapkannya dalam proses komunikasi antar pribadi. Terutama generasi Minang yang hidup saat ini.

Di tengah terpaan istilah asing, “bahasa alay”, dan sebagainya, kecil ke- mungkinan para pemuda Minangkabau memperhatikan hal ini, padahal mener- apkan Kato nan ampek dalam komunikasi sehari-hari memungkinkan seseorang untuk tetap menjaga sopan dan santun. Seseorang yang mampu memenuhi kondisi-kondisi yang tertulis dalam kato nan ampek dikategorikan sebagai orang yang tau di nan ampek dan dianggap santun. Sebaliknya, orang Minang- kabau yang tidak mampu menggunakan kato nan ampek dengan tepat dikata- kan indak tau jo nan ampek ‘tidak mengetahui yang empat’ dan dianggap tidak santun karena di dalam kato nan ampek sudah jelas tergambar pilihan-pilihan kebahasaan bagaimana seorang Minangkabau itu idealnya berkomunikasi.

Pemakaian kato nan ampek senantiasa diterapkan oleh masyarakat Mi- nangkabau, tentu saja yang di maksud adalah Minangkabau sebagai wilayah kebudayaan dan bukan wilayah kekuasaan. Karena wilayah kebudayaan terdiri dari orang Minangkabau yang tidak saja tinggal di Sumatera Barat tapi juga di seluruh wilayah Indonesia (bahkan luar negeri). Sedangkan bila sebagai wilayah kekuasaan, yang dimaksud adalah sebatas pada Sumatera Barat saja. Budaya Minangkabau itu adalah adat Minangkabau, maka budaya kato nan ampek itu juga mengatur hubungan antar manusia dan manusia dengan alamnya (Suar- man dkk, 2000: 183).

KOMUNIKASI TRADISIONAL DALAM KULTUR MASYARAKAT INDONeSIA

Kato nan ampek yang sejatinya dijadikan pedoman, dihayati serta diamal- kan dalam proses komunikasi tersebut adalah sebagai berikut :

1. kato mandaki (kata mendaki), merupakan sebuah ungkapan pendidikan bagaimana cara berbicara dan bersikap kepada orang yang lebih tua. Kato mandaki merupakan sikap sikap yang ditunjukan kepada orang yang lebih tua seperti kalau berbicara tidak membentak/kasar, mendengarkan nasihat- nya, tidak membantah pembicaraan atau pengajarannya. Ungkapan kata mendaki ini adalah cara pergaulan kepada orang yang lebih tua seperti anak kepada orang tuanya, kemanakan kepada mamak, murid kepada guru dan adik kepada kakak. Bahasa yang disampaikan biasanya sangat teratur, formal dan sopan

2. kato manurun (kata menurun), ungkapan yang menggambarkan bagai mana cara bersikap, berbicara seseorang dengan yang lebih muda atau digunakan juga dengan orang yang statusnya lebih rendah. Ungkapan ini sering juga di artikan dengan tindakan mengayomi, menyayangi yang lebih kecil. Biasanya digunakan oleh orang tua kepada anak, guru kepada murid, mamak kepada kemanakan, atasan kepada bawahan, dan sebagainya. Gaya bahasa yang di- gunakan adalah dengan kalimat yang pendek, tegas dan seringkali disertai dengan berbagai perumpamaan agar bisa di mengerti

3. kato mandata (kata mendatar), kato mandata ialah ungkapan sikap perbua- tan atau tindakan, cara berbicara kepada yang sama besar (sebaya). Ungka- pan ini digunakan oleh teman sepermainan, tetapi tetap saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Biasanya komunikasi dalam konteks ini juga disertai dengan lelucon, geraman, dan tawa. Kalau dalam pergaulan pe- muda Minangkabau disebut dengan bagarah, bacemeeh, atau

4. kato malereng, ungkapan sikap tindakan dan cara berbicara dengan orang yang disegani dan hormati. Biasanya, kato malereang digunakan dalam ko- munikasi antara seorang mando jo sumando, menantu atau ipa jo bisan. Bi- asanya disertai dengan pilihan kata-kata perumpamaan yang sifatnya tidak langsung kepada yang bersangkutan.

Ungkapan kato nan ampek atau biasa juga disebut dengan jalan nan Am- pek, sudah menjadi ciri khas pergaualan masyarakat Minangkabau dari nenek moyang sampai pada saat sekarang ini. Orang Minang yang salah berperilaku atau menempatkan posisinya disebut dengan indak tau jo nan ampek atau ura-

ng indak baradaik (tidak tahu dengan adat). Pada masyarakat Minangkabau, dianggap tidak beradat merupakan sebuah “petaka”, anggapan ini lebih rendah nilainya dibandingkan dengan tidak memiliki ilmu atau tidak memiliki harta. Orang yang tidak beradat tidak akan mendapatkan tempat yang terhormat di kaumnya, bahkan sering tidak dianggap keberadaannya.

Selain kato nan ampek, kekhasan komunikasi dalam pergaulan sehari hari orang Minang Kabau dapat digambarkan dengan ungkapan adat:

nan tuo di hormati, (yang tua di hormati)

nan ketek di sayangi, (yang kecil di sayangi)

samo gadang baok baiyo. (sama besar di ajak berdiskusi)

Berdasarkan ungkapan adat di atas, maka sejatinya masyarakat Minang- kabau memiliki adab yang mulia dalam melakukan komunikasi dengan sesa- manya. Nilai-nilai pengertian sebagaimana yang diungkapan Sir Gerald Barry, yaitu komunikasi tersebut dilakukan untuk mendapatkan saling pengertian (communicare).

Kato nan ampek dalam Komunikasi antar Pribadi

Komunikasi yang di nilai baik adalah komunikasi yang senantiasa mem- perhatikan sang penerima pesan (receiver oriented). Karena itu, kita senantiasa disuguhkan berbagai perempuan cantik, laki-laki ganteng dan gambar makanan yang menggugah selera dalam sebuah iklan. Semua ditujukan untuk kepua- san penerima pesan. Begitupun dengan konsep Kato Nan Ampek, komponen- komponen di dalamnya bukan berorientasi pada penyampai pesan, tetapi pada para penerima pesan. Orang yang dituakan, lebih muda/rendah, sebaya, atau saudara ipar, semuanya adalah para penerima pesan.

Sebagai landasan (rule of speaking) masyarakat Minangkabau dalam berkomunikasi sehari-hari, maka penggunaannya tidak terlepas dari berbagai faktor yang ikut mempengaruhi kesuksesan proses komunikasi antar pribadi. Seperti yang dijelaskan Lunandi (1994, 85) bahwa ada enam faktor yang mem- pengaruhi komunikasi interpersonal. Yaitu :

1. Citra Diri (Self Image): Setiap manusia merupakan gambaran tertentu menge- nai dirinya, status sosialnya, kelebihan dan kekurangannya. Dengan kata lain citra diri menentukan ekspresi dan persepsi orang. Manusia belajar mencip- takan citra diri melalui hubungannya dengan orang lain, terutama manusia lain yang penting bagi dirinya.

2. Citra Pihak Lain (The Image of The Others): Citra pihak lain juga menentukan cara dan kemampuan orang berkomunikasi. Di pihak lain, yaitu orang yang diajak berkomunikasi mempunyai gambaran khas bagi dirinya. Kadang den- gan orang yang satu komunikatif lancar, tenang, jelas dengan orang lainnya tahu-tahu jadi gugup dan bingung. Ternyata pada saat berkomunikasi dira- sakan campur tangan citra diri dan citra pihak lain.

3. Lingkungan Fisik: Tingkah laku manusia berbeda dari satu tempat ke tempat lain, karena setiap tempat ada norma sendiri yang harus ditaati. Disamp- ing itu suatu tempat atau disebut lingkungan isik sudah barang tentu ada

KOMUNIKASI TRADISIONAL DALAM KULTUR MASYARAKAT INDONeSIA

kaitannya juga dengan kedua faktor di atas.

4. Lingkungan Sosial : Sebagaimana lingkungan, yaitu isik dan sosial mem- pengaruhi tingkah laku dan komunikasi, tingkah laku dan komunikasi mem- pengaruhi suasana lingkungan, setiap orang harus memiliki kepekaan terh- adap lingkungan tempat berada, memiliki kemahiran untuk membedakan lingkungan yang satu dengan lingkungan yang lain.

5. Kondisi : Kondisi isik punya pengaruh terhadap komunikasi yang sedang sakit kurang cermat dalam memilih kata-kata. Kondisi emosional yang kurang stabil, komunikasinya juga kurang stabil, karena komunikasi berlang- sung timbal balik. Kondisi tersebut bukan hanya mempengaruhi pengiriman komunikasi juga penerima.

6. Bahasa Badan: Komunikasi tidak hanya dikirim atau terkirim melalui kata- kata yang diucapkan. Badan juga merupakan medium komunikasi yang ka- dang sangat efektif kadang pula dapat samar. Akan tetapi dalam hubungan antara orang dalam sebuah lingkungan kerja tubuh dapat ditafsirkan secara umum sebagai bahasa atau pernyataan.

Ke enam hal di atas merupakan faktor-faktor yang juga turut diperhatikan dalam penggunaan Kato Nan Ampek. Karena komunikator mempertimbangkan secara seksama faktor-faktor pragmatik yang mungkin terlibat dalam proses ko- munikasi. Misalnya, Komunikator akan menggunakan variasi pemilihan bahasa yang berbeda sesuai dengan situasi komunikan yang di hadapi.

Seorang komunikator dalam menerapkan Kato nan ampek tersebut harus bisa “mengukur” dirinya, sebagai apa dan memahami siapa yang akan menjadi lawan bicaranya. Pemahaman ini untuk menghindari kesalahan “cara” dalam berkomunikasi. Sedangkan lingkungan sosial dan lingkungan isik menjadi per- lu diperhatikan terkait dengan ragam budaya dan adat istiadat yang berbeda di antara berbagai suku di Minangkabau. Pemakaian kato malereang misalnya, sangat perlu diperhatikan terutama dalam proses komunikasi di antara orang yang saling menyegani. Seperti antar orang berkerabat karena hubungan perkawinan (mertua dan menantu, ipar, atau besan) atau orang yang jabatan- nya dihormati (ulama, guru, atau penghulu).

Sementara itu, faktor kondisi isik dan bahasa badan merupakan pertim- bangan nonverbal yang bisa menjadi pertimbangan verbal bagi seorang komu- nikator terutama dalam pemilihan pesan sehingga apa yang disampaikan itu dapat diterima dengan baik oleh komunikan. Dalam konteks ini, dimungkinkan terjadi variasi kato, kata mendatar yang sejatinya di sampaikan di antara sebaya, dengan memperhatikan dua hal ini bisa saja berubah menjadi kata menurun atau bahkan kata mendaki. Selama ditujukan untuk saling mendukung komu- nikasi yang dilakukan maka hal tersebut sah saja dilakukan.

Selain ditujukan untuk kesantunan, Kato nan ampek yang diterapkan da- lam proses komunikasi antar pribadi juga merujuk pada falsafah hidup alam

takambang jadi guru (alam terkembang jadi guru). Artinya, dalam tatanan ke- hidupan sehari-hari, masyarakat Minangkabau senantiasa belajar dari alam.

Misalnya, ketika berkomunikasi, seorang Minangkabau akan berbahasa dengan sangat hati-hati agar ucapannya tidak menyinggung perasaan orang lain. Hal ini sesuai dengan ungkapan lamak dek awak, katuju dek orang (enak oleh kita, disukai oleh orang lain). Ungkapan ini sesuai dengan falsafah hidup

adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah ‘adat bersendi syariat agama, syariat agama bersendi kitab Allah, yaitu Al Qur’an. Artinya, segala sesuatu dise- suaikan dengan syariat Islam, sebagai agama yang dianut oleh masyarakat Mi- nangkabau.

daftar Pustaka

A.G. Lunandi, (1994), Komunikasi Mengena : Meningkatkan Efektiitas Komunika- siAntar Pribadi, Yogyakarta, Kanisius

Amir MS, (2001), Adat Minangkabau: Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang. Ja- karta: PT. Mutiara Sumber Widya.

Cangara, Haied, (1998), Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta, Rajawali Pers

Deddy Mulyana, (2005), Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Bandung: Remaja Ros- dakarya.

Devito. Joseph A. (1997). Komunikasi Antar Manusia (Alih Bahasa : Agus Maulana). Jakarta: Professional Books

Jalaludin Rakhmat, (1994), Psikologi Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya. Fajar, Marhaeni, (2009), IlmuKomunikasi, Teori dan Prakter, Graha Ilmu, Jakarta Nasroen, M. (1971). Dasar Falsafah Adat Minangkabau. Jakarta: Bulan Bintang. Supratiknya, A. (1995). Komunikasi Antar Pribadi (Tinjaun Psikologis). Yogjakarta:

Kanisius

ABSTRA

KSI

PROSIDING SERIAL CALL FOR PAPER KOMUNIKASI INDONeSIA UNTUK PeRADABAN BANGSA PALeMBANG, 26-27 FeBRUARI 2013